Dimuat di Majalah Sinergia, 30 Oktober 2018
Ratna Sarumpaet menyita perhatian publik di tengah
musibah gempa dan tsunami yang melanda Palu-Donggala. Kepada media, ia mengaku telah
dianiaya oleh sejumlah orang tak dikenal. Padahal diketahui baru saja melakukan
operasi plastik. Kepada media pula, ia mengaku dan mengungkap segala
kebohongannya serta menyatakan diri sebagai pencipta hoaks terbaik. Sebagaimana
dikutip di detik.com, atas kejadian itu, Ratna meminta masyarakat untuk belajar
tidak memikirkan hal-hal yang tidak penting.
Drama kebohongan tentang penganiayaan itu berhasil
menyeret sejumlah elite politisi di negeri ini, sebut saja ketua Partai
Gerindra Prabowo Subianto dan dewan kehormatan Partai Amanat Nasional Amien
Rais. Bahkan, Hanum Salsabila Rais, anak kedua Amien Rais, menyebut Ratna sebagai
Cut Nyak Dien dan RA Kartini masa kini.
Ada dua hal yang mesti menjadi catatan besar dari peristiwa
tersebut. Pertama, kabar bohong alias hoaks (hoax) bukan sekadar persoalan
memikirkan hal-hal penting dan tidak penting. Hoaks kini menjadi wabah nasional
dan rentan menimbulkan konflik sosial di berbagai lintas bidang. Penyebar hoaks
adalah pelaku kejahatan dunia maya. Status Ratna yang kini sebagai
narapidana menjadi ironi betapa persoalan ‘tidak penting’ dapat menjebloskan seseorang
ke dalam jeruji besi.
Kedua, kecacatan memahami preseden sejarah. Keteladanan
kiprah perempuan, Cut Nyak Dien dan RA Kartini, dalam sejarah kemerdekaan menjadi
sumbang oleh anomali historiografi fiktif dari seorang Hanum. Bagaimana mungkin
dua srikandi Nusantara disejajarkan dengan pencipta hoaks terbaik di negeri
ini. Pernyataan itu sama saja merendahkan derajat kedua Pahlawan Nasional itu.
Sampai di sini tampak Ratna dan Hanum seolah hendak memperagakan
drama kolosal dengan narasi kosong. Mereka berbagi peran sebagai aktris dan
sutradara. Latar belakang keduanya memang kelop. Selain sebagai aktivis sosial,
Ratna adalah seniman yang banyak menggeluti dunia panggung teater. Sementara Hanum
adalah pengarang fiksi potensial. Ia memiliki cukup banyak karya, termasuk novel
99 Cahaya di Langit Eropa yang sudah diangkat ke layar lebar.
Ladang Hoaks
Perkembangan teknologi secara tidak langsung turut
mempengaruhi perilaku sosial masyarakat. Media sosial sebagai bagian dari
inovasi teknologi memberikan ruang yang sangat luas. Seseorang dengan mudah menyuarakan
gagasan dan aspirasi yang sebelumnya mungkin tidak pernah bisa terdengar.
Ahmed Al-Seikh, mantan kepala editor Al-Jazeera
Arabic, mengatakan bahwa media sosial turut berperan mendorong perubahan
politik sebuah negara. Presiden Jokowi, pada rapat terbatas terkait dengan
perkembangan media sosial di kantor Kepresidenan (2016) memaparkan, pengguna
internet di Indonesia berjumlah 132,7 juta atau 52% dari total jumlah penduduk.
Dari jumlah pengguna internet di atas, 129,2 juta memiliki akun media sosial
yang aktif.
Hasil survey Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel,
2017) menunjukkan bahwa penyebaran tertinggi hoaks melalui media sosial,
seperti facebook, twitter, instagram, dan lainnya. Media sosial
menanamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial untuk menggiring opini dan
menyebarkan ujaran kebencian. Dengan karakteristik semacam itu, media sosial
menjadi ladang empuk para penyebar hoaks untuk tujuan tertentu.
Media sosial mampu menghadirkan suara-suara individu
yang sebelumnya tidak pernah bisa didengar melalui pemberitaan media-media
mainstream. Pada momen tertentu, seperti pilkada dan isu SARA, hoaks berbentuk ujaran
kebencian bisa dengan mudah membludak dan menjadi konsumsi publik. Di sinilah
kemudian perlunya daya pikir analisis kritis masyarakat agar tidak mudah
terprovokasi oleh konten-konten yang tidak bisa dipastikan kebenarannya.
Politik Dramaturgi
Deddy Mulyana, guru besar ilmu komunikasi
Universitas Padjajaran Bandung, mengatakan bahwa faktor utama hoaks berkembang
sangat cepat adalah karakter masyarakat yang tidak biasa berbeda pendapat dan
berdemokrasi secara sehat. Mereka suka berkumpul dan bercerita hal-hal yang
belum dapat dipastikan kebenarannya. Budaya kolektivisme ini tidak diiringi
dengan kemampuan mengolah dan menyimpan data sehingga sering berbicara tanpa
data.
Selain itu, masyarakat digital juga lebih senang
membahas tentang seksualitas, kekerasan, drama, intrik, dan misteri. Politik
adalah bidang yang memiliki komponen-komponen tersebut. Hal ini selaras dengan
hasil penelitian Mastel bahwa politik adalah isu utama yang dimainkan oleh
penyebar hoaks.
Drama propaganda Ratna, beserta orang-orang yang
terjebak masuk dalam lingkaran hoaks yang dibuatnya, juga tidak lepas dari
politik. Diketahui bahwa ia merupakan tim pemenangan pasangan capres-cawapres
Prabowo-Sandi. Tersiarnya kabar penganiayaan itu membuat sejumlah politisi
turut berkomentar: mengutuk, menuntut, dan menyebarkan informasi tanpa mengecek
bukti kebenarannya. Bahkan Prabowo, sebagaimana dikutip dalam laman kompas.com,
secara lugas dan lantang menuding ada motif politik di balik penganiayaan
terhadap tim pemenangnya itu.
Gabrielle
Bardall, aktivis gender dari International Foundation for Electoral System
menyatakan, penggunaan diskursus kekerasan terhadap kandidat dan aktivis
politik dalam konteks elektoral merupakan bentuk strategi dalam menyerang lawan
politik. Tetapi, alih-alih menyerang lawan dengan diskursus kekerasan, malah
justru terjerumus ke dalam statement yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Tentu, ini menjadi sebuah blunder.
Munculnya aktor seperti Prabowo Subianto, Sandiaga
Uno, Fadli Zon, dan Amien Rais, diakui atau tidak, semakin memeriahkan dinamika
politik menjelang pilpres 2019. Ditambah dengan pernyataan Hanum yang menyebut
Ratna sebagai Cut Nyak Dien dan Kartini masa kini membuat media sosial lebih
semarak oleh berbagai macam kritik.
Erving Goffman dalam buku The Presentation of
Self in Everyday Life menyajikan teori dramaturgi, yaitu suatu teori yang mengibaratkan
politik sebagai panggung sandiwara yang berjarak terhadap realitas. Apa yang
diperankan atau ditampilkan oleh seseorang di atas panggung identik dengan
motif tertentu. Penonton hanya dapat menyimpulkan kualitas dari pertunjukan
yang terpampang di depan layar.
Oleh karena itu, mari nikmati panggung sandiwara
ini. Sebagai penonton yang baik, selama pertunjukan, dilarang berisik![]
0 comments:
Post a Comment