Sunday, November 22, 2009

Ketika Teknologi Menjadi tuhan

Jika Abidah El-Khalieqy baru-baru ini menelurkan novel berjudul Perempuan Berkalung Sorban, maka di era modern ini tidak salah jika ada statement Manusia Berkalung Flash Disk, mengapa demikian? Ketergantungan manusia pada teknologi sudah mengakar kuat dan menjadi satu kesatuan utuh.
Perkembangan teknologi semakin hari tambah pesat, bak jamur dimusim hujan, sampai saat ini telah banyak memberi corak dan pola pikir yang beranekaragam dalam kehidupan manusia. Rasa ingin tahu yang merupakan fitrah manusia sejak lahir, selalu mendorong melahirkan pengetahuan baru.
Teknologi adalah hasil peradaban dan budaya manusia. Ironisnya, manusia bergantung kapada penciptaannya sendiri. Akibatnya, teknologi yang merupakan produk pikirnya sendiri telah menjelma menjadi tuhan—penulis tidak menggunakan ‘T’ besar yang berarti Yang Maha Esa. Kebergantungan manusia itu menempatkan teknologi pada dimensi Adi Kuasa (Super Power) yang mencengkram penciptanya sendiri. Sehingga lahirlah perbudakan modern.
Dewasa ini, muncul istilah digitalisasi yang diletarbelakangi pesatnya teknologi komputer dan jejaringan internet. Digitalisasi sebagai wujud revolusi dari teknologi telah membentuk “manusia” digital. Televisi, Hp, Komputer, Internet dlsb. bukanlah barang langka lagi. Tidak hanya di perkotaan, di pedesaan pun tidak sulit di temui.
Di daerah pedalaman, (baca; pedesaan) ada dua tempat yang menjadi sasara pengembangan teknologi. Pertama, pasar sebagai tempat interaksi jual-beli menjadi tempat strategis penyebarluasan teknologi. Kedua, pesantren yang sejak awal berdirinya jamak diketahui sebagai “kiblat” masyarakat juga menjadi area subur. Hanya dengan berorientasi pada dua tempat itu, teknologi sudah mengusai lapangan.
Krisis Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat pedesaan, menjadi nilai plus teknologi untuk mendobarak hukum adat dan norma yang selama ini mereka pegang teguh. Dulu, jika ada muda-mudi yang bukan muhrim-nya berjalan berpasangan menjadi hal sangat tabu, tidak menutup kemungkinan akan dihukum dengan adat yang berlakudi daerah tersebut. Tetapi kini, fenomena tersebut sudah lumrah, bahkan tidak sedikit dari orangtua mereka sendiri yang menyuruh melakukan demikian, asal tidak melewati batas. Mereka (baca; orangtua) ingin melihat putra-putrinya seperti yang dilihat di Televisi.
Pesantren sebagai institusi pembentukan moralitas, yang amat dekat dengan kehidupan masyarakat pun tidak lepas dari teknologi. Tidak sedikit pesantren yang berubah haluan dari Salafi menuju modern. Entah, apakah itu sebagai bentuk aplikasi dari Al-Muhafadza ‘Ala Qadim As-Salih Wa Al-Akhdi Bil Jadid Al-Aslah (memelihara yang lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Yang jelas perubahan tersebut juga telah merubah citra pesantren itu sendiri di mata masyarakat.
Jika pesantren juga telah dikuasai teknologi, lantas siapa yang pantas menjadi “kiblat” masyarakat?
Pada dasarnya, teknologi diciptakan sebagai alat untuk memudahkan manusia melakukan aktivitas sehari-hari. Namun, akibat krisis moral yang dimiliki, teknologi menjadi salah guna. Video, gambar, dan cerita-cerita yang bisa merusak mental tersimpan rapi dan terstruktur didalam memory yang hanya sebesaran jari telunjuk manusia atau sekecil kancing baju, sehingga mereka lebih mudah mengakses dan melihatnya kapan saja dan dimana saja.

Monday, October 19, 2009

Gadis Bayangan

Cerpen: Fandrik HS Putra
“Hey, gimana kabarnya pagi ini? lihatlah matahari sudah tersenyum.”
Kalimat itu selalu memanjakan aku saat kening bumu dikecup matahari. Seperti angin pagi yang membawa kesejukan surga. Seperti itu dia datang. Sulit sekali bagiku untuk tidak melemparkan senyum pertama tatkala mataku menatap kehidupan.
Ryna Kustitiani, begitulah ia memperkenalkan diri ketika aku tanya namanya. Nama yang—bagus, menurutku—akhir-akhir ini menghiasi ruang hidupku
Si gadis bayangan. Ya! Aku sangat suka menyebutnya dengan nama itu. Ia hadir seperti bayangan. Entahlah, apakah dia adalah reinkarnasi dari cintaku yang lama hilang atau hadir untuk memberi dimensi baru, yang jelas dia gadis bayangan.
Gadis bayangan. Sosok yang hanya bisa aku pandang dalam dimensi yang berbeda. Tidak nampak, tapi kehadirannya bisa kurasakan.
Rasanya tidak lengkap jika aku hanya menyebutkan namanya saja. Baiklah aku akan singgung sedikit, semua itu berawal dari ketidak sengajaan dan kesalah pahaman.
Siang itu, lagu Jangan Ada Dusta Diantara Kita milik band Angkasa mengantar pertemuanku dengannya, handphon-ku berbunyi.
“Halo…”
”Ini kak roy kan?”
“Maaf, anda salah”
“Bener kok, nomor ini ga’ mungkin salah, kamu siapa?”
Aku kira pembicaraanku dengannnya hanya akan berakhir dengan kalimat “maaf, anda salah sambung,” tapi itu luput dari dugaan. Dia selalu mencercaiku dengan beberapa pertanyaan yang tidak bisa aku mengabaikan pertanyaannya. Tentang nama, alamat, hobi bahkan sampai dengan cita-cita.
Suaranya manja. Tanpa terasa kata demu kata mengalir dengan indah merampas akal dan kesadaran. Setiap jengkal kalimat yang dikatakannya mampu membuatku terjerumus dalam bayangan semu.
Sebagai penutup dari pembicaraan itu dia mengatakan ” bolehkah aku memanggilmu malaikat cinta?”
Entahlah…sejak hari itu, dipenghujung bulan Agustus yang kuabadikan in memoryan 29 Agustus 2009, jiwaku seolah-olah telah menemukan kembali sosok yang lama hilang dalam kehidupanku. Ada rasa dan getar berbeda ketika ia berkata “hay, gumana kabarnya.”
Seperti pagi yang baru saja datang. Aku menekan jejeran angka-angka yang akan mengantarkan aku pada tutur manja si gadis bayangan.
Ia telah menjadi ruang baru di hatiku yang setiap pagi melengkapi hidangan kopi panas dan makanan kecil diatas meja. Orang yang pertama kali setiap pagi menjadi pendengar setia atas hari-hari yang telah kulewati.
17 Oktober 1993, itulah tanggal lahirnya. Tiga tahun lebih muda dariku. Dia suka sastra dan dia mengaku ingin menjadi seorang wartawan. Suatu pengakuan yang berjalan lurus dengan garis hidup yang aku rancang.
Setiap malam sering mengirim puisi-puisinya padaku agar turut dibedah dalam komunitasku dan meminta masukan pribadi dariku. Aku selalu bilang bagus, meski sebenarnya dia harus lebih banyak lagi belajar tentang sastra. Namun itu sudah bagus untuk remaja kelas XI SMA.
Pagi itu aku bangun tidur, berniat minum kopi dan menyulut sebatang rokok seperti yang biasa kulakukan setiap pagi. Tiba-tiba HP-ku berdering.
“Hey, gimana kabarnya pagi ini?”
“Baik,” ku jawab sekedarnya saja.
“Gimana puisiku yang tadi malam? Tumben ga' langsung komentar. Jelek, ya?”
“Aku ga’ bisa berkomentar karena puisi yang kamu kirim sama dengan perasaanku malam itu. Jadi, pikiran, hati dan perasaanku kacau.”
“Oh, gitu!”
Hening.
Aku tak bisa memendam perasaan ini lebih lama lagi. Tak ingin kehilangan yang kedua kalinya.
“Ryna, maukah kau menjadi adikku, seperti adik kandungku?lupakan malaikat cinta itu. Karena aku ingin kau menjadi adikku.”
Datangnya Ryna seperti datangnya bayangan adik kandungku yang meninggal tiga tahun yang lalu. Dia bukan siapa-siapa. Hanya gadis bayangan. Tapi, aku merasa sangat dekat sekali dengannya.
“Kakak!?”
Seperti embun yang baru saja disapu matahari. Juga pada burung yang masih terdengar kicauannya. Meninggalkan pesan bahwa pagi tak habis segalanya. Kutahu, setiap orang punya hidup dan aturan sendiri. Salahkah bila aku hanya ingin melewati hari demi hari yang tak mungkin terulang kembali. Bersamanya.
Ia serupa bayang-bayang, datang kemudian hilang dari pandangan, tapi tidak dari kenangan.
Aku hanya bisa mengenangnya diatas secangkir kopi.

Tuesday, August 18, 2009

ROMANTISME 1001 BINTANG


Malam itu, aku bersama Riyanti sepakat akan menghitung banyaknya bintang yang jatuh dari langit. Di malam kasih sayang. Menghitung hingga subuh menjemput matahari.
Banyak orang yang beranggapan bahkan memberi umpatan bahwa hal yang kita jalani adalah pekerjaan orang yang tak waras. Bagi kita? Biasa. Mereka tidak mengerti akan peristiwa jatuhnya 1001 bintang di malam kasih sayang. Memang tidak banyak yang tahu! Tak banyak yang mau tahu.
“Sudah ngantuk? Jangan menguap terus, entar bintangnya jatuh ke mulutmu,” candaku saat melihat Riyanti terlihat ngantuk.
“Sayang, tinggal 547 lagi,” lalu menyandarkan kepalanya ke dadaku.
“Lho! Kok perhitungannya tidak sama.”
“Barapa?”
“454”
“Kok bisa jauh beda? Sih!”
“Aku ngitung yang jatuh, bukan yang belum.”
Aku tertawa. Riyanti justru mencubitku. Oooh…sungguh romatis malam itu. Di bawah pohon pualam, suara tokek bersahutan. Angin berdesir membuat kami semakin erat berpelukan.
Tak banyak yang tahu tentang peristiwa jatuhnya 1001 bintang. Jika diberi tahu, belum tentu percaya. Dan, memang remaja sekarang banyak yang tidak percaya. Mereka lebih memilih hal-hal yang kongkrit, semisal memuaskan cinta di bawah kerlap-kerlip lampu sambil geleng-geleng kepala. Sudah pusing, tiduran dech!.
Peristiwa itu terjadi ketika Dewa Eros, Sang Dewa Cinta dilanda kegelisahan akibat dilema cintanya yang begitu rumit. Akibat dilemma itu, ia membabi buta dan melepaskan semua anak panahnya ke langit. Konon, setiap satu anak panah akan kembali setelah 1001 bintang jatuh.
Malam semakin larut. Kami berusaha tetap bertahan meski pun dingin terus berpetualang. Aku dan Riyanti sudah sepakat untuk melihat peristiwa itu terulang kembali di depam mata.
“Aku ngantuk,” mulut Riyanti terbuka. Segera aku sambut.
“Tinggal berapa?” tanyaku lembut.
“73 lagi. Sudah tidak kuat. Berhenti saja”
“Kau yang begitu ingin melihat panah itu jatuh di atas cinta kita. Dan kau ingin melihat seperti apa kemilaunya,” semoga ucapanku menumbuhkan semangatnya kembali.
“Lihat! Ada yang jatuh lagi. Itu lagi! Itu! Terus… 72. 71. 70. 69. Bertahanlah!”
Riyanti beringsut. Merapikan tempat duduknya dan bersandar kembali di pangkuanku. Akutidak tega melihatnya. Mungkinkah peristiwa itu akan terjadi?
Meski tak akan terjadi, aku sudah merasakan turunnya aroma romantisme Dewa Eros. Malam itu akan menjadi kenangan terindah dalam sejarah cinta kita.
36… 27… 21… Riyanti sudah tidak kuat menahan dinging yang terus mencekam. Menggigil. Bibirnya gemetar seperti gemuruh ombak yang tenang.
17….14….9…. Riyanti sudah memejamkan mata. Terlalu lelah untuk ditahan. tertidur lelap di pangkuanku. Wajahnya begitu merona. Luar dalamnya begitu cantik. Wanita yang tidak kenal dengan yang namanya dugem, miras atau pun narkoba. Ia lebih memilih membaca, menulis atau jalan-jalan dari pada memasuki ruang yang kelam itu. Baginya romantisme adalah ketenangan, bukan menghambur-hamburkan uang. Begitulah yang aku tangkap dari salah satu sisi kehidupannya.
“Riyanti… Riyanti… bangun, tinggal 5 lagi. Harapan kita akan nyata.”
“Begitukah?” suaranya serak, hampir tak terdengar.
“Riyanti bangun, 4 hitungan lagi!”Riyanti beringsut.
”Lihat! Bintang yang ke 999”
“1000. Satu lagi Riyanti! Satu lagi!” Sebentar lagi cintaku akan abadi.
Riyanti tetap berat membuka mata. Ia terus mencoba. “Fan, cahaya apa itu?”
Cahaya? … terang sekali. Aku tak pernah melihat kemilau cahaya seterang itu di malam hari. Bukan… kemilau itu bukan cahaya anak panah Dewa Eros. Itu cahaya matahari pagi.
Aah… Aku terlambat ke sekolah!

Monday, July 27, 2009

MOS dan Anarkisme Pendidikan

oleh:Fandrik HS Putra
Masa Orientasi Siswa atau yang lebih populer dengan istilah MOS adalah masa dimana seluruh siswa baru diperkenalkan dengan lingkungan pendidikan mereka yang baru. Agar proses yang mereka jalani selama menempuh jenjang pendidikan di sekolah terkait tidak kaku.
Momentum itu juga digunakan sebagai pengenalan lebih jauh mengenai seluk-beluk sekolah yang akan mereka tempuh ke depan hingga lulus. Mulai dari tinjauan historis, visi dan misi, kurikulum pendidikan, materi ajar dan lain sebagainya.
Namun MOS yang sejatinya dijadikan ajang pengenalan awal terhadap lingkungan pendidikan baru masih harus dinodai dengan tindak-tanduk kekerasan yang dilakukan panitia penyelenggara MOS itu sendiri. Surat idzin dari kepala sekolah untuk menghukum peserta MOS yang melakukan pelanggaran dijadikan legitimasi sehingga tindak kekerasan tidak bisa dihindari.
Selain itu ancaman-ancaman tidak lulus MOS yang di terorkan oleh panitia jika tidak mematuhi aturan mereka (baca; panitia) menjadi batu sandungan untuk melawan meski tindakan panitia di luar batas kewajaran. Akibatnya, MOS tidak akan berjalan efektif dan efisien. Materi-materi yang diajarkan hanya akan menjadi formalitas belaka sebab psikis mereka down karena dihantu oleh ketakutan.
Studi kasus telah kita simak pada harian jawa pos (edisi, 17 juli 2009) alm Roy Aditya Perkasa, siswa bari SMA Negeri 16 Surabaya, anak mandiri yang jago computer itu harus mengakhiri hidupnya saat menjalani MOS di sekolahnya. Memang, peristiwa itu terjadi di Surabaya. Namun berita kematiannya telah menggegerkan sekolah yang ada di Jawa Timur. Kemudian, apa hubungannya dengan pendidikan yang ada di Madura? Mengapa bisa terjadi kekerasan?
Sebuah koreksi bagi kita. Tak dapat dipungkiri, lembaga yang ada di Madura sering kita jumpai masih menggunakan metode di atas, yakni kekerasan. Kesalahan-kesalahan kecil seringkali dibesar-besarkan dengan alasan jika kesalahan yang sepele dilakukan, bagaimana dengan kesalahan yang besar?.
Yang lebih ironis lagi, panitia sengaja mencari-cari kesalahan peserta MOS untuk dihukum dan diteror tidak lulus. Tak jarang banyak penyimpangan, mulai tugas dari panitia MOS yang terlalu banyak hingga menyebabkan siswa baru terkena hukuman pantia. Bahkan dijadikan ajang balas dendam atas kekesalan panitia yang dahulu juga siswa baru.
Bagaimana menyikapi MOS dengan baik? Ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk pelajaran awal kepada kepada peserta MOS yang masih ”kosong” pengetahuan. Pertama, panitia memberikan pelayanan fasilitas yang baik agak tercipta suasana pembelajaran yang kondusif. Kedua, panitia atau sekolah terkait lebih selektif dalam memberikan arahan dan materi ajar kepada peserta MOS selama kegiatan itu berlangsung karena MOS adalah cermin belajar-mengajar selama menempuh jenjang pendidikan di sekolah itu.
MOS pada dasarnya memiliki tiga tujuan, yaitu pengenalan, pengakraban, dan sosialisasi. Karena itu, jangan sampai kegiatan MOS keluar dari tujuan awal, apalagi berpotensi mempermalukan dan menakutkan siswa. Perlu adanya kesadaran diri dari panitia MOS sendiri bahwa kegiatan MOS bukan sebagai ajang balas dendam, tapi sebagai pengenalan siswa baru terhadap lingkungan sekolah yang baru juga, agar kekerasan itu tidak jadi warisan turun temurun. Tindakan tegas dari pihak sekolah juga dibutuhkan jika terjadi pelanggaran yang dilakukan panitia, juga pemantauan orang tua siswa terhadap kinerja MOS sendiri sehingga diharapkan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan

Sunday, May 17, 2009

Menyejahterakan Guru Honorer


Film Laskar Pelangi yang diangkat dari novel inspiratif karya penulis muda Andrea Hirata berhasil menyita perhatian publik. Sejumlah media cetak maupun elektronik mengekpose besar-besaran film yang berlatar belakang pendidikan itu. Belitong dijadikan latar belakang terpinggirkannya pendidikan berhasil menggambarkan potret buram wajah pendidikan di Indonesia.
Ada tiga hal yang dapat kita amati dari film itu, pertama, kurangnya perhatian pemerintah terhadap fasilitas pendidikan, terutama sekolah-sekolah yang ada di pedalaman (desa), sehingga merasa terpinggirkan. Anggaran 20 persen dari pemerintah untuk pendidikan lebih cenderung diorientasikan pada sekolah di perkotaan yang berstatus Negeri (jawa pos, 25 November 2008).
Kedua, mahalnya biaya pendidikan membuat Lintang dkk harus merasakan sekolah yang tidak kondusif; atap bocor, sekolah hampir roboh, dan dinding-dinding berlobang.
Ketiga, perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru honorer (Non-PNS) kurang begitu diperhatikan. Itulah yang melatarbelakangi guru SD Muhammmadiyah banyak yang mengundurkan diri, hingga yang tersisa hanya ibu Muslimah dan pak Harfan, selaku kepala sekolah.
Kurang diperhatikan
Banyak media-media—baik Lokal maupun Nasional—mengekpose potret wajah pendidikan di Indonesia yang masih perlu di benahi dari segala sisi. Seperti yang terjadi di Kediri, catatan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kediri, sedikitnya ada 182 gedung SD, 49 gedung SMP, dan 6 gedung SMA rusak parah. Gedung yang direhabilitasi tahun ini hanya 61 sekolah, disebabkan anggaran yang tersedia terbatas. Beberapa guru yang mengajar diluar bidang keahlian mereka. (Kompas Jatim, 14 Mei 2009) Dan nasib guru honorer yang masih terkatung-katung. Fenomena tersebut menggambarkan betapa rendahnya citra pendidikan kita yang terkikis oleh “materi” sehingga terabaikan.
Menanti nasib
Guru adalah sosok sentral dalam lembaga pendidikan. Kualitas lembaga tidak bisa dipandang dari segi materi; gedung megah, fasilitas lengkap, maupun status sekolah (Negeri atau Swasta). Akan tetapi, out-put (Alumni) lembaga yang akan menjawabnya. Sejauh mana, mereka, setelah lulus, terampil dengan disiplin ilmu yang telah diperoleh selama menempuh jenjang pendidikan.
Kunci utama untuk bisa mewujudkan out-put yang berkualitas adalah tergantung sejauh mana peran seorang guru. Karena ia adalah “kemudi arah pendidikan”. Berkualitas atau tidaknya, tidak lepas dari peran dan fungsi seorang guru dalam melakukan aktivitas pembelajaran.
Namun, pemerintah sampai sekarang masih menganaktirikan antara guru honorer (Non-PNS) atau wiyaya bakti dengan guru Negeri (PNS). Nasib sekitar 922.000 guru honorer di sekolah Negeri atau Swasta masih belum jelas, disebabkan sebagian besar sekolah tidak sanggup menaikkan pendapatan mereka. Sedangkan bantuan dari pemerintah masih terbatas dan tidak merata (Kompas, 14 Mei 2009).
Pada hakikatnya, kedua guru tersebut adalah sama-sama menyandang gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Bedanya, hanya nasib dan lokasinya saja; guru PNS beruntung karena sebagian besar mengajar di sekolah Negeri dan kesejahteraanya sudah dijamin oleh pemerintah, sedangkan guru honorer—selain mempunyai tugas mengajar—yang sebagian besar mengajar di sekolah Swasta masih harus mencari kesejahteraan dari pemerintah. Guru Negeri lebih santai mengajar karena mereka sudah dijamin, sedangkan guru honorer harus jatuh bangun mencari jaminannya yang hilang.
Tidak sedikit dari kisah guru honorer yang terlilit hutang sangat banyak, gaji bulanan yang pas-pasan tidak sanggup “mencukupi” kebutuhan keluarga. Bahkan, ada sebagian mereka yang tidak sanggup melanjutkan pendidikan anaknya sendiri sampai ke Perguruan Tinggi (PT). Sangat ironis sekali, seorang guru yang mempunyai tugas mendidik, tidak sanggup mengantarkan pendidikan anaknya sendiri sampai ke PT.
Banyak guru honorer yang berpuluhan tahun mengabdi di sebuah lembaga pendidikan, tetap nasibnya masih tidak diperhitungkan. Tunjangan profesi guru masih tidak merata. Perlu kiranya pemerintah mempertimbangkan kembali sistematika peningkatan tunjangan profesi guru agar bisa merata, sehingga secara ekonomi cukup menjamin keluarga dan pendidikan anaknya sendiri.
Guru sebagai salah satu unsur utama dalam dunia pendikan, kemudi (driver) arah pendidikan guna meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih baik, haruslah ditangani sungguh-sungguh kesejahteraannya mengingat peran guru yang begitu penting. Mereka perlu mendapatkan penghidupan yang layak. Sebab, kemajuan negara berangkat dari genggamannya.
Cukuplah mereka mendapat gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” tanpa harus mendapat gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Sejahtera”.

Tuesday, April 21, 2009

Celurit

Cerpen Fandrik Ahmad*

Jika ada seorang yang bertanya tentang apa yang diinginkan dalam hidup ini, jawabnya pasti beragam. Namun, dari keberagaman itu, aku yakin senua akan bermuara pada satu titik simpul; kebahagiaan. Tak kecuali aku. Tapi kita hanya bisa menjalani hidup. Tak punya daya kekuatan untuk mengatur hidup.
Hal itu yang menimpa hidupku, kini. Aku mengimpikan kebahagiaan. Keinginan yang diimpikan banyak orang itu seakan tak pernah berpijak dalam hidupanku.
Awalnya, bermula dari Eppak1 terbaring sakit keras. Ia mengidap penyakit diabetes hinggga bobotnya turun 6 kg. Selama enam bulan ia dirawat di rumah sakit. Sebulan yang lalu Eppak—terpaksa—dipulangkan ke rumah. Keluargaku tak sanggup membiayai segala perawatannya. Hutang keluarga sudah sangat banyak, apalagi bunganya terus bertambah.
Di rumah, aku dan Emak2 harus jatuh bangun menghidupi kesehatannya. Setiap hari aku harus berjalan sejauh 2 km untuk membeli obat. Yang satu biji seharga 7.500, tiap hari harus membeli obat itu sebanyak tiga butir. Keadaan seperti ini membuatku dan Emak seringkali berpuasa. Sebenarnya, aku malu pada Tuhan, puasaku bukan murni lahir dari keikhlasan, melainkan keminiman ekonomi.
Suara itu berbisik membangunkanku. Setiap subuh berkumandang. Aku bisa menebak, itu suara Emak di dapur. Menggunakan lampu teplok3 sebagai penerang kesibukannya. Begitulah, listrik di kampungku tidak ada. Sedangkan minyak tanah masih moncer-mampet. Penduduk kampung harus bersusah payah mendapatkan minyak yang terbilang langka di Negeri yang kaya akan tambang minyak ini. Di tengah pagi buta, ia sudah memulai aktivitasnya.
Lampu teplok meliuk-liuk tertiup angin, membuat bayangannya seperti raksasa. Meliuk-liuk seperti penari. Aku selalu membiasakan diri bangun pagi. Kata Ustadz Syafi’i, guru ngajiku, bangun pagi dan berwudhu’ adalah cara mujarab mengaktifkan indra setelah istirahat, terutama otak. Belajar paling efektif adalah saat kepala belum terisi apa-apa, begitulah kata beliau.
Cekatan sekali tangannya mengolah bahan mentah menjadi jajanan pasar yang menarik. Semenjak Eppak sakit, ia bekerja keras, menjual jajanan beraneka macam. Dibawa ke pasar ketika hari senin dan kamis. Itulah pekerjaannya semenjak Eppak sakit keras.
Sakit Eppak semakin parah dan harus dilarikan kerumah sakit lagi. Aku tidak tega melihat beban yang ditanggung Emak. Kuputuskan untuk berhenti sekolah demi membantunya. Memang, ada rasa iba yang amat sangat ketika harus mengakhiri sekolah hanya sampai kelas 2 MTs. Air mataku muntah, jiwaku merintih. Emak terpaksa harus pinjam uang lagi pada Ki Jarot, tengkulak ikan di kampung kami.
“Utang yang bulan lalu belum dibayar, malah mau ngutang lagi,” bentak Ki Jarot ketika aku dan Emak bertandang kerumahnya. Aku tak bisa melupakan kejadian itu. Dalam perjalanan, mata Emak selalu sembab. Apa yang harus aku lakukan?
Pagi itu, datang Junaedi, tunanganku. Ia membawa selembaran uang. Katanya untuk kebutuhan Eppak di rumah sakit.
“Uang ini hasil jual sepeda dan tabunganku.” Ujarnya singkat.
Aku malu pada keluarga Junaedi. Mereka sering membantu keluargaku. aku tak tahu bagaimana harus membalas budi baiknya. Sebulan yang lalu, seluruh hasil panen jagungnya diberikan untuk biaya Eppak.
Junaedi adalah calon suamiku––tepatnya adalah tunanganku. Aku dijodohkan dengannya sejak kecil4. Aku suka kepribadiannya, seorang anak nelayan yang sederhana.
Selang satu minggu di rumah sakit, Eppak menutup mata, kembali keharibaan-Nya. Kami berduka telah kehilangan sosok sangat bijak yang pernah dimiliki keluarga kami. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Emak menjerit sejadinya membuat aku semakin pilu.
Ia meninggal tidak menyisakan sangkolan5. Seluruh harta keluarga kami terkuras habis untuk biaya perawatannya dulu. Bahkan, kini aku dan Emak harus menanggung utang yang kami pinjam dari Ki Jarot.
“Aku kasihan pada Emak, setiap kali bayar hutang, hanya cukup membayar bunga saja. Bahkan bunga itu belum sepenuhnya terbayar,” aku mengadu pada Junaedi, hanya ia yang bisa mengerti perasaanku.
“Aku tahu, sungguh berat tanggungan keluargamu. Sabarlah, aku akan berusaha membantu melunasinya.”
Sebagai tunangannya aku malu, ia seakan sudah menggantikan sosok Eppak-ku, menanggung segala beban keluarga.
Sore itu, menjadi kisah yang sangat memilukan dalam hidupku. Ki Jarot datang kerumah, menuntut hutang yang sudah lima bulan belum dibayar. Ia memberi jangka satu minggu untuk melunasi seluruh hutang Emak tanpa tersisa. Jika tidak, maka aku harus rela dinikahinya, menjadi istri ke empatnya6. Dengan begitu, semua hutang akan dianggap lunas. Itulah ancaman yang ditawarkan jika sampai keluargaku tidak bisa lunas dalam jangka waktu yang ditetapkan.
“Maafkan aku, Jun! Aku telah menodai cintamu,” air mataku jatuh berurai.
“Maksudmu?” Junaedi tak mengerti.
“Kamu tahu kan, seberapa banyak hutang keluargaku pada Ki Jarot? Beberapa hari yang lalu, ia datang ke rumah menagih hutang itu kembali. Ia memberi jangka waktu seminggu. Jika tidak, aku harus menjadi istri ketiganya."
“Lantas, kamu menuruti kemauannya begitu saja?” Mimik wajahnya tiba-tiba berubah. Seakan tak percaya…
“Emak diseret-seret begitu saja di depan mataku sendiri. Apa aku tega? Tidak! Lebih baik aku menjadi istrinya dari pada melihat Emak diperlakukan sewenang-wenang oleh anak buahnya, tapi bagaimana denganmu?” terasa air mataku mengalir semakin deras di pangkuan Junaedi––tunanganku.
Sejenak, hening tiba-tiba merayap seperti ular. merajai kegalauan kami saat itu. tak ada sepatah katapun yang terucap.
“Sekarang, aku akan ucapkan salam perpisahan padamu. Semoga kau dapat pengganti yang lebih baik dariku. Karena besok, aku akan menikah dengannya.” Sakit sekali meninggalkannya terpaku sendiri menatap deburan kecemasan ombak kecil, melihat air matanya keluar tanpa tumpah. Tatapannya kosong saat langkahku semakin menjauh.
Aku tahu, apa yang harus aku perbuat; menjaga nama baik keluarga, menjaga harga diri, menjaga Emak yang selalu disakiti, dan itu merupakan amanat dari Eppak untuk menjaganya. Hidup memang terlalu liar untuk ditinggalkan dan terlalu jahat untuk dijalani.
Malam yang indah bertabur bintang-gemintang. Melati-melati itu sudah ditabur di halaman, membawa aroma bunga surga. Namun, di kamar aku menangis sendiri menatap diriku di cermin yang sudah berhias melati. Sebentar lagi bunga itu akan layu seumur hidup.
“Sudah siap, Nduk?” Dari cermin, kupandangi wajah Emak yang sedikit keriput. Matanya sembab. Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya ketika air mata menghujani gaun pengantinku. Aku jatuh dipelukannya. Kepasrahan adalah jalan terakhirku.
“Ki Jarot, keluar kau!” tiba-tiba ada suara lantang dari luar mengagetkan kami.
Oh…tidak. Bukankah itu suara Junaedi, kekasihku.
Aku melangkah keluar kamar, dan benar! Itu suara Junaedi yang terlihat angkuh dengan memakai celana hitam, kaos putih, dan sarung yang diikat di pingangnya, serta tangan kanannya mengacungkan celurit ke wajah Ki Jarot.
“Hai, bocah, ikan teri, bosan hidup ya?” Di tengah kumpulan para anak buahnya, Ki Jarot berdiri di atas kesombongannya. Aku cemas, semoga saja tak terjadi apa-apa dengan dia.
“Aku ingin membuat perhitungan denganmu, Lintah Darat!” suara kekasihku begitu lantang. Membuat dadaku semakin kalut.
“Apa? Anak bau kencur sepertimu ingin buat perhitungan. Emangnya mau belajar Matematika?” tawanya pecah, lantas diikuti oleh semua anak buahnya.
“Katembheng pote mata, bengo’ pote tolang.7” Sesumbar Junaedi.
Hanya dengan mengangkat kedua tangan Ki Jarot, seluruh anak buahnya telah mengepung Junaedi. Memang, ia didikan alam liar, dan kini telah menunjukkan sifat keliarannya.
Malam itu menjadi persaksian manusia yang disulut emosi. Celurit berayun-ayun tak tentu arah memamerkan kilatan singkat. Diselingi teriakan-teriakan lantang. Melati-melati itu terinjak kaki yang liar, yang nampak hanya sekelebatan bayangan nafsu manusia yang hampir tuntas. Aku menititkkan airmata dan menjerit sejadi-jadinya dipelukan Emak.
“Mati kau, bocah!!!”
“Tidak…!" Teriakku lantang.
Hidupku hancur berkeping-keping saat ujung celurit itu menggores bagian perut kiri Junaedi. Darah pun tumpah. Mereka tak segan-segan membacok inci demi inci kulitnya.
Seperti angin yang membawa kabar duka, seperti itu pula aku terbang mendekatinya. Aku menyentuh luka yang menganga di perutnya, berusaha merapatkan kembali kulit yang usus-ususnya hampir keluar. Aku meraih celurit yang masih lekat genggamannya. Tawaku pecah, aku merasa celurit itu adalah maskawin yang akan diberikan Junaedi bila saatnya nanti. Saat melati itu bermekaran kembali. Segera kukalungkan celurit itu di leherku dan menekannya kuat-kuat.
Lalu, tiba-tiba Junaedi datang kembali dengan senyum merekah. Mengalungkan melati di leherku.
Annuqayah, 2009

Keterangan:
1. Sebutan Ayah bagi orang Madura
2. Sebutan Ibu bagi orang Madura.
3. Lampu yang terbuat dari kaleng bekas dengan bahan bakar minyak tanah
4. Biasanya tradisi di desa selalu menjodohkan anaknya sejak kecil
5. Warisan
6. Kebanyakan juragan di Madura beristri lebih dari satu
7. Dari pada putih mata lebih baik putih tulang
*) cerpenis, tinggal di Madura


Dinobatkan sebagai juara II LKT Cerpen se-Madura
Dalam rangka memperingati Hari Ibu
Yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) STIK Annuqayah

Sunday, April 12, 2009

Bunga Pantura


Datang ke laut pantura akan menghidupkan aku kembali. Pantura seakan Memberiku nafas baru. Meski terasa agak menyesakkan. Saat angan yang aku lemparkan sejauh 500 mil kemasa lalu menembus indahnya bunga pantura bermekaran. Saat itulah aku mememukan dewi bunga pantura. Menemukan kehidupan pantura yang sesungguhnya.
Masih terbayang saat aroma-aroma menebarkan keindahan, saat bunga bermekaran di sana. Yang ketika ditiup angin bagaikan penari di istana dewa erros.
Dalam hati ini masih mengenang bunga itu. Meski sudah pergi bersama saudagar kaya dan para bajak lautnya. Entah, aku tidak tahu kemana perahu itu berlayar. Pastinya keadaan pantura sepeninggalnya tak lagi indah sepeti dulu. Ombak sering mengamuk menuntut bunga pantura untuk segera kembali. Aku juga tidak tahu akankah perjalanan bunga pantura akan terus bersama ombak yang tenang atau disambut gelombang ombak besar. Itulah yang aku cemaskan, wahai bunga pantura!.
Wahai bunga pantura!.tidakkah hatimu tiada resah. Saat kau meninggalkan pantaimu yang seharusnya kau jaga bersama para nelayan. Tidakkah kau mendengar resahan ombak yang menjemputmu atau kau sudah menjadi bidadari dengan harta yang melimpah itu. Sungguh kau tak tahu diri.
Awan diatas pantura kini semakin meresah. Mendung berganti hujan, gerimis datang. Tak begitu deras, tapi cukup membasahi tanah.
Anak-anak nelayan itu tetap bermain bersama ikan-ikan. Tak peduli dengan kondisi pantura yang menangis. .Mereka seakan tak punya rumah untuk bernaung. Tak punya telinga untuk mendengar orang tuannya yang memerintah untuk pulang. Ya! seperti saat kita dulu, yang apabila sudah bercumbu dengan bunga pantura,bermain dengan ikan, dan melangkah bersama ombak, kita lupa pulang.
Dingin merasuk tulang. Angin memberi belaian meresahkan, gerimis semakin menangis. Anak-anak nelayan itu tetap bermain bersama anak ikan. Aku tak melihat sedikitpun kesedihan ataupun ketakutan dimatanya. Tak seperti aku yang berderai air mata menatap alam pantura yang sangat jauh beda dari sebelum kau tingalkan..
Ohhh bunga pantura.
Aku menerawang dua mil lebih jauh lagi. 502 mil menembus resah dan gelisah si bunga pantura.
“Anakku pergilah bersamanya. Pantura akan tetap indah tanpa bunga-bunga itu.”
“Tidak ibu. Aku akan tetap disini. Menghias panturaku”
Ungkapanmu begitu mantap sehingga tiada keraguan dibenakku untuk berpikir kau akan meninggalkan pantai pantura.
“Kau, jangan membantah. Pergi!”
Saat itulah derai matamu mengiringi layunya bunga pantura. Kau terpaksa melawan kehendakmu sendiri. Kau tak bisa membantah kehendak orang tuamu. mata Mereka telah tertutupiu oleh gelinag harta saudagar kaya.
Bentakan ibumu lebih tegar dari pendirianmu, kau pergi juga. Aku tak menyangka kau akan meninggalkan janjimu begitu saja.
Pantura terus diselimuti hujan kegelisahan. Ombak laut semakin menjadi. Hujan semakin deras disertai badai yang mengiring. Angin topan berhembus dahsyat menjungkalkan beberapa pohon kelapa. Tahukah kau apa yang mereka tuntut? Kembalilah.
Annuqayah,2009

Luka Berlumpur

Cerpen;Fandrik Hs Putra*

“Suatu saat kau akan betemu dengan seorang lelaki yang akan selalu membahagiakanmu. Entah kapan dan dimana, itu hanya tinggal menunggu jawaban dari waktu. Yang jelas nantinya kau akan menjemput kebahagiaan itu”.
Aku terpaksa memuntahkan kata-kata itu manakala yang aku lihat hujan september telah menjamah dan membasahi kelopak matamu yang begitu bening. Meskipun pada nyatanya, sungguh aku takkan mungkin berucap demikian. Karena hatiku berkata lain. Seharusnya yang aku ucapkan adalah “jaga dirimu baik-baik, jangan lupakan aku ” atau setidaknya “ hati-hati di sana”.
Ada rasa kebisuan akibat perpisahan kali ini. Ada rasa yang tak bisa kau utarakan. Tersumbat oleh takdir Tuhan. Begitu pula dengan diri yang dirasa tidak memahami apa yang ada di depanku sekarang.
Aku terpaksa membohongi diri sendiri. Karena aku tak ingin membebani kepergianmu. Aku tak ingin menjadi duri di bawah indah mekarnya bunga mawar. Seandainya boleh aku bungkam, aku tak akan berucap sepatah katapun. Akan aku biarkan kesunyian melepasmu. Ya! Hanya kesunyian, tanpa tangis.
Namun aku masih punya perasaan yang tak bisa menyimpan segala memori hidup sendirian. Aku butuh sandaran, butuh seseorang untuk meluapkan apa yang aku rasa. Aku butuh bicara. Butuh kata sebagai wajah dari perasaanku. Begitu pula dengan dirimu, aku takut kau tidak bisa membaca kediamanku. Justru yang aku takuti kau akan salah menafsiri. jadinya aku yang salah.
Hidup memang tak selamanya berjalan dengan apa yang kita inginkan. Kita hanya bisa merencanakan, tidak bisa mementukan. Karena kita bukan Tuhan. Terkadang Tuhan membenturkan kita dengan sketsa hidup yang telah kita lukis sebelumnya. Ya! Seperti yang terjadi pada cinta kita. Jelas ini bukan sketsa yang kita buat dan kita inginkan. Bahkan jauh dari pandangan.
Bukannya aku takut kehilangan dirimu, aku takut kehilangan cintamu. Bagiku, kehilangan cintamu tak ubahnya hati ini yang menjadi batu. Beku. Semoga cinta yang kau tinggalkan tidak akan menjadi jamur yang akan menjamuri seluruh jiwaku dan hidupnya akan sesaat.
Aku masih tetap membayangkan kepergianmu. Aku sudah mencoba menghempaskan hantu-hantu pilu yang selalu bergentayangan di hati dan di dalama batok kepalaku. Meski mulut ini menyatakan bersedia mengantar kepergianmu. Itu hannya sebatas kebohongan yang di dorong oleh kepasrahan. Sungguh!, lidah tak bisa mewakili isi hati.
Pada nyatanya kita sama-sama baru lulus dari SMA, bagiku cinta ini bukanlah cinta Anak Baru Gede (ABG) atau cinta monyet yang bisa hilanga kapan saja. Cinta ini murni dari tali kasih kita sejak kita masih anak ingusan. Yang selalu bersama bermain petak umpet Atau bermain dalam tragedi perang. Masih ingat dalam benakku ketika aku tertembak. Kau datang sebagai dokter dan mengobati lukaku yang tergoresi oleh kawat jemuran di samping rumah. Kau begitu telaten mengobati lukaku. Kau tersenyum ketika aku meringis kesakitan. Pelan pelan tangan lembutmu memebalut lukaku. Aku ingat itu.
Aku tak tahan lagi memandang raut wajahmu yang semakin kelam tertutup kepedihan. Apalagi kau semakin menjadi megalirkan bulir-bulir air mata kristalmu. Senja yang begitu indah kali ini berubah pekat. Sepekat hatiku-mungkin juga hatimu. Sebentar lagi awan menjelma mendung dan berganti hujan.
Betapa sulit melepas cinta yang telah mekar jauh sebelum bunga kasturi bermekaran. Cinta yang terbina sekian tahun, harus pupus oleh badai sehari. Ada getar hebat dari bibir yang biasa kau berikan padaku untuk aku lumat di senja hari. Bergetar tanpa suara, tanpa kata. Aku diam. Aku di kalahkan waktu. Tak berdaya di hadapkan pada jurang perpisahan. Sungguh kali ini sangat sulit menerima kenyataan.
Disini kau sudah tidak mempunyai siapa-siapa. Keluargamu semua kau bawa pergi juga. Tinggal aku disini dan juga pohon asam ini, tempat bermain kita sejak kecil. Tempat bernaung dari panas dan hujan. Tempat pelarian kita saat kemauan tak dituruti oleh kedua orang tua. Di salah satu rantingnya terdapat pahatan pisau bertulis namaku dan namamu. Aku melinglari dengan bentuk hati. Aku harap pahatan itu nantinya akan menjadi bukti bahwa selama ini aku benar-benar sungguh mencintaimu.
Annuqayah,2009

Sirine

Cerpen; Fandrik Hs Putra*
Pagi terasa bising. Tak seperti biasanya aku bangun pagi seburuk ini. jendela kamar memang sengaja tak ditutup agar pendar cahaya matahari pagi lebih leluasa masuk tanpa harus permisi lebih dulu kepada mimpi. Tak ada bunyi ceracau burung pagi yang setiap hari selalu menyambut hari-hariku dengan ceria. Entah, apa yang terjadi kali ini. Seakan burung-burung itu kini lari menjauhiku. Menjauhi kehidupanku. Ceracaunya itu tiada, akupun juga gelisah.
Aku harus memulai hari ini tanpa sambutan burung-burung itu. Sunyi memang. Tapi aku tak harus mengatupkan mataku kembali di pagi yang cerah ini. masih ada matahari dan hembusan angin pagi yang akan membelaiku layaknya sang kekasih pujaan. seperti Melati di ujung cinta Sang Erros.
Ada yang tidak biasa kali ini aku dengar. Sepertinya di luar ada hujan yang sangat lebat sekali. Tapi rintikan itu membutku hanya mendengus kesal. Suara itu tak lebih dari bisingan yang terus membelah batok kepalaku hingga aku benci mendengarnya.
Apakah hujan mampir saat musim kemarau? atau ada hal lain sehingga hujan tidak bisa menunda waktunya untuk menyiram bumi? Rasanya tidak mungkin. Aku hanya berputar-putar di dalam opiniku saja. Kedua telingaku seperti mau pecah. Suaranya bagiku lebih parah dari bunyi senso.
Setelah aku keluar dari kamar, ternyata suara itu bukan suara rintik hujan, melainkan suara rintik air mata yang menghujani seluruh isi rumah. Membanjiri seisi rumahku. Sulit aku tebak apa yang telah terjadi di pagi hari ini. Mereka seharusnya menyambut pagi dengan senyuman. Bukan seperti yang aku lihat ini. Tangis dan ratapan bukan bukan sambutan yang menyenangkan.
Aku semakin tak mengerti dengan apa yang terjadi disekitarku. Bibi, mami, tante, paman, semua memuncratkan air mata. Hanya aku yang tak memuntahkan air mata suci itu. Semua hitam dengan mata yang begitu sembab. Ada kepiluan di hati mereka, meski aku belum bisa menjamah dan menafsiri apa yang sebenarnya mereka tangisi.
Aku tak berkutik manakala semuanya menghampiri dan memelukku sangat erat sekali. Sebelumnya aku kira mereka sengaja menyambut kedatanganku yang baru datang dari negeri mimpi. Ternyata aku salah. Mereka memelukku seperti segerombolan semut yang menemukan gula. Menumpahkan air mata kepadaku. Aku kesal aku benci sekali dengan orang yang menangis. Bagiku, tindakan menangis itu hanya berlaku pada orang yang cengeng. Sungguh aku benci!.
Suara sirine mengaung-ngaung di depan rumah. Semua orang yang mengerumuniku satu persatu lepas dan berlarian menuju suara itu. Ada suara sirine?. Aku suka suara sirine. Bagiku itu adalah musik instrumen yang lebih bagus dari instrumennya Kitaro. Aku juga berjalan menuju datangnya suara itu.
Tak lama kemudian suara sirine tak lagi meraung. Aku kecewa. Padahal aku ingin mendengar lebih lama lagi. Akan aku liukkan kepala dan pinggulku untuk mengiringi alunan suara sirine itu dengan berbagai gaya yang aku miliki.
Dari luar, orang-orang sibuk menggotong sesuatu yang aku tidak tahu entah apa isi di dalammya. Panjang. Seperti panjangnya orang dewasa. Kedatangan benda itu selalu diiringi dengan riak tangis. Yang aku benci mendengarnya.
Aku baru ingat, biasanya setelah aku disambut suara kicauan burung. Berganti suara klakson ayah yang memanggilku bertalu-talu. Yang akan mengantarkanku pergi ke sekolah dan ayah pergi ke tempat kerjanya. Kenapa hari itu suara klakson ayah tidak menyambut kedatangannku? Aku mencari ayah di tengah kerumunan orang-orang yang berbaju serba hitam itu. Aku cari di setiap ruangan. Tidak ada. Yang aku temui hanya tangis dan tangis.
Aku berhambur keluar rumah. Tentu saja tetap mencari ayah. Di samping rumah. Di belakang rumah juga tak aku temukan. Aku mencoba bertanya pada kakek tua yang menatapku heran.
“Apa kakek melihat ayah.”
“Bocah, kau mencari ayahmu?”
“Ya!”
“Barusan ia mangkat”
Kakek itu diam. Ia menoleh ke samping, tepatnya pada sepeda motor ayah. Lho… kenapa sepeda motor ayah penyok.
“Sepeda motornya tak dibawa?”
Kakek tak menggubris pertanyaanku. Ia hanya menatap heran.
Annuqayah, 2009

*Fandrik HS Putra, lahir di jember, 29 juli 1990. pelajar sekaligus santri di PP. Annuqayah lubangsa. Aktif di Komunitas Cinta Nulis (KCN) Sastra Annuqayah, juga bergiat di KOMPAS (Komunitas Pecinta Sastra). Karyanya pernah dimuat diberbagai Media Lokal, Majala Permai, Buletin “Ideal” , dan Antologi Cerpen bersama: Selembar Sutera Kenangan (Maret, 2008) serta Lembaran Yang Hilang (maret, 2009) Alamat: Jl. Makam Pahlawan No.02 PP. Annuqayah Daerah Lubangsa Blok C/11 Guluk-Guluk, Sumenep, Madura .69463 Telp: (0328)821336/(0328)823341. Email: ranting.cahaya@gmail.com

APAKAH AKU PLAY BOY…?

Telah lama aku mencari seorang gadis yang seia sekata tuk jadi bidadari hidupku. Tapi, sampai sekarang belum ada satupun yang melekat di hatiku. Akibat kebiasaanku yang bergonta ganti pasamgan, aku tidak luput dari sebutan” cowok play Telah lama aku mencari seorang gadis yang seia sekata tuk jadi bidadari hidupku. boy”.Bayangkan, sejak aku duduk di sma saja sampai sekarang, aku sendiri tidak dapat menghitung seberapa banyak gadis-gadis yang telah menjadi tumbal cintaku. Tapi, perlu di garis bawahi bahwa sebenarnya aku benar-benar tidak bermaksud untuk memainkan perasaan seseorang .
Pagi hari yang cerah. Cakrawala yang biru. Aku di dalam kamar yang masih sibuk dan bersenggama di atas kasur dengan selimut dan bantal gulung. Mata terlelap seakan tak bisa di buka lagi. Entah mengapa hari ini aku malas untuk masuk kuliah. Tapi tidak mungkin hari ini untuk tidak masuk. Karena sekarang aku harus menyetor tugas makalah tentang filsafat modern untuk memenuhi syarat-syarat mengikuti tes ujian akhir semester v.Akhirnya akupun memaksakannya juga .
UNEJ(Uneversitas negri jember) agak jauh dari rumahku. Setiap harinya aku biasanya membawa sepeda motor sendiri. Karena sekarang sepeda motorku masih dalam perbaikan, aku memilih naik bus saja. Halte bus memang tidak jauh dari rumahku,sekitar 50 meter.Sampai disana aku lihat tidak banyak penumpang yang meunggu hanya satu, dua orang saja. Aku duduk di sampingnya iseng-iseng aku mengeluarkan”plays disc” dari saku ku yang selalu ku bawa di mana saja berada. Sungguh sepi hari ini. Sudah 10 menit aku duduk manis,tapi tak satupun bus yang lewat. Tiba-tiba ada seseorang yang memangggilku dari belakang.
“Maaf mas! Boleh nanya, bus yang lewat di UNEJ jam berapa?”
Aku terkejut. Ketika aku menoleh ke belakang. Aduhai! Bidadari telah berdiri di belakangku. Aku tidak langsung merespon jawabannya, malah tercengang melihat wajahnya yang seakan-akan mempunyai kekuatan magic yang bisa membuat para lelaki terpesona.
“Ada apa mas! Kok cara pandang mas gitu! Adayang aneh”.
Aku sadar dan spontan menjawabnya “tunggu sebentar nanti juga datang”
“Terima kasih atas informasinya”
“Sebenarnya mbak mau kemana”
“Aku mahasiswa baru di sana. Namaku vita pindahan dari UIN Malang. Aku terpaksa pindah karena sekarang Ayahku jadi Dosen tetap di sini. Jadi untuk lebih efisien aku sekeluarga pindah saja.” Paparnya sehingga aku tidak perlu panjang lebar bertanya tentangnya. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
“ kalau nama Emas?”
“Aku juga mahasiswa di dana. Sekarang masih semester V jurusan Bahasa dan Filsafat. Namaku Adit. Rumahku tidak jauh dari sini. Jika ada sesuatu masalah pergilah berkunjung ke rumahku” Paparku juga.
“Salam kenal “ Sambungku sambil menjlurkan tangan kananku dan ia merespon positif juluran tanganku.
“Salam kenal juga “
Belum saja sempat melepaskan jabatan tanganku dengannya Bus datang. Bunyi klakson mengagetkan aku dengannya
“Nah! Itu sudah datang” Aku menunjukkan Bus yang sedang menuju kemari. Sesudah sampai aku dan penumpang lainnya langsung naik. Ternyata tidak terlalu banyak penumpang di dalamnya jadi aku bisa memilih tempat duduk yang aku sukai. Aku memilih duduk di samping gadis itu. Saling tukar pikiran, pengalaman dan lain-lain. Sehingga tak terasa Bus yang kami tumpangi telah sampai di ambang pintu kampus.
***
lima hari terhitung sudah aku tidak membawa sepeda motor sendiri. Sekarang aku tidak lagi naik Bus karena sepeda motorku yang dulunya rusak kini telah diperbaiki. Malam harinya aku dan sekeluarga duduk di ruang santai sambil menonton televisei. Di sana bercanda ria tapi semua jadi serius setelah Ayah mengatakan …
“Did, bagaimana dengan kuliahmu?”
“Baik-baik saja Ayah. No problem!”
“Did, kamu kan sekarang semester lima, kurasa kamu sekarang harus mencari pasanganmu. Bagaimana?”
Aku terkejut ketika Ayah mengucapkan kata-kata terakhirnya. Pembicaraan yang semula tawa dan canda sekarang berubah total seperti rapat besar-besaran.
“Did, aku harap kau secepatnya menemukan pasanganmu”
“Tapi Ayah jangan memaksaku untuk secepatnya”
“Ayah terserah kamu. Yang penting sebelum kau selesai kuliah kamu harus punya tunangan”
“Baik, yah! Akan aku usahakan”
“Did, ada lagi! Besok Ayah, Ibu semuanya mau pergi ke rumah pamanmu. Jika kamu besok tidak ada kuliah, pamanmu berharap sekali kamu ikut Ayah ke rumahnya”
karena besok selama dua hari tidak ada kuliah maka aku menyetujuinya. Pagi-pagi sekali aku dan keluargaku siap-siap untuk pergi ke rumah paman. Sampai di sana suasana gembira penuh tawa menghiasi rumah yang sederhana tersebut.
Pukul 05.00 WIB di rumah paman aku bangun, shalat subuh kemudian aku pergi ke luar halaman. Lembutnya pagi menyapa relung-relung kehidupan. Tetesan embun surga bumi memberi kesegeran yang seakan-akan memberikan kehidupan sejati meskipun kenyataannya tak ada yang abadi di alam ini. Letupan kicauan burung-burung berkonvoi menyambut indahnya pagi. Perlahan namun pasti sang surya mengintip dari timur dengan sinarnya yang masih remang-remang. Belaian angin pagi memberikan kesegaran tersendiri walau sebenarnya manusia agak jenuh untuk keluar. Dari lorong jauh terdengar sayup dan lirih orang-orang menyebut Ilahi di Masjid-Masjid dan Suarau-Surau. Hening suara itu syahdu menusuk gendang-gendang telinga penduduk sekitar. Sehingga,hatiku tersentuh bekeinginan untuk berjalan-jalan disekitar desa paman.Aku melangkahkan kaki pertamaku.saking asiknya berjalan-jalan, tak terasa aku berjalan agak jauh. Beberapa sata kenudian aku sampai di depan rumah yang agak megah,mungkin rumah itu adalah rumah yang termegah yang pernah aku lihat di kampung tersebut. Aku perhatikan,kemudian dari belakang rumah seorang gadis keluar membawa keranjang bunga. Mungkin gadis itu memetik beberapa bunga yang ada di samping rumahnya. Aku mendekati pintu gerbang rumahnya,dan hanya bisa melotot melihat paras cantik yang ia miliki ditambah hiasan jilbab putih yang ia kenakan membuat aku merasakan getaran-getaran cinta. Aku rasa ia gadis yang tercantik yang pernah aku temui.
“Inilah bidadariku “ gumam ku,
ba’da shalat isya’ kami sekeluarga berkumpul-kumpul melepaskan rasa rindu yang lama belum di jamahi.rumah yang sederhana itu seakan-akan lebihindaah dari gedung putih Washington.tawa dan canda menjadi pokok utama keceriaan antara mereka
“Dit...kemari !”
“ya…paman tunggu ! ada apa ?”
“begini,ayahmu bilang kepadaku bahwa dia ingin mempunyai menantu,jadi ayahmu memintaku untuk mencari pasanganmu disini mungkin adayang cocok untukmu”paparnya setengah kaget
“Tapi paman!”
“Tunggu dulu jika pilihan paman tidak ada yang kau sukai itu kehendakmu,mau menolak atau tidak”.
Aku bingung. Sesungguhnya aku tidak ingin cepat-cepat bertunangan tapi karena orangtuaku…!.tiba-tiba aku teringat pada gadis yang pernah aku lihat tadi pagi. Mungkin dia satu-satunya dikampung ini tang bisa menjadi tunanganku. Dengan agak malu …!
“paman, tadi pagi tanpa sepengetahuan paman, aku berjalan-jalan di sekitar sini tanpa terasa aku berjalan agak jauh, dan di dekat tikungan aku melihat sebuah rumah besar yang didalamnya ada seorang gadis. Kalau boleh tau, siapa dia paman” tuturku setengah berbisik.
Paman hanya tersenyum tipis dan menganguk-angguk kepalanya. Hanya menambah rasa maluku saja.
“dia elisa.Anak bapak kades.Dia juga kuliah sambil mondok di PP An-nuqayah Guluk-guluk sumenep.Setahu paman dia semester 4di STIK{SekolahTinggi Ilmu Keislaman}An-nuqayah .Empat hari yang lalu pulang karena sakit”tuturnya. Aku hanya menganggu-anggukkan kepala
“Kenapa?Kamu suka?”
“Entahlah paman ketika aku melihatnya.Perasaanku dialah yang akan menjadi pendampingku.”
“Jadi kamu menginginkannya?”
Aku hanya menundukkan kepala.Menahan rasa maluku.Mukaku memerah seakan baru di panggang diatas api .Diam.
“Orang bilang kalau tidak menjawab ,berarti itu sebagai perwakilan tanda setuju.”
“Paman ada-ada saja…!”
***
BRAMM…..!
“hai vit,lagi nunggu bus nich!”
“Iya nich dari tadi gak datang-datang”Kesal…!
“Kalau gitu ikut aku saja…!”
“Motor baru nich “
Enggak sich ini motor lamaku.Yang selalu aku bawa setiap kuliah!Ayo!”
“Ah tidak ah…!”
“Kenapa?”
“Aku nggak enak sama kamu ,nanti ketahuan pacarmu lagi!”
“Vit,sureaku nggak punya pacar di kampus,gimana !Ayo dong please…!
“oke dech…!”
Mungkinkah benar aku adalah cowok play boys?Sejak aku dekat dengan vita.Diam-diam aku menyimpan getar-getar cinta padanya.Tapi,aku tidak bisa mengela bahwa aku juga mencintai elisa. Kini hati ku terpaut oleh dua orang gadis.Seandainya aku di takdirkan untuk memilih diantara keduanya.Mungkin aku tidak bisa memilih antara vita dan elisa.

Rumah kardus

HUJAN kembali tumpah. Monas itu kembali basah. Jakarta menggigil.. Air bah menutupi jalan-jalan akses kota. Meluber. Meluap. Matahari tak punya waktu luang untuk bercengkrama dengan alam. Tak sempat mengucapkan "selamat pagi", atau dekedar mengecup kening bumi. Mungkinkah sibuk? hingga ia melupakan tugasnya, menerangi alam. Atau awan telah membekukan cahayanya? Semua bungkam. Diam. Kota yang mati.
Jerit gedung pencakar langit meyesakkan dada. Pilu. Deras hujan menyakitkan. Begitu pula suara rintik yang jatuh di atas atap perumahan, pertokoan dan perkantoran mengundang gelisah. Seperti tak akan nampak lagi kehidupan di kota itu. Seakan hanya tinggal sejarah. Sejarah kota mati. Ringisan menjadi neraka sunyi. Petir menyambut dengan senang. Kilat mencekam. Genangan air memalung dari lembah-lembah jalan beraspal yang rusak.
Air itu muntah, meluber dari gorong-gorong. Sampah-sampah semakin menutup tenggorokan kota. Menumpuk. Sesak, terbawa arus deras. Kebiasaan yang tak semestinya dilakukan. Harus menjadi korban. Tangan-tangan syetan. Budak-budak mesin. Membuang sampah sembarangan. Ulah manusia sendiri.
Aku duduk mnyendiri didepan toko bercat kuning. Toko Barokah, namanya. Sepi, seperti berada di penjara pengasingan. Sangat sepi.
Toko itu tutup. Sebagian besar pusat jual-beli di kota itu semuanya tutup. Tak ada yang berani buka. Pemiliknya merasa jenuh, enggan membuka toko, mengingat derasnya hujan, menebarkan kesunyian dan kegelisahan. Seringkali terjadi banjir akibat luapan dari sungai Kali Unggas. Mustahil ada pengunjung datang, begitulah anggapan mereka. Paling tidak, pasti hanya bocah-bocah jalanan yang selalu ramai dan senang bermain, bermandikan air kotor. Itulah lingkungan mereka. Saling mengejar, bermain petak umpet di emperan pertokoan. Hanya bocah itu yang tawanya pecah, melawan deras hujan dan gelegar petir. Sungguh hujan yang membosankan..
Aku duduk beralas sandal jepit kumal. Ya! Satu-satunya alat yang aku miliki untuk melindungi kaki bajaku dari perjalanan yang terjal ketika menjelajah sudut-sudut kota. Mencari sisa rejeki Tuhan. Di antara tempat bertuliskan ‘TEMPAT SAMPAH’.
”Jika bermalasan, tidak cakatan, maka bersiaplah mati diujung tangan sendiri. Siapa yang cepat, dia yang dapat.” Kalimat yang pernah dilontarkan ibu padaku. Kalimat itu menjadi prinsip yang di hamburkan oleh segolongan kami. Segolongan cacing tanah yang meliuk-liuk seperti penari ronggeng.
"Sudah untung lelaki sepertimu tidak jadi preman, pencopet atau pekerjaan lain yang menjijikkan menurut ajaran agama kita." Kata paman ketika meleraiku datang ketempat ini.
Hari ini, hujan menjadi saksi. Benar, apabila Jakarta disebut dengan kota surga oleh bapak saat mendukung kepergianku, karena di sana, segala kebutuhan akan terpenuhi. Namun, ada yang melenceng dari yang dikatakannya. Yang disebut kota surga itu bukan untuk semuanya. Hanya orang ‘beruang’—aku tak tahu arti kata beruang, aku tahu hanya nama binatang—yang bisa memiliki segalanya. bahkan membeli harga diri.
Dan, tidak salah juga jika kota itu disebut kota neraka, seperti dikatakan ibuku yang berusaha melerai untuk pergi. Karena di sana menjadi kuburan bagi yang kalah dalam persaingan, terutama seperti orang-orang yang tak jelas, hanya niat mengadu nasib, tanpa ijazah menjanjikan. Hingga terjerumus pada pekerjaan hina-dina.
Berbaju dekil dan celana sebatas diatas mata kaki, bagian tumit itu bolong, serta topi jerami Cowboy, sebagian sudah rusak, bertahta di kepalaku. Semua itu tak mampu menghadirkan kehangatan dan melindungi tubuh kurus berwarna hitam dari dingin. Aku mendekap, menahan dingin yang menusuk tulang-belulang. Sekilas aku pandang keranjang besar itu, yang selalu kupanggul menelusuri pasar Senen. Keranjang yang terbuat dari anyaman bambu, tempat barang bekas yang bisa didaur ulang. Disampingnya bersandar sebatang kawat besi panjang. Ujungnya runcing, seperti Celurit, pusaka orang Madura.
Aku mendesah, melihat keranjang itu hanya berisi lima gelas AQUA, dua kaleng Susu dan satu botol Coca-Cola. Tidak mungkin meneruskan pekerjaan ini. Dingin telah menggerogoti tenagaku, Keranjangku basah, apalagi hujan semakin marah, seperti ingin melemparkan langit.
Sekilas, petir itu menggambarkan wajah tirus ibu.
“Kamu yakin?” Wajah perempuan lanjut usia terbayang jelas. Aku berkaca dari cermin wajahnya yang mulai melepuh. Seorang ibu yang tidakrela melepask buah hatinya pergi merantau.
“Bu, yakinlah. Doa ibu akan menuntunku di sana, “ ucapku lirih. Aku harus mendapatkan restu ibu, agar keberangkatanku tidahk akan menjadi dan tanpa beban.
“Kata, Teteh Rahma, di sana itu kejam,” Ibu belum yakin dengan pendirian dan tekadku waktu dulu.
“Dengan lembaran akhir SMA ini, Aku ingin berjuang di sana. Kota yang disebut kejam itu akan aku taklukkan.”
“Jangan paksa dirimu!”
“Aku tidak ingin ibu menjadi kepala dan ibu rumah tangga sejak bapak terbaring kaku di atas ranjang. Aku tak tega melihat Ibu naik-turun gunung hanya demi mengepulkan dapur.”
“Tak usah pikirkan itu,” air mata ibu hampir tumpah.
“Benar, hanya Aku tak ingin adik-adikku diolok-olok oleh mereka.”
“Nak! Tuhan maha tau terhadap hamba-nya. Dia maha adil. Kita berkumpul seperti ini sudah kenikmatan yang sangat besar, hanya kita tak menyadari. Jangan terlalu rakus terhadap dunia. Dunia ini luas, tidak seperti kandang ayam dibelakang rumah kita.”
“Tapi, apakah kita harus diam? Mematung dengan keadaan seperti ini? Bu aku ingin jadi anak yang baik. Aku ingin membuat Ibu bahagia.”
“Ibu sudah bahagia dengan keadaan seperti ini. Cukup. Hanya ini.”
“Tidak denganku. Aku belum cukup mampu menerima ini semua. Menerima ejekan ki Bandol yang menyebut kita tidak mampu melunasi hutang.”
"Kenyataannya!"
Aku memegang erat kedua tangannya yang sudah rapuh. Tangan itu masih lembut dari tangan Srikandi. Aku berusaha meyakinkan Ibu agar tak ada setitik pun kecemasan di hatinya.
”Juga demi impian ibu. Bukankah Ibu ingin ke tanah suci?”
“Lupakan! Lupakan bila harus kehilanganmu.”
“Bu, yakinlah! Aku 'kan kembali ke pangkuan Ibu.”
”Berat sekali melepasmu! Nak.”
Air mataku tak dapat dibendung lagi. Bendugan itu ambruk oleh perasaan sedih seorang Ibu. Ingin aku meneriakkan kepada semesta tentang kesakitan hati ini. Namun, aku hanya bisa memeluk ibu, seerat mungkin, mengusap mutiara kasih ibu yang mengalir.
Pelukan terakhir Ibu berkelebat di kepala. Pelukan yang aku rasakan selama dua tahun terakhir. Langit masih kelabu. Sedikit kurasa, ada yang menetes dari mata saat rumput ilalang melambaikan kerinduan. Butiran padi kuning menghampar, anak gembala sapi yang ceria, bersama pagi dan seruling kecilnya.
Aku tak ingin jauh dari pangkuan Ibu. Tapi, karena tuntutan ekonomi dan impian Ibu, terpaksa aku melakukannya, meskipun ibuku tak pernah menuntut. Aku hanya ingin memberi yang terbaik untuk ibu.
Kilatan petir terus memotret kota. Ganas. Menakutkan. Aku beringsut sedikit, air mulai merembes tempat yang aku duduki. Samar-samar telingku mendengar suara bisingan pintu. Pemilik Toko keluar, membawa tempat sampah. Tanpa beban apapun, ia melemparkan sampah itu seenaknya. Hingga berhamburan tanpa arah.
Ada seberkas harapan tumbuh. Berharap ada pertolongan darinya, untukku. setidaknya memberi sedikit pengganjal perut. Sejak pagi itu, aku hanya makan satu buah pisang dan segelas air putih. Sekarang, perutku mulai berdemonstrasi kembali, meminta subsidi untuk siang ini. Senyum merekah dari kedua bibirku, mencoba menarik simpati si empu toko. Ia hanya tersenyum sinis, kecut, dan kembali menutup pintu. Tanpa beban, menghiraukan aku dan sampah yang bertebaran dihadapanku.
“Ingat! Di sana hidup Nafsi-nafsi Kamu harus bisa seperti ikan di laut. Meski airnya asin, ikannya tetap tidak asin. Satu lagi paling utama, peliharalah shalatmu, jagalah imanmu,” Aku ingat petuah ustadz Abdul Karim saat aku minta restu darinya. Sosok guru Alif yang begitu aku hormati.
Aku dilahirkan dari golongan sampah. Namun, aku bukanlah orang yang berhati sampah

PANGGILAN suci mengakhiri bergulirnya mega merah yang membias langit sebelum dihempaskan pekat malam. Aku telah bersuci memenuhi panggilan itu. Menunaikan solat maghrib.
Selesai shalat isya’ berjama’ah di Masjid Ar-Rahman bersama temanku, aku memilih berdiam diri di rumah. Hanya berukuran 2 X 4 M. Malam itu sungguh dingin. Di luar, angin berhembus kencang sekali, ditambah gerimis, membuat dingin semakin berpetualang. Aku menghidupkan Radio, satu-satunya penghibur di istana kecilku. Sementara, gerimis masih mengundang tanda tanya.
Di luar, para sesepuh dan tetangga asik menikmati segelas kopi. Mereka sedang membicarakan sesuatu. Entah! apa yang dibicarakan, aku tak tahu. Biasanya aku juga ikut nimbrung di sana. Tapi, kali ini aku merasa sangat lelah. Dingin di pagi itu tak hilang juga dari tubuh ceking ini.
Baisanya, mereka hanya sering membicarakan topik yang tak jauh beda dari yang biasa mereka obroli setiap malam. Apalagi kalau bukan soal bermain kucing-kucingan dengan Satpol PP. Atau berbagi cerita mengenai rejeki yang diperoleh. Tapi, hari itu kelihatannya mereka sangat serius!

PAGI itu, langit menjanjikan akan meurunkan rejeki sebanyak-banyaknya. Tidak akan ada hujan. Alat pekerjaanku telah dipersiapkan. Matahari mulai mengecup kening bumi. Dengan lembut ia menaburkan cahaya pada hingar-bingar aktifitas manusia.
Matahari sudah membentuk sudut 60 Derajat. Keranjangku sudah hampir penuh. Aku berencana mengakhiri pekerjaanku sejenak. Sudak lelah kakiku berpijak. Ditengah perjalanan pulang, segerombolan yang aku kenal lari pontang-panting, seperti prajurit-prajurit dalam perang badar.
“Bang…ada apa? Apa yang terjadi?” Tanyaku pada kang Pardi. Tangannya aku pengang erat-erat. Ia ingin cepat kabur dari tempat itu.
“Gawat…Hancur…Hancur.” Nafasnya tersegal-segal, ingin segera pergi. Kang pardi seperti orang kesurupan.
“Tenang… tenang. Sekarang ceritakan apa yang terjadi,” aku bersikap lebih tenang.
“Ada penggusuran, tempat kita telah musnah!”
Aku tak percaya, pasti ini salah duga. Kang Pardi! Aku tak bisa menerima keyataan ini. Benarkah demikian? Aku tak tahu apa yang harus lakukan. Kang Pardi berlalu seketika. Kaki kecilku berlari tak tentu arah. Sementara di sana, dua buah Hotmix besar dengan tenang melahap kompleks perumahan mereka, termasuk istana kecilku. Semua telah berakhir, menyatu dengan tanah yang masih lembab itu. Tatapanku kosong. Yang terlihat hanya wajah tirus perempuan tua yang sedang menangis. Ibu.
*) Cerpenis, tinggal di Madura
Hp : 087866125023

Munajat Rembulan


Bayanganmu selalu menghadirkan kepedihan pada setiap jejak-jejak langkah menapaki jalan-jalan kelabu. Dimana ilustrasi itu selalu menghadirkan selaput cinta yang telah kau pahat sendiri.. Sunyi merayap mendahului bahasa jiwa tak terjewantahkan. Aibpun tidak bisa menjalar dimana desiran angin mengabarkan berita hati dan perasaan menyatu dengan aliran darah kaku tak terangkai kepada muara pengaduan.
Kau cacah hatiku dengan seberkas cahaya yang hilang mengembang tanpa tujuan.. Egomu menasbihkan bait-bait syaitan sebagai ikon bagiku untuk membencimu. Tempat aku marah dan frustasi. Aku lelah mana kala harus melewati titk-titik terjal mencari kepastian tanpa seserorang yang memapah digelap sang hitam. Aku ingin sekali tidur dari mimpi-mimpi yang kau hadirkan menyudutkanku dalam tembang angin pilu ingin rasanya membuat seribu satu hiburan agar kau tertelan bersamanya, bersama mimpi-mimpimu. Tak akan ada seberkas yang kan nampak.
Aku mencoba untuk bersikap tegar sebagai lelaki dalam sebuah alunan permainan dunia.. Dimana seuntai lemparan senyum manis yang kau bingkai dari bibir mungilmu. Menghadirkan abjad-abjad cinta, melantunkan syair-syair asmara, tenggelam dipangkuan kekasih. Perpisahan tanpa bias butir-butir air mata dan tanpa diduga menyudutkan asa yang tak terkuak kedalam gerakan tarian bumi. Bersikap tegar dibusung kengiluan. Menahan butiran-butiran kristal yang kadang terjatuh menetes mengaliri kubangan-kubangan malam.
Aku menoleh kekanan atas. Terniat dibenakku mengukur seberapa jauh Ratu malam menggantikan Raja siang. Detak-detak jam dinding yang setia melekat ditembok layaknya tumbuhan parasit Membahana jelas sekali detakan hitungan dunia. Aku keget ketika yang aku peroleh jawabannya. 01:15 WIB. Tengah malam kulewati lagi dengan puing-puing kenistaan. Asbak rokok tersesak penuh dengan putung-purtug yang telah kuhisap Tar dan Nikotinnya. Aku lihat disamping kiriku sebuah balok kecil bertuliskan Dji Sam Soe terbelalak menunjukkan isinya yang hanya tinggal dua batang. Disampingnya berdiri gelas plastik biru tempat cairan hitam. Kopi. Namun sayang didalamnya yang tersisa hanya ampas-ampas tak berguna menempeli dinding gelas itu. Apa yang bisa aku lakukan? Disaat para makhluk terlelap bersama bungan-bunga tidur, aku malah menyongsong malam sendiri menemani suara binatang malam yang selalu mengisi aktivitasnya dimalam sunyi. Sebaliknya ketika manusia terbangun dari tidurnya,. Eh malah aku yang bergelumut dengan bantal dan selimut.
Oh! Tuhan apakah gerangan yang menimpa hambamu ini? Hingga tiap malam selalu dirundung kegelisahan! Adakah jalan keluar untuk menghapus kebiasaan-kebiasaan tak sepantasnya aku lakukan semenjak kepergian dia? Tak bisakan kamar yang selam ini aku jadikan kepulan asap rokok menjadi surga kecil dalam rumahku. Yaitu sebagai tempat pendirian sholat malam dan tempat lantunan bait-bait namaMu dimalam hari yang sunyi. memcahkan misteri malam yang beredar ditaburan pekt-pekat kegelapan.
Setiep malam aku layaknya seekor bangkai yang dimumi. Dilanda kejiwaan yang mengguncah-guncang. Terkadang mencari teka-teki permainan alam dan sisa-sisa keindahan malam. Karena aku yakin tuhan menciptakan malam bukan hanya sekedar dijadikan waktu beristirahat. Dibalik malam tuhan menyebunyikan berjuta-juta rahasianya. Kebesarannya sebagai renungan bagi orang-prang yang berfikir. Malam adalah jalan terpendek untuk sampai kepada-Nya karena semua makhluk telah hilang bersama mimpi-mimpi sebagai penikmat malam. Jujur, bersama malam aku sedikit menemukan ketenangan meski berdimensi dengan ilustrasi yang kau bingai dikedalaman samudra perasaan.
Aku merebahkan tubuh yang tak berdaya ini diatas kursi. Salah satu teman bisu malamku. Mengingat-ngingat akan tinglah lakumu. Oh! Sedahsyat inikah cinta? Membuatku tidak mati ataupun tidak hidup. Masih ingtkah kau? Disaat ukiran langkah kita menikmati taburan cahaya bintang. Dari celah-celah kedua bibirmu kau berucap melantunkan sebuah kata yang membuatku benci untuk mengatakannya kembali,. Dan terakhir kalinya kau pernah berucap “Hilang satu tumbuh seribu” tapi aku tidak yakin bahwa yang seribu itu tidak sama dengan yang satu. Tak kan mungkin yang satu itu hadir kembali. Itupun hilang bersama senyum terakhirmu. Aku sedikit mamaklumi karena lidah memang tak bertulang. Lautan yang begitu luaspun dan merupak bagian dari samudra, bagian dari separuh bumi masih juga pasang surut, apalagi hanya… ah! Sudahlah. Aku semakin tersudut.
Saat aku terlempar bersama angan. Saat bola mataku menghujam tatapan hampa kearah jendela. Aku menemukan sesuatu aneh yang memikatku untuk menghampirinya. Ya! Itu adalah bias cahaya dewi malam yang masuk dari ventilasi jendela. Warna keemasan. Aku berdiri hendak ingin meraihnya. Namun sesaat kemudia ia menghilang hingga aku mengurungkan niatku. Muncul kembali. Ada apa gerangan dengan dewi malamku?.
Aku buka jendela. Rembulan tersenyum dibalik pohon. Diantara kejaran awan-awan yang bermain, bulan menyapaku.. Aku melihat bulan mengintip dari celah-celah lebatnya dedaunan. Sesekali menghilang diterpa keramaian awan yang saling kejar mengejar.
Bulan semakin meninggi medendang tembang untuk melengkapi nikmatnya para mahluk tidur.. Bulan tersenyum sinis. Seakan bulan tau penderitaan yang akan aku adukan kepadanya. Bulan menertawaiku. Bias cahanyanya melukiskan kekasih yang telah membunuh kepribadianku. Meninggalkanku yang terkulai lemas oleh kenangan yang dia berikan. Aku mencoba bertahan dan mungkin hanya bulanlah sebagai pengaduanku malam ini. Lipatan-lipatan kertas sudah bosan menampung pena yang kujalankan setiap malam. Aku berharap bulan mengerti atas segala apa yang aku rasakan. Lewat desiran angin bisikku sampaikan pada bulan. Aku ingin membunuh sunyiku.
Bulan dengarkanlah! Dengarkan diriku yang terombang-ambing antara pertumpahan benci dan cinta. Aku dibuat frustasi oleh sikap dia. Biasanya senyuman selalu mengembang dipelupuk mataku, tertawa membahagiakan hati, mesrapun jatuh diprlukan. Kini sedikitpu dia seakan tidak sudi lagi memberikan semua itu kembali. Ketika ditanya. Apa jawabnya? “Biarkan sang waktu yang menjawabnya. Hilang satu tumbuh seribu.” Meski aku telah meyakinkan bahwa belum tentu yang seribu itu sama dengan yang satu. Adakah orang ketiga yang merubah hatinya? Lalu bagai mana caraya agar aku bisa meyakinkannya. Aku berharap dia kembali. Ataukah selam ini ia hanya ingin menjadikanku sebagai sepah? Ah! Sudahlah! Namun aku benar-benar tidak mengerti. Dia pergi bila aku membutuhkan, Iapun datang bila kehendakya sendiri. tak ada kata indah menghanyutkanku dalam kebahagiaan.
Aku tidak kuat menahan perasaan ini. Perasaan yang berkecamuk, berperang menguasai hati. Tubuhku gemetar menahan gejolak nafsu yang berkeinginan untuk bertegur sapa. Apalagi kalau aku melihatnya kembali. Rasa sedih, pilu, sakit, cinta, benci dan perasaan lain bertabuh dijiwaku menitikkan air cinta. Aku sadar aku tak sepenuhnya membenci ataupun meninggalkan dan aku juaga merasa dia tidak sepenuhnya meninggalkanku. Ketika kita bersua, dia memalingkan parasnya. Lewat bahasa jiwa, lewat isyarat hati. Ada keterpaksaan berbuat demikian. Tapi, apakah harus seperti ini? Apakah aku harus menanamkan benih-benih Iblis? Mengapa dia tidak terus terang saja padaku tentang yang dirasakannya. Tentang….
Sebenarnya aku tidak ingin membencinya. Jujur ku akui hati kecilku masih terpahat keras oleh bingkaian yang dia ukir. Berharap merpati lepas akan kembali lagi kesarangnya. Namun ia terlanjur terbang bebas. Hanya keajaiban yang bisa mengembalikan kembali. Tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Ada sesuatu yang belum aku pahami pada diriku sendiri. Ketika ditakdirkan bertemu, rasa dari semua perasaan memberi argumen tentang dia. Membuat getaran jiwa parau. Kadang hati kecilku bebisik bahwa dia menganggapku seperti barang yang habis masa pakainya. Lebih parah lagi, sampah.
Guluk-guluk 29 Desember 2007
*Fandrick HS Putra, santri PP Annuqayah Lubangsa.bergiat dikomunitas cinta nul

Putri Birokrat

Namanya Putri Megawati. Lahir dari keluarga yang kaya dan terhormat. Ayah menjadi salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat. Dengan memberikan nama itu, orang tuanya berharap, kelak Putri akan menjadi orang besar. Ya! Seperti Megawati. Presiden perempuan pertama di Negeri ini. Maka, nama belakang Putri diberi embel-embel MEGAWATI!
Putri sangat bangga dengan jabatan yang baru disandang ayahnya. Meski Putri berkulit hitam dan selalu menjadi objek olok-olokan temannya. Namun, tak bisa dipungkiri lagi bahwa sekarang Putri adalah anak seorang Birokrat. Tak ada lagi yang mengolok-olok Putri di sekolah. Seperti saat sebelumnya.
Putri semakin bangga. Baru sebulan ayahnya duduk di kursi Legislatif, Putri sudah mampu dihadiahi sebuah mobil Mercedez Benz terbaru. Ketika dibawa ke sekolah, semua pasang mata tertuju pada mobil hitam mengkilat itu. Baik guru maupun temannya, menyoroti kedatangan mobil buatan Jerman tersebut. Tak ada yang lebih bagus dari mobil Putri. Meski milik gurunya sekalipun.
Perubahan yang dialami Putri juga berdampak pada teman-temannya. Putri yang dulu dikucilkan–dengan alasan Putri berkulit hitam dan jelek—kini, satu persatu terpikat menjadi temannya. Putri juga rajin datang ke Mall, Spa, Salon dan lainnya. Ya! Tentu saja untuk mengubah penampilan. Merias wajah. Namun, Putri tetaplah Putri yang dulu. Meski kehidupannya berubah setelah sang ayah duduk di kursi Legislatif, tak menjamin sikap dan pribadinya juga berubah. Putri tetap lembut, baik hati, sopan dan tidak milih-milah teman.
Pernah sebelum ayah duduk di kursi Legislatif. Tepatnya ketika masih menjadi Caleg (Calon Legislatif), Putri dimarahi habis-habisan, bahkan tanpa ragu ayahnya melayangkan tangan gempalnya ke wajah Putri. Menjabrik rambut. Menyeret putri ke dalam kamar. Putri disekap selama tiga hari. Memang, semua itu murni kesalahan Putri: Ia membakar tumpukan sampah didekat gudang. Tanpa di duga, api itu merambat ke gudang. Melahap habis semua isinya. Di gudang itu banyak tumpukan stiker dan baliho. Ukuran kecil maupun besar yang seharusnya disebarkan dan ditempel di tempat-tempat umum.
Putri hanya menangis. Ya! Hanya itu yang bisa dilakukan.

***
Putri melanjutkan kuliah di salah satu Universitas terkemuka di Jakarta. Ia mengambil jurusan Sosial dan Politik. Ayahnya menekankan Putri untuk melanjutkan study keluar Negeri. “Lebih baik study keluar negeri dari pada di negeri sendiri. Negeri kita pendidikannya kalah berkualitas,” kata ayahnya.
Ia tidak mau jauh dari orang tua. Juga lingkungannya. Menurut Putri, belajar di negeri sendiri tidak jauh beda dengan belajar di negeri orang. Sebagai jaminan, Putri berjanji akan terus meningkatkan nilai IP-nya dan mewujutkan cita-cita sesuai dengan apa yang diinginkan ayah; Menjadi orang besar.
Putri juga tidak mau berpisah dengan Adit. Belahan jiwanya sejak masih duduk di bangku SMA. Putri selalu ingin terus bersamanya. Itulah salah satu alasan mengapa Putri memilih kuliah di sana, karena ada Adit. Seorang pemuda tampan, pemalu, polos, lugu dan anak mami—karena ia rajin menelpon mamimya. Meski lugu dan pemalu, Adit sangat pintar. Orang tua Putri tak ragu ketika Adit diperkenalkan kepada mereka. Bahkan, orang tua Putri beranggapan, Adit adalah sosok Birokrat masa depan. Pikirannya selalu kreatif dan inovatif. Satu lagi kelebihan Adit adalah dia bisa paham; Putri lebih suka diperhatikan dari pada memperhatikan.

***
Putri kini semester empat. Begitu pula Adit. Dalam dua tahun terakhir, Putri menepati janjinya; nilai IP Putri selalu masuk nominasi tiga besar semua jurusan di Kampusnya. Putri bangga, begitu pula dengan kekasihnya, Adit. Kegembiraan Putri semakin lengkap dengan adanya sedikit perubahan pada diri Adit. Adit tidak pemalu, Adit bukan anak mami lagi yang selalu mengadukan hidupnya pada mami. Ia berani tampil di mimbar bebas. Menjadi sosok Mahasiswa yang betul-betul terbakar dengan idealisnya. Agen of change. Agen of social Control. armada masa depan yang akan memperjuangkan nasib rakyat jelata.
Adit mulai suka baca banyak buku; tentang Sosial, Politik, Ekonomi, bahkan buku tentang Sastra. Semua dilahapnya. Ia selalu aktif di forum-forum diskusi. Kini ia memunyai kelompok diskusi. Mula-mula kelompok diskusinya hanya mendiskusikan tentang materi-materi kampus. Namun, seiring waktu bejalan, anggota kelompok diskusi Adit semakin bertambah. Tidak hanya mendiskusikan tentang materi-materi kampus. Semakin merambat kepada permasalahan-permasalahan Negara; Sosial, Ekonomi, Politik dan lain sebagainya.
Menurut kelompok diskusi itu, ada yang harus diluruskan dalam sistem pemerintahan sekarang. Para wakil rakyat semakin banyak yang tertular penyakit korupsi, sehingga keadilan harus betul-betul ditegakkan. Tak pandang bulu. Gedung Dewan perlu dibersihkan dari penyakit yang menjijikkan itu.
Adit benar-benar berubah, ia dan kelompok diskusinya sering berdiskusi, hingga larut malam. Hal itu sangat disayangkan oleh Putri. Sebab, Adit tak memiliki banyak waktu lagi dengan putri. Putri merasa terbuang. Terpinggirkan. Putri kesepian.
Adit juga sering melakukan demontrasi. Dengan lantang ia berdiri di mimbar bebas. Menamakan diri; Aliansi Mahasiswa Peduli Rakyat yang disingkat AMPR. Yang memperjuangkan nasib rakyat kecil. Menyuarakan jeritan nurani mereka. Melindungi kaum tertindas dari penguasa otoriter.
“Adit, kau sudah berubah.”
“Sayang, aku tak pernah berubah padamu. Hanya saja aku sangat sibuk. Ada yang lebih membutuhkan pertolonganku. Aku harus menolongnya. Harus!”
“Maksudmu?”
“Sayang, aku tak punya banyak waktu.”
Adit melepaskan genggaman tangan Putri. Dengan sekejap Adit tenggelam di tengah kerumunan para demonstran yang terus mengular di jalan menuju gedung DPR-MPR. Putri terus mengikuti demonstran. Berharap akan bertemu dengan Adit kembali. Putri bingung, ia seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Adit berdiri di mimbar bebas. Berkoar-koar sekuat tenaga. Menuntut Dewan untuk keluar dan melepaskan jabatannya. Sebagai koordinator lapangan, tanpa lelah Adit terus berteriak.
“Bersihkan gedung kami. Bersihkan!”
Putri jelas sekali melihat Adit di sana. Ada kobaran api di matanya. Putri menghampiri Adit. Dengan berlinang air mata, Putri menyuruh Adit segera turun. Ia tidak peduli dengan berjuta-juta wartawan yang mengekspos dirinya. Maklum, Putri punya daya tarik tersendiri bagi wartawan. Putri adalah anak dari salah satu Dewan yang duduk di gedung itu. Yang sekarang lagi didemo. Seharusnya, Putri berseberangan dengan para demonstran, pikir wartawan itu.
“Turun Adit. Turun!”
“Tidak!”
”Kita masih muda, tidak usah terlalu larut dalam urusan negara.”
“Kau salah.”
“Aku benar. Kembalilah. Kau sudah lama tak masuk kuliah.”
“Sebaiknya kau saja yang pergi dari sini. Nanti IP-mu melorot.”
Usai kata itu muntah, beberapa teman Adit sudah menariknya. Adit kembali masuk dalam kerumunan massa. Meninggalkan Putri yang sembab dengan air mata. Adit seperti terbawa arus yang sangat deras. Deras sekali.

***
Di rumah, Putri dimarahi ayahnya. Disamping ayah tahu dari Koran, juga ia melihat sendiri pada saat demontrasi. Umpatan-umpatan kotor mengalir deras tanpa henti. Putri dicerca, ditampar, disiksa, dan disekap di kamarnya lagi.
Namun, Putri kali ini berbeda dengan Putri tujuh tahun lalu. Yang pernah disekap gara-gara tidak sengaja membakar gudang. Putri sadar, banyak penderitaan rakyat kecil selama krisis ini. Selama ini, mereka hanya terkurung dalam satu opini. Seperti tanaman yang bertahun-tahun dibonsai. Putri malu. Ia hanya mengejar IP dan IP. Tidak menghiraukan jeritan rakyat yang butuh pertolongan. Apa gunanya label Mahasiswa baginya kalau tidak memperjuangkan nasib mereka. Sebagai orang idealis, seharusnya aku memberikan yang terbaik bagi mereka, sesalnya.

***
Di Negeri permai ini
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah
Pemuda desa tak kerja
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Tuk membebaskan negeri
(Lagu Slank “Darah Juang”)
Adit berbaring. Komputernya tetap hidup. Mata cokelat itu menerawang ke langit-langit. Merenungi lagu itu. Lagu yang menggambarkan berjuta kemelut di negeri ini. Menggambarkan berbagai kesengsaraan rakyat. Hingga mereka tetap terkurung dalam lingkar garis kemiskinan.
“Bunda relakan darah juang kami, tuk membebaskan negeri,” Ia mengikuti lirik lagu itu. Suaranya begitu serak. Ada rasa iba di balik suara kerasnya.
Tiba-tiba, Putri berdiri di depan pintu kamarnya. Adit termangu. Sunyi. Apakah kedatangan putri ingin menghalangi? Atau ada sebab lain? Beribu pertanyaan terkatung di benak Adit. Putri tetap diam. Mata itu semakin sembab. Akhirnya buliran Kristal suci jatuh tanpa hambatan. Mengalir deras membelah pipi mulus putri.

***
Pagi itu, seluruh mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi bergabung. Berkumpul di alun-alun kota. Mereka telah siap membersihkan sendiri gedung milik mereka, setelah suara mereka tak dihiraukan. Gedung yang dikotori oleh para wakilnya sendiri. Demonstran sudah menyusun rencana rute perjalanan. Setelah ke gedung DPR-MPR, mereka akan ke gedung Presiden. Beberapa alat atau senjata sederhana Seperti batu-batu dan sejenisnya mereka siapkan untuk mengamankan diri dari para aparat keamanan.
Semakin matahari meninggi, semakin banyak mahasiswa berkumpul. Pukul 10.00 WIB. Ribuan demonstran itu bergerak ke gedung DPR-MPR. Mereka mengular di sepanjang jalan kota. Adit sebagai korlap (koordinator lapangan) tak lagi sendiri. Ada Putri disisinya. Yang selalu menemani setiap langkah perjuangannya. Berjuang sampai tumpah darah penghabisan. Berjuang bersama-sama, meski melawan ayahnya sendiri. Beberapa spanduk dan tulisan-tulisan anti korupsi diangkat itnggi-tinggi.
Adit kembali di mimbar bebas. Berorasi. Berkoar-koar sekuat tenaga. Urat-urat besar di tenggorokannya seperti cacing tanah kepanasan. Melihat bara api di mata kekasihnya, Putri turut berdiri di mimbar itu. Bersama-sama berteriak dengan lantang.
“Keluar kalian! Aku tidak mau melihat tikus-tikus di gedung kami!”
“Ini gedung suci. Hasil jerih payah kami!”
“Jangan kotori gedung titipan rakyat!” Teriaknya disambut demonstran lain. Tanpa lelah, meraka serukan jeritan rakyat yang telah lama tertindas rezim otoriter, egois dan mau mengisi perutnya sendiri.
Ribuan demonstran berdesakan mencoba memasuki gedung DPR-MPR. Karena merasa terdesak dan para demonstran tak dapat dikendalikan lagi, aparat itu mulai jengkel. Kesabaran mereka habis. Aparat mengamuk. Membabi buta. Memukul, menendang bahkan tak dinyanya da letupan senjata.
Para demonstran tak kalah hebat. Mereka melempari manusia berbaju loreng itu dengan batu. Meski para aparat menggunakan pengaman, tak menyulut semangat demonstran. Mereka terus menghujani aparat dengan apa saja yang bisa mereka lemparkan.
Karena kalah senjata, demonstran itu mulai kewalahan. Nyali mereka ciut. Kalang kabut melihat aparat semakin banyak. Demonstran lari berhamburan, tak tentu arah. Pada saat itulah nasib sial menimpa Adit dan Putri yang sejak awal berada di garda paling depan. Sadar mereka terdesak, Adit menarik tangan Putri. Berlari sekuat tenaga. Putri terjatuh. Tersandung batu. Terpaksa Adit menggendongnya.
Tiba-tiba, Adit merasa sebuah peluru nyasar di bagian betisnya. Seketika itu mereka berdua roboh. ambruk diantara derap langkah demonstran dan aparat keamanan. Mereka berdua terinjak-injak oleh ribuan pasang kaki. Adit menjerit.
Jeritan Putri tak kalah hebat. Putri menggenggam erat tangan Adit, tak ingin terlepas. Darah mengalir dari pelipisnya. Perlahan jeritan itu mulai sirna. Pasrah di atas takdir. Merasa jari-jemari malaikat maut telah menggelitik ubun-ubun Mereka.
”Kata mama, orang idealis akan terkoyak oleh idealismenya sendiri,” ucapnya lirih ke telinga Putri.
Annuqayah, 2010
*) Cerpenis, tinggal di PP Annuqayah, Sumenep, Madura
Penggagas Kosambhi (Komunitas Sastra Serambi)
Hp : 087866125023

Diary Biru

Ketukan dari balik pintu mengagetkanku dari tidur. Mau tidak mau aku harus merelakan mimpi indahku hilang karena suara itu.
“Dani, bangun, dah jam berapa nich!”suara kakak terdengar jelas dari balik pintu.
"ya ! kak" jawabku malas. Aku sedikit jengkel dengan kakak, betapa tidak, disaat aku berdiri tegar di atas kapal TITANIC sebagai Jack. Saat itu aku sedang memeluk Rose dari belakang. Merentangkan tangan dan sama-sama memandang hamparan samudera luas. Membiarkan desauan angin samudera membelai kita ~ aku dan Rose. Menikmati indahnya panorama laut. Merasakan getar cinta yang terus mengalir.
Tiba-tiba kapal yang kami tumpangi menabrak sebuah gunung es. Benturannya sangat keras. Sama kerasnya dengan kakak mengetuk pintu. Di pintu, kakak menatapku sangat tajam. Aku yang belum sepenuhnya menyatu dengan ‘roh’ku menggaruk kepala meski sebenarnya tidak gatal.
“Coba lihat ! dah jam berapa sekarang” celotehnya.
Akau menatap jam dinding di belakang kakak. Astaga! Mataku terbelalak. Mulutku terbuka lebar menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 07.35 WIB. Rasa kantuk yang dari tadi bergelantungan, kini hilang entah kemana. Secepat kilat aku melangkah ke kamar mandi. Tak peduli dengan kakak yang tetap berkacak pinggang menatapku.
Setelah semua siap, aku sempatkan menghampiri kakak di meja makan. Meraih tangannya dan mencium dengan penuh hormat. Tangan dinginnyalah yang sudah membesarkanku tanpa aku merasakan kasih sayang orang tua seperti yang sempat kakak rasakan. Katanya: ibuku meninggal setelah melahirkan aku, sedangkan ayah meninggal pada waktu aku berumur sembilan bulan. Ayahku meninggal dalam tragedi tabrakan.
“ kak, aku berangkat.”pamitku.
“Hati-hati di jalan“ kata kakak
Aku terus melangkah menuju pintu dengan sangat tergesa, sudah terlambat. Saking terburu-burunya, sampai di teras aku hampir terjatuh karena menginjak sesuatu. Sebuah surat. Aku langsung memasukkan kedalam tas tanpa berpikir apa isi di dalamnya.
Matahari terus meninggi. Aku berlari melewati gang perumahan. Jalan pintas yang sering aku pakai bila terdesak. Tiba di sekolah, gerbang utama ditutup. Tak satupun siswa yang lagi berkeliaran. Terkecuali orang memakai topi bertulis “SECURITY”yang menjaga gerbang besi itu.
Aku terpaksa menunggu jam pertama usai. Seperti biasa, nongkrong di kedai bu Tijah.
“kamu tidak masuk, terlambat ya?” tanya Bu Tijah
Aku hanya mengangguk.Ingin bicara, masih sibuk mengatur nafas belum teratur. Kemudian aku ingat pada surat tadi. Masih lengkap dengan bekas kakiku.
@ @ @
Dua bulan berlalu. Kini, hari-hariku disibukkan dengan UAN yang tinggal beberapa hari lagi. Persiapan harus di matangkan, standart nilai kelulusan tahun ini sangat tinggi. Ikut Les, Kursus dan kegiatan lain yang sekiranya mendongkrak nilaiku nanti.
Hari itu, senja kian mendekat, metahari mulai diganti mega merah. Semua orang kembali kperaduan memenuhi panggilan suci. Aku baru pulang dari sekolah usai mengikuti pelajaran Ektra Kurikuler. Tubuhku lelah. Begitupun pikiran dan semangat juangku yang selalu di suruh mengerjakan latihan soal-soal UAN.
Seperti biasa, jika keadaan tidak memungkinkian, aku lewat jalan pintas. Aku takut dimakan kegelapan. Di jalan, aku sempat bertemu dengan seorang gadis berjalan menunduk. Di pundaknya tersandang tas dan beberapa buku di pelukannya. Dia terus berjalan menunduk menapaki jalan yang remang. Setelah dekat, aku tak bisa mencuri parasnya, sebab ia selalu menunduk. Aku merasakan sesuatu bahwa dia seakan dekat sekali denganku. Ada perasaan yang berbeda. Aku terus mencuri pandang, namun aku gagal mendapatkan sketsa wajahnya.
Terlintas dibenak untuk menyapa, namun aku ragu lagipula hari mulai gelap. Takut dia akan berprasangka yang tidak-tidak terhadapku. Akhirnya aku tak mempedulikannya.
Sesaat kemudian telingaku mendengar suara aneh yang disusul dengan suara hantaman. Ya ! itu adalah suara ban mobil yang ngerem mendadak.
Tepat di persimpangan jalan, aku melihat gadis tadi sudah tergolek di tengah jalan. Darahnya nengalir. aku cepat-cepat kesana. Oh…betapa naifnya, dia tertabrak mobil. Darahnya bercucuran kemana-mana. Muka yang cantik, kini dihiasi dengan darah yang terus keluar dari hidung dan pelipis matanya. Aku pegang pergelangan tangannya dan menekan urat nadi, ternyata dia sudah tak bernyawa. Aku bingung, apalagi malam terus membuntuti.
Aku nengambil tasnya dan mengotak-atik isi didalamnya. Berharap mendapatkan titik terang atas identitasnya. Namun aku tak mendapatketerangan apapun tentangnya. Yang aku temukan hanya buku pelajaran dan diary biru.
Aku kaget dan tak percaya. Di dalam diarynya banyak terdapat namaku. catatan harian itu memberi bukti bahwa dia yang selalu menulis surat untukku. Dia mengungkapkan semua isi hatinya di diary itu. DIA MENCINTAIKU. Aku terus berusaha mencari identitasnya, setidaknya tahu namanya. Namun sia-sia belaka, aku tak mendapatinya.
Perasaan cinta meledak di hatiku. Ada penyesalan yang mendalam. Ternyata dialah selama ini yang memujaku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Air mataku berjatuhan memandikan tubuh si gadis pemujaku. Aku rangkul dia dan ku peluk erat-erat yang hanya sebujur bangkai. Setidaknya dia bisa merasakan kehangatan cintaku di alam sana. Aku peduli meski tubuhku harus bersimbah darah. Di malam yang sunyi aku bersama kepedihan. Hanya kepedihan.

Friday, March 6, 2009

Iwak

Cerpen; Fandrik HS Putra*

Ayahku seorang kepala suku yang amat bijak. Setiap kata yang diucapkan mengandung nilai-nilai yang sangat berarti. Pribadi sederhana berwujud dalam diri seorang pemimpin. Yang seluruh cintanya selalu mengalir untuk keluarga dan para rakyatnya. Pahlawan di masa kanak-kanakku. Mengajarkan aku menggenggam busur dan menenteng panah. Menjelajah hutan, berburu iwak1 dan membawanya untuk ibu. Tentu saja, untuk di makan bersama, sambil nengelilingi api unggun. Ayah selalu memberiku kesempatan pertama kali untuk membidik buruannya. Tak lupa ia mengintruksiku dari belakang, bagaimana cara membidik dan melesatkan anak panah pada binatang yang terbidik di mataku.
Wus…s… Anak panah itu lepas dari busur. Sorot mataku terus membuntuti kemana anak panah itu melesat, sambil menggenggam busur yang selesai terenggang. Orang-orang yang ikut berburu bersorak. Anak panahku tepat mengenai bidikan. Seekor Rusa yang tambun!
Kami menggotong Rusa itu. Ayah selalu tersenyum padaku. Ada rasa bangga di hatinya. Tentu saja kepada aku. Lalu, Rusa itu diserahkan pada ibu. Ibuku pandai sekali memasak. Lihai dalam mengolah rempah-rempah yang diambil dari hutan, sebagai bumbu masak. Lezat sekali.
Ibuku juga sosok orang yang lembut luar-dalam. Konon, ia bukan asli keturunan suku kami. Ibu adalah orang Meru2. Ayah menemukan ibu ketika berburu di hutan, mendapatkan ibu bersandar di sebuah pohon beringin besar. Terkapar dengan bekas patukan ular di kakinya. Ayah membawa ibu ke kampung. Awalnya, penduduk kampung tak sudi menerima kedatangannya. Mereka tidak suka orang Meru, yang sering merusak hutan. Namun, setelah mendengar penjelasan panjang-lebar dari ayah, penduduk kampung akhirnya menerima.
Ayah mengeluarkan racun berbahaya itu dari tubuh ibu. Sadar. Ibu sembuh. Ia ketakutan ketika pertama kali membuka mata. Mungkin, karena ayah berkulit hitam. Mayoritas suku kami berkulit hitam: ibu sendiri berkulit putih.
Ibu tak tenang bersama ayah, serta dengan suku kami. Tapi, ibu selalu mencoba bersikap sadar. Ibu tak punya siapa-siapa lagi. Tak ingat apa-apa. Sedikit demi sedikit ibu mulai bisa beradaptasi. Mulai mampu menerima ayah apa adanya. Kebijaksanaan ayah mampu memengaruhi sikap ibu.
Suatu hari, ayah meminang ibu kepada para sesepuh kampung. Kontan semua warga suku banyak yang menolak. Bagaimana tidak, ayah sebagai satu-satunya pewaris kepala suku, harus menikah dengan orang Meru. Itu tidak boleh terjadi, begitulah kata mereka. Ayah harus menikah dengan asli keturunan kami, kata mereka. Tentu, mereka tidak mau nanti pada generasi berikutnya ada campuran dari suku lain.
Setelah berdebat panjang-lebar dengan sesepuh, akhirnya, para sesepuh lunak dan merestui pernikahan ayah. Beberapa perlengkapan adat, seperti: kemenyan, kembang dan beberapa bacaan mantera, pernikahan dilangsungkan. Melalui penyembahan kepada ruh Nenek Moyang. Ibu resmi milik ayah seutuhnya. Ibu bahagia, begitu pula dengan ayah.
Jika ayah mendidik dari luar: menenteng busur dan berburu. Maka, ibu mendidik dari dalam. Kelembutan kasih sayangnya membuat hatiku lembut pula. Mengajariku untuk tidak sombong, angkuh dan manindas kaum lemah. Ia selalu mencontohkan sikap ayah. Banyak hal yang masih aku belum ketahui dari sosok ibu. Semakin aku mendalami kebaikannya, semakin pula aku bingung terhadap diriku sendiri. Sebab kebaikan hidupku terlalu jauh dengan kebaikan ibu.
Pagi itu, masih buta. Namun, kicauan burung di hutan sudah saling bertaluan. Bahkan tidur di pagi hari pun, rasanya seperti kehilangan panorama hutan yang sesungguhnya.
Hari itu musim kemarau. Kabut tebal memenuhi seisi hutan. Pandangan kelabu. Perlahan kabut tebal itu hilang dianulir sinar matahari yang mulai menitipkan cahayanya pada kening bumi. Aku, ayah, dan pemburu lain sudah siap dengan busur di tangan, panah di punggung. Kami akan berburu sebanyak-banyaknya. Apa saja. Rusa, Kancil, Babi, bahkan Ular sekalipun. Malam nanti adalah malam bulan purnama kesepuluh kalinya. Suku kami menganggap purnama kesepuluh adalah sebagai penutup dari purnama sebelumnya. Dalam tradisi suku kami, purnama kesepuluh selalu disambut dengan meriah dan pesta besar-besaran. Di hibur dengan tari-tarian adat sebagai bentuk rasa syukur kami kepada hutan yang telah melindungi dan menghidupi kami. Sebagai ibu dari kepala suku, ibulah yang selalu menyanyikan tembang-tembang itu. Pada saat sempurnanya bulan purnama.
Hari itu, nampak beda. Hutan sepi. Tak ada seekor binatang yang berkeliaran. Hingga matahari di atas kepala, kami hanya dapat seekor babi hutan. Ayah mulai cemas. Padahal, kebutuhan kami hari ini sangat banyak. Ya! Minimal dapat empat atau lima ekor. Tidak biasanya, kami berburu sampai siang hari hanya mendapat satu ekor. Apakah karena hari ini musim kemarau? Rasanya tidak.
Kami terus berburu. Setidaknya, ayah yang memberi motivasi kepada kami yang mulai tak bernafsu untuk berburu. Kami terus menyusuri hutan, melewati lembah, mengarungi sungai, dan rawa-rawa. Ketika sampai di pinggir sungai, aku melihat seekor burung Elang di dahan pohon besar. Aku ragu memanahnya. Hanya seekor burung, gumamku. Tapi tak apa, dari pada tidak sama sekali. Aku ambil anak panah. Sekali bidik, wus…s… anak panahku tepat mengenai jantung. Burung Elang itu jatuh. Sayang, jatuh ke sungai. Dengan tangkas buaya penghuni sungai itu melahapnya. Aku kecewa.
Hingga menjelang sore, yang kami dapat hanya seekor babi hutan dan seekor anak Rusa. Kami terus menyusuri hutan, hingga sampai pada perbatasan yang membatasi wilayah suku kami dengan penduduk Meru. Sebenarnya, batas itu adalah buatan kami yang tidak ingin berdekatan dengan mereka, apalagi bersentuhan. Hutan semakin habis di tebang mereka. Kehidupan orang rimba semakin terhimpit. Digunduli dan disulap menjadi kebun karet dan kelapa sawit maha luas.
Demi melestarikan hutan yang telah dititipkan Nenek Moyang kami secara turun temurun, maka perlu kami bertindak cepat agar hutan tetap hidup. Seperti memberi batas dan mengusir orang Meru yang mencoba merusak hutan. Mereka tak tahu, kami membuat batasan dengan mereka. Jika mereka melanggar, kami akan menyerang habis-habisan tanpa ampun.
Kami kembali lagi ke dalam hutan. Ada rasa kecewa di mata ayah. Sebagai kepala suku, ia harus bertanggung jawab. Nanti malam adalah perayaan bulan purnam yang ke sepuluh, sebagai bulan penutup pada bulan-bulan lalu. Bagaiman mungkin, perayaan yang sangat besar itu hanya dihias dengan seekor babi hutan dan anak Rusa. Mereka pasti kecewa.
“Paduka, lihat..lihat,” salah satu pengikut yang paling muda melihat sesuatu dari semak belukar. Ada dua ekor bintang. Saling menyalurkan nafsu. Yang betina sedang nungging dan yang jantan setengah berdiri di belakang betina itu.
“Itu iwak,” katanya kemudian.
Ayah dan yang lainnya merasa sangat senang. Dua sekaligus, pikirnya. Seandainya dapat, hasil buruan sudah lebih dari cukup. Upacara akan berlangsung meriah. Ayah menyuruhku membidik yang betina, sementara ia mengarhkan bidikannya pada yang jantan. Aku ragu, baru kali ini aku melihat binatang bentuknya seperti itu. Apakah itu binatang dari hutan seberang? Ataukah orang Meru?
“Ayah, apa benar itu iwak? Mirip kita dan orang Meru,” aku mengungkapkan keraguanku.
“Ya! Itu iwak.”
“Mirip manusia, sepeti orang Meru.”
“Bukan, itu iwak, bukan orang Meru.”
Aku masih ragu. sekali lagi, baru kali ini aku melihat binatang seperti itu. Mirip manusia, berkulit putih. Namun, pandangan ayah tetap berbeda. Ia sangat yakin jika itu iwak. Ayah menjelaskan, tak mungkin itu orang Meru atau pun suku kami. Orang Meru tak mungkin bertelanjang di tempat terbuka. Begitu pula dengan suku kami. Meski hanya nenggunakan koteka3 sebagai penutup dari alat kemaluannya. Sementara binatang itu tak memakai apa-apa. Tak ada balutan sedikit pun yang menutupi. Seperti iwak. Memang itu iwak, kata ayah
Aku meyakinkan diri—tepatnya memaksa untuk yakin. Ayah menepuk pundakku pertanda aku harus siap. Aku mengangguk. Aku dan ayah mendekatinya, menyelinap di antara semak belukar. Iwak itu asyik mengumbar nafsunya, sehingga aku dan ayah lebih leluasa semakin mendekat.
Kedua orang itu—aku tetap ragu menyebutnya binatang—sedang asyik bermain-main dengan kemaluannya. Yang jantan mengeluar-masukkan alat kelaminnya, sedang yang betina tetap nungging dan terus mendesah nikmat.
Jarak, aku rasa sudah dekat. Aku menarik anak panah dan mulai membidik. Anak panah lepas. Busur merenggang. Dua anak panah itu––punyaku dan punya ayah––melaju cepat. Seperti di arena balap. Mengenai sasaran. Kedua binatang itu mencoba kabur. Berjalan dengan dua kaki—aku heran. Namun, panah yang tertancap terlalu menghabiskan tenaga mereka dan akhirnya terkapar.
Para pemburu berlarian, menangkap, dan menggotong bersama-sama. Kami pulang. Empat ekor sudah cukup untuk upacara nanti. Aku tidak bisa membayangkan seperi apa nantinya upacara purnama kesepuluh itu. Pasti sangat meriah. Apalagi kami di hadiahkan binatang aneh. Semoga saja iwak ini nantinya enak, gumamku.
Malam itu, purnama kembali datang. Cahaya yang sempurna menerobos dari celah-celah pohon. Para suku berpesta pora. Ada yang terus minum, ada pula yang menari sampai teler. Semuanya menyambut datangnya bulan kesepuluh itu. Ayah dan ibu merasa gembira dan bangga karena telah memenuhi tugasnya sebagai seorang pemimpin, membahagiakan rakyatnya. Di bawah terpaan cahaya purnama, ayah dan ibu tersenyum puas melihat para penduduknya bahagia.
Bulan sudah di atas kepala. Saatnya memulai. Para sesepuh memberi aba-aba untuk memulai upacara. Dengan mengacungkan kedua tangannya. Kami lalu melingkar dan mengelilingi api unggun. Membaca beberapa mantra yang biasa kami ucap. Dipimpin oleh sesepuh suku.
Setelah selesai upacara, saatnya berpesta lagi. Makan sepuasnya. Kedua binatang itu di panggang secara utuh. Aku mengambil dua buah benjolan besar di dada betina itu. Empuk, kenyal, dan lezat. Aku tak percaya, belum pernah aku makan danging binatang seenak ini. Begitu pula para suku kami merasa heran, enak sekali. Mereka dengan rakus mengambil daging-dagingnya. Mencomot telinga, mencabik tangan dan paha. Begitu pula aku yang tak kalah rakusnya memakan kemaluan si jantan. Upacara kali ini begitu berbeda dengan upacara-upacara sebelumnya. Aku berharap saat berburu lagi, akan bertemu dengan binatang yang seperti ini. Enak sekali
Aku sangat bersyukur pada hutan.

Keterangan
1. binatang yang dapat di makan
2. panggilan bagi suku anak dalam (SAD) kepada orang luar yang berinteraksi dengan mereka
3. buah labu yang di keringkan sebagai penutup kemaluan

Prasasti luka

Cerpen;Fandrik Hs Putra
Aku tak tahu hari ini apakah yang terjadi pada jiwa ini. Selayaknya hal itu menjadikanku terbelenggu dalam dekapan kegelisahan. Awalnya aku rasa hanya sebuah luka yang berkubanga sekian tahun. Namun, kali ini menjadi sebuah penyakit, ya! Penyakit yang bersarang di batok kepalaku. Seperti benalu, menempel dan menghisap darah, hingga diriku takut pada waktu dan masa lalu.
Sepertinya kau menyisakan sesuatu di hidupku. Entehlah, masih cukup tabu untuk aku pahami. Dalam iringan malam, di sunyi yang mencekam, aku tak pernah bisa bersikap selayaknya seperti manusia normal. Aku berpikir, sudah stadim berapa aku ini?. Mengapa hari-hariku sulit aku gerakkan, padahal aku adalah motor ragaku. Penggerak dari apa yang harus digerakkan.
Aku hanya bisa diam di saat purnama membelah malam. Keindahan tak dapat lagi aku rasakan sebagai penyejuk hari yang lelah selepas mengindahkan hidup yang berlalu. Seperti bunga yang merundukan kumbang, hingga larut dalam kelayuannya sendiri. Tanpa ada satupun yang menyala dalam secerhah harapannya. Layu. Beku.
Secarik dalam kertas putih itu bisa aku baca meski sebagian telah lusuh. Namun mata ini terus mencoba memahami kata demi kata yang tertulis sebagai prasasti cintaku. Mencoba menafsirkan bekas luapan dari bibir mungilmu. Dari tuluisan itu, bayangan wajahmu kini nampak buram, tidak seperti pertama kalinya aku mendapati surat itu darimu.
Aku bingung, mengapa penafsiranku kini berubah terhadap surat itu. Padahal, dulu tidak demikian. Apakah dulu aku menafsirkannya dalam kubangan emosi yang menengelamkanku pada ketidak percayaan. Aku terkurung di dunia dimensi. Dunia yang cenderung selalu berubah–ubah. Sungguh setan sangat lihai sekali memanfaatkan perasaan manusia.
Aku paham dalam ketidak normalanku; angan aku lemparkan sejauh mungkin sampai aku mendapatkan sketsa kepedihan itu. Aku sebenarnya menolak memasuki lagi lorong yang sudah aku anggap tetutup itu. Bagiku itu hanya sebatas angin di musim cinta Namun, lagi-lagi gemuruh cinta ini memberontak dan menghardikku agar menelusuri pemaknaanmu lebih jauh.
Surat itu masih aku pegang. Yang sebagian sudutnya sudah termakan waktu. Maksudku, termakan rayap, namun tak seberapa parah. Tidak sampai menghilangkan keutuhan pesan yang tertuang dalam prasasti cinta itu.
Surat itu masih aku pegang. Mataku meliuk-liuk mengikuti arah dari setiap pena yang membentuk kata. Aku bukan hanya mengeja huruf demi huruf itu. Bahkan aku mengikuti setiap jalannya tinta yang membentuk huruf itu tanpa putus-putus. Ya! Aku ingin memahami pesanmu melalui tinta itu. Aku takut jika hanya memahami tulisan itu dari luarnya saja, aku semakin tak terarah berjalan di atas normalku.
Surat itu tetap ada di tanganku. aku gemetar, seluruh saluran darah ambrul dan tak terkendali seperti banjir yang terjadi akhir-akhir ini. Jiwaku tak dapat memahami, degupan jantungku tak lagi berirama dengan indah. Aku tak bisa memahami pesan kalimat terakhir dan juga sebagai penutup yang tertulis di prasasti cinta kita. Kalimat itu berbunyi ”pahamilah dengan hatimu”.
“sebelum aku menunggu?”ucapku datar.
Guluk-guluk 2009