Saturday, August 29, 2020

Santri (Wajib) Mencari Barokah

Judul               : Asmara Anak Asrama

Penulis             : Fandrik Ahmad

Penerbit           : Surya Pustaka Ilmu

Cetakan           : November, 2019

Tebal               : 208 halaman

ISBN               : 978-623-92188-2-9

Peresensi         : Muhtadi ZL   

Ditinjau dari segi historisnya, tujuan santri yaitu untuk mendapatkan ilmu yang barokah. Karena berpatokan pada kalimat yang mashur di kalangan kaum sarungan. “Percuma punya ilmu, tapi tidak barokah. Lebih baik punya ilmu sedikit tapi barokah”. Secara gamblang adagium ini menuntun seseorang (santri khususnya) untuk mencari ilmu yang barokah.

Untuk mengetahui cara mendapat ilmu barokah, tertuang jelas dalam novel religi karya penulis muda dan alumnus pesantren, Fandrik Ahmad, Asmara Anak Asrama. Buku ini menceritakan seorang santri (sebagai pelaku utama) yang nyantri di salah satu pesantren tersohor di Madura. Santri tersebut bernama Haris yang menapaki jalan akhirat sebagai tujuan awal dirinya mondok. Semua kepentingan yang berbau materi tidak ia singgahi sedikit pun.

Dari segi perilaku, Haris sangat mengedepankan etika atau adhap asor, utamanya pada keluarga pesantren. Sebab lumrah kita ketahui bersama, pesantren yang terkenal dengan moral atau aturan yang membuat santri paham konteks, antara boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Apalagi hal tersebut merujuk pada santri putri (non-muhrim). Pesantren mempunyai norma yang sangat ketat (hal. 154). Maksud hal ini adalah bagaimana seseorang memiliki perbedaan antara pesantren dengan yang bukan pesantren.

Seperti banyak kisah-kisah yang beredar di kalangan santri, untuk mendapat barokah, santri harus patuh pada peraturan pesantren. Karena menurut keyakinan kaum sarungan, patuh pada peraturan pesantren adalah modal awal untuk mendapatkan barokah. Makna patuh pada pesantren tidak hanya ditafsiri satu makna, tetapi kata ini mempunyai konotasi yang lain, seperti patuh pada dawuh kiai, serta ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk mendapatkan barokah, yaitu mengabdikan diri pada dalem (rumah kiai).

Hal inilah yang dilakukan Haris selama menjadi santri. Dia menyapu halaman dalem setiap pagi sampai menggantikan lora atau anak kiai yang tidak bisa mengajar sebab menempuh pendidikan yang lebih tinggi di luar pesantrennya. Semua kegiatan yang bersangkut-paut dengan pesantren dilakukan dan dijalaninya dengan ikhlas dan sabar.

Kehadiran novel religi ini bisa menjadi renungan dan memberikan paradigma baru bagi santri yang lahir di 2000-an. Sebab, santri yang terdiskriminasi dalam ruang lingkup generasi Z sangat kontradiktif dengan santri sebelumnya. Santri sekarang seolah hanya mementingkan hal-hal yang berbau sekuler.  Pemahaman baru ini menjadi penghalang untuk mendapatkan barokah di pesantren. Sebab barokah diyakini bisa timbul melalui keridaan kiai atau guru, bisa kita dapat melalui spiritual dan moral yang baik (hal.186).

Padahal, seandainya mereka tahu (santri sekarang) bahwa tujuan prioritas santri adalah mencari ilmu yang barokah—jika ditelisik dari esensi seorang santri mondok—bukan hanya mencari ilmu pengetahuan belaka. Seorang santri yang benar-benar ingin menjadikan dirinya seorang santri, ia akan patuh pada peraturan pesantren meski santri tersebut tergolong zaman now. Hal ini menjadi orientasi inti dari perjuangan santri yang rela jauh dari orangtua. Namun, penuturan berbanding terbalik dengan santri yang masuk dalam lingkaran Gen-Z.

Sebelum benar-benar menyelami hal spiritual atau barokah, perlu kiranya santri membersihkan diri dari segala dosa, yaitu dengan cara pendekatan vertikal kepada Allah swt. Karena kalau sudah mendapat rida dari kiai dan guru, tidaklah boleh lupa meminta syafaat-Nya. Barokah didapat ketika hati dan jiwa santri bersih dari segala dosa (hal.164). Jika hal ini berjalan linear, kaidah santri akan kokoh meski dihantam atau diterjang kemajuan zaman sekalipun.

Buku ini penting dibaca oleh santri zaman sekarang, karena dalam buku 208 halaman ini memberikan pemahaman yang sangat mudah dicerna. Jika buku ini hendak direvisi perbaikan mengenai penulisan kata lebih diperhatikan. Namun yang jelas, kehadiran buku menjadi kebanggaan bagi santri untuk lebih mementingkan tujuan awalnya dan bahan introspeksi diri demi kebaikan di masa yang akan datang.[] 

Pembelajaran Online dan Kesiapan Belajar Anak Pendidikan Dasar



https://mediajatim.com/2020/07/28/pembelajaran-online-dan-kesiapan-belajar-anak-pendidikan-dasar/

Coronavirus Diseases 2019 (Covid-19) menyita banyak perhatian. Pandemi global tersebut melumpuhkan multi-sektoral, termasuk sektor pendidikan. Mau tidak mau, kebijakan social distancing dan physical distancing memaksa lembaga pendidikan melakukan harus pembelajaran online.

Tidak semua lembaga pendidikan siap menjadi ‘imigran online’. Banyak faktor yang mempengaruhi, baik dari segi sarana prasarana hingga sumber daya manusia. Dr. H. Mundir, M.Pd, dalam Migrasi Digital di Era New Normal, membaginya menjadi tiga kelas: unggul, menengah, dan rendah. Kelas unggul yaitu mereka yang telah melaksanakan pembelajaran online jauh sebelum adanya Covid-19. Kelas menengah adalah mereka yang melakukan pembelajaran berbasis IT dengan model face to face. Sementara kelas rendah disematkan kepada mereka yang tidak atau belum pernah melaksanakan pembelajaran online.

Apakah pendidikan kita siap melakukan pembelajaran online? Tentu kita harus optimis, tetapi juga harus realistis! Berdasarkan hasil survey Programme for International Student Assesment (PISA) akhir tahun 2019 menunjukkan, kualitas pendidikan di Indonesia menempati peringka ke-72 dari 77 negara. Mengapa bisa demikian?

Kurangnya pemanfaatan teknologi dalam kegiatan pembelajaran menjadi salah satu indikatornya. Meski Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan, jumlah pengguna internet tahun 2019 sebanyak 171,17 juta jiwa atau 64,8 persen dari total penduduk Indonesia, namun hanya 40% dari guru non-TIK yang siap dengan teknologi. Artinya, masih banyak pendidik yang melaksanakan pembelajaran secara konvensional.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim sangat getol mendorong lembaga pendidikan memanfaatkan teknologi sebesar-besarnya guna meningkatkan kompetensi Abad 21. Namun, misi besar yang dibangun belum terkaji secara strategis dan merata. Tidak heran jika kemudian Mas Menteri, sapaan akrabnya, kaget ketika mengetahui ada wilayah di Indonesia belum teraliri listrik. Belum lagi soal ketimpangan kompetensi guru dan sarana prasaranan pendidikan antara di kota dan di desa.

Kesiapan Psikis dan Mental

Musibah pandemi Covid-19 yang datang tak diduga memangkas jarak satu sama lain. Tentu hal ini menuntut lembaga pendidikan harus menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi yang ada. Pembelajaran konvensional sementara bermigrasi ke pembelajaran digital. Pendekatan pedagogi beralih ke pendekatan heutagogi. Pendekatan andragogi bergeser ke pendekatan cybergogi

Pembelajaran online barangkali tidak menjadi kendala serius bagi pendidikan menengah dan pendidikan tinggi senyampang sarana prasaran dan kompetensi guru memadai. Namun, tidak bagi pendidikan dasar, terutama bagi sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah. Permasalahannya menjadi sangat kompleks. Tidak hanya soal sarana prasarana dan kompetensi keahlian, melainkan juga kesiapan psikis dan mental peserta didik dalam belajar

Piaget’s Theory of Cognitive Development menyebutkan, anak pada usia SD/MI, antara 7-11 tahun, berada pada tahapan operasional konkret. Mereka memiliki kecenderungan mulai memandang dunia secara objektif, berpikir operasional, mengklasifikasi benda-benda, dan memahami konsep. Dalam konteks belajar, mereka memiliki kecenderungan kongkret, integratif, dan hierarkis.

Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Mereka membutuhkan banyak interaksi dengan teman maupun lingkungan. Itulah mengapa pembelajaran pada pendidikan dasar menggunakan pembelajaran tematik terpadu, yakni pemaduan mata pelajaran berdasarkan tema-tema tertentu yang kontekstual dengan dunia anak

Ironi Pendidikan

Kehidupan new normal sudah memasuki fase III. Artinya, kegiatan yang melibatkan massa mulai diperbolehkan, seperti kegiatan kebudayaan, pariwisata, olahraga outdoor dan kegiatan massa lainnya dengan tetap memerhatikan protokol kesehatan.

Pada fase ini sekolah seharusnya juga dibuka. Namun ternyata pembelajaran di rumah masih diperpanjang sampai batas waktu belum ditentukan. Tentunya hal ini menjadi semacam ironi. Kawasan wisata dibuka, belajar belum sepenuhnya ‘merdeka’. Boleh berolahraga di ruang terbuka, anak belajar masih terasa ‘di penjara’. Hajatan diperbolehkan, bersekolah masih dalam angan-angan.

Sejatinya, pembelajaran online merampas dunia belajar dan bermain anak-anak. Dunia maya bukanlah taman yang baik bagi seusia mereka. Tak ayal banyak yang bosan dan ingin segera masuk sekolah. Bermain dan bertegur sapa.

Anak-anak tidak bisa belajar mandiri. Harus ada yang bisa mendampingi. Satu-satunya yang sangat memungkinkan menjadi patner belajar dari rumah adalah orangtua. Namun tidak semua orangtua bisa menjadi patner belajar yang baik. Malah potensi stres orangtua bisa lebih meningkat karena masih harus memikirkan ekonomi keluarga.

Lalu, kapan kegiatan pembelajaran tatap muka bisa dilaksanakan kembali? Wallahu ‘alam.