Showing posts with label Kisah. Show all posts
Showing posts with label Kisah. Show all posts

Sunday, March 16, 2014

Mengejar Mimpi: Makna Dibalik Air Mata


Tulisan ini bagi Anda barangkali hanya cerita sederhana dan sangat biasa. Namun, bagi saya sungguh luar biasa. Cerita ini tentang seorang anak-anak yang bersama-sama menerbangkan mimpi ke angkasa.
Sabtu, 15 Maret 2014. Ketika pagi beranjak menjadi siang, saya masuk ke kelas IX MTs Nurul Mannan. Saat itu, posisi saya sebagai guru piket menggantikan Pak Siswanto, guru IPS yang sedang kurang enak badan.

Sesampai di ruang kelas, saya tak menaikkan pelajaran. Saya hanya memberikan beberapa informasi seputar Ujiian Akhir Madrasah (UAM) yang akan dilaksanakan pada Senin mendatang selama seminggu (17 – 22 Maret 2014).

Selesai memberikan beberapa informasi seputar UAM, saya melihat pergantian jam pelajaran masih tinggal 30 menit. Agar waktu tersebut tidak terbuang percuma, saya isi dengan sebuah game atau permainan. Ya, lumayan sebagai refreshing diri menjelang persiapan UAM.

Game yang saya mainkan sangat sederhana. Di papan tulis, saya menulis dua kata yang semuanya saya tulis kapital: MENGEJAR MIMPI.

Selesai menulis dua kata tersebut, saya tak menerangkan aturan mainnya. Biarlah mereka penasaran terlebih dahulu. Bukankah rasa penasaran akan mendorong menuntaskan rasa keingintahuan?

Saya langsung menyuruh ke-16 siswa tersebut untuk menyiapkan selembar kertas. Sebagian ada yang bertanya, untuk apa? Namun saya tak merespon. Kemudian saya suruh mereka menulis mimpi mereka di selembar kertas tersebut. MIMPI YANG SANGAT DIIMPIKAN. Mimpi apa saja: keinginan, harapan, bahkan cita-cita. Mimpi jangka panjang ataupun mimpi jangka pendek. Terserah. Yang terpenting MIMPI YANG SANGAT DIIMPIKAN.

Mimpi jangka pendek yang saya maksudkan adalah hal-hal atau mimpi yang relatif singkat. Misal, saya ingin makan bakso sebesar bola sepak, saya ingin mandi sepulang sekolah, dll. Mimpi jangka panjang yang saya maksudkan di sini adalah keinginan yang bisa dikatakan lebih mengarah kepada cita-cita.

Mereka mulai menulis....

Selesai menulis mimpi, saya menyuruh mereka untuk melipat kertas tersebut menjadi pesawat kertas. Dan kali ini saya masuk pada aturan mainnya:

1.  Semua siswa wajib menerbangkan pesawat kertas tersebut secara bersamaan.
2. Setelah pesawat diterbangkan, masing-masing siswa harus segera mengejar pesawat tersebut dan mencari pesawatnya sendiri. (Inilah kenapa sebelumnya saya tidak menyuruh mereka mencantumkan nama pada selembar kertas tersebut)
3. Apabila pesawat kertas yang menerbangkan mimpi mereka masing-masing sudah ditemukan, saya menyuruh mereka segera menyetorkan pesawat tersebut kepada saya.
4. Dua siswa yang menemukan mimpinya pertama kali, saya beri hadiah Tabanas sebesar seribu rupiah. Hehehe....

Ternyata, “tabanas” yang saya berikan cukup memacu semangat berkompetisi. Saya ajak mereka ke luar kelas, berbaris di bibir lantai 2, siap-siap menerbangkan mimpi mereka masing-masing.

SATU.... DUA...TIGAAAAAAA...! Mimpi mereka terbang! Melesat ke angkasa....!!!!!

Selesai menerbangkan mimpi, mereka langsung ke lantai satu untuk mencari mimpi yang sudah landing. Semangat mereka untuk menemukan mimpi itu sungguh luar biasa. Mereka berdesak-desakan menuruni anak tangga untuk segera meraih kembali mimpi tersebut. Dari titik ini, saya menaruh harapan betapa kelak saya ingin semangat mereka meraih mimpi sama seperti mengejar pesawat kertas yang membawa mimpi-mimpi itu terbang tinggi dan menemukan mimpi itu kembali.

Dua siswa pertama kembali naik ke lantai 2. Memberikan mimpinya yang sudah di genggaman. Sementara yang lain, dari lantai 2 saya lihat masih sibuk mencari mimpi-mimpi yang bersarakan itu.

Setelah dari masing-masing menemukan mimpinya, saya menyuruh mereka membuka pesawat kertas tersebut dan memastikan bahwa yang dibuka adalah mimpinya sendiri. Semuanya kompak mengatakan sudah benar.

Oke. Tumpukan kertas itu (bukan lagi pesawat kertas) sudah ada di genggaman saya. Saya melatih kejujuran mereka: mengakui satu persatu mimpi yang saya baca dan selesai membaca, saya angkat kertas tersebut.

Kertas pertama bertuliskan: AKU INGIN BERTEMU NENEK. AKU INGIN MEMBAHAGIAKAN ORANGTUAKU.

Saya bertanya, milik siapakah mimpi ini? Tak ada yang mau mengaku. Saya lanjutkan saja pada mimpi yang kedua dan mimpi-mimpi yang lain. Semua lancar-lancar saja. Saya baca mimpi itu, saya angkat kertas itu, salah seorang dari mereka ada yang mengakui bahwa itu aadalah mimpinya. Begitu seterusnya.

Bermacam-macam mimpi itu: ada yang ingin jadi guru, ada yang ingin jadi polisi, ada yang ingin keliling dunia, ada yang ingin menghajikan kedua orang tua, sampai ada yang ingin menjadi cowok playboy. Oalah.....

Kini, di tangan saya tinggal selembar kertas tadi. Selembar kertas yang, sekali lagi saya sebut: AKU INGIN BERTEMU NENEK. AKU INGIN MEMBAHAGIAKAN ORANGTUAKU.

Sejenak, saya menyelami makna kalimat di atas. Kalimat yang sungguh menyimpan misteri (untuk tidak saya katakan sebagai konflik batin) yang membuat si penulis mimpi itu tak mau mengakui mimpinya. Si penulis mimpi seperti ingin menutupi misteri itu kepada orang lain. Namun, ternyata penulis itu tak kuat menyimpannya sendirian sehingga mereka menumpahkannya ke dalam sebuah tulisan. Pada titik ini, saya kembali menemukan pembelajaran betapa tulisan bisa pula melegakan beban pikiran ketika diri pribadi sudah tidak mampu berbagi beban tersebut dengan orang lain.

Selanjutnya, saya menuruh mereka mengangkat kertas masing-masing. Kini saya tahu, hanya satu siswa yang tidak memegang mimpinya. Saya bertanya: apakah yang ada di tangan ini adalam mimpimu? Ia menggeleng.
Saya tanya lagi, ia menggeleng.

Saya tanya sekali lagi, ia tetap tak mengaku meskipun air mata yang mengalir dari kedua pelupum matanya sudah mewakili perasaan yang sangat sulit untuk diungkapkan.

Semua sorot mata tertuju pada air matanya. Saya sebenarnya tak tahu harus berbuat apa, namun saya berusaha untuk menetralisasi keadaan dengan memberikan motivasi bahwa mimpi itu harus segera dikejar, apapun resikonya. Sejauh apapun. Saya kembali mengulang memori, bagaimana mereka tadi berlari mengejar pesawat kertas itu. Berdesak-desakan menuruni anak lantai tanpa memikirkan kemungkinan jatuh dari anak tangga hanya sekedar ingin segera menemukan mimpi mereka.

Saya nobatkan siswa dengan mimpi yang ingin bertemu neneknya dan ingin membahagiakan orangtuanya tersebut menjadi pemenang dalam permainan MENGEJAR MIMPI. Ia telah jujur sejujur-jujurnya menulis mimpi yang sangat ingin ia kejar di selembar kertas itu. Karena permainan ini sejatinya adalah permainan melatih kejujuran.

Saat kuberikan tabanas tersebut, tanpa komando, mereka bertepuk tangan.

Thursday, February 20, 2014

Ibu Enceng dan Ibu Listening


Ibu Enceng dan Ibu Listening adalah dua cerita yang hampir sama namun terjadi di tempat yang berbeda. Ini hanyalah cerita tentang kebiasaan saya yang memanggil seseorang dengan panggilan nama yang tak lazim dipakai oleh kebanyakan orang untuk memanggilnya.

Jangan salah sangka! Panggilan yang tak lazim ini bukan bermaksud ingin melecehkan atau menurunkan derajat nama seseorang. Ini hanya panggilan pribadi saya saja dalam rangka menambah keakraban dan ikatan emosional. Apabila berada di tempat umum, saya tetap memanggi orang yang bersangkutan tersebut dengan nama lazimnya ia dipanggil.

Dua Bulan yang lalu, tepatnya ketika saya masih mengajar di SMK Zaidul Ali, ada seorang guru IPA yang bernama Komariyah (sapaan akrab, Kokom), saya memanggilnya Ibu Enceng. Enceng sendiri diambil dari nama sebuah tumbuhan air, yaitu Eceng Gondok. lalu, apa pasal kaitannya antara Eceng Gondok dengannya? Bukankah ada perbedaan huruf ‘N’ pada dua nama tersebut.

Baiklah, saya sedikit menerakan musababnya. Ketika saya sebulan mengajar di SMK Zaidul Ali, saya terhenyak dengan nama facebooknya Ibu Kokom, yaitu Eceng Gondok. Iseng-iseng saya bertanya kenapa harus Eceng Gondok. Bukankah tanaman air itu biasanya hidup di rawa-rawa dan tak bermanfaat apa-apa bagi manusia, justri malah merugikan.

Apa jawabnya? Perempuan yang suka dengan warna ungu, sebuah warna yang identik dengan warna janda tersebut senyum-senyum. Ia menerakan bahwa manusia kerap memandang sebelah mata terhadap salah satu jenis tanaman air tersebut. Baginya Eceng Gondok memiliki filosofi tersendiri dan banyak juga manfaatnya yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia (tapi sayang, mohon maaf sekali, saya tidak bisa menerakan filosfi dan kemanfaatan Eceng Gondok yang Ibu Kokom sebutkan. Maklum, penyakit lupa saya kambuh…hehe).

Lalu, entah kenapa, sebagai sapaan akrab saya kepadanya, agar tampak berbeda dengan guru-guru yang lain, Ibu Kokom kupanggil saja dengan sebutan Ibu Enceng. Kenapa Enceng? Kok Bukan Eceng? Ah, ini hanya persoalan pelafalan saja.

Menurut saya, ucapan kata Eceng lebih berat ketimbang kata Enceng. Lagipula, di lingkungan itu, mayoritas berbahasa Madura. Sementara kata Eceng sendiri bila dibahasa-madurakan memiliki arti yang kurang etis: Eceng dalam bahasa Madura merupakan kata kerja yang memiliki arti ‘bagian bawah kain (pakaian) seperti sarung, sampir, dan lain sebagainya yang ditarik sedikit ke atas; dijinjing.  Contoh: Samper eceng-ceng (Sampir yang dijinjing).

Jadi kata Eceng bila disematkan kepada perempuan rasanya kurang etis, seakan seperti membuka sebuah aurat. Bukankah auratnya perempuan adalah semua anggota badan kecuali muka dan telapak tangan? Oleh karena itu, saya lebih memilih kata Enceng saja sebagai panggilannya.

Kini, saya sudah berhenti mengajar di SMK Zaidul Ali. Panggilan Enceng tak dekat lagi terdengar di telinga. Kendati demikian, tetap saja ia saya panggil Ibu Enceng.

Nah, cerita kedua tentang Ibu Listening. Cerita yang satu ini terjadi di SMK Nurul Mannan. Namanya Ibu Rista Eko Wahyuni (sapaan akrab, Rista), guru Bahasa Inggris asal Ledokombo. Sebagaimana ketika sebulan mengajar di Zaidul Ali dan sukses melahirkan nama Enceng, di SMK Nurul Mannan Juga demikian. Sebulan mengajar di sana, saya melahirkan nama baru untuk Ibu Rista, yaitu Ibu Listening.

Ibu Rista adalah tipikal perempuan yang aktif dan supel. Perempuan yang juga berprofesi sebagai pelayanan jasa pemakaian GPS pada mobil tersebut kerap menyebut kata listening ketika berada di kantor usai mengajar. Dengan gaya yang melapor, ia kerap menceritakan kepada guru yang lain kalau di kelas tadi mengajarkan listening kepada murid-muridnya.

Karena perempuan yang lahir di tahun 1986 tersebut memiliki sifat supel, Ibu Rista merasa enjoy saja bila saya memanggilnya Ibu Listening. Bahkan ia bertanya, mengapa bukan Ibu Reading saja atau sekalian Ibu Writing. Saya jawab saja sekenanya, enakan Ibu Listening… hehe.

Begitulah segelintir kisah tentang Ibu Enceng dan Ibu Listening. Sekali lagi, panggilan ini tidak ada tendensi apapun untuk menjatuhkan derajat nama seseorang. Hal ini murni dilandasi oleh rasa keakraban saja.

Sekian, terima kasih

Thursday, January 23, 2014

Tenggelamnya Kapal Bang Van der Rijck (Fandrik)


Pada hari ketiga di tahun 2014, seorang teman asal Surabaya, Ricardo Marbun namanya, men-tag saya di status fb-nya—diantara temannya yang lain: Sahid Salahuddin, Palris Jaya, Lonyenk Rap, dan Mashdar Zainal.

Tulisnya begini: kalian hobi nontong film, tidak? Kalaupun tidak, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck wajib ditonton! Percayalah, fokus tentang kapal tenggelam sama sekali tidak ada. Slide kapal hanya muncul 15 menit di akhir cerita. Kekuatan narasi, dialog, pribahasa, kiasan, semua itu ada dalam film luar biasa ini. Aku menontonnya tadi malam dan bioskop penuhhhh. Penonton bioskop berurai air mata menonton film ini. Bapak Hamka luar biasa. Begitulah promo gratis yang diunggahnya pada tanggal 3 Januari 2014, sekitar pukul sepuluh pagi.  

Penilaian teman saya, betapa percakapan dalam film yang dibintangi oleh Herjunot Ali, Pevita Pearce, dan Reza Rahadian tersebut sangat mewakili ke-booming-an versi novelnya, terutama dari aspek kesusastraan. Saya menjawab bahwa saya hanya menamatkan versi novel, sementara versi film masih saya buru—selain film ‘kontroversi’ Soekarno.

Kendati saya masih belum menonton, benak saya seakan sudah membenarkan penilaian teman saya terhadap film itu—dari sudut pandang yang berbeda. Reza Rahadian adalah kunci dari pengaminan penilaian teman saya. Ya, Reza Rahadian adalah aktor yang saya gandrungi di dunia perfilman Indonesia.

Selain dari itu, film persembahan Ram Soraya tersebut mengingatkan saya pada suatu kenangan antara saya dan seorang perempuan, yang tak mungkin lagi kenangan itu dapat berlanjut karena perempuan yang dimaksud, hari ini ikatan statusnya dengan saya sudah berbeda saat kenangan itu diciptakan. Kendati tak menutup kemingkinan dapat tercipta, barangkali akan ada kesan lain dalam proses penciptaan kenangan tersebut.

Saya mendapat novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck ketika saya menginjak usia ke-22 tahun. Novel tersebut merupakan hadiah ulang tahun saya, yang jatuh pada tanggal 29 Juli 2012, dari Bunga (sebut saja begitu), perempuan yang saya ‘istimewa’-kan kala itu. Sunset dan debur ombak di Pantai Camplong, Sampang, Madura, menjadi saksi bisu kebahagian saya memeroleh hadiah novel tesebut.

Novel itu menjadi hadiah saya yang teristimewa (lebay kali ye…. hehe). keinginan kuat untuk memiliki novel tersebut serta sosok sang pemberi hadiah barangkali menjadi alasan kuat mengapa saya sebut sebagai hadiah teristimewa. Sejak keranjingan menulis, novel itu memang menjadi salah satu buruan saya diantara buku sastra yang lain seperti Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Burung-Burung Manyar (YB Mangunwijaya), tetraloginya Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) dan yang lebih dahulu saya dapatkan.

Saya tak menyangka Bunga dapat menghadiahi saya novel tersebut. Ia tak memiliki latarbelakang menulis seperti saya, membacapun sepertinya tidak. Ia hanya seorang karyawati di sebuah bank harian, ditempatkan di KCP Sampang sebelum hari ini dipindahtugaskan di Surabaya. Ah, barangkali untuk poin ini memang kurang penting; siapapun akan berusaha untuk mendapatkan sesuatu untuk kebahagiaan orang yang dicintai kendati sesuatu itu jauh dari dunianya. Jadi, wajar adanya.

Di lembaran pertama setelah cover, ada tulisan merah: 9 Agustus 2012 ‘Bie-Bie’. Kala itu, Bunga tak memberikan hadiah tersebut tepat pada hari ulang tahun saya tersebab pekerjaan. Sementara Bie-Bie adalah sebutan khususnya untuk saya.

Sayang, dua bulan setelah itu bahtera kapal Van der Rijck (baca: Fandrik) tenggelam untuk selamanya. Hanya kenangannya yang kadang mencuat ke permukaan. Seperti hari ini.
Jember, 3 Januari 2014


Monday, May 27, 2013

Wawancara Pertama dengan Seorang Lelaki "Mati"


(copas di kompas.com)

Artikel ini diterjemahkan dari artikel majalah New Scientist berjudul First Interview with a Dead Man, ditulis Helen Thomson dan dipublikasikan secara online pada Kamis (23/5/2013) lalu. Artikel dimuat dalam kolom Mindscape, kolom unik tentang ilmu otak yang membahas pengalaman orang dengan kondisi neurologi yang paling misterius.

Artikel ini membahas tentang seorang lelaki, sebut saja bernama Graham. Ia mengalami sindrom Cotard. Ia hidup, tetapi merasa dirinya mati.


KOMPAS.com — "Ketika saya di rumah sakit, saya mengatakan kepada mereka bahwa tablet yang mereka berikan tidak akan membuat kondisi saya menjadi baik karena otak saya mati. Saya kehilangan kepekaan pada bau dan rasa. Saya merasa tak perlu untuk makan, bicara, atau apa pun. Saya akhirnya cuma menghabiskan waktu di pemakaman karena di sanalah tempat terdekat saya bisa mati."


Sembilan tahun lalu, Graham bangun dari tidur dan merasa dirinya mati.

Graham saat itu mengalami sindrom Cotard. Orang dengan kondisi langka ini percaya bahwa dirinya atau bagian dari tubuhnya tak eksis lagi.

Bagi Graham, bagian yang tak eksis lagi itu adalah otak, dan ia percaya bahwa ia telah membunuhnya. Sengsara oleh perasaan tertekan, ia telah mencoba bunuh diri dengan membawa peralatan elektronik untuk mandi.

Delapan bulan setelah bangun dari tidur itu, Graham mengatakan kepada dokternya bahwa otaknya telah mati, atau lebih tepatnya hilang. "Ini benar-benar sulit untuk dijelaskan," katanya. "Saya seperti merasa bahwa otak saya tidak ada lagi. Saya terus mengatakan kepada dokter bahwa tablet tidak akan memberi pengaruh baik karena saya tak punya otak. Saya akan menggorengnya di kamar mandi."

Dokter menemukan bahwa mencoba bicara secara rasional dengan Graham tidak mungkin. Walaupun dia bicara, bernapas, dan hidup, dia tak bisa menerima kondisi bahwa otaknya masih hidup. "Saya merasa terganggu. Saya tak tahu bagaimana saya bisa bicara atau melakukan apa pun tanpa otak, tetapi selama saya merasa menaruh perhatian, saya bisa melakukannya."

Merasa bingung, dokter yang awalnya menangani Graham pun mengirimkannya ke seorang ahli neurologi, Adam Zerman, di University of Exeter, Inggris, dan Steven Laureys di University of Liege, Belgia. 

"Ini pertama kali dan satu-satunya kesempatan di mana sekretaris saya mengatakan, 'Sangat penting bagi Anda untuk datang dan bicara dengan pasien ini karena ia mengatakan bahwa dirinya telah mati," kata Laureys.

Antara hidup dan mati

"Dia benar-benar pasien yang tak biasa," kata Zeman. Menurut Zeman, Graham percaya bahwa ia "ada dalam sebuah metafora tentang apa yang dia rasakan tentang dunia, bahwa pengalamannya tak lagi menggerakkannya. Ia merasa berada dalam kondisi antara hidup dan mati."

Tak ada yang tahu seberapa umum sindrom Cotard. Sebuah studi yang dipublikasikan pada tahun 1995 dan merupakan hasil penelitian pada 349 pasien lansia di Hongkong menemukan dua orang yang diduga mengalami sindrom Cotard. Namun demikian, dengan perawatan segera untuk mengatasi depresi—kondisi di mana sindrom Cotard muncul—yang telah tersedia, ilmuwan menduga bahwa sindrom Cotard saat ini sangat langka. Akademisi yang meneliti sindrom ini biasanya hanya fokus pada satu kasus khusus seperti pada Graham.

Beberapa orang yang mengalami sindrom Cotard dilaporkan mati kelaparan karena percaya bahwa dirinya tak perlu lagi makan. Beberapa yang lain mencoba membersihkan dirinya dengan zat asam yang dipercaya bisa membebaskan dirinya dari kondisi sebagai orang mati yang berjalan.

Dalam kasus Graham, saudara laki-laki dan perawatnya harus memastikan bahwa ia makan. "Saya kehilangan indera perasa dan pembau saya. Tak ada gunanya
 makan karena saya telah mati. Bicara hanya membuang waktu karena saya tak punya sesuatu untuk dibicarakan. Saya bahkan tak punya pemikiran apa pun. Semuanya tak bermakna," urai Graham.

Metabolisme rendah

Studi pada otak Graham akhirnya memberi Zeman dan Laureys beberapa penjelasan. Untuk melakukan studi otak, Zeman dan Laureys menggunakan teknik positron emission tomography (PET) yang membantu memantau metabolisme dalam otak. Pemakaian teknik PET ini untuk mempelajari sindrom Cotard yang diaplikasikan pada Graham adalah yang pertama kali. 

Hasil penelitian Zeman dan Laureys mengejutkan. Aktivitas metabolisme pada otak bagian frontal dan parietal Graham sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa otak Graham berada pada kondisi vegetatif.

Ilmuwan mengatakan, bagian frontal dan parietal merupakan bagian yang kerap disebut default mode network, sistem kompleks yang penting agar si pemilik otak memiliki kesadaran. Jaringan ini penting agar seseorang bisa mengingat masa lalu, memikirkan dirinya, merasakan eksistensinya, serta menyadari bahwa dirinya adalah agen dari sebuah tindakan yang dilakukannya sendiri.

"Saya telah melakukan analisis PET selama 15 tahun dan saya tak pernah melihat seseorang yang mampu berdiri dan berinteraksi dengan orang lain dengan kondisi abnormal (seperti pada Graham)," kata Laureys.

"Fungsi otak Graham menunjukkan seseorang yang sedang ada dalam kondisi dibius atau tidur. Melihat kondisi ini pada seseorang yang terjaga adalah unik sepanjang pengetahuan saya," tambahnya.

Zeman mengatakan bahwa hasil scan PET Graham bisa dipengaruhi oleh pil anti-depresi yang dikonsumsi untuk meredakan sindromnya. Tak bijak untuk membuat banyak kesimpulan dari hasil analisis satu orang saja.

Meski demikian, Zeman mengatakan, "Masuk akal bahwa berkurangnya metabolisme membuatnya memiliki pengalaman berbeda tentang dunia dan memengaruhi kemampuannya untuk mengungkapkan alasannya."

Laureys menjelaskan, "Ada banyak hal yang tidak kita ketahui tentang bagaimana menjelaskan kesadaran." Dari kasus Graham, ilmuwan belajar bahwa otak memengaruhi persepsi tentang diri dan bisa tak berfungsi.

Hasil scan PET memberi banyak pengetahuan pada ilmuwan. Namun, bagi Graham, scan itu tak berarti apa-apa. "Saya merasa berada di titik terendah," katanya. Saat ini, giginya sudah mulai menghitam karena jarang disikat dan dirawat.

Graham mengatakan, ia benar-benar tak punya pemikiran tentang masa depan pada saat itu. "Saya tak punya pilihan lain kecuali menerima fakta bahwa saya tak punya cara untuk benar-benar mati. Itu benar-benar mimpi buruk," katanya.

Bayangan pemakaman

Perasaan mati membuat Graham sering pergi ke pemakaman. "Saya cuma merasa bahwa saya merasa baik di sana. Itu adalah tempat terdekat saya bisa mati, walau polisi bisa datang menjemput dan membawa saya pulang," tuturnya.

Ada konsekuensi yang tak bisa dijelaskan dari sindrom yang dialami Graham. Ia mengatakan bahwa ia merasa memiliki kaki indah dengan bulu-bulu. Namun, setelah mengalami sindrom Cotard, semua bulunya rontok. "Saya merasa seperti ayam yang dicabuti bulunya," cetusnya.

Graham terus mendapatkan perawatan. Dengan obat-obatan dan psikoterapi, kondisi Graham berangsur membaik. Ia tak lagi berada dalam sindrom Cotard. Ia bisa hidup mandiri. "Sindrom Cotard-nya hilang dan kapasitasnya untuk merasakan kesenangan hidup telah kembali," kata Zeman.

"Saya tak bisa mengatakan saya telah kembali normal sekarang, tetapi saya merasa jauh lebih baik dan bisa pergi keluar serta melakukan sesuatu di sekeliling rumah," kata Graham.

"Saya tak merasakan otak mati itu lagi. Hanya merasa aneh saja kadang-kadang," tambahnya.

Pengalaman Graham mengubah cara pandangnya tentang kematian. Graham menuturkan, "Saya tak merasa takut akan kematian. Tapi ini tak terkait dengan apa yang terjadi, semua orang akan mati pada akhirnya. Saya merasa beruntung bisa hidup saat ini."


Catatan

National Institute of Health (NIH) di Amerika Serikat menyatakan bahwa sindrom Cotard dideskripsikan pertama kali pada tahun 1882 oleh seorang dokter bernama Julie Cotard. Hingga saat ini, tidak ada obat khusus untuk menyembuhkan gejala neurologis ini. Fokus penanganan biasanya pada sindrom yang dialami. Orang yang mengalami sindrom Cotard biasanya akan mendapatkan obat anti-depresi dan anti-psikosis. Penderita biasanya juga akan menerima 
electroconclusive therapy (ECT) atau bahasa mudahnya terapi dengan setrum.

Kasus sindrom Cotard juga pernah dilaporkan pada tahun 2008 oleh Anne Ruminjo dari Departemen Psikiatri, Beth Israel Medical Center, New York. Laporan dimuat di jurnal 
Psychiatry pada 5 Juni 2008. Dalam laporan itu, seorang wanita Filipina berusia 53 tahun mengeluh bahwa dirinya telah mati dan berbau seperti daging busuk. Ia mengalami ketidakseimbangan elektrolit. Kondisinya membaik setelah diberikan beberapa obat.

Monday, April 9, 2012

Menyulap Lemari Menjadi Toko



(Sumber: www.annuqayah.blogspot.com)

Ada saja “terobosan” yang dilakukan oleh teman saya yang satu ini, Ahmad Fawaid. Ia membuka toko di biliknya, blok A/7 PPA Lubangsa. Saya baru tahu bahwa ia memiliki usaha kecil itu ketika saya dengannya hendak mewawancarai wakil ketua DPRD kabupaten Sumenep, Hunain Santoso, di kediamannya, di Ganding, Sumenep.

Saat pulang dari Ganding, alangkah terkejutnya saya. Ia mencari rokok Intro 1 pres. Untuk apa membeli rokok sebanyak itu, tanya itu menggantung di benak saya. Tak habis keheranan saya, ia menuju sebuah toko aneka makanan/camilan: membeli cokelat eceran Rp. 100,- permen, dan lain-lain, yang semua apabila dijual eceran harganya tidak sampai mencapai Rp. 500,-.

Pada saat itulah ia berani berterus terang kepada saya bahwa ia memiliki usaha kecil di pondoknya di PPA Lubangsa. Ia mengaku “tokonya” benar-benar laris manis. Tetapi toko yang dimaksud bukan toko yang sebenarnya. Tokonya adalah sebuah lemari pakaian yang dijadikan penampung jualannya. Sungguh hebat!

Iseng-iseng saya bertanya, mengapa harus rokok Intro yang dicari? Bukankah banyak macam rokok lain selain Intro? Pertanyaan ini terlontar setelah persendian kaki saya merasa ngilu karena berkeliling pasar hanya sekadar mencari rokok yang dimaksud.

“Kalau rokok Intro cepat laku, bang,” akunya pada saya.

“Apa tidak ada rokok lain?”

“Sebenarnya ada seperti rokok Apache dan Pundi Mas. Tapi tak selaris Intro,” jawabnya senyum-senyum.

Kemudian santri asal Batu Putih, Sumenep, itu sedikit berbagi cerita mengenai rintisan usahanya tersebut. Ia berujar kalau sehari “tokonya” bisa menghabiskan rokok Intro satu setengah pres! Mengenai pembelian permen dan yang lainnya, itu masih dilakukan pertama kalinya hari ini.

“Yah, saya sedang mengembangkan usaha saya,” candanya.

Tahukah Anda berapa penghasilan tokonya selama sebulan? Katanya, penghasilan yang bisa didapat selama sebulan paling sedikit Rp. 45.000,-. Kalau mujur, penghasilannya mencapai seratus ribu rupiah lebih!

Modal awal usaha yang dikembangkan adalah milik temannya, Syamsi Arif. Ia meminjam uang Rp. 150.000,- untuk dijadikan modal usaha dengan perjanjian laba yang diperoleh dibagi dua.

Pada suatu kesempatan, aktivis pers yang saat ini mahasiswa akhir jurusan Tafsir-Hadits Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) tersebut bercerita kepada orangtuanya mengenai rintisan toko itu. Diketahui modalnya bukan miliknya sendiri, orangtuanya lantas menyuruh mengembalikan modal yang dari temannya itu. Kemudian oangtuanya memberikan sedikit uang untuk meneruskan pengembangan usahanya.

Benar-benar nih orang!

Thursday, November 3, 2011

Perempuan Langit, I Love You!

(10 karya Faforit Cerita Pribadi Qultum Media, Jakarta 2011)

Cerita ini adalah sepotong kisah yang sempat saya tulis perihal perjalananku yang penuh trik-intrik dilematisasi. Kisah konspirasi cinta yang terjadi saat saya melakukan investigasi selama lima hari di Pasongsongan, salah satu kecamatan paling barat bagian dari Kabupaten Sumenep. Cerita ini menjadi penting untuk ditulis karena di tempat itu saya menemukan sejarah dan kisah tentang Perempuan Langit.

Perempuan Langit yang saya maksud bukanlah putri kayangan yang turun dari langit sebagaimana dalam cerita babat Jawa, bukanlah perempuan keturunan Dyaus di zaman India kuno, bukan pula bagian dari cerita Zeus dalam kisah peradaban Yunani, atau dalam bahasa latin yang dikenal dengan Jupiter (ouv-pater) yang kesemuanya adalah cerita-cereta tentang langit. Bukan. Dia hanyalah seorang cerpenis yang selalu menggunakan diksi atau metafor langit dalam setiap cerpen yang ditulisnya.

Namanya Atika Kamila. Dia dikenal dengan panggilan Perempuan Langit pasca cerpen saya yang berjudul Langit Tak Seindah Dirimu terbit di Radar Madura tanggal 2 Januari 2011. Tika—sapaan akrabnya—adalah santri Lubangsa Puteri. Dia sama-sama semester VI dengan saya di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika). Tetapi, saya baru mengenalnya saat mengisi pelatihan menulis fiksi yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Muda Iksaputra (AJMI). Acara yang berlangsung pada 18-19 November 2010 di Desa Prancak, Pasongsongan itu hanya diikuti oleh santriwati Ikatan Santri Pantai Utara (Iksaputra).

Sebelum pelatihan itu, saya hanya tahu dia sering menulis cerpen, sama denganku. Meski tidak kenal, saya sedikit tahu tentangnya karena saya sering berkomunikasi lewat tulisan-tulisannya. Saya selalu menyempatkan diri membaca cerpen-cepennya yang terbit di media. Sebenarnya, saya sangat ingin mengenalnya lebih jauh, paling tidak hanya kenal pada rupanya saja, itu sudah cukup.

Tahun 2010, saya menjadi editor fiksi di Majalah Muara. Tika mengirim cerpen Pangeran Langit dan Putri Awan. Namanya ditulis dalam angka-angka 471124. Cerpen itu sangat bagus. Diksinya begitu kuat. Saya sangat suka. Tetapi saya sanksi; tidak dimuat, sayang cerpen itu terlalu bagus, jika dimuat orangnya takut salah. Jadi saya mengambil keputusan menyuruh kru putri untuk mencari tahu inisial tersebut. Ternyata, dugaan saya benar. Dialah pemilik cerpen Pangeran Langit dan Putri Awan, Atika Kamila!

Nah, Allah memberi saya kesempatan bertemu dengannya ketika mengisi pelatihan itu. Saya tahu, Tika berasal dari Pasongsongan. Santri asal Pasongsongan adalah bagian dari Iksaputra. Saya berkesimpulan bahwa kemungkinan besar Tika juga mengikuti pelatihan itu. Tak mungkin orang yang suka menulis cerpen melewatkannya, begitulah saya berkilah.

Pelatihan itu hanya diikuti oleh 24 peserta. Tata Ruangnya diformat dalam bentuk U. Pada awal pembicaraan saya berkata: Setahu saya di Lubri (Lubangsa Putri) yang suka menulis cerpen itu adalah Siti Khairiyah dan Atika Kamila. Saya berbicara demikian untuk memancing mereka menunjukkan Tika jika berada dalam forum itu.

“Ini kak, Atika,” kata mereka serempak.

Sontak semua peserta menunjuk satu gadis yang berada di tengah-tengah huruf U itu. Mukanya memerah. Malu. Tika menutup wajahnya dengan buku karena menjadi perhatian teman-temannya.

Oh, ini toh cerpenis yang namanya Atika, batinku.

Sejak saat itu, saya berada di atas angin. Salah satu misi saya berucap demikian adalah untuk “mendiamkannya” di dalam forum. Karena saya yakin, dialah yang paling banyak tahu tentang dunia kepenulisan daripada peserta yang lain. Nah, jika dia sudah di-skak mak, maka tak ada lagi yang perlu saya risaukan. Peserta lainnya hanyalah penulis pemula. Jujur, yang saya lakukan tidak ada motif mencari perhatianya.

Seminggu setelah pelatihan, di kantor redaksi Majalah Muara, saya berbincang santai seputar penerbitan dengan Ach Taufiqil Aziz, pimpinan redaksi majalah itu. Lalu, dia membuka folder pribadinya. “Ini bang, cewek saya. Cantik nggak?” dia menunjukan sebuah foto. Foto Atika Kamila.

“Cewek kamu, ya?”

“Bukan! Dia calon istri saya,” katanya nyengir.

“Calon istri?” saya sedikit kaget.

“He, nggak bang, bercanda. Tetapi saya sangat suka dengannya,” tuturnya santai.

Saya baru tahu kalau Tika menjadi pujaan hati sahabat terdekat saya. Acik—sapaan akrabnya—banyak bercerita tentang perasaannya pada Tika. Dia juga banyak bertutur tentang kehidupan gadis itu. Dari sahabat saya itu, saya banyak tahu tentangnya.

Lahirnya Perempuan Langit

Setelah saya tahu sahabatku mencintainya, saya berpikir bagaimana caranya untuk memudahkan dia untuk mendapatkan cintanya. Tetapi, rasa penasaranku untuk tahu mengapa Tika selalu menggunakan diksi langit masih belum purna. Maka, muncullah ide; mengumpulkan cerpen-cerpennya yang telah terbit dan mempelajarinya satu persatu.

Ada empat cerpen yang saya dapat: Pangeran Langit dan Putri Awan (Majalah Muara), Lukis Namaku di Kaki Senja (Antologi Tirta), Karena Langit Adalah Segalanya (antologi Iksaputra), dan Andromea; di Langitmu Aku Bercerita (antologi cerpenis Annuqayah). Semua cerpen itu memakai diksi langit.

Setelah mempelajari dengan seksama, muncullah ide di benak saya untuk menulis cerpen dengan diksi langit pula. Saya memilih judul Langit Tak Seindah Dirimu. Dalam cerpen itu, saya memasukkan unsur-unsur dasar ke empat cerpennya dengan harapan Tika bisa mengerti kalau cerpen itu saya persembahkan kepadanya. Saya ingin berkomunikasi dengannya via tulisan.

Aku sempat berpikir, jika langit yang dialamatkan oleh perempuan yang ingin kau sebut ibu itu hanyalah sebuah sketsa dari hati yang akan menyayangimu, maka akulah langit itu. Akulah orang yang selama ini kau cari. Langit telah mengutus gerimis untuk mempertemukanku denganmu di peron tua itu. Kau ingat kan?

Tapi kau tetap pergi dengan kerinduanmu. Tak pernah sekali saja berpikir bahwa langitmu adalah diriku. Harapan telah benar-benar membudakmu, sehingga kau tak pernah merasakan kasih sayang langit yang telah kau peroleh dariku. Sampai kapan kau akan mencari langit? Ah, ternyata langit tak seindah dirimu.

Muara Office, 2010

*) Persembahan pada Perempuan Penutur Langit


Dua paragraf di atas adalah penggalan terakhir dalam cerpen Langit Tak Seindah Dirimu yang telah saya kirim ke harian Radar Madura (Jawa Pos Group). Saya sangat bersyukur cepen itu terbit!

Tetapi, rupanya Tika cukup terkenal juga. Pasca terbitnya cerpen itu, saya mendengar kabar kalau di Lubri geger. Mereka beranggapan bahwa saya memiliki hubungan khusus dengannya. Belum lagi sahabat-sahabati di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTIKA yang setiap waktu selalu memperbincangkan cerpen itu.

Saya menyesal telah mengirim cerpen itu. Pasalnya, hubungan saya dengan Acik sedikit meregang. Saya memaklumi, lelaki mana yang tak cemburu jika membaca cuplikan paragraf di atas. Belum lagi sahabat LPM yang mengolok-olok saya telah merampas Tika darinya. Saya, disindir sebagai pagar yang makan tanaman!

Saya sudah menjelaskan pada Acik bahwa cerpen itu tidak bermaksud apa-apa, hanya motif karya fiktif belaka. Saya juga mengatakan bahwa Tika adalah perempuan kelima yang saya hadirkan dalam cerpen saya. kelima cerpen itu adalah: Vita Agustin, cinta pertama saya yang saya tungkan dalam cerpen Ruang Sunyi*, Ryna Kustiana dalam cerpen Gadis Bayangan*, Ummul Corn calam cerpen Dialog Maya*, Duana Firdausiyah dalam cerpen Doa Dari Surga*, dan terakhir Atika Kamila dalam cerpen Langit Tak Seindah Dirimu*. Kelima cerpen itu telah terbit di harian Radar Madura.

Alhamdulillah, Acik memahami penjelasan panjang-lebar dari saya. Namun itu masih belum usai. Sahabat-sahabat LPM dan semua kru Majalah Muara masih selalu memanas-manasi saya ketika bersama Acik. Mereka selalu mengatakan bahwa saya pagar makan tanaman. Oh, tidak! Saya tidak mau itu terjadi…..

Sejak saat itulah, sahabat-sahabat LPM dan kru Majalah Muara mentasbihkan Tika sebagai perempuan langit.

Di Langitnya, Saya Disidang

Pada rapat persiapan pemberangkatan investigasi tanggal 27 Januari 2011, saya disuruh memilih dua tempat antara Kecamatan Ambunten dengan Kecamatan Pasongsongan. Pilihan saya jatuh pada kecamatan Pasongsongan karena saya belum pernah berkunjung ke sana. Kabarnya pula, rumah Ubed, sahabat yang akan berangkat dengan saya dekat dengan laut. Saya sangat suka sekali pada laut. Itulah mengapa saya tertarik untuk pergi ke Pasongsongan.

Namun, keputusan yang saya ambil menimbulkan banyak kecurigaan. Saya disangka ingin mencari tahu alamat Perempuan Langit. Meskipun saya banyak diklarifikasi, saya tetap berangkat. Tak peduli mereka berkata apa. Saya menanggapinya dengan gurauan saja.

Sore hari tanggal 29 Januari 2011, saya tiba di Pasongsongan. Saya putuskan hari itu untuk tidak memulai pekerjaan saya. Yang saya lakukan hanyalah berjalan-jalan di pinggir pantai. Saat tiba di pelabuhan yang baru dibangun, Ubed menunjukkan saya pada sebuah rumah berpartisi biru langit dan berlantai dua. Rumah yang berdiri di bibir pantai.

“Itu bang, rumah Perempuan Langit,” ungkapnya.

“Besar juga rumahnya!”

“He, nggak juga. Gedung berlantai dua itu adalah musolla. Ayahnya adalah guru ngaji.” Saya baru tahu kalau ayah Perempuan Langit adalah seorang guru ngaji. Muridnya sangat banyak sehingga santri putra dan putri harus dipisah; untuk putra di lantai bawah dan putri di lantai atas.

Esok harinya, tanggal 30 Januari 2011 pukul 09.37 WIB di desa Mandala, saya menerima telpon dari Perempuan Langit. Dia mengata-ngataiku dari A sampai Z. Dia juga sedikit berbagi cerita ketika cerpen saya itu terbit. Bahwa dia sempat menangis karena tidak kuat menahan ejekan dari teman-temannya. Saya hanya menanggapinya dengan senyuman walau sebenarnya saya sangat prihatin atas kisah yang dia tuturkan. Saya merasa amat berdosa padanya. Tika, maafkan saya….

Lalu, tiba-tiba dia menitip pesan pada saya untuk menyampaikan pesan itu pada orang tuanya. Jadi, saya memberanikan diri bertandang ke rumahnya meskipun resiko yang akan saya tanggung amat besar; jika sahabat LPM tahu saya pergi ke rumahnya, maka tamatlah riwayat saya. Pasti peristiwa ini akan menjadi topik hangat untuk diperbincangkan.

Benar! Entah dari mana isu itu merebak, sehari setelah saya bertandang ke rumah Perempuan Langit, pada tanggal 31 Januari 2011 tepat pukul 20.45 WIB di depan rumah Ubed saya disidang. Riyadi dan Fathol Alif yang bertugas di kecamatan Lenteng dan Manding datang. Acik dan Sauqi yang bertugas di Ambunten dan Dasuk turut hadir menyidang saya. Ada enam sahabat LPM pada malam itu. Riyadi sebagai hakim, saya sebagai terdakwah, Acik sebagai penuntut, Fathol, Sauqi, dan Ubed sebagai saksi. Saya dicerca dengan banyak pertanyaan yang intinya bahwa diam-diam saya telah menusuk sahabat saya bukan hanya dari belakang, tetapi dari depan. Jelas saya sangat jengkel dituduh demikian. Mereka hanya asal tuduh, tak pernah percaya dengan yang telah saya jelaskan.

“Bung, cobalah bersikap jujur, kita sudah dewasa. Apa benar kau mencintainya?” kata Riyadi.

“Ya, bang, biar semuanya jelas. Jika benar demikian, maka saya akan relakan dia untukmu,” ungkap Acik polos. Kata-kata itu mengalir amat sederhana, tetapi amat membanting perasaan. Hati saya hancur. Yang saya pikirkan hanyalah bagaimana perasaan Acik ketika berucap demikian. Saya tahu, ada unsur keterpaksaan dia berkata demikian. Hatinya pasti amat sakit.

Kemudian saya menjelaskan ulang bahwa saya pergi ke rumahnya diluar kehendak saya. Seandainya Perempuan Langit tidak menyuruh, niscaya saya tidak akan pergi ke rumannya.

“Jadi semuanya sudah jelas, Perempuan Langit secara tidak langsung lebih memilih Fandrik daripada Acik,” ungkapnya pada peserta sidang. “Untuk Acik, saya tahu, memang berat untuk melupakan seorang wanita yang amat kita cintai. Tetapi, jika kenyataannya sudah demikian, kamu harus melepasnya. Ini demi kemaslahatan persahabatan kita bersama,” kata Riyadi menyimpulkan hasil sidang.

“Ya, kak! Saya akan berusaha menerima kenyataan ini,” katanya pelan. Lantas tidak ada lagi kata yang terucap dari bibirnya. Diam dalam kebisuan.

“Jadi, yang memenangkan perkara ini adalah Fandrik,” katanya menutup persidangan.

Bagi saya, kemenangan itu tak ubahnya petaka. Kesimpulan sidang itu telah meluluhlantakkan hati saya. Hancur berkeping-keping. Bagaimana tidak, saya telah menghancurkan mimpi sahabat yang telah saya anggap sebagai kakak kandung sendiri. Saya merasa banyak berdosa telah menerbitkan cerpen itu. Pantaslah jika pagar makan tanaman disematkan pada saya…!

Malam itu, saya benar-benar tidak bisa tidur. Saya selalu terbayang pada Tika-Acik-Tika-Acik-Tika-Tika dan Tika. Entah mengapa, dilain hati saya sempat berpikir, ketika sering memikirkan Perempuan Langit, saya merasakan bahwa di hati ini telah tumbuh benih-benih cinta. Benih itu tumbuh subur lantaran saya selalu dirudung kegelisahan pasca persidangan itu. Sempat juga saya merenung, mungkinkah saya telah jatuh cinta pada Perempuan Langit sejak pandangan pertama? Tetapi, saya tidak pernah menyadarinya.

Sejak persidangan itu saya sering memikirkan Perempuan Langit. Wajahnya selalu hadir dalam setiap kesendirian saya. Oh, tidak, saya sudah tidak bisa menafikan cinta ini. Tetapi saya tidak ingin benih-benih cinta ini tumbuh subur yang akhirnya hanya akan menjadi boomerang yang akan membumihanguskan persahabatan saya dengan Acik.

Jika ada orang yang bertanya bagaimana perasaanku saat ini, saya akan menjawab, saya selalu gelisah. Jika ada orang yang lebih spesifik lagi bertanya bagimana perasaanku pada perempuan langit, maka saya akan menjawab saya suka padanya, saya mencintainya. Tapi, tidak pernah ada kata HARAP Perempuan Langit mencintai saya juga atau bahkan membalas cinta saya, karena saya jatuh cinta pada gadis yang salah...!

Saya lebih tenang dan bahagia bila Perempuan Langit memilih Acik. Meskipun saat ini saya telah jatuh cinta padanya. Saya yakin bisa membunuh cinta ini. Haya satu yang saya inginkan, Perempuan Langit tetap menjadi sahabat terbaik saya, sama halnya persahabatan saya dengan acik. Persahabatan ini tak bisa ditukar dengan apa pun. Jika ada orang yang tidak percaya bahwa kata-kata lebih tajam ketimbang belati, maka perkenankanlah orang itu barang sejenak untuk membaca kisah saya ini…

Rumah Cerita, 12:34 AM

Keterangan: * Selengkapnya baca di blog saya www.rantingcahaya.blogspot.com