Sunday, November 11, 2018

Hoaks dan Drama Propaganda Ratna Sarumpaet


Dimuat di Majalah Sinergia, 30 Oktober 2018

Ratna Sarumpaet menyita perhatian publik di tengah musibah gempa dan tsunami yang melanda Palu-Donggala. Kepada media, ia mengaku telah dianiaya oleh sejumlah orang tak dikenal. Padahal diketahui baru saja melakukan operasi plastik. Kepada media pula, ia mengaku dan mengungkap segala kebohongannya serta menyatakan diri sebagai pencipta hoaks terbaik. Sebagaimana dikutip di detik.com, atas kejadian itu, Ratna meminta masyarakat untuk belajar tidak memikirkan hal-hal yang tidak penting.
Drama kebohongan tentang penganiayaan itu berhasil menyeret sejumlah elite politisi di negeri ini, sebut saja ketua Partai Gerindra Prabowo Subianto dan dewan kehormatan Partai Amanat Nasional Amien Rais. Bahkan, Hanum Salsabila Rais, anak kedua Amien Rais, menyebut Ratna sebagai Cut Nyak Dien dan RA Kartini masa kini.
Ada dua hal yang mesti menjadi catatan besar dari peristiwa tersebut. Pertama, kabar bohong alias hoaks (hoax) bukan sekadar persoalan memikirkan hal-hal penting dan tidak penting. Hoaks kini menjadi wabah nasional dan rentan menimbulkan konflik sosial di berbagai lintas bidang. Penyebar hoaks adalah pelaku kejahatan dunia maya. Status Ratna yang kini sebagai narapidana menjadi ironi betapa persoalan ‘tidak penting’ dapat menjebloskan seseorang ke dalam jeruji besi.
Kedua, kecacatan memahami preseden sejarah. Keteladanan kiprah perempuan, Cut Nyak Dien dan RA Kartini, dalam sejarah kemerdekaan menjadi sumbang oleh anomali historiografi fiktif dari seorang Hanum. Bagaimana mungkin dua srikandi Nusantara disejajarkan dengan pencipta hoaks terbaik di negeri ini. Pernyataan itu sama saja merendahkan derajat kedua Pahlawan Nasional itu.
Sampai di sini tampak Ratna dan Hanum seolah hendak memperagakan drama kolosal dengan narasi kosong. Mereka berbagi peran sebagai aktris dan sutradara. Latar belakang keduanya memang kelop. Selain sebagai aktivis sosial, Ratna adalah seniman yang banyak menggeluti dunia panggung teater. Sementara Hanum adalah pengarang fiksi potensial. Ia memiliki cukup banyak karya, termasuk novel 99 Cahaya di Langit Eropa yang sudah diangkat ke layar lebar.
Ladang Hoaks
Perkembangan teknologi secara tidak langsung turut mempengaruhi perilaku sosial masyarakat. Media sosial sebagai bagian dari inovasi teknologi memberikan ruang yang sangat luas. Seseorang dengan mudah menyuarakan gagasan dan aspirasi yang sebelumnya mungkin tidak pernah bisa terdengar.
Ahmed Al-Seikh, mantan kepala editor Al-Jazeera Arabic, mengatakan bahwa media sosial turut berperan mendorong perubahan politik sebuah negara. Presiden Jokowi, pada rapat terbatas terkait dengan perkembangan media sosial di kantor Kepresidenan (2016) memaparkan, pengguna internet di Indonesia berjumlah 132,7 juta atau 52% dari total jumlah penduduk. Dari jumlah pengguna internet di atas, 129,2 juta memiliki akun media sosial yang aktif.
Hasil survey Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel, 2017) menunjukkan bahwa penyebaran tertinggi hoaks melalui media sosial, seperti facebook, twitter, instagram, dan lainnya. Media sosial menanamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial untuk menggiring opini dan menyebarkan ujaran kebencian. Dengan karakteristik semacam itu, media sosial menjadi ladang empuk para penyebar hoaks untuk tujuan tertentu.
Media sosial mampu menghadirkan suara-suara individu yang sebelumnya tidak pernah bisa didengar melalui pemberitaan media-media mainstream. Pada momen tertentu, seperti pilkada dan isu SARA, hoaks berbentuk ujaran kebencian bisa dengan mudah membludak dan menjadi konsumsi publik. Di sinilah kemudian perlunya daya pikir analisis kritis masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh konten-konten yang tidak bisa dipastikan kebenarannya.
Politik Dramaturgi
Deddy Mulyana, guru besar ilmu komunikasi Universitas Padjajaran Bandung, mengatakan bahwa faktor utama hoaks berkembang sangat cepat adalah karakter masyarakat yang tidak biasa berbeda pendapat dan berdemokrasi secara sehat. Mereka suka berkumpul dan bercerita hal-hal yang belum dapat dipastikan kebenarannya. Budaya kolektivisme ini tidak diiringi dengan kemampuan mengolah dan menyimpan data sehingga sering berbicara tanpa data.
Selain itu, masyarakat digital juga lebih senang membahas tentang seksualitas, kekerasan, drama, intrik, dan misteri. Politik adalah bidang yang memiliki komponen-komponen tersebut. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Mastel bahwa politik adalah isu utama yang dimainkan oleh penyebar hoaks.
Drama propaganda Ratna, beserta orang-orang yang terjebak masuk dalam lingkaran hoaks yang dibuatnya, juga tidak lepas dari politik. Diketahui bahwa ia merupakan tim pemenangan pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandi. Tersiarnya kabar penganiayaan itu membuat sejumlah politisi turut berkomentar: mengutuk, menuntut, dan menyebarkan informasi tanpa mengecek bukti kebenarannya. Bahkan Prabowo, sebagaimana dikutip dalam laman kompas.com, secara lugas dan lantang menuding ada motif politik di balik penganiayaan terhadap tim pemenangnya itu.
Gabrielle Bardall, aktivis gender dari International Foundation for Electoral System menyatakan, penggunaan diskursus kekerasan terhadap kandidat dan aktivis politik dalam konteks elektoral merupakan bentuk strategi dalam menyerang lawan politik. Tetapi, alih-alih menyerang lawan dengan diskursus kekerasan, malah justru terjerumus ke dalam statement yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tentu, ini menjadi sebuah blunder.
Munculnya aktor seperti Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, Fadli Zon, dan Amien Rais, diakui atau tidak, semakin memeriahkan dinamika politik menjelang pilpres 2019. Ditambah dengan pernyataan Hanum yang menyebut Ratna sebagai Cut Nyak Dien dan Kartini masa kini membuat media sosial lebih semarak oleh berbagai macam kritik.
Erving Goffman dalam buku The Presentation of Self in Everyday Life menyajikan teori dramaturgi, yaitu suatu teori yang mengibaratkan politik sebagai panggung sandiwara yang berjarak terhadap realitas. Apa yang diperankan atau ditampilkan oleh seseorang di atas panggung identik dengan motif tertentu. Penonton hanya dapat menyimpulkan kualitas dari pertunjukan yang terpampang di depan layar.
Oleh karena itu, mari nikmati panggung sandiwara ini. Sebagai penonton yang baik, selama pertunjukan, dilarang berisik![]

0 comments: