Monday, December 26, 2011

Lan Fang; Seraut Kenangan

Tulisan ini adalah serangkaian tulisan saya tentang Lan Fang; Tak Disangka Bertemu Dengan Lan Fang, Lan Fang: Annuqayah Adalah Rumah Kedua, dan Catatan Parade Cerpen untuk Sanie B Kuncoro di Jawa Pos, yang saya coba kumpulkan menjadi satu tulisan dengan penyelarasan yang seperlunya.

***
Saya termasuk orang yang terlambat mendengar kabar kematian sastrawan Lan Fang. Ketika ia meninggal dunia bertepatan dengan hari Natal 2011, di Rumah Sakit Mount Elisabeth Singapura, Minggu siang, ketika seluruh umat kristiani merayakan hari Natal. Saya baru mendengar kabar itu dari teman setelah solat maghrib.

Saya tidak lantas memercayainya. Mengapa Rumah Sakit Mont Elisabeth Singapura? Padahal lima hari lalu saya mendapat kabar kalau ia akan dirujuk ke Ghuangzou, Tiongkok. Saya pastikan kebenaran kabar itu via facebook. Ternyata, seluruh teman-temannya sudah meletupkan duka cita di jejaring sosial itu. Tak terkecuali mbak Wina Bojonegoro sahabat dekatnya.

Kesedihan bersesak. Kehilangan berurai air mata, ketika saya membaca catatan yang ditag oleh Mbak Wina. Saya sangat merasakan betul tentang rasa kehilangan yang dirasakan olehnya dan oleh para sastrawan lainnya. Saya merasa tidak seberuntung Mbak Wina—meski keberuntungan itu terasa menyakitkan—karena sempat menemaninya berjuang di masa-masa kritis hingga menjelang kematian.

Ketika sudah tiada, waktu saya sadari berjalan cepat. Saya bertemu dengannya ketika ia diundang untuk membedah novelnya Ciuman Dibawah Hujan, pada moment Festifal Cinta Buku III (FCB) Instik Annuqayah, kampus saya, bulan Maret lalu. Saya sempat mencatat luapan kegembiraan saya ketika bertemu dengannya. Begini ceritanya.

Setelah selesai Solat Jumat (20/5), saya langsung turun dari Masjid Jamik Annuqayah menuju kantor Sekretariat Bersama PP Annuqayah yang terletak di simpang tiga jalan menuju kampus, tepatnya sebelah utara Madrasah Ibtidaiyah (MI) Annuqayah. Saya sengaja cepat-cepat turun dari masjid karena harus mengerjakan dan menyelesaikan satu tulisan untuk rubrikasi pada buletin yang akan diterbitkan oleh Biro Publikasi, Informasi dan Kepustakaan, PP Annuqayah.

Siang itu, terik matahari menyengat ubun-ubun. Saya mempercepat langkah agar segera menyelesaikan tulisan sebelum saya menghadiri acara bedah buku Ciuman Dibawah Hujan di Auditorium As-Syarqawi. Bagi saya, menghadiri bedah buku itu adalah wajib, karena saya sangat senang dengan karakter tulisannya.

Saking terburu-buru, badan saya mandi keringat. Untung saya memakai dua pakaian: kaos lengan panjang dan baju koko yang semuanya berwarna cokelat, sehingga keringat yang keluar dari punggung, dada, dan (maaf) ketiak saya tidak kelihatan. Hanya, wajah saya saja yang ketahuan banjir keringat.

Pada jarak kira-kira 25 meter dari simpang tiga itu, saya melihat seseorang yang tengah duduk di pingir jalan, di bawah gedung Madrasah Ibtidaiyah Annuqayah. Saya mengamati orang yang menyandang tas kecil dan di sampingnya ada dua kresek berwarna merah besar yang saya tidak tahu apa isinya.

Lho, bukankah orang itu adalah Lan Fang? Kata saya mereka-reka. Baru pada jarak yang cuma 10 meter, saya bisa memastikan bahwa orang itu adalah Lan Fang, penulis novel Ciuman Dibawah Hujan. Saya pun heran melihatnya, toleh kanan toleh kiri, seperti orang yang sedang kebingungan.

Mengapa dia berada di sini? Pertanyaan kedua muncul. Akhirnya saya memberanikan diri menyapanya. Siapa tahu orang yang jauh-jauh datang dari Surabaya itu butuh bantuan.

Sampeyan, Mbak Lan Fang, kan?” sapa saya. Saya tahu, dia biasa dipangil Cece Lan Fang di sini. Tapi karena saya sedikit gugup, ya, yang keluar bukan “Cece” tapi “Mbak”.

“Lho kok tahu. Kamu siapa?” dia malah balik bertanya.

Langsung saja saya jawab. ”Saya adalah orang yang sangat suka pada karyanya mbak. Mbak lagi nunggu siapa?” tanyaku lagi.

“Saya nunggu Neng Ovie (Shofiah A. Win). Adik tahu, rumahnya Neng Ovie?”

“Tahu, Mbak. Apa k perlu saya antar ke dhelem beliau?” Saya menawarkan diri.

“Oh, kalau begitu mari tolong saya antarkan ke rumahnya Neng Ovie,” katanya langsung berdiri.

Wah, tawaran itu sangat menyenangkan hati saya. Betapa tidak, dia adalah orang ke dua yang tulisannya sangat saya sukai setelah mas Seno Gumira Aji Darma. Langsung saja saya sambar kedua kresek yang ada di sampingnya.

Lalu, saya terlibat remeh-temeh pembicaraan dengannya dan menanyakan kenapa dia berada di sini—seperti orang yang sedang kebingungan—kenapa kok tidak langsung saja ke tempat acara. Ia menjawab Travell yang ia tumpangi menumpahkannya di simpang tiga toko ABC (Annuqayah Business Centre). Alasan supirnya, jalan ke kampus yang tinggal kurang lebih 200 meter bukan rutenya lagi. Maklum, meski jalannya beraspal, jika dimasuki mobil hanya bisa dipakai satu arah.

Begitulah, dalam perjalanan, saya banyak bertukar cerita seputar dunia kepenulisan. Saya juga mengatakan kalau saya adalah penikmat tulisan-tulisannya. Ia tersipu-sipu. Dari sinilah pertemanan saya dengannya dimulai.

Komunikasi saya dan Lan Fang semakin terjalin. Usai mengisi acara bedah buku, saya berkesempatan untuk mewawancarainya untuk dimuat di blog annuqayah www.annuqayah.blogspot.com.

Kedatangannya ke PP Annuqayah kala itu adalah yang ke tiga kalinya. Sebelumnya ia pernah mengisi workshop kepenulisan yang diadakan oleh Madaris 3 PP Annuqayah (29/07/2010) serta pada pelatihan menulis fiksi dalam lanjutan kegiatan karantina menulis PPA Lubangsa Putri (05/02/2011).

Dia banyak berkomentar tentang Annuqayah. Ia mengatakan bahwa Annuqayah adalah rumah keduanya. Bukan tanpa alasan perempuan yang mengaku telah menekuni karir di dunia kepenulisan sejak tahun 1986, mengatakan demikian. Ia sangat tersanjung atas sambutan orang-orang pesantren yang sangat ramah. Di samping itu, ia juga sudah sangat berteman baik dengan K Faizi, Neng Ovie, Gus Mamak, dan keluarga mereka.

“Pesantren di sini sangat bagus. Nilai-nilai kepesantrennya sangat terjaga seperti akhlakul karimah. Berani bersikap terbuka dengan dunia luar selama tidak merusak nilai-nilai kepesantrenan. Saya merasa nyaman di sini,” katanya.

Perempuan kelahiran Banjarmasin, 5 Maret 1970, menilai bahwa animo santri untuk menulis sangat besar. Tetapi dari sisi kuantitas tersebut, ternyata kualitas tulisan mereka masih jauh di bawah rata-rata. Menurutnya, kerendahan kualitas itu dikarenakan kurang menjiwai dan merenungi terhadap apa yang ditulisnya.

“Kebanyakan penulis sekarang memang maunya yang instan, ingin cepat-cepat menyelesaikan tulisannya. Padahal dalam menulis itu perlu banyak mengali gagasan-gagasan yang diikuti dengan sebentuk perenungan, apakah tulisan itu sudah menjawab inti persoalan yang akan diangkat,” tuturnya dengan semangat.

Lantas dia mencontohkan pada perayaan ulang tahun Indonesia-Tionghoa (Inti) tahun 2008. Lomba menulis cerpen se-Jawa Timur adalah salah satu bagian dari perayaan itu. Kebetulan, ia yang menjadi jurinya. Lan Fang kaget, ternyata naskah cerpen yang banyak masuk dari kabupaten Sumenep. Namun, dari sekian ratus naskah yang masuk itu tidak ada satu pun yang lolos seleksi dan menjadi juara.

“Tetapi ketika mereka mengekspresikannya dalam bentuk fisik, misalkan teater dan baca puisi, performanya top banget. Mereka bisa sangat menjiwainya. Bahkan hati saya juga tersentuh ketika menontonnya. Contohnya, pada perayaan Festifal Sastra Surabaya (FSS) 2010. Dalam teater dan baca puisi, pemenangnya didominasi oleh orang-orang sini (Madura),” ungkapnya panjang.

Saya pun semakin akrab, sering berkomunikasi via facebook. Banyak hal yang dibicarakan, terutama tentang dunia tulis menulis. Ibu dari tiga anak kembar itu tidak sungkan-sungkan berbagi ilmu dengan menjawab beberapa pertannyaan saya seputar kepenulisan. Bahkan saya sempat menawarkan kepadanya untuk bersedia menjadi editor novel pertama saya, Asmara Dibalik Asrama. Dia tidak mau. Katanya terlalu banyak pekerjaan.

Pada suatu kesempatan, saya memposting cerpen saya yang ditahbiskan sebagai juara pertama pada event FCB III itu. Judulnya Ziarah. Lan Fang adalah salah satu orang yang di-add dalam catatan itu. Ia banyak berkomentar bahwa tulisan saya kurang ini dan itu, tetapi dari penceritaan dan pesan moral yang diangkat sudah bagus. Katanya, “pantaslah cerpen ini ditahbiskan sebagai pemenangnya.”

Saya semakin bersemangat untuk menulis. Memperbaiki beberapa kesalahan dan yang terlupakan ketika merangkai kata, sesuai dengan apa yang diajarkannya.

Pada suatu kesempatan dikemudian hari pada akhir bulan Mei, saya diajak turut serta berpartisipasi pada kegiatan yang ia gagas, yaitu Parade Cerpen Untuk Sanie B Kuncoro di Jawa Pos. Mbak Sanie adalah seorang sastrawan yang divonis mengidap penyakit kangker payudara sejak awal tahun 2011. Maka kemudian terpilihlah orang-orang yang akan ikut pada parade cerpen itu: Lan Fang, saya, Wina Bojonegoro, dan Musa Hasyim, santrinya KH Salahuddin Wahid, Tebu Ireng Jombang.

Pada awal bulan Juli, parade cerpen itu dimulai. Diawali dengan Bai She Jing cerpen Lan Fang (10/07), Cerita Panjang di Sebuah Kereta cerpen Musa Hasyim (17/07), Kubah cerpen Fandrik Ahmad (31/07), Lelaki Berbulu Cerpen Wina Bojonegoro (06/08), dan sebagai penutup Kembang Pepaya Cerpen Sanie B Kuncoro.

Bulan Ramadhan, Tanggal 17 Agustus 2011, saat mudik ke Jember, saya menyempatkan diri mampir di rumahnya, di perumahan Pondok Maspion Ea 11 Pepelengi, Waru, Sidoarjo. Itulah saya datang ke rumahnya pertama kali. Disamping bersilaturrahmi, saya ingin mengambil kumpulan cerpen mbak Sanie B Kuncoro sebagai cindera mata untuk saya yang dititipkan kepadanya. Oh, ya, kala itu saya juga membawa titipan 15 batik dari Neng Ovie. Kata beliau batik itu memang pesanan Lan Fang.

Cukup lama saya berada di rumahnya. Dari jam 11.00-17.00 WIB. Sehingga pertemanan saya dengan ketiga anak kembarnya; Vajra Yeshie Kusala, Vajra Virya Kusala, dan Vajra Vidya Kusala terjalin dengan baik. Mereka sangat ramah dan mudah bergaul. Saya tidak banyak berbicara dengan Lan Fang. Setelah saya datang, ia langsung keluar membawa batik itu. Katanya untuk dibagi-bagikan sebagai hadiah menjelang lebaran. Namun, sebelum ia keluar rumah, dia memberikan saya tiga bungkus kopi bubuk yang kemudian saya bawa pulang sebagai oleh-oleh untuk keluarga dan sebagai pengantar cerita perihal kunjungan saya ke rumahnya.
Dari ketiga anaknya, saya paling dekat dengan Koko, bocah tergemuk dan terpendek diantara dua saudaranya. Bahkan, saya diajak berkenalan dengan ayam-ayam piaraannya. Saya diajari tentang macam-macam ras ayam; nama-nama ayam, dari negara apa, dan hasil kawin silang dengan apa, dlsb. Kami terlibat tawa ceria ketika ayam-ayamnya diuber-uber oleh kucing piaraannya sendiri. Setelah itu, giliran saya yang mengajarinya tentang bagaimana caranya menyetek bunga. Waktu itu saya mencontohkan dua bunga mawar beda warna, merah dan kuning, yang dijadikan satu.

Pertemuan kedua saya dengan alumnus Fakultas Hukum Universitas Surabaya (UBAYA) jatuh pada hari Jumat sore tanggal 09 September 2011 Pukul 15.45 WIB. Lagi dan lagi. Ketiga anaknya menyambut saya dengan sangat gembira. Kesan yang sangat tidak akan saya lupakan.

Sepuluh menit kemudian, Musa Hasyim, santri asal Tebu Ireng, Jombang itu tiba pula di rumah Lan Fang. Setelah melaksanakan solat Ashar, kami bertiga langsung menuju kantor redaksi Jawa Pos, Jl. A. Yani lt.4 Surabaya. Menurut Lan Fang, pak Budi Dharma dan Mbak Sanie sudah menunggu kami di sana. Mendengar nama pak Budi disebut, ada kebanggaan tersendiri bagi saya, karena akan bertemu dengan begawan sastra sekaligus Guru Besar Emeritus di Universitas Surabaya. Kami sempat pose bersama dengan pak Budi sekaligus memamerkan cerpen-cerpen kami yang tergabung dalam parade cerpen tersebut.

Setelah prosesi penyerahan donasi cerpen, kami sempat berkunjung ke kantor redaksi tabloid Nyata. Ditemani pak Siswadi, kami bermusyawarah bagaimana melanjutkan parade cerpen itu. Lan Fang mengusulkan agar parade itu dilanjutkan kembali di tabloid Nyata dengan format yang berbeda, misalkan satu judul yang sama tentang perempuan. Entah bagaimana caranya, hal ini belum menuai kesepakatan. Tetapi pada intinya, ia menginginkan agar nantinya cerpen-cerpen dalam parade itu dibukukan menjadi semacam antologi atau booklet. Karena waktu yang sudah terlalu malam, musyawarah hanya mentok di situ tanpa menghasilkan satu kesepakatan pun.

Tidak hanya itu, di di depan kantor redaksi tabloid Nyata, satu lantai di bawah kantor Jawa Pos, saya, Lan Fang dan penulis lainnya masih narsis-narsisan, jeprat-jepret dengan berbagai pose sebelum kami keluar Graha Pena.

Pukul 19.08 WIB, kami sudah berada di depan Graha Pena. Mbak Wina dan Mbak Sanie mohon pamit. Musa Hasnyim dengan temannya ke Royal Plaza. Tinggal saya dengan Lan Fang. Ia menawarkan apakah langsung tolak ke Madura atau mau menginap di rumahnya. Karena dimungkinkan Jam dua belas malam saya baru sampai di pondok, saya memilih menginap di rumahnya saja.

Esok hari, pukul enam pagi, saya pamit pulang kepada pembantunya. Namun ia tak mengizinkan karena Lan Fang masih tidur. Saya disuruh menunggunya bangun. Sampai jam setengah tujuh Lan Fang dan ketiga anaknya masih belum bangun. Saya pulang ketika mereka masih terlelap.

Ketika sampai di halaman rumahnya, ketiga anaknya yang sedari tadi masih tidur, bagun terburu-buru. Berhamburan keluar menyalami saya. Saya pandangi wajah mereka satu-satu. Lucu sekali: mata mereka merem melek dengan rambut acak-acakan.

“Kapan-kapan kembali lagi ya, kak. Aku masih ingin bermain lagi dengan kakak,” kata dik Koko. Saya hanya menjawab dengan senyuman serta mengucek kepalanya.

Memasuki penyebrangan Tanjung Perak-Kamal, isyarat pesan masuk berbunyi. Lan Fang, “maaf drik, saya tidak bisa mengantarkanmu ke terminal. Semalaman saya capek.” Saya balas, “tidak apa-apa ce, justru saya yang meminta maaf karena tidak menunggu cece bangun.”

Sebulan setelah itu, K Faizi mengabarkan kalau ia sedang sakit. Karena khawatir akan kesehatannya, saya mengirim SMS, “ce, bagaimana kabarnya? Katanya cece sakit?” Tak lama kemudian balasan itu datang, ”ah, tidak apa-apa, cuma pusing karena kecapean, dibawa istirahat sudah pada sembuh.” Saya lega. Saya bisa terima alasan itu karena yang saya ketahui saat mengunjungi rumahnya, ia sepertinya orang yang super sibuk. Kesimpulan saya, wajar bila demikian.

Tanggal 20 Desember 2011, sepulang acara Workshop di Universitas Jember, saya mendengar kabar dari Mbak Wina via facebook kalau Lan Fang akan diberangkatkan besok (21/12) Ke Ghuangzou untuk dioperasi. Saya terkejut, kenapa harus ke luar negeri? Apa sakitnya parah? Ini sayang saya klarifikasi kepada mbak Wina bahwa ternyata ternyata ia menderita penyakit kanker liver, katanya (namun media menyebutkan kalau ia Menderita kanker payudara. Entahlah dimana yang benar).

Seandainya saya tahu sehari sebelum tanggal 20 Desember kalau Lan Fang sakit, saya pasti menyempatkan diri berkunjung ke rumahnya. Sungguh, ini yang saya sesalkan.

Hingga sampai pada hari kelima, ketika semua umat kristiani merayakan hari Natal, penulis yang kerap memenangkan lomba yang diadakan oleh Femina itu menutup mata untuk selamanya. Semua masyarakat sastra merasa kehilangan salah satu penulis terbaiknya. Ya, Meski Lan Fang masih tergolong penulis yang muda (41), karya-karya yang dihasilkan sangat banyak. Baik cerpen, prosa, dan novel.

Saya ingat betul ketika ia menggagas parade cerpen untuk kesembuhan mbak Sanie agar perempuan penderita kanker payudara itu tetap bersemangat menjalani hari-harinya. Namun, Tuhan memiliki cerita lain. Sebagaimana diberitakan di media, ternyata Lan Fang juga menderita penyakit ganas tersebut. Apakah karena ini alasannya untuk menggagas parade itu? Sama-sama menderita penyakit yang ia derita.

Saya sangat berhutang budi kepadanya. Ia telah sedikit banyak menularkan ilmunya kepada saya. Bukan hanya ilmu sastra, tetapi juga ilmu-ilmu sosial. Lan Fang telah mengorbitkan saya bagaimana menjadi penulis yang peduli terhadap sesama. Saya pernah mengatakan kepadanya,”ce, saya sangat bangga sekali tulisan saya bisa "sedikit" berarti kepada semangat hidup orang lain. dan ini adalah yang terindah dalam sejarah kepenulisan saya.” Ia mengatakan, “like!”

Dialah guru sastra saya. Saya akan berusaha mengumpulkan seluruh karya-karyanya. Kemudian saya akan mempelajari dan meniru bentuk karakter tulisannya, agar saya merasakan kalau Lan Fang tetap hidup dalam tulisan-tulisan saya.

Selamat jalan, Ce. Selamat jalan bersama ajaran agamamu di alam sana. Saya akan selalu merinduimu. Terima kasih atas semuanya. Saya akan berusaha menjadi penulis yang cece inginkan.

Annuqayah, 27 Desember 2011

Saturday, December 24, 2011

Punk Rock Jalanan

(Majalah Hijrah, Edisi II Desember 2011)

Pekikan gitar menggema. Suara sumbang membahana dalam gerbong. Beberapa penumpang memberikan uang receh saat kusodorkan sebungkus Mie Sedap kosong. Kutelusuri gerbong-gerbong itu penuh semangat. Tak lupa seutas senyum aku haturkan pada mereka.

Saat kepala kereta api yang memanjang nampak semakin membesar memasuki stasiun, aku, si pengamen tetap di stasiun Kalisat, bersiap diri menghibur penumpang dengan gitar kecil. Berdiri di sisi jalur 1 atau jalur 2. Pengamen tetap adalah sebutan untukku sendiri tanpa ada pengakuan dari orang lain. Di stasiun itu tak ada pengamen legal atau pengamen kontrakan. Tidak. Semua tak ada. Aku katakan demikian karena aku tak pernah mencoba mengadu nasib di tempat lain; di Mall, di Kafe, atau di pasar-pasar sekalipun. Suara dan petikan gitarku hanya menggema di sekitar gerbong dan peron stasiun itu.

Jangan kira aku tidak terkenal. Orang-orang sudah banyak yang mengenaliku. Si Mattahli, dua puluh tahun menjadi pengamen di stasiun Kalisat. Tapi, jangan kau tanya siapa saja, aku ragu menjawabnya. Bukan aku tidak tahu, mereka juga bukan tak tahu siapa aku. Mereka tahu hanya tak mau tahu, karena aku hanya pengamen sebuah stasiun, bukan “pengamen” televisi.


Kereta api gaya Sri Tanjung jurusan Banyuwangi-Yogyakarta sudah berhenti di jalur 2. Beberapa penumpang naik-turun dari gerbong itu. Suara riuh bercampur aduk. Ada yang menjemput, ada yang melepas. Orang-orang berebut menawarkan jasa tranportasi. Dari abang becak sampai supir taksi.

Aku belum berani masuk ke dalam untuk menghibur para penumpang. Aku masih menunggu masinisnya keluar dari kepala kereta. Bukannya aku takut dimarahi, bukan pula takut kena pidana. Aku menunggunya hanya bermotif persahabatan. Ya! Aku selalu menunggu masinis kereta itu keluar dan melambaikan tangan padaku. Maka, barulah aku beraksi menghibur para penumpang. Kebiasaan ini sudah aku lakukan sejak dua puluh tahun yang lalu.

Penumpang yang naik-turun sudah kelihatan sepi. Masinis yang aku tunggu-tunggu baru keluar disertai dengan lambaian khasnya. Segera aku balas lambaian itu berikut dengan senyum renyahku. Kewajiban telah kutunaikan. Aku persiapkan gitar, sebelum langkah pertama ditegakkan. Segera aku menyisir gerbong-gerbong itu.

Secepat kilat kakiku melompat ke dalam gerbong. Wajah-wajah lelah sudah biasa aku temui. Aku berdiri di muka layaknya pramugari di pesawat terbang, tepatnya di tengah-tengah pintu gerbong. Tak pernah lupa kuberikan kata sambutan sebelum memetik gitar sembari berdendang. Mereka merupakan mutiara hidupku. Rejeki yang dititipkan Tuhan.
Sebuah lagu yang masih sangat terbilang populer kunyanyikan. Alamat Palsu meluncur dari suara sumbangku.

Tiba-tiba, memasuki pertengahan lagu, bocah yang duduk di depanku mabuk. Ia muntah. Sepatu bututku belepotan dengan muntahannya. Menjijikkan. Sempat aku berhenti berdendang.


“Maafkan anak saya mas,” ungkap ibunya cemas.

“Tak apa, bu,” ucapku ramah. Ia itu tersenyum.

Segera kembali kupetik gitar. Ke sana ke mari membawa alamat…

Usai bernyanyi, kukeluarkan plastik bungkus Mie Sedap dari dalam kantong. Kuulurkan pada mereka. Berharap ada logam yang jatuh. Tak banyak memang, juga tak sedikit yang bersikap tak acuh dan memalingkan muka saat menyodorkan “dompetku”. Yah! Itu biasa. Aku tak mempermasahkannya. Tujuan utamaku adalah untuk menghibur. Perkara urusan uang, itu efek samping dari apa yang kukerjakan.

Satu gerbong, satu lagu dihargai 5.100 rupiah. Lumayan juga. Lebih dari cukup untuk sekali mengganjal perut. Dalam satu kereta, aku hanya bisa memetik gitar di dua gerbong saja. Aku sudah memperhitungkan waktu yang aku punya. Untuk penumpang dan untuk masinisnya.

Aku tak pernah absen meluangkan waktu menghibur kepenatan masinis. Untuk yang satu ini, aku tak menyodorkan apa-apa. Berikhlaskan diri. Aku tahu, betapa berat menjadi seorang masinis. Disamping jarang pulang berbaur dengan anak dan istri, ia juga “menanggung” ratusan bahkan ribuan nyawa manusia.

Seperti biasa. Lagu-lagu lawas selalu menjadi pilihan utama mereka. Katanya, lebih mengasyikan dari pada lagu-lagu band, koplo, atau pun lagu disco. Saat aku menyanyi sembari memetikkan gitar, terpancar rona kebahagiaan di wajah mereka. Mereka yang rindu pulang.

Aku melompat dari atas lokomotif. Seutas senyum kuberikan sebagai bekal perjalanan. Kereta api melaju kembali. Di peron, lambaian tanganku mengiringi kepergian mereka. Selamat jalan kawan!

Aku melangkah menghampiri seorang gadis yang tengah duduk sendirian. Yang sempat aku tinggalkan barang sejenak. Yang selalu menungguku di peron paling utara, di bawah jam dinding stasiun kala aku bertugas memainkan gitar. Gadis yang telah menemaniku sejak empat belas tahun yang lalu. Umurnya kira-kira lima tahun lebih muda dariku.

“Coba tebak, aku dapat berapa?” kataku.

“Sembilan ribu tujuh ratus?” cetusnya tanpa ragu.

“Ya, tepat sekali!” Seutas senyum terurai dari bibirnya yang kusam.

Oh, ya! Delia nama gadis itu. Bagus kan untuk ukuran nama gadis stasiun macam dia. Ia baik, peramah, pemurah, dan satu lagi, ucapannya selalu menghiburku. Kedua matanya tak bisa melihat. Tapi ia tak tampak seperti gadis buta. Kecantikannya tak berkurang. Tatapannya tajam meski baginya terasa kosong. Delia tak pernah mempermasalahkan kekurangannya. Ia selalu optimis. Katanya, tak punya mata sungguh lebih baik dari pada tak punya hati. Buktinya, dia bisa menebak berapa banyak hasil uang yang aku dapat.

Empat belas tahun yang silam, aku menemukan Delia kecil kehujanan di sisi stasiun. Menangis. Pakaiannya basah. Aku tanyakan mengapa menangis, ia tak menjawab. Aku tanyakan asal-usulnya, ia juga tak menjawab. Akhirnya, aku menyerah. Aku duduk di sampingnya, tanpa memperdulikan keberadaannya.

Sambil menunggu Kereta Api dari Surabaya yang akan tiba setengah jam lagi, aku lebur bersama permainan gitarku. Kupetik benang-benang itu dengan gemulai. Kulantunkan lagu sendu sebagai pengiring turunnya hujan.

“Suaramu bagus,” kata Delia memujiku.

“Kata orang suaraku hancur. Yang bagus itu petikan gitarku,” aku mengelak.

“Tidak! Suaramu yang bagus,” katanya lagi.

“Terserahlah. Toh, suara gitar dan suaraku saling melengkapi.”

“Maukah kau menyanyikan sebuah lagu untukku?” pintanya.

“Lagu apa?”

“Terserah. Aku hanya ingin kau bernyanyi untukku.”

“Tapi sebelum aku menyanyi, maukah kau menjawab satu pertanyaanku?”

“Jika tidak memberatkan.”

“Mengapa kau berada di sini?” ucapku.

“Aku suka bunyi Kereta Api,” katanya tanpa beban.

Cerita masa lalu mengalir dari mulutnya. Kakeknya adalah seorang masinis. Meskipun jarang berada di rumah, setiap kakeknya usai bertugas, ia selalu mendapat oleh-oleh. Tapi, kakek yang tiap kali tiba di rumah dan selalu memakaikan topi masinis ke kepalanya, sudah tiada lagi. Dua bulan yang lalu, kakeknya meninggal dunia.

Delia sangat terpukul. Kehilangan kakeknya lebih berat dari pada kehilangan penglihatannya. Ia tidak punya siapa-siapa lagi. Ia tak mengenalikedua orang tuanya. Kakeknya tak pernah bercerita.

Delia memang tak bisa melihat, tapi ia bisa menitikkan air mata. Aku tak mau membawanya larut dalam kesedihan. Segara kupetikkan gitar. Mengajaknya bernyanyi bersama.

Sejak saat itu, hidupanku damai bersamanya. Gadis buta itu telah membukakan mata hatiku, bahwa sebenarnya hidup tak habis segalanya. Aku ingin menikahinya. Suatu saat nanti, entah kapan, aku ingin menikahinya.

***
Uang yang baru kudapatkan dari hasil memetik gitar diberikan cuma-cuma pada orang yang tak dikenal. Katanya, orang itu lapar dan minta makanan. Lalu Delia memberikan uang itu semuanya.

“Kenapa kau melakukannya,” bentakku tak terima.

“Dia lapar,” jawabnya.

“Dari mana kau tahu kalau dia lapar? Dengan mata,” sindirku tertawa kecewa.

Delia menangis. Air matanya berderai mengiringi kedatangan kereta api Gaya Baru jurusan Surabaya-Banyuwangi. Aku pun tak sempat menelusuri gerbong-gerbong itu. Aku frustasi.

“Jangan sembarangan percaya kepada orang. Bisa saja orang itu menipumu atau bahkan mencelakakanmu,” amarahku memuncak, tapi aku berusaha merendahkan suaraku.

“Lebih baik tak punya mata dari pada tak punya hati,” ucapnya dengan isak tangis yang tersisa.

Terserahlah, adalah hakku menuntut sebuah pertanggungjawaban. Uang itu hasil jerih payahku. Aku melangkah kecewa mendekati jalur dua. Delia, kutinggalkan di tempat biasa. Sesuai jadwal, lima menit lagi kereta jurusan Surabaya-Banyuwangi akan tiba.

Matahari terlihat cerah. Penumpang semakin banyak. Tukang ojek dan kenek semakin merapat. Calo juga ada—entah dengan copet. Penjual makanan, minuman, mainan berteriak dengan gaya khasnya. Obrolan mereka bercampur-aduk. Sesekali aku sempatkan melirik Delia untuk memastikan Gadis buta itu masih berada di tempatnya.

Sinyal Kereta Api masuk stasiun berbunyi. Lokomotif membesar hingga desiran angin menabrakku. Orang-orang berdesakan naik-turun. Dari lokomotif, masinisnya sudah melabaikan tangan. Aku tersenyum. Segera kutelusuri gerbong-gerbong itu. Menyanyi satu dua buah lagu sebagai bekal perjalanan mereka. Sungguh sangat beruntung hari ini, satu lagu dihargi Rp. 10.500! Aku melompat ke gerbong lain. Kupetikkan gitar lagi. Lumayan juga, dapat Rp. 9.700.

Bunyi gitarku berhenti setelah menghibur para masinis itu. Roda baja berputar dan terus menjauhi stasiun. Aku tak sabar mengabarkan kabar gembira ini pada Delia. Karena perbuatan mulianya mungkin rejekiku hari ini amat banyak.

Tapi, sorot mataku tak mendapatkan Delia berada di peron paling utara itu, di bawah jam dinding stasiun. Aku hanya menemukan sebuah topi masinis yang sudah usang. Topi peninggalan kakeknya. Kutelusuri seluruh peron, tempat parkir, loket, dan warung makanan, Delia tetap tak kutemukan.

Uang itu masih kugenggam erat. Berharap ia akan menebak berapa penghasilanku hari ini.

Muara Office, 08.48 PM

Friday, December 9, 2011

Lelaki yang Takut pada Sepi

(Salah Satu Naskah Pemenang Lomba Cipta Cerpen Indonesia 2011)

Bagaimana harus mengatakan kepadamu jika sebenarnya aku adalah lelaki yang takut pada sepi? Seperti angin yang mengabarkan kalau musim semi akan kembali. Gugur daun berbulan-bulan tak perlu risau karena pucuk-pucuk muda siap menyambut pagi lebih bermakna dari kemarin. Maka, pada daun yang terakhir mengucapkan Selamat Tinggal, pucuk-pucuk muda itu akan menjawab Pergilah tanpa Sesal.

Pastilah! Sebelum matahari mengecup kening bumi, dering SMS akan berbunyi atau isyarat panggilan masuk menjerit-jerit. Setiap kata dari ucapan itu satu huruf tak pernah berubah. Selalu sama.

“Pa, sudah salat?” Begitulah bunyi SMS itu. Tak segera kubalas. Tentu kutunaikan dulu salat dua rakaat pagiku. Aku yakin, kamu pasti sedang menunggu balasanku dengan sabar.

Atau bila isyarat ponsel berbunyi….

“Pa, bangun. Tuh, matahari sudah menunggu papa.”

Jika demikian, aku akan langsung menjawab dengan rengekan “iya”, meminjam suara serak bayi karena takut perempuan di sampingku terjaga. Setelah itu, kamu pasti segera menyuruh salat Subuh dan menutup pembicaraan. Entahlah, apa kamu sabar menunggu balasan kabarku seperti menunggu balasan SMS dariku sambil meneguk secangkir kopi hangat di pagi hari.

Maka, saat kutunaikan kewajibanku di pagi itu, kusematkan sejenak doa padamu. Semoga, dalam penantian yang entah pasti kapan, kamu tetap setia dengan pengabdian sepimu. Oh, Tuhan, bagaimana caranya aku harus mengatakan kepada-Mu bahwa di jalan nun jauh itu, ada aral besar melintang. Siap memisahkan kami berdua: problem jarak pengatur denyut kehidupan kami.

Kami harus berpuasa, menahan rindu dan kangen yang tanpa waktu memberontak digoda gelisah. Tapi, satu doa yang menyatu, membuat kami menaruh keyakinan besar bahwa hari raya itu akan tiba dengan sejuta warna dan sejuta melati.

Setahun perjalanan terakhir dari umurku, aku resmi mempersunting Maemunah, sosok muslimah berhati malaikat, alumni di salah satu pesantren salaf. Motif mempersuntingnya karena adrenalinku mengatakan sepi akan mengorok leherku. Kuliahku di jurusan sastra hanya mentok di semester empat, mampet karena persoalan biaya.
Perempuan yang tak pernah menanggalkan berjilbabnya itu begitu setia menungguku. Membawa segepok uang dan membelikan ruko baru untuknya. Dia sudah melarangku merantau ke kota, tapi aku bersikukuh meyakinkan karena dua tahun saat masih kuliah memaksa kehendak bahwa di kota tidak sulit mencari uang.

Ketaatan pada suami mengikhlaskan langkahku…

***

Siang membakar kota…

Sepeda angin yang kutumpangi baru diparkir di sudut utara paling timur gudang umum, tempat penyimpanan bahan-bahan bangunan. Hari ini aku akan menerima gaji bulananku dari Shu In, perempuan blasteran Indo-Cina, bermata sipit dan berkulit kuning. Anak satu satunya Tacik majikanku, pemilik toko bangunan itu. Tapi, perempuan berperawakan tinggi semampai itu lebih dikenal dengan nama Pipin di mata karyawannya, aku, Parjo, Makmun, Suhli, dan Edi yang sok gaul.

Sepeda itu langsung kusandarkan ke dinding gudang tanpa ampun dan menimbulkan bunyi krongsang berkarat. Berangkatlah aku menemui kasir cantik itu.

“Silahkan duduklah!”

“Terima kasih,”

“Ini gajimu bulan ini. Tolong dicek,” katanya meyodorkan amplop putih. Aku langsung memasukkan amplop itu ke dalam celana.

“Aku percaya uang ini pas dengan hasil kerjaku. Aku pamit dulu,” aku melempar senyum lalu menarik kursi ke belakang.

“Tunggu. Bagaimana dengan urusan kita? Apa kau lupa?”

Pipin berdiri. Dia mendekat. Lebih dekat. Semakin dekat. Mendekat. Mendekap…
Aku melihatnya dengan cara berbeda, tidak seperti yang aku kenal selama berhari-hari. Satu ikat janji setia tersematkan pada dua tubuh yang saling berpeluk erat. Sepi ditumbang tangis. Sendiri berpalung rindu. Haruskah ada sesal pada orang yang takut pada sepi?

“Apa di matamu aku begitu istimewa?” pertanyaan itu mengorok sepiku.

“Tidak! Aku hanya mungkin takut kehilanganmu,” jawabku menyilangkan kedua tangan di balik punggungnya.

“Kau sungguh mencintaiku…” Aku tak tahu nada ucapan itu apa mempersoalkan kesetiaanku atau mengukuhkan bahwa aku mencintainya. Sepiku bergulung-gulung menutup setiap bagian lekuk tubuhnya.

Pada garis vertikal yang terbujur dari pangkal rambutnya, kusematkan kekuatan yang melebihi kasih sayangku pada Tuhan. Juga kasih sayangku pada seorang perempuan yang tengah menungguku pulang. Sepiku telah membungkus tubuhnya. Tak ada yang bisa bergerak. Sekedar bibir yang berirama.

***

Bagaimana aku harus mengatakan kepadamu jika sebenarnya aku adalah lelaki yang takut pada sepi?

“Apakah aku harus belajar kesetiaan pada kisah Qais dan Laila?”

“Jangan! Kesetiaan tidak akan menjerumuskan manusia pada lubang maut yang akan memisahkan jiwa dan raga. Kesetiaan Qais dan Laila itu dibangun di atas ketaklukannya pada sepi sehingga mereka memilih untuk mati,” katamu dari seberang.

“Terus, aku harus bagaimana?”

“Tidakkah papa mengeja pada para pendahulu kita. Ingatlah, pa! Hakikat manusia lahir dari kesetiaan yang sebenarnya. Termasuk kita. Tidakkah papa mengeja kisah Adam dan Hawa ketika oleh Allah diturunkan ke dunia yang sangat berjauhan jaraknya? Karena kesetiaan kedua manusia itu dibangun di atas kesabaran, akhirnya Allah mempertemukan mereka setelah sekian tahun berada di dunia keterasingan. Begitulah seharusnya cinta itu dibangun. Bangunlah kesetiaan papa di atas kesabaran, bukan dibangun di atas sepi,” katamu polos.

Kepolosanmu selalu mengalahkan sifat liarku. Aku tidak bisa mengatakan sepatah katapun. Aku hanya bisa menatap wajahmu dalam angan. Berharap kamu tahu bahwa aku telah melihat semua mimpi dalam tahunku. Entah di tahun berikutnya, karena takdir tak selalu sesuai dengan mimpi.

“Lalu, bagaimana aku bisa mengalahkan sepi?”

“Ingatlah aku saat papa memanjatkan doa. Karena doa tiada pernah terikat dengan waktu. Bahkan jarak pun tak akan mampu membendung kedahsyatan doa. Pasrahkan semua pada yang Maha berkehendak.”

Seseorang memanggilku pertanda sarapan pagi sudah siap di meja makan. Aku gelisah. Maka, kancing baju segera kurapikan dan segera mengakhiri pembicaraan itu dengan alasan ingin menunaikan salat Dhuha untuk kemudian memulai pekerjaan.

***

Perempuan yang aku sebut mama itu bercerita bahwa di dunia yang fana ini ternyata ada yang abadi. Dia sangat meyakini hal itu bahwa cinta itu abadi. Tapi, aku masih tetap penasaran, ke mana perginya cinta, bila salah seorang yang sedang menjalin cinta itu harus pergi untuk menjadi tiada, tak peduli entah ke mana?

“Ia hanya dikalahkan oleh nafsu,” begitulah jawabanmu di seberang sana. Singkat, bukan?

“Benarkah? Lalu bagaimana kemudian jika cinta akan mengikuti arus kesementaraan, lalu menghilang di suatu tikungan?”

“Hem, ternyata papa masih belum tahu antara cinta dan nafsu ada sekat yang amat tebal…”

Pada kedalaman hati yang keberapa mil dalam arus kehidupan, aku merasa kamu begitu berbeda. Meski nun jauh di sana, aku bisa merasakan senyummu yang mengembang. Lalu, aku tersenyum saat berkaca pada senyumanmu itu.

Tak pernah kutemukan ucapan bijak seperti itu dari perempuan blasteran Jawa-Cina di sampingku. Meski kamu hanya alumni pesantren salaf, tak pernah mengenal pendidikan formal, cara bicaramu membawa kedamaian. Pancaran imanmu sangat kurasa. Ya, aku menemukan malaikat di dalam dirimu yang akan selalu menegurku jika membuat kelalaian dan kesalahan.

“Wah, mamaku is the best…” godaku.

“Tentu. Karena papa tidak salah memilih mama. Bagaimana? Masakan mama enak bukan? Coba deh sup kuah wortel ini,” dia menyodorkan sendok berisi satu iris wortel di atasnya lalu menyuapiku dengan manja.

Dengan siapa aku berbicara? Kuharap bukan dengan sepiku.

“Ah, papa. Sudahlah, pa, salat Dhuha dulu,” katamu mengingatkan. Bandolan jam berdetak tujuh kali.

“Ya, terima kasih,” cara bicaraku berubah seperti berbicara dengan karib bisnis.

***

Begitu indah bila jalinan keluarga dibangun di atas sabar dan setia. Tetapi, sulit sekali menemukan kaki manusia berpijak pada kedua alas itu. Keseimbanganpun tak sempurna. Selalu ada yang jatuh pada setia atau pada sabar. Ah, seandainya jarak yang membentangi manusia bisa merasakan ada sesuatu yang indah yang tersembunyi, niscaya tak akan ada cerita penghianatan atas nama sepi.

“Lebaran ini papa harus pulang. Papa tahu, puteri kita, Jamilah sudah bisa mengaji dengan lancar. Bisa melafalkan kata Allah dengan benar. Pokoknya papa harus pulang,” ucapanmu serupa jerit panggilan dalam hati.

“Ma, dengan apa papa harus pulang? Papa masih belum cukup uang untuk kembali ke kampung!” Entah dari mana kata itu berucap. Bukankahkah aku adalah lelaki yang takut pada sepi? Seharusnya aku memenuhi panggilanmu. Apakah ketakutanku pada sepi telah menghapus cinta padamu. Betapa bodohnya aku!

“Mama tak memerlukan uang! Haruskah aku menceritakan semuanya pada papa? Aku harus jatuh bangun berjuang melawan sepiku. Untung tawa putri kita selalu mengobati kerinduanku pada papa,” suaramu mulai meninggi.

Aku salah. Aku kalah. Kekuatan lelaki tak mengalir pada kedalaman jiwa, hanya meregang pada otot-otot kekarnya. Justru sebaliknya, kekuatan itu sulit nampak pada perempuan karena selalu menyematkannya sedalam mungkin pada jiwanya. Sehingga lelaki seringkali menganggap perempuan adalah makhluk lemah. Naif.

“Papa masih selalu menegakkan salat Tahajjud, kan?”

Aku tak bisa menjawab. Haruskah aku menjawab bahwa selama ini aku dikejar sepi dan selalu memanjatkan doa kepadamu? Tapi, kini aku takluk pada sepi. Doa-doa itu tak lagi mengalir dalam sujud. Tahajjudku selalu tersendat oleh pelukan erat perempuan bermata sipit itu. Selalu seperti ular yang melilit tubuhku.

Segera kumatikan ponsel saat derik pintu kamar terbuka.

“Dari siapa?” katanya menaruh curiga.

“Temanku di kampung. Katanya akan menikah Sabtu depan.”

Lalu, tak ada lagi kata terucap. Aku berbaring telentang di atas ranjang yang senyap. Perempuan itu kembali melingkari tubuhku serupa ular yang melilit mangsanya. Aku membutuhkannya sekedar untuk ditiduri. Bukan untuk bercinta.

***

Cakrawala sepenuhnya hilang saat angkot tiba di pertelon Pancasila. Kusodorkan selembar lima ribuan pada sopir angkot itu. Tiga orang lelaki berlari menghampiriku. Berebutan menawarkan jasa. Satu orang lelaki tua tetap duduk manis di atas sepeda motor Honda Astrea Prima. Kuhampiri lelaki itu tanpa mempedulikan tiga orang lelaki yang tetap nyerocos menawarkan jasa sesuai harga. Aku tahu, dia adalah ke Satnawi. Lelaki yang sejak aku masih bersekolah dasar mengabdikan diri sebagai tukang ojek di pangkalan itu. Apakah dia masih mengenaliku? Segera kusebutkan alamat yang ingin kutuju. Tukang ojek itu hanya terseyum, memberi helm tanpa mengurus siapa diriku.

Pada surau kecil yang telah lama kutinggalkan. Dibalik kerre (tirai bambu) lamat-lamat, begitu santun dan lirih terdengar suara anak kecil sedang belajar mengeja Al-Quran. Alif ba ta tsa… kamu begitu khusyuk mengajarkan puteri kita membaca al-Quran. Sepiku runtuh menjadi air mata.

Bagaimana nanti jika kamu bercerita tentang sepimu? Apakah aku memiliki cerita sepadan untuk menguatkan cintaku?

Aku lelaki yang takut pada sepi. Aku yakin sepiku akan lebur menjadi cerita panjang saat aku mengecup keningmu. Selamanya!

Annuqayah, 5.02 PM