Wednesday, January 29, 2014

Gandrung


(Cerpen Lan Fang, Jawa Pos, 26 September 2010)

Apakah kau pernah melihat bulan bulat dengan kilap mentega? Itu hanya terjadi setahun sekali. Ketika itu pekat akan menyingkir dari semesta galaksi. Langit bersih seperti baru dicuci oleh hujan. Gelembung-gelembung harum alam merintik dari segenap pori-pori awan.

Konon, dahulu, pada saat bulan bulat sekilap mentega, orang-orang Cina berkumpul di halaman rumah mencecap kue manis berisi biji lotus, kacang hijau, dan gula merah yang manis. Mereka bercengkerama memandang bulan purnama ditemani teh sepat sampai lewat malam.

Hikayatnya, pada suatu waktu, ada seorang putri terkurung di bulan. Namanya Chang Erl. Kekasihnya, Hou Yi, si pemanah ulung yang berhasil memadamkan sembilan matahari dengan anak-anak panahnya. Mereka hanya bisa bertemu sekali dalam setahun, bertemu pada saat bulan paling sempurna untuk rindu yang tidak pernah purna, tidak pernah punah. Orang-orang Cina menyebut saat itu sebagai zhong qiu ye wan. Konon, pada saat itu Chang Erl akan menjatuhkan kembang bulan untuk sepasang sejoli.

“Bulan purnama di pertengahan musim gugur? Kita tidak mengenal musim gugur. Saat ini kita berada pada mangsa labuh, sebuah musim yang terjepit di antara hujan dan kemarau,” gumammu tumpang tindih antara gemerisik dan bisik. Aku tidak bisa membedakannya. Sama saja.

Sebenarnya aku ingin menyanggah kata-katamu. Siapa bilang musim gugur tidak menyapa kita? Tadi aku berjumpa dengannya di sebuah jalan protokol dengan jalur kendaraan dua arah yang selalu sibuk. Pada bagian tengah jalan, lekuk-lekuk pohon meliuk. Mereka menjadi peneduh dari kegarangan sebiji matahari. Pada akar-akar mereka debu-debu mengabu.

Di sana daun-daun gugur. Dari ujung-ujung ranting, mereka melayang dengan pasrah. Mereka berputar-putar sebentar bagai dipermainkan angin lalu terkapar dengan lembut. Seakan-akan mereka tidak berniat untuk melawan. Atau mereka sadar bahwa melawan pun akan percuma?

Ketika itu, lidahku ingin menyeru, “Lihatlah! Angin saja tak tega menghempaskan daun. Kenapa kau begitu kepadaku?”

Tetapi aku terbungkam ketika mereka menyerbu bumi. Beruntun mereka menamparku dengan lembut, tamparan yang tidak mau kuhindari. Kemudian mereka bergerombol, saling menyelip, saling menyelinap, saling menumpuk, saling memenuhi kepalaku. Aku jadi putri dengan mahkota daun, mahkota ringkih yang dipersembahkan sang pedih.

Tetapi, lihatlah…. Aku secantik Chang Erl, bukan?

Tiba-tiba ada laki-laki sekaya saudagar yang menggerutu, “Kau selalu tidak pernah tampil cantik.”

Laki-laki lain yang matanya sekeruh danau berpasir mencibiriku, “Hanya dengan daun, embun, hujan, kau sudah merasa cantik? Hah!” Masih ada laki-laki yang mulutnya dengan murah menyerapahiku, “Kau bukan cantik tapi binal!”

Kemudian saudagar laki-laki itu membawaku kepada seorang perempuan lalu berkata, “Belajarlah tentang kecantikan padanya.”

Sehari-hari, saudagar itu selalu tampak sebaik malaikat. Jadi aku yakin ia pun bermaksud baik padaku. Ia kerap berbisik padaku, berbisik seakan-akan tidak mau dan tidak boleh ada orang lain yang mendengar bisikannya. “Aku ingin mati saja.”

Aku heran, kenapa ia selalu ingin mati padahal seharusnya ia bisa menikmati hidup dengan kekayaannya? Atau karena aku fakir maka aku takut mati?

“Aku capai terbang dengan sebelah sayap,” gumamnya setengah tertawa sekaligus setengah menangis. Sejak itu aku mengerti bahwa ia bukan malaikat melainkan anak burung bersayap sebelah. Dengan letih ia mengayuh sayapnya yang sebelah, sayap kering tanpa bulu-bulu sehalus beludru. Pantas, ia selalu ingin mati.

Perempuan yang diperkenalkannya itu tampaknya juga setulus bidadari. Ia suka sekali menggeliat-geliat untuk mempertontonkan kecantikannya. Matanya selalu berkedip-kedip, lidahnya selalu dijulur-julurkan, kepalanya selalu digoyang-goyangkan, dan wajahnya rata seperti wajan penggorengan martabak.

Si saudagar laki-laki memandang perempuan itu dengan penuh kekaguman. “Lihatlah, betapa cantiknya dia tanpa hidung.” Ia bergairah bagaikan kerbau dicocok hidung. Pasti ia telah membatalkan keinginannya untuk mati.

Lalu perempuan tanpa hidung itu mengajariku cara mempercantik diri. Setiap malam, dengan mahir ia mencopoti hidung-hidung perempuan lain yang sedang bermimpi untuk ditempelkan di mulut, telinga, mata, dan hidungnya sendiri. Ia selalu tampil mempesona dengan wajah yang berhiaskan banyak hidung sampai subuh karena sebelum terang ia sudah harus mengembalikan hidung-hidung yang diambilnya tanpa izin itu.

Sekarang aku tahu kenapa aku selalu bermimpi buruk tentang perempuan tanpa hidung itu. Sebab aku tidak mau memberikan hidungku untuknya sekaligus aku tidak mau mempercantik diri dengan hidung-hidung imitasi.

Kemudian tentang laki-laki bermata pasir. Ia tidak pernah membawaku kepada perempuan lain. Ia kerap mengajakku duduk-duduk saja. Percakapan kami cenderung pembicaraan basi, seperti “kau suka apa?” tetapi ia tidak pernah memberikan apa yang kusukai. Bahkan ia suka melakukan apa yang tidak kusukai. Salah satunya adalah ia suka memegang stopwatch yang berbunyi untuk setiap detik yang telah terlampaui. Ia mirip sekali dengan pelatih atletik yang memacu anak latihnya berlari lebih cepat dari angka stopwatch.

Kesukaan lain yang disukainya adalah cerita tentang perempuan setengah baya yang menempel seperti lintah sehingga ia tidak pernah punya waktu untukku. Ia bercerita tanpa pernah bermaksud memperkenalkan diriku dengan perempuan yang kerap diceritakannya itu. Logikaku mengatakan bahwa ia pun betah menempel pada lintah betina tua itu dengan riang gembira. Karena setiap kali, tepat bersamaan dengan akhir ceritanya, setiap stopwatch berbunyi “tit…tit…tit…”, kulihat matanya mengeruh tetapi aku tidak menemukan pandangan bersalah di sana. Saat kami bertaut pandang ia tersenyum setulus bulus yang sedang berusaha menyenangkan hatiku.

Aku berkata, “Perjumpaan kita seperti pertandingan lari jarak pendek.”

Tetapi tampaknya ia tidak berniat memperpanjang waktu dengan memutar kembali stopwatch. “Maaf, sekarang sudah waktunya aku melayani lintah betina tua itu.” Ia suka sekali mengucapkan kata-kata itu.

Walaupun demikian, aku yakin bahwa ia juga suka padaku sebab laki-laki hanya mau minta maaf kepada perempuan yang disukainya. Jadi, seketika itu, dengan perasaan suka cita, aku menjawab, “Maaf, aku tidak suka dengan maafmu itu.”

Lain lagi dengan laki-laki yang mulutnya begitu murah serapah. Aku tahu betul dari mana ia berbelanja kata-kata sampah. Ia membelinya dari perempuan terhormat yang mungkin tidak pernah membinali laki-laki. Oh, kuralat. Ia membelinya dari perempuan terhormat yang mungkin belum pernah membinali laki-laki. Oh, kuralat lagi. Ia membelinya dari perempuan terhormat yang mungkin sudah pernah diam-diam membinali laki-laki. Oh, kuralat untuk kesekian kalinya. Ia membelinya dari perempuan terhormat yang mungkin tidak suka membinali laki-laki, mungkin perempuan terhormat itu suka membinali yang lainnya.

Jadi, terus terang kukatakan padanya bahwa aku perempuan yang mungkin tidak terhormat tetapi mungkin cantik dan mungkin suka membinali laki-laki. Tentu saja laki-laki yang sesuai seleraku. Seketika itu juga ia menjual semua koleksi kata-katanya: “Pelacur, sundal, lonte recehan!” Percuma. Aku sama sekali tidak berminat membeli kata-kata itu, apalagi membinali dirinya.

Nah, kau tidak seperti mereka. Kita bertemu pada suatu beranda tanpa lampion. Aku tidak yakin saat itu dalam keadaan gelap karena sumbu lilin cukup terang untuk melihatmu dalam keadaan memejam. Tampak wajahmu begitu tenang dan bersih sehingga aku langsung tergila-gila.

Aku ingat sebuah dongeng tentang Putri Tidur yang tertenung sampai seorang pangeran baik hati membangunkannya dengan ciuman. Aku yakin kau juga sedang dalam kuasa tenung sehingga aku ingin membebaskanmu dengan ciumanku.

Atau kau adalah drakula, Pangeran Kegelapan yang akan bangun pada saat gelap tiba? Bila demikian, aku sudah mempersiapkan sesuatu untukmu, akan kurelakan hidupku tidak untuk hidup dan matiku tidak untuk mati. Aku ingin kau segera membuka mata; melihatku dan mendengarkanku, “Inilah leher kekasihmu, Taring Runcing….” Aku menunduk untuk menyentuhkan bibirku pada bibirmu.

Tes!

Lilin yang kupegang lebih dahulu menjatuhkan minyaknya di bibirmu. Aku khawatir bibirmu terkelupas atau melepuh. Ternyata tidak. Bibirmu tetap seindah pualam. Minyak lilin mengental di sudut bibirmu. Pasti bibirmu dingin sekali. Aku kian ingin menghangatinya. Untuk kedua kalinya aku menunduk untuk menyentuhkan bibirku pada bibirmu.

Blep!

Lilinku padam karena desis angin membuatnya tak berdaya. Tetapi keadaan tetap tidak gelap. Ada remah-remah cahaya yang jatuh sehingga aku bisa melihat dengan jelas bibirmu terkuak dengan indah. Lalu dengan ikhlas kusongsong kilaumu yang menancap padaku. Dingin sejenak saja kemudian kurasakan ada yang menetes, bercucuran, mengalir dengan cara yang sangat sepi. Begitu kekal.

Perlahan-lahan kelopak matamu membuka. Aku melihatmu, zahir yang menyihir. “Sssttt, ini aku, Tuan Mimpi. Bungkuslah rapat-rapat setiap pertemuan kita. Jangan sampai ada yang terselip di bulu mata, nanti orang lain menafsirkannya. Berjanjilah, hanya kita yang tahu rindu begitu syahdu.” Aku hanya mampu setia untuk setiap katamu.

Abad pun berganti abad, kunjunganmu kian paripurna. Mimpi bisa terjadi kapan saja. Tetapi aku yakin tidak sedang bermimpi setiap bertemu denganmu. Sebab aku menyimpan dirimu dalam ingatan paling mesra. Segenap ingatan yang bisa kubangunkan setiap saat aku mau.

Kemudian sampailah kita pada mangsa labuh, yang ujarmu kemarau tidak, hujan pun tidak. Pagi-pagi jadi terlukai dan malam-malam jadi terkulai. Nganga dada membuat hari-hari kian berbatu. Kemesraanmu rontok seperti dedaunan yang bergelimpangan sehingga kerinduanku bagai gelandangan tak bertuan. Musim ini ngungun sekali.

“Apakah kau lupa padaku? Ke mana kau tersesat? Mangsa labuh ini hanya sebuah musim yang menjebak!”

“Aku sudah total berubah, tidak dan bukan yang dulu,” jawabanmu persis politisi bertelinga tebal yang tengah meliukkan lidah pada konstituennya.

Bila kau bukan Tuan Mimpi lagi lalu jadi apakah kau sekarang? Apakah jadi gunung, jadi laut, jadi jurang? Aku tidak percaya kau sejahat itu padaku. Kau tidak mungkin berhitam hati dan berputih mata padaku. Aku tetap meratap seperti tidak punya harga diri. Bukankah cinta tidak pernah berhitung dengan harga?

Sambil menangis sejadi-jadinya, aku mengitari jalan demi jalan, jalan yang itu-itu juga; tikungan demi tikungan, tikungan yang itu-itu juga; ceruk demi ceruk, ceruk yang itu-itu juga; tanjakan demi tanjakan, tanjakan yang itu-itu juga; masjid demi masjid, masjid yang itu-itu juga; sampai…

Sampai aku menangisi azan demi azan, azan yang itu-itu juga; harum demi harum, harum yang itu-itu juga; puisi demi puisi, puisi yang itu-itu juga; rindu demi rindu, rindu yang itu-itu juga; mimpi demi mimpi, mimpi yang itu-itu juga; sampai….

Sampai aku tersungkur.

Tidak kuhiraukan ujung-ujung pepohonan yang mendongak pongah padahal sesungguhnya mereka menderita karena terik. Mereka sudah terlalu cerdas untuk menyombongkan diri dari guncangan angin. Seperti itulah diriku yang tidak memedulikan apakah kau mencintaiku atau tidak, apakah kau merindukanku atau tidak, apakah kau mengharapkanku atau tidak. Sebab aku juga sudah terlalu cerdas untuk memanjakan lukaku karena diammu. Kau bahagia bisa membuatku begitu kan?

Aku tidak mendengar apa-apa kecuali semilir angin mengirim gema gumam dari semesta yang menato gendang telinga….

Duh, wong ganteng pepujaning ati. Mung sliramu kang tansah nglelewa. Rina klawan wengi ranane wong lagi gandrung. Among eling sira wong ganteng. Batin ora kuwawa nandang lara wuyung. Enggala paring usada mring wak mami kang lagi ngidam sari uga nandang asmara.

Hoi, sejoli mana yang akan berjodoh malam ini? Pandanganku mengabur. Aku menyesali Hou Yi yang hanya memadamkan sembilan matahari. Kenapa ia membiarkan sebiji matahari itu tetap menyala? ***

Dear: Gani


(Cerpen Lan Fang, Jawa Pos, 1 November 2009)

Hai, sudah lama kita sepi dari sapa. Aku selalu rindu bertukar kata denganmu. Mungkin hanya untuk pertanyaan remeh-temeh seperti, ''Bagaimana senjamu di sana?'' atau sekadar, ''Tahukah kau kalau di sini terang masih saja setia?'' Karena berkabar denganmu sama seperti menyapa kegembiraan.

Aku tahu belakangan ini kau sangat sibuk. Dan, bagi laki-laki, sibuk berarti tidak punya waktu untuk hal-hal yang remeh-temeh. Itu membuatku tahu diri bahwa aku juga termasuk salah satu yang remeh-temeh untukmu. Bahwa aku adalah seseorang yang tidak perlu kau masukkan ke dalam daftar kesibukanmu. Pasti terlalu sederhana untukmu bila harus meladeni pertanyaanku tentang kenapa senja tampak murung. Atau ikut mengamati sampai kapan kesetiaan terang bisa bertahan. Dan, sudah pasti mentraktirku ngopi sambil lesehan di Alun-Alun Sidoarjo (seperti pertama kali kita bertemu) menjadi sesuatu yang amat mahal.

Baiklah, Gani, begini, apakah kau ingat dengan seorang laki-laki yang kau kenalkan padaku ketika terang masih perkasa? Yah, laki-laki seperkasa terang itu! Laki-laki yang meluncur deras dengan langkah seringan angin.

''Tahanlah dia,'' katamu ketika aku hendak menghindar. ''Semoga dia membawa kebaikan untukmu,'' kata-katamu membuatku terharu, Gani. Bukankah kau juga selalu baik padaku?

Maka, ia kutahan seperti menahan tatapannya yang bagai badik membidikku terlalu dalam.

''Namaku Q,'' ujarnya ketika aku bertanya siapa namanya.

Tiba-tiba saja dia membuat dadaku terbelah. Seperti keterbelahan yang kutemukan pada huruf Q. Bukankah Q seperti yin yang? Sebuah keutuhan yang membelah dalam bentuk dan warna. Dua belahan yang berlekuk untuk saling melengkapi lekuk yang lain. Karena dada tidak pernah utuh, bukan? Selalu ada nganga yang harus kita sembunyikan. Dan, kepada belahan yang satulah, kita harus memercayakan nganga itu untuk tertutupi. Lalu, apakah dia adalah belahanku yang satu itu? Aku tidak tahu, Gani. Tetapi, yang kutahu adalah rongga dadaku menjadi begitu longgar. Kerangkanya bergeser dan tak lagi bersekat. Maka, dia begitu mudah menerabas untuk menghuninya.

Gani, bagiku mengenal Q adalah bersentuhan dengan kebahagiaan. Sekali lagi kuulangi, kebahagiaan, Gani! Bukan sekadar kesenangan. Pasti kau tahu bedanya kebahagiaan dan kesenangan, bukan?

Ia seperti Sri Khrisna. Semua yang melekat padanya adalah keindahan. Wajahnya, langkahnya, senyumnya, matanya, kata-katanya, semua merdu dan ayem.

Ia seperti lagu yang tidak perlu nada do re mi fa sol la si do, tetapi mampu meninabobokanku. Ia sehangat cokelat yang kuhirup ketika gerimis tidak terlalu lebat, tetapi sudah cukup membuat tanah basah. Ia secokelat biji-biji kopi yang digerus, tembakau yang dirajang, juga daun-daun kering yang gugur di pengujung kemarau. Daun-daun yang menimpaku sampai mataku berkedip-kedip. Tetapi, aku tidak ingin menghindarinya. Mataku tidak pernah tuntas memandangnya. Karena debar terlalu berkuasa. Sehingga, setiap kali pandanganku selalu jatuh pada dinding, meja, dan lantai. Aku malu bila sampai terjatuh di dalam tatapannya. Di sana aku cuma menjadi penikmat getar yang dihantarkannya. Bisakah kau bayangkan itu, Gani?

Q adalah mimpi yang tidak pernah kumimpikan sebelumnya. Ia selalu memenuhi apa yang kuinginkan. Ia cukup bermantra ''sim sala bim'' maka hanya dalam dua detik, aku sudah menjadi putri dengan kemanjaan yang berkelimpahan. Bila aku ingin dia elang, maka dia elang yang kokoh tetapi cakar-cakarnya tidak mencengkeram. Bila aku ingin dia langit, maka dia langit yang teduh. Bila aku ingin dia tembang, maka dia geguritan yang mengharumkanku dengan ratusan wangi ratus. Bila aku ingin dia kisah, maka dia sediakan canting agar aku bisa menulis helai-helai malam. Maka, bila ini mimpi, aku tidak mau bangun, Gani.

Kami adalah sehati yang mendiami dua dada. Satu hati yang saling mengirim dan menerima getar dari semesta. Aku menyesal pernah mengabaikan getar itu. Bahkan ketika getar menjadi debar yang terasa nyut nyut nyut tetap saja kuanggap sebagai entah yang kupertuankan. Sampai ketika getar itu menjelma menjadi telur semesta yang berbisik dalam desis aneh, ''sssttt... ini aku...'', aku baru memercayainya sebagai tuanku yang bersuara tanpa bunyi. Maka, sekarang dengan setia kuerami rasa itu.

Tetapi, tiba-tiba ada perang yang membuat mimpiku retak!

Dengarlah, perang itu hiruk-pikuk seperti gemuruh Kurusetra. Di mana-mana ada suara yang memekakkan seperti jerit sangkakala. Prajurit-prajurit kecil harus bertempur melawan dengan gajah dan kuda. Hujan lembing dan panah menjadi badai yang menderu-deru. Riuhnya membuat katup-katup jantungku merenggang. Rasa yang kuerami itu tidak aman lagi bersembunyi di sana.

Di sana aku melihat Q seperti Hector, seperti Achilles, seperti Musashi. Dia bertarung tanpa pedang, tanpa samurai. Tetapi harus terus menebas. Lalu, tampaklah dia terkepung segerombolan orang yang berbicara dengan bahasa dari pulau-pulau tersembunyi. Orang-orang dengan bahasa yang tak kumengerti. Bahasa yang menggoreskan sayatan seperti irisan pedang dan samurai. Tidak berdarah, tetapi melukai. Dan kuratapi lukanya seperti tercucur cuka.

Perang itu seperti mata pisau yang membuat puisiku mati kata. Puisiku menderita sekali di sana. Takdir memakunya sehingga tidak bisa bergeser. Ah, tepatnya, puisiku tidak mau menggeserkan diri. Karena pada wajahnya, langkahnya, senyumnya, matanya, kata-katanya, pada Q tertancap sekujur puisi.

''Perang adalah sekumpulan manusia berkartu dua. Durna yang bisa menjelma menjadi Rahwana!'' Begitulah, kuserapahi perang. Aku terbakar kemarahan sendiri.

''Begitu bengiskah kau menilai Durna? Tahukah kau bila Durna seorang resi terkemuka? Durna semulia Bisma. Ia tidak membela Kurawa. Yang dibelanya adalah Hastinapura,'' Q menegurku dengan lemah lembut. Yah, Q selalu bicara dengan nada rendah yang lemah lembut padaku. Ia selalu menegurku dengan rasa. Karena itu pula, aku tidak pernah mampu membantahnya.

Tetapi, aku tidak kenal Kurawa atau Pandawa. Mereka semua petinggi-petinggi yang berebut Hastinapura. Sedangkan, tahta Hastinapura itu bukan apa-apa untukku. Aku cuma mencari Q. Aku cuma ingin Q. Sederhana saja, bukan?

Dan bila berbicara tentang Bisma, bisa saja kumengerti bila hidup dan matinya hanya untuk Hastinapura. Karena ialah sebenarnya pemilik takhta Hastinapura yang bersupata tidak akan jatuh cinta.

Tetapi, bagaimana dengan Durna? Ia resi, ia begawan, ia guru yang begitu dihormati Pandawa dan Kurawa. Ia yang mendidik anak-anak raja itu memanah, berkuda, bergulat, bertombak, bergada, sampai menjadi para satria terkemuka. Suaranya dipatuhi Pandawa dan Kurawa. Kupikir bila ia mencintai Hastinapura, tidak seharusnya ia biarkan Bharatayudha meluluhlantakkan negara yang dibelanya, bukan?

Oh, Gani, dalam mimpiku, kulihat Q adalah Ekalaya. Dia memuja Durna sebagai sang mahaguru. Tetapi, dia tidak bisa berguru padanya karena hanya seorang satria biasa dari kaum pemburu. Dia bukan anak raja. Juga bukan putra dewa. Lalu, bagaimana caranya agar bisa menjadi murid Durna? Maka, ia mengintip ketika Durna mengajar Arjuna. Kemudian, membuat arca Durna yang diakuinya sebagai guru. Sampai Arjuna memergokinya dan menantangnya bertanding panah. Maka, dua busur sama-sama direntang. Dua anak panah sama-sama melesat. Panah Arjuna memang tidak pernah luput dari sasaran. Tetapi, panah Ekalaya membelah panah Arjuna! (bukankah Q memang keterbelahan?)

Durna terkejut. Ia tidak menyangka ada satria lain yang bisa mengalahkan murid kesayangannya, Arjuna. Kemudian, ia menanyakan siapa guru Ekalaya? Dan ia mengatakan bahwa gurunya adalah Resi Durna.

Tahukah kau apa yang terjadi setelah itu, Gani?

Durna meminta Ekalaya melakukan dakshina. ''Bila kau menganggapku guru, maka potonglah ibu jari kananmu,'' pinta Durna pada Ekalaya sebagai bukti bakti dan patuhnya.

Ekalaya pun memotong ibu jari kanannya untuk dipersembahkan kepada gurunya. Walaupun ia tahu bahwa dengan pengorbanannya itu, ia tidak bisa lagi memanah dengan baik. ''Inilah bakti dan patuhku,'' ujarnya tanpa menyesali ibu jari kanannya yang hilang. Maka, tidak ada lagi satria panah yang bisa mengalahkan Arjuna.

Oh, Gani... Apakah seorang guru boleh memenangkan muridnya yang satu dengan menyakiti muridnya yang lain?

Pasti sakit. Tetapi, Ekalaya tidak menangisi panah dan meratapi busurnya. Justru aku yang menangisi dan meratapi Q. Aku menyesali jarinya yang terluka. Sakitnya itu air mataku, Gani!

Aku begitu pilu ketika menyadari ternyata sehati belum tentu berarti sepikiran. Gani, apakah sehati saja sudah cukup kuat untuk mengikat dua perasaan? Jawablah...

Mungkin kau keheranan dan akan bertanya padaku, ''Kenapa kau sekarang begitu cengeng?''

Sudah tentu aku menjadi cengeng ketika debar berubah menjadi ketir-ketir yang setiap saat menalu. Bukankah artinya aku harus mulai mempersiapkan hati untuk menerima rasa sakit dari pikiran yang berselipan? Padahal, bukankah hati kami satu rasa?

Aku ingat, kau selalu mengatakan bahwa aku selalu berbicara dengan hati. Padahal, hati tidak pernah dipakai oleh para samurai. Yang ada pada diri petarung adalah terus bertarung atau terpancung. Yang ada pada diri samurai hanyalah menebas atau ditebas. Yang ada pada Q adalah hari-hari berangin yang tidak tahu apakah langit akan teduh atau badai.

Lalu, apa yang ada padaku?

Aku selalu mengatakan pada Q bahwa yang ada padaku adalah mimpi. Memimpikannya tentu saja. Memimpikannya sebagai pangeran berkuda yang membawaku pergi dari perang itu. Pergi ke surga kecil yang kutemukan tanpa sengaja di pedalaman Bojonegoro.

Di sana ada sendang yang dikelilingi hutan bambu. Ketika angin bernapas, batang-batangnya saling bergesekan dan daun-daunnya saling berciuman. Angin juga menggugurkan sebagian dari mereka ke permukaan sendang. Mereka terapung-apung di sana, berpayung cabang pohon-pohon besar yang diselimuti humus dan lumut.

Lalu, rumah bambu itu tidak berdinding sehingga udara bebas lalu lalang. Sebebas kebahagiaan yang menerobos ke dalam hatiku. Dan lantainya dari besek bambu, atapnya dari daun dan pelepah kering yang dijalin satu dengan yang lain dengan tali tambang. Aku menghirup harum yang luar biasa ketika berada di dalamnya. Harum dari partikel udara yang menguap dari sela-sela daun dan pelepah itu. Aku tidak mau kehilangan kesempatan itu. Diam-diam kucuri harum itu. Kuselipkan ke dalam ingatanku.

''Di sana Eden, di sana Firdaus!'' kukatakan dengan menggebu. Karena tempat yang semula hanya bisa kutemukan di dalam kitab tiba-tiba saja tercipta. Kupikir, di tempat itu kehidupan akan berjalan abadi. Karena tidak ada perang di sana. Dan di sana terlalu indah untuk berkisah tentang Durna dan Rahwana. Sehingga, senja tidak akan pernah murung dan terang akan selalu setia. Tidak seperti neraka kecil yang pernah kujumpai di sebuah gedung tua di Jember. Tempat yang membuatku mengerti bahwa neraka tidak selalu panas api.

Bahkan, di dalam rumah bambu itu kutemukan banyak buku. Bukan buku baru seperti di toko buku. Tetapi, buku-buku yang halamannya sudah menguning dan lusuh. Dan, ketika kubuka, puisi berjatuhan dari lembar-lembarnya, bertebaran di atas lantai. Puisi itu tampak berkilauan seperti permata yang bergelantungan di ujung-ujung atap rumah bambu. Puisi yang selalu membuatku teringat bahwa ia adalah puisi.

Dan, seperti biasa ia tertawa mendengar kata-kataku (ia selalu tertawa padaku, Gani). Katanya, ''Iya, semoga saja aku selalu puisi untukmu. Kita adalah puisi yang sehati dan sepikiran,'' begitulah Q padaku. Ia adalah pengharapan indah yang memberikan kebahagiaan tak berkesudahan.

Maukah kau juga mengamininya, Gani? ***

Thursday, January 23, 2014

Tenggelamnya Kapal Bang Van der Rijck (Fandrik)


Pada hari ketiga di tahun 2014, seorang teman asal Surabaya, Ricardo Marbun namanya, men-tag saya di status fb-nya—diantara temannya yang lain: Sahid Salahuddin, Palris Jaya, Lonyenk Rap, dan Mashdar Zainal.

Tulisnya begini: kalian hobi nontong film, tidak? Kalaupun tidak, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck wajib ditonton! Percayalah, fokus tentang kapal tenggelam sama sekali tidak ada. Slide kapal hanya muncul 15 menit di akhir cerita. Kekuatan narasi, dialog, pribahasa, kiasan, semua itu ada dalam film luar biasa ini. Aku menontonnya tadi malam dan bioskop penuhhhh. Penonton bioskop berurai air mata menonton film ini. Bapak Hamka luar biasa. Begitulah promo gratis yang diunggahnya pada tanggal 3 Januari 2014, sekitar pukul sepuluh pagi.  

Penilaian teman saya, betapa percakapan dalam film yang dibintangi oleh Herjunot Ali, Pevita Pearce, dan Reza Rahadian tersebut sangat mewakili ke-booming-an versi novelnya, terutama dari aspek kesusastraan. Saya menjawab bahwa saya hanya menamatkan versi novel, sementara versi film masih saya buru—selain film ‘kontroversi’ Soekarno.

Kendati saya masih belum menonton, benak saya seakan sudah membenarkan penilaian teman saya terhadap film itu—dari sudut pandang yang berbeda. Reza Rahadian adalah kunci dari pengaminan penilaian teman saya. Ya, Reza Rahadian adalah aktor yang saya gandrungi di dunia perfilman Indonesia.

Selain dari itu, film persembahan Ram Soraya tersebut mengingatkan saya pada suatu kenangan antara saya dan seorang perempuan, yang tak mungkin lagi kenangan itu dapat berlanjut karena perempuan yang dimaksud, hari ini ikatan statusnya dengan saya sudah berbeda saat kenangan itu diciptakan. Kendati tak menutup kemingkinan dapat tercipta, barangkali akan ada kesan lain dalam proses penciptaan kenangan tersebut.

Saya mendapat novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck ketika saya menginjak usia ke-22 tahun. Novel tersebut merupakan hadiah ulang tahun saya, yang jatuh pada tanggal 29 Juli 2012, dari Bunga (sebut saja begitu), perempuan yang saya ‘istimewa’-kan kala itu. Sunset dan debur ombak di Pantai Camplong, Sampang, Madura, menjadi saksi bisu kebahagian saya memeroleh hadiah novel tesebut.

Novel itu menjadi hadiah saya yang teristimewa (lebay kali ye…. hehe). keinginan kuat untuk memiliki novel tersebut serta sosok sang pemberi hadiah barangkali menjadi alasan kuat mengapa saya sebut sebagai hadiah teristimewa. Sejak keranjingan menulis, novel itu memang menjadi salah satu buruan saya diantara buku sastra yang lain seperti Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Burung-Burung Manyar (YB Mangunwijaya), tetraloginya Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) dan yang lebih dahulu saya dapatkan.

Saya tak menyangka Bunga dapat menghadiahi saya novel tersebut. Ia tak memiliki latarbelakang menulis seperti saya, membacapun sepertinya tidak. Ia hanya seorang karyawati di sebuah bank harian, ditempatkan di KCP Sampang sebelum hari ini dipindahtugaskan di Surabaya. Ah, barangkali untuk poin ini memang kurang penting; siapapun akan berusaha untuk mendapatkan sesuatu untuk kebahagiaan orang yang dicintai kendati sesuatu itu jauh dari dunianya. Jadi, wajar adanya.

Di lembaran pertama setelah cover, ada tulisan merah: 9 Agustus 2012 ‘Bie-Bie’. Kala itu, Bunga tak memberikan hadiah tersebut tepat pada hari ulang tahun saya tersebab pekerjaan. Sementara Bie-Bie adalah sebutan khususnya untuk saya.

Sayang, dua bulan setelah itu bahtera kapal Van der Rijck (baca: Fandrik) tenggelam untuk selamanya. Hanya kenangannya yang kadang mencuat ke permukaan. Seperti hari ini.
Jember, 3 Januari 2014


Monday, January 20, 2014

Oleh-oleh


(Femina, 21-27 Desember 2013)

 Kereta berhenti di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Injakan terasa lecet setelah kresek hitam di bawah kursi tersangkut gerigi sol sandal dan terdorong ke depan. Isinya tumpah. Kontan perutku diulek. Sial. Aku bersigegas ke toilet. Membasuh kaki, mencuci tangan dan mengusap muka untuk menambah kesan segar.

Ia sudah di situ sekembali dari toilet. Perempuan berhijab dengan beban tas gendong—gaya anak kampusan—di pangkunya. Ia duduk di dekat jendela yang semula ditempati lelaki tua pensiunan guru PNS yang kini duduk di sampingnya. Pandang sempat beradu sebelum kuucap ‘permisi’ kepada keduanya. Kini, aku duduk sehadapan, bukan dengan lelaki tua itu.

Aku duduk di deretan 3 kursi: B10, B11, dan B12. Sebagaimana petunjuk di karcis, B11 adalah kursiku. Namun, karena B10 dan B12 masih kosong membuatku leluasa memosisikan diri. Kursi itu sehadapan dengan kursi D13, D14, dan D15 yang sudah ditempati lelaki pensiunan dan perempuan itu. Sempat terbesit kenapa kursi yang sehadapan nomornya berbeda. Pertanyaan itu terjawab oleh posisi toilet tadi—iseng-iseng kuperhatikan deretan nomor kursi.

Ia memakai jaket keabu-abuan. Rapat matanya sekilas tampak orang China. Bulu matanya lentik tanpa maskara. Satu pokok membuat mataku menikmatinya: hijab biru langit yang menudungi kepala dengan setelan sederhana. Anggun dan teduh kendati kutaksir usianya sudah tiga puluh tahunan. Barangkali karena perjalanan ini aku menikmatinya. Perjalanan pulang yang mengingatkan pada ruas-ruas kenangan di kampung halaman.

“Mau ke mana?” Tanya pak Sajah, lelaki pensiunan itu.

“Jombang, Pak. Jenengan?”

“Ini, Madiun.” Tanda peringatan kereta segera berangkat berbunyi. “Tasnya berat, ya? Ditaruh di atas saja. Sini saya bantu,” tambahnya.

“Biar begini saja, Pak. Terima kasih.”

Kereta ekonomi berjalan kembali. Derunya meraung-raung...

“Kalau ada barang berharga jangan ditaruh di tas biar tidak ribet.” 

“Ah, isinya cuma pakaian, Pak.”

Percakapan semakin tersamarkan oleh deru roda kereta, pengasong, dan percakapan remaja di kursi sebelah yang tawanya kerap meledak. Aku membuang pandang ke luar ketika perempuan itu hendak membuang pandang ke arahku.

Hijab biru langit itu tidak hanya membuatku betah berlama-lama menatapnya, melainkan juga mendamparkan pikiran jauh sebelum di tanah rantau. Pada istri yang menghembuskan nafas terakhir setelah melahirkan anak pertama. Pada Iwan, anakku, yang kutinggalkan bersama Neneknya—Ibuku yang sebelum aku menikah sudah diceraikan Ayah. Penghasilan sebagai staf administrasi tidaklah seberapa mewujudkan keinginan Ibu yang ingin naik haji. Sisanya kuyakinkan bisa menyekolahkan Iwan sampai ke Perguruan Tinggi—paling tidak sampai SMA. Syukur-syukur menjawab doa Ibu.

Kereta melintasi Begawan Solo. Deru rel lebih keras berderak. Perhatianku, juga perempuan itu, tersita pada air tenang berwarna sawo marun itu. Langit bersungkup kelabu memberi kesan misteri. Sering kusimak sepak terjang sungai ini dari koran dan televisi. Hati kembali lega setelah ilalang kembali tampak tertinggal laju kereta. Tetapi akhirnya aku terlelap dengan gaya orang sedang buang air besar di wc umum.

***

“Permisi,” suara itu mengagetkanku. “Maaf sudah mengganggu tidur anda,” pungkasnya.

Aku membetulkan posisi duduk. Rasanya ada yang kram. Di luar jendela, papan putih bertulis Madiun berwarna biru terpajang besar di atas pintu masuk stasiun. Lelaki pensiunan itu sudah tidak ada.

“Mau ke mana, Dik?” Tanya perempuan itu.

“Surabaya.” Jawab pemuda berkulit cerah.

“Kuliah?”

“Iya, Bu.”

“Kalau anakku masih ada, mungkin sudah seumuran kamu.”

“Anakmu ke mana?” Aku tak sadar mengajukan pertanyaan ini. 

“Meninggal saat berumur dua bulan.”

Perbincangan santai tercipta diantara kami bertiga. Kutahu bahwa pemuda itu semester 5 dan perempuan itu sedang pulang kampung. Kutahu perempuan itu sudah 6 tahun menetap di Yogyakarta. Terpaut setahun denganku yang tinggal di Jakarta. Kutahu di Yogyakarta perempuan itu cukup sukses dengan usaha kecil yang dibangun dengan suaminya. Aku semringah saat ia menyebutkan usahanya: nasi kucing. Nasi dengan lauk kucing? Ia mencibir dan mengatakan kalau itu hanya sebutan saja pada nasi bungkus sebesar kepalan tangan. Kutahu pula perempuan itu Ibu dari satu anak. Dua dengan yang meninggal.

Wajah polos anakku menggelitik ingatan. Kabarnya, Iwan sudah bersekolah. Kelas satu Sekolah Dasar. Kemarin diseberang telpon, ia merajuk minta dikirimi seragam sekolah. Seragam sekolah yang dipakai adalah milik Mail, anak kakak ipar yang sudah lulus Sekolah Dasar setahun yang lalu. Aku tak tahu bagaimana cara berkirim paket. 

“Berkirim paket gampang sekali,” kata Rofik, tetanggaku di kampung yang menjadi tetanggaku pula di Jakarta.

“Tinggal titip, ngasih uang, selesai,” jelasnya.

Kendati sudah dijelaskan secara terperinci, hati tetap menggatup keraguan. Untukku, berkirim paket mungkin mudah, tetapi belum tentu mudah untuk keluarga menerimanya. Apalagi, tempat tinggal yang cukup terpencil menaruh rasa pesimis yang tinggi betapa si pengirim tak akan mengantarkan paket itu. Selama ini, aku menitipkan uang kepada Kepala Desa dengan cara mentransfer uang ke rekeningnya. Jadi, hari ini aku pulang saja.

***

Kereta terus menderu…

“Sayang anak. Sayang anak,” kata penjual mainan.

Gitar mainan yang dipegang memunculkan wajah Iwan. Pasti ia senang, batinku.

“Berapa?” “Tujuh puluh lima ribu.”

“Mahal sekali,” sangkalku.

“Ini mainan bagus, Pak. Ajaib!”

Gitar itu disodorkan. Dipetiklah salah satu benangnya. Ujung gitar memantulkan cahaya kerlap-kerlip. Setelah melakukan tawar-menawar yang cukup alot, gitar itu jatuh juga ke tanganku.

“Pasti Anakmu senang sekali,” cetus perempuan itu.

“Ia selalu minta oleh-oleh kalau sedang bepergian, meski cuma ke pasar di belakang rumah.”

“Merengek andalan anak kecil. Aku juga bawa mainan untuk keponakanku.”

“Meski sudah lumrah, kita tetap luluh juga.”

“Karena kita orangtua,” sambungnya.” Tahu kenapa kita tak berdaya?”

Sebelum kujawab, ia sudah menjawabnya.

“Karena anak adalah detak jantung. Jantung kita. Dulu, Ayahku masinis. Sempat bekerja untuk penjajah. Oleh-oleh khas daerah, dari ujung Banyuwangi sampai Jakarta sudah pernah ia berikan. Termasuk aneka mainan. Gayanya selalu berulang; menyembunyikan kedua tanggannya di balik punggung dan menyuruhku menebak sesuatu yang disembunyikannya. Gaya itulah yang membuatku merasa menjadi anak yang paling beruntung di dunia.”

“Aku tak seberuntung dirimu, barangkali… hehe…” kali ini ia menimpali dengan senyuman.

Pulang dengan kereta lebih kusuka ketimbang menggunakan bus. Ada kesan damai, tenang, dan nyaman. Bebas polusi. Perjalanan dengan kereta juga lebih memanjakan pikiran tentang masa lalu, meskipun tidak semua orang setuju pada pendapat ini. Di Jakarta aku lebih dekat dengan gedung-gedung tinggi, limbah, polusi dan segala tetek-bengek lainnya. Di kampung halaman aku lebih dekat dengan sawah, pepohonan, bukit dan pancuran. Perjalanan menggunakan kereta lebih mendekatkan pikiran pada kampung halaman. Pada masa yang sudah jauh terlampaui.

“Tinggal satu stasiun lagi,” serunya.

Aku tak tahu sudah tiba di mana. Tadi saat kereta berhenti, mataku tersedot kepada perempuan yang bersandar pada gerbong-gerbong tua yang teronggok bisu di sebelah timur stasiun. Prilakunya asing di tengah lautan manusia.

“Asalmu memang dari Jombang?”

“Ya. Aku ikut suami ke Yogja. Kemarin, aku menelpon Ibu. Lagi asyik ngobrol, Nenek merampas telpon. Mendesakku pulang. Kalau tidak, mungkin kutak bisa lagi melihatnya, katanya. Aku tersentuh kalut. Kalau kangen, bicara lansia seperti Nenek kadang memang ceplas-ceplos. Yah, seperti anak kecil lah. Tapi, ya, itu tetap khawatir. Eh, setelah itu giliran Ibu mendesakku pulang. Ucapan orangtua adalah doa, katanya.” Jelasnya.

Aku menyimak. Menatap gerak bibir dan bola matanya. Membayangkan sedang bercakap-cakap dengan istriku sendiri.

“Biasanya ke Jombang sebulan sekali. Sekali ini sudah bulan ketiga. Tak perlu dikatakan, sudah tahu mereka kangen sekali. Cucu Nenek hanya aku. Ibu juga, kendati perasaannya lebih kuat dari Nenek.”

Tubuhku, entah di bagian mana, terasa ada yang terpukul. Kakek dan Nenekku sudah tak ada. Tapi Ibu… 

“Masih ingatkah pada pelajaran SD dulu, yang satu ini? Pepatah mengatakan, kasih anak sepanjang galah kasih Ibu sepanjang masa.”

Lalu perempuan itu tepuk-tepuk kecil. Menyanyikan sebuah lagu yang katanya sangat populer dinyanyikan Ibu-ibu kepada anaknya atau guru-guru sekolahan kepada muridnya. Tetapi pepatah yang disebutnya tak pernah merasa kupelajari—atau barangkali sudah lupa. Lagu itu, apalagi. Pelajaran Sekolah Dasar yang kuingat sampai sekarang hanya keluarga Budi: ini Ibu Budi, ini Ayah Budi, ini Adik Budi.

Tambah lama perempuan itu kian ceplas-ceplos bicara. Timpalan humor turut keluar. Sementara, pemuda di sampingku sudah lebur bersama alunan musik pada handseat. Tak kusangka perempuan ini enerjik. Spontanitasnya berbicara membuat perjalanan tak terasa lelah. Gerimis menghadirkan irama rimis saat kereta membelah persawahan. Perempuan itu berseru karena gerimis hadir tak dirasakannya.

Perempuan itu membuka tas. Merasa penasaran seberapa berharga isinya sehingga sejak ia naik tas yang sarat muatan itu tak beranjak dari pangkuannya, mataku menukik tajam. Ia mengeluarkan dua buah kain batik yang masih terbungkus plastik. Batik Jogja. Pedagang batik, batinku.

“Menurutmu, coraknya lebih muda yang mana?” Curiga menghantui. Menciptakan obrolan sedap sebelum menawarkan barangnya merupakan trik jitu pedagang.

“Aku tak begitu paham soal selera?”

“Ayolah. Aku benar-benar bingung. Yang mana cocok untuk Ibu, yang mana cocok untuk Nenek.” 

“Sebentar, itu apa?” Tanyaku heran.

“Mukena. Oleh-oleh untuk mereka.”

Persepsiku gugur sendiri. Aku diam. Membatu pada mukena itu. Bukan. Bukan. Ada sesuatu yang tertinggal. Membekas. Wajah Ibu. Ya, wajah Ibu. Wajah yang selalu bangun di sepertiga malam. Wajah yang selalu merapalkan doa-doa. Wajah yang terhalang wajah imut Iwan kini tersibak oleh dua mukena itu.

Perempuan itu menungguku menentukan pilihan. Ia tidak tahu aku masih berpikir sesuatu yang pantas diberikan kepada Ibu sebagai oleh-oleh perjalanan, sebelum membantu menentukan pilihannya.

Jember, 7 November 2013