Friday, December 3, 2010

Yu…k, Menulis Fiksi! )*

Bersiaplah Menjadi Artis!
“Ada tiga cara untuk menjadi penulis: menulis, menulis, dan menulis”
Ungkapan di atas mungkin sudah terlalau klise. Tapi, benar sekali ungkapan sastrawan gaek Kuntowijoyo itu bahwa untuk menjadi seorang penulis hanyalah menulis. Menulis adalah penyambung umur. Jika kita mati, tulisan akan membuktikan diri kalau kita ada. “Aku menulis, maka aku ada,” begitulah ungkapan (alm) Gus Zainal Arifin Thoha, pengasuh pesantren mahasiswa kutub, Yogyakarta.

Kiranya kurang berimbang jika saya nggak mengutip dari cendikiawan muslim sendiri mengenai menulis. Baiklah, kata Imam Al-Ghazali “Jika kau bukan anak seorang raja, maka menulislah”. ungkapan Imam Al-Ghazali itu memberi indikasi bahwa menulis bisa menjadi artis. Nah, mulai sekarang, budayakan menulis, agar kita menjadi ARTIZ…!!!

Sebenarnya apa sih yang dikatakan fiksi itu? Dalam karya sastra, fiksi juga disebut karya rekaan. Sebagai cerita rekaan, fiksi merupakan kisahan yang mempunyai tokoh, lakuan, dan alur yang dihasilkan oleh daya khayal atau imajinasi pengarang. Biasanya yang termasuk dalam ragam fiksi adalah roman, novel, dan cerita pendek (cerpen). Fiksi dikaitkan dengan cerita yang mengada-ada, rekayasa, sampai pada absurditas. Benarkah demikian? Bagaimana dengan catatan harian yang anda tulis, apakah juga termasuk fiksi? Jangan terjebak pada kosa kata. Bereksperimenlah! Intinya menulis pengalaman ( panca indera) dengan bercerita.

Modal Awal Menuju Kesuksesan
Sulit nggak ya, jadi penulis? Benarkah menulis itu sulit? Memang tidak ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan ini. Dan pertanyaan ini juga terus menerus ditanyakan orang dari generasi ke generasi.

Secara umum, sulit atau mudahnya sesuatu tergantung banyak hal, antara lain, niat, kemauan, serta anggapan dan keyakinan yang ada dalam pikiran kita. Jika niat dan kemauannya kuat, maka usaha untuk mencapainya juga akan lebih giat, sehingga proses pencapaiannya akan terasa lebih mudah.

Sebaliknya, jika kita menganggap sesuatu itu sulit, maka kesulitan pulalah yang akan kita hadapi. Lain halnya jika kita menganggap sesuatu itu mudah (ingat: menganggap mudah tidak sama dengan menganggap enteng), maka biasanya segala sesuatunya akan terasa lebih mudah. Berikut beberapa kiat menulis fiksi:

1. Mantapkan niat; Jangan takut jatuh!
“Jangan silau pada prestasi, silaulah pada proses!”
Ingat euy, segala perbuatan harus disertai niat, termasuk ketika menulis. Inilah software yang harus ditata terlebih dahulu sebelum berkutat dengan segala detil teknis penulisan seperti ide, plot atau ending. Niat harus dikokohkan! Aral menjadi seorang penulis sangat terjal, utamanya untuk menembus media; tidak diterima sekali saja sudah nyerah.

Joni Ariadinata, cerpenis senior FLP, dia harus menunggu karyanya hingga sampai ratusan kali untuk dimuat di media. Tpai, karena komitmen tertanam kuat, dia tidak menyerah begitu saja. Dan hasilnya, anda bisa lihat sendiri!

2. Mengejar Ide, Merangkai harapan
Jemputlah bola, jangan ditunggu, jika tidak, kau tidak akan pernah menendangnya, dan GOALLL! A.A Navis memilih nongkrong di toilet berjam-jam – hingga konon ia terserang wasir—demi mengejar sang ide. Jika kamu gimana? Yang penting, di mana enjoy ketika menulis, di situlah tempatnya.

Banyak yang ingin menulis selalu menunggu mood, nggak ada mood nggak menulis. Wah… itu namanya penulis kacau. Kelas teri campur tempe! Menulis fiksi selalau dituntut untuk mengasah otak, selalu bereksperimen dalam rumah kata. Eksperimen disini dimaksudkan untuk melahirkan ide-ide cemerlang serta berlatih untuk meracik diksi yang bagus, memukau, bombastis, dan tentunya tidak klise.

Orang yang disebut penulis adalah yang selalu menulis, tidak harus terkenal. Jika kedua syarat di atas sudah terpenuhi, anda adalah seorang penulis!

Menulis dan Membangun Cerita
Jangan batasi diri Anda! Tulislah kata apa saja yang muncul yang berhubungan dengan setting/lokasi, atau karakterisasi dan ide-ide yang sedang anda bangun sehingga sehingga membentuk gambaran cerita. Jika telah mempunyai gambaran alur ceritanya, itu lebih baik, tapi kalau belum juga tidak menjadi masalah. Ide-ide perlahan akan terbentuk dan berkembang dengan sendirinya asalkan memiliki kemauan kuat. Beberapa adegan, ide, kata, dan kalimat mungkin akan tampak kacau, namun anda masih bisa memperbaikinya.

Membangun cerita berarti membuat urutan adegan, membuat garis besar jalan cerita untuk plot/alur cerita yang akan Anda buat. Rangkailah beberapa adegan yang sempat terpotong-potong itu menjadi sederetan kalimat yang mengalir. Di tahap inilah Anda perlahan membangun garis besar cerita Anda. Saat Anda melakukan hal ini, carilah unsur-unsur kunci dalam cerita yang dapat memberi kesan dramatis.

Jika anda menulis tulisan panjang seperti novel. Mula-mula berilah nama untuk setiap adegan dan simpan di bagian Struktur Cerita. Terkadang saat inspirasi tidak kunjung datang, gunakan saja cara lama: "brainstorming" (membuat coretan kasar)! Tulis sebuah kata, lalu kata lain dan yang lain lagi.

Karakterisasi Cerita
Pada bagian ini anda akan dapat menentukan beberapa hal yang merupakan unsur-unsur umum dalam cerita:

1. Tema
Cerita seringkali ditentukan oleh tema. Pertentangan antara kebaikan dan kejahatan, pertumbuhan, kedewasaan, cinta, kebebasan, kematian dan lainnya. Di sini Anda diharap menentukan tema umum cerita. Disamping tema sebagai arah cerita, juga berfungsi sebagai pemilihan diksi yang akan dipakai dalam cerita itu.

2. Tujuan
Tujuan di sini mencakup segalanya; pembaca, pesan dan karakreristik media. Ingatlah, bagaimanapun juga sebuah cerita bukanlah tentang mengejar sebuah tujuan yang spesifik. Spesifikasi dari tujuan itu sendiri nantinya akan tertuang dalam pesan yang akan anda disampaikan dalam tulisan sekaligus memudahkan anda untuk menyampaikan pesan-pesan yang akan anda tulis.

3. Gaya Bahasa
Kekuatan dari sebuah cerita adalah sejauh mana anda merangkai kata serta mencari diksi yang terpat. Ingat, kualitas sebuah karya fiksi itu diukur oleh perasaan. Rangkailah bahasa sedemikian rupa, tentunya yang selaras dengan tema dan tujuan yang anda bangun. Tujuan gaya bahasa adalah memporak-porandakan perasaan pembaca. Pembaca seakan diaduk-aduk oleh derita yang anda bangun dan “terjatuh” ke dalam cerita itu.

Unsur Intrinksik dalam fiksi:
1. Tema : Merupakan pokok persoalan yang menjiwai seluruh cerita. Tema diangkat dari konflik kehidupan.
2. Plot : Dasar cerita; pengembangan cerita.
3. Alur : Rangkaian cerita.
- Dalam alur hubungan tokoh bisa rapat yaitu memusat pada satu tokoh; atau renggang yaitu tokoh berjalan masing2.
- Proses alur bisa maju; mundur; atau maju mundur.
- Penyelesaian Alur ada alur klimaks dan ada alur anti klimaks.
4. Setting : Tempat terjadinya cerita, terbagi menjadi :
- Setting geografis —-> tempat di mana kejadian berlangsung
- Setting antropologis —-> kejadian berkaitan dengan situasi masyarakat, kejiwaan pola pikir, adat-istiadat.
5. Penokohan : Tokoh baik (protagonis), tokoh yang jahat (antagonis), tokoh (tritagonis) dan tokoh tokoh sampingan (pembantu). Penghadiran tokoh bisa langsung dengan cara melakukan deskripsi, melukiskan pribadi tokoh; atau tidak langsung dengan cara dialog antar tokoh.
Bidang2 tokoh harus digambarkan :
- Bidang tampak : gesture, mimik, pakaian, milik pribadi, dsb
- Bidang yang tidak tampak : motif berupa dorongan / keinginan, psikis berupa perubahan kejiwaan, perasaan, dan religiusitas.
6. Sudut pandang : Penghadiran bisa dengan :
- Orang pertama pelaku utama: penulis terlibat sebagai tokoh utama
- Orang pertama pelaku sampingan: penulis menjadi bagian dari cerita tapi bukan sebagai tokoh sentral
- Orang ketiga: penulis tidak masuk di dalam cerita. Dia memposisikan diri sebagai narator (pencerita).
7. Suasana : Yang mendasari suasana cerita adalah penokohan karena perbedaan karakter sehingga menimbulkan konflik. Dengan konflik pengarang berhadapan dengan suasana menyedihkan, mengharukan, menantang, menyenangkan, atau memberi inspirasi.
Semua point ini harus dihadirkan secara utuh baik berupa cerpen, novel, drama, skenario film / sinetron, sehingga pembaca, pendengar, pemirsa mempunyai daya imajinatif; mempunyai tafsiran tentang tokoh, suasana, dsb; terhadap karya fiksi tersebut.

Jangan lupa : tema, plot, alur, dan setting juga harus jelas sehingga karya fiksi benar2 utuh sebagai karya seni bukan berupa sekadar curahan hati (seperti diary).

Sekarang! Tulislah Apa yang Anda Mau…..!

)*Rangkaian kalimat ini disampaikan pada pelatihan kepenulisan Ikatan Santri Pantai Utara (IKSAPUTRA) Putri tanggal 18 November 2010 di Prancak, Pasongsongan, Sumenep. (edisi revisi)

The Prometean dan Khalifah Perspektif Demokrasi

Barack Husein Obama, saat beramah tamah ke Indonesia (09/11) sempat mengungkapkan, demokrasi harus dibangun dengan menghargai nilai-nilai hak asasi manusia, keadilan, kemanusiaan, aspirasi politik, dan terwujudnya kesejahteraan bagi rakyat. Indonesia yang terkenal dengan negara plural mampu menyatukan negaranya dalam bingkai Bhinnika Tunggal Ika. Dengan salah satu penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia telah dipandang mampu menyatukan masyarakatnya dengan dasar negara Pancasila. Begitulah katanya.

Sah-sah saja Obama menyatakan demikian, sebab statusnya adalah tamu. Tamu, siapa saja, harus pintar mencuri perhatian, memperlakukan tuan rumah seramah mungkin. Sanjungan itu tak lebih dan tak kurang hanyalah sebagai penyambung lidah untuk menikmati jamuan makan bakso, keripik, dan empeng bersama pak presiden.

Jika sejenak kita mencoba menceburkan diri ke dalam kenangan peristiwa 11 September, mungkin kita harus berpikir ulang. Sejak peristiwa itu, Amerika menyebut Islam sebagai kelompok garis keras. Bapak dari terorisnya teroris. Jika berkaca pada perkataannya, bahwa Indonesia merupakan salah satu penduduk muslim terbesar di dunia, secara tidak langsung “masyarakat” Obama juga mengategorikan Indonesia sebagai sarang teroris. Penulis bukan bemaksud mendiskreditkan Obama cs, tetapi hanya sebagai renungan untuk berpikir ulang makna sarang teroris itu.

Pertanyaannya sekaran, benarkah Islam merupakan ajaran kelompok garis keras, yang secara tidak langsung merendahkan Hak Asasi Manusia (HAM) serta seakan juga telah memperlakukan hukum rimba? Inilah pertanyaan mendasar dalam menyikapi ham dalam perspektif keislaman dan keindonesiaan.

Hak dapat dimaknai sebagai suatu nilai yang diinginkan seseorang untuk melidungi dirinya agar dapat memelihara kehidupan serta mengembangkan kepribadiannya. Dalam kata asas, terkandung makna bahwa subjek yang memiliki hak semacam itu adalah umat manusia secara keseluruhan tanpa membedakan status, suku, agama, ras, dan budaya. Dengan demikian Hak Asasi Manusia sedemikian penting, mendasar dan mutlak pemenuhannya (Cf. Sidney Hook,1987).

Islam yang diggembar-gemborkan sebagai agama rahmatan lil alamin memandang manusia bukan sebagai hak otoritas kebebasan. Berbeda dengan orang barat yang memaknai manusia sebagai “makhluk prometean” (the prometean), yaitu manusia yang memberontak terhadap segala jenis otoritas dan mengedepankan otonomi pribadi yang mutlak. Sedangkan Islam memandang manusia tidak lepas dari status dan fungsinya penciptaanya di muka bumi yakni sebagai khalifah (duta Tuhan). Dalam pengertian mandataris, yang diberi kuasa, bukan sebagai penguasa. Adanya unsur ketuhanan dalam diri manusia membuat otonominya tidak bersifat mutlak.

Islam memandang hak asasi manusia sebagai manusia bebas (Q.S. 33:72), bebas dalam kemauan dan perbuatan (Q.S. 76:2-3), bebas dari tekanan dan paksaan manusia lain, bebas dari eksploitasi manusia lain, bebas dari pemilikan manusia lain (Q.S. 90:13), dan bahkan bebas dalam beragama (Q.S. 2: 256; dan 10:99). Karena itu, Islam memandang hak asasi manusia dengan cara pandang yang berbeda dari Barat, tidak bersifat anthroposentris, tetapi bersifat theosentris (sadar kepada Allah sebagai pusat kehidupan). Penghargaan kepada hak asasi manusia, dengan demikian, merupakan bentuk kualitas kesadaran keagamaan, yaitu kesadaran kepada Allah sebagai pusat kehidupan (A.K. Brohi, 1978).

Kaitannya dengan demokrasi, pancasila sebagai ideoligi negara sudah final, tidak bisa ditawar lagi. Kemajemukan suku, agama, ras, dan budaya telah terakomudir di dalamnya. Rumusan kelima sila itu sesuai dengan misi islam; iman, islam dan ihsan. Karenanya, Islam tidak mempermasalahkan kedudukan pancasila sebagai ideologi negara serta ideologi pemerintahan.

Namun pada tatanan realitanya, kemajemukan tidak sepenuhnya toleran. Konflik antar suku, ras, dan agama tetap berkepanjangan di negeri ini. Peristiwa bom Bali, konflik di Poso, serta tindakan kekerasan atas nama agama mensinyalir bahwa HAM di negara kita masih sekarat. Dalil-dalil “pembebasan” selalu dijadikan legitimasi untuk menonjolkan antar suku, ras, dan agama, sehingga ruang lingkup pancasila dalam tatanan formalitasnya tidak menyentuh kepada hak kemanusiaan itu sendiri.

Agama tetap menjadi faktor penting bagi sinergisitas penguatan demokrasi dan civil society di Indonesia, sebab kekerasan yang terjadi 90% atas dasar agama. Meski Indonesia bukan negara agama, kehidupan masyarakat Indonesia tidak dapat dilepaskan dari agama. Kedudukan manusia sebagai khalifah harus menjadi upaya sadar bahwa hak otoritas kemanusiaan tidak bersifat mutlak sebagaimana persepsi orang barat, sehingga upaya pembebasan sebagai penegak dari HAM memiliki batasan-batasan tertentu.

Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), guru-guru kita telah mengjaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Menjunjung tinggi kebebasan; dalam menyampaikan hak hingga memeluk agama. Kondisi itu harus dikelola dengan baik dan bijak oleh pemerintah dan kalangan agamawan agar keragaman agama dan budaya di Indonesia tidak menjadi sumber konflik, tetapi menjadi berkah dan kekayaan bangsa yang saling menguatkan saling mengukuhkan, dan saling memperkaya pengalaman masing-masing.

Menikmati Berbuka Puasa di Rowo Indah

Jika anda pernah atau akan berkunjung ke Kecamatan Ledokombo, maka sempatkanlah barang sejenak untuk mampir ke sebuah danau kecil di Desa Sukogidri. Salah satu desa di kecamatan paling timur Kabupaten Jember.

Rowo Indah nama danau kecil itu. Terletak di atas bebukitan, berjarak 1,5 kilometer dari Balai Desa Sukogidri ke arah timur. Jika sudah sampai di perkampungan yang dikenal dengan Dusun Duklengkong, hanya sekitar 12 rumah, maka kendaraan apa pun harus diparkir di sana. Tak ada rekomendasi untuk dibawa ke lokasi karena jalannya terlalu sempit.

Perjalanan yang masih menyisakan 400 meter ke arah utara itu harus ditempuh dengan berjalan kaki. Mengesankan dan sedikit menguras tenaga. Saya dan teman saya terkadang mengenduskan nafas berat menapaki jalan yang menanjak, berliku, dan bebatuan. Sesekali menahan perut yang keroncongan karena berpuasa.

Tiba di lokasi sekitar pukul 15.50, sebuah pengeras suara sepertinya menyambut kami. Rasa lelah berikut capek seketika terasa lenyap ketika melihat panorama Rowo Indah. Meskipun waktu menginjak sore hari, suasana naturalnya tetap segar. Teriakan bocah-bocah kecil di tepian danau itu menggelitik hati. Bermain. Berkejaran di sisi danau seluas 4 hektar.

Dua buah perahu mengapung mengelilingi danau. Sarat akan penumpang. Perahunya berwarna-warni, namun yang paling mencolok adalah warna kuning kombinasi merah. Burung-burung bangau terbang dan hinggap di Pohon Kelapa saat perahu berukuran sedang itu melintas di dekat mereka. Hanya dengan uang 2000 rupiah perkepala, sudah cukup mengelilingi danau satu putaran.

Ya, di sekitar sisi Rowo Indah berjejel Pohon Kelapa. Bahkan, di tengah danau yang memiliki kedalaman 3,5 meter itu menjulang empat Pohon Kelapa. Maklum, Rowo Indah asalnya memang adalah sebuah ondhut (persawahan yang memiliki sumber air).

Tanggal 28 Juli lalu, sempat menjadi ketegangan warga. Sekitar pukul 02.00 dini hari, ondhut itu meledak, menyemburkan air yang sangat deras. Sehingga menenggelamkan beberapa sawah di sekitarnya. Mereka, yang memiliki sawah gagal panen.

Sebenarnya, setiap tahun ondut itu sering mengalami ledakan air. Pernah Februari lalu terjadi ledakan, warga masih bisa mengantisipasinya. Namun, semburan saat ini lebih besar dari sebelumnya. Sekilas peristiwa itu mengingatkan saya pada semburan Lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo. Bahkan terdengar juga celetukan para warga kalau itu juga “Lumpur Lapindo”. Namun, sama sekali tak terbukti, sebab airnya tak membahayakan. Bahkan bisa menjadi obat. Banyak orang-orang yang berdatangan untuk menyembuhkan penyakit. Seperti sakit mata, jerawatan, gatal-gatal, dan penyakit kulit lainnya.

Beberapa warga merasa iba atas orang yang sawahnya ikut terendam. Muncullah aksi gotong-royong untuk membuat selokan selebar setengah meter ke arah selatan menuju Sungai Laok.

Usaha mereka nihil, tak membuahkan hasil. Maka, muncul ide baru dari kepala RT Dusun Duklengkong; menutup selokan dan membiarkan airnya tetap menggenang. Usulan itu disambut baik. Untuk menambah daya tarik pengunjung, kepala RT dan kepala desa memfasilitasi dua perahu yang disewa dari Muncar. Nantinya, 35% dari hasil perahu masuk pada anggaran pendapatan desa dan sisanya menjadi hak para pemilik sawah setelah dipotong biaya sewa perahu.

Tidak hanya itu, setelah meledak, danau itu menjadi banyak ikannya. Banyak pendatang yang juga mencoba “mengadu nasib” dengan memancing. Kailnya bukanlah cacing atau daging, tapi hanya lumut kerak. Bagi yang ingin memancing sudah ada posisinya, yaitu di ujung timur, di bawah dua Pohon Randu besar berdiameter kira-kira 30 centimeter. Mereka seperti nampak mengikuti kontes memancing, padahal tidak. Siapa berminat, silahkan mencoba. Gratis!

Beberapa pengusaha lokal sempat melirik Rowo Indah untuk dikembangkan menjadi tempat wisata. Namun, para pemilik sawah tak setuju menjual lahannya karena sawah atau ladang merupakan prioritas utama mata pencaharian mereka. 90% masyarakat Desa Sukogidri adalah petani. Mereka berharap dan meyakini suatu hari lahan itu bisa kembali seperti sedia kala.

Kondisi Rowo Indah itu dibiarkan begitu saja dengan keeksotisan alamiahnya. Membiarkan apa adanya tanpa ada langkah-langkah untuk mempercantik diri. Hanya pembersihan tepian danau dari tumbuhan enceng gondok seminggu sekali.

Setelah menyaksikan dan sedikit berbincang santai dengan para pemancing, yang katanya bisa memperoleh 30 ekor seukuran tangan bayi dalam waktu satu jam, kami melanjutkan perjalanan ke arah utara. Di utara danau itu berjejel rapi para penjual makanan. Dari makanan ringan sampai makanan khas pedesaan seperti lontong, ketupat, soto, rujak, dan lain sebagainya.

Ada sembilan penjual di sana yang saling berhadap-hadapan. Tempatnya sangat sederhana, terbuat dari bambu dan atapnya dari plastik yang di atasnya ditumpangi jerami. Beberapa makanan yang ditata rapi membuat saya harus beberapa kali menelan ludah.

Karena lidah saya selalu ngidam makanan itu. Maka kami memutuskan untuk berbuka puasa di sana. Apalagi matahari sudah hampir mendekati garis cakrawala.

PNS Berprofesi Ganda

Terbongkarnya penipuan berkedok penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di berbagai daerah Jawa Timur menambah berita duka negeri ini. Saat bangsa Indonesia berkabung atas bencana tsunami di Mentawai sampai peristiwa meletusnya gunung Merapi, di Jawa Timur, berita duka itu seakan tenggelam oleh maraknya fenomena praktik calo CPNS.

Menurut laporan Polrestabes Surabaya, korban calo CPNS yang diduga dilakukan Joko Suparno, telah mencapai ribuan orang. Tersebar di Madura (Kabupaten Pamekasan, Sampang dan Bangkalan), Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Jombang, Mojokerto dan Madiun. “Penyumbang” korban terbanyak adalah Madura yang mencapai 305 orang (Pamekasan 85 orang, Sampang 67 orang dan Bangkalan 153 orang). Bagaimana dengan kabupaten Sumenep? Bukan jaminan kabupaten paling timur Madura itu bersih dari percaloan. Diduga salah satu anggota DPRD Sumenep juga terlibat di dalamnya. (Kompas Jatim, Sabtu 30 Oktober 2010). Maka dari itu bupati Sumenep A. Busyro Karim akan mengontrol PNS yang indisipliner serta menyelidiki calo CPNS yang diduga kuat memiliki jaringan dengan kabupaten Madiun yang merupakan penyumbang korban terbanyak setelah Madura.

Profesi Ganda

Modus yang banyak dilakukan oleh calo CPNS melalui jalur khusus, yaitu tanpa tes atau lewat tenaga honorer. Para korban diiming-imingi jaminan lolos seleksi CPNS sampai menjadi PNS asal memenuhi “syarat” yang diinginkan si pelaku. Ironisnya, para pelaku praktik percaloan yang telah tertangkap maupun yang telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) memiliki background sebagai PNS. Hal itu mengukuhkan bahwa PNS di negeri kita—meminjam bahasanya M Mushthafa—sedang mengidap penyakit yang sekarat. Praktik yang dilakukan oleh PNS berprofesi ganda itu semakin mencoreng nama baik abdi negara yang seharusnya menjadi penyuluh kebijakan pemerintah kepada masyarakat.

Secara resmi hanya ada dua metode perekrutan CPNS. Pertama, lewat tes jalur umum, sedangkan yang kedua melalui rekrutmen tenaga atau pegawai honorer yang telah mengabdikan diri selama bertahun-tahun. Karena jalur kedua sangat sulit ditempuh, “harus” mengabdikan diri bertahun-tahun bahkan sampai puluhan tahun, maka jalur pertamalah yang paling banyak diminati. Akan tetapi, penyeleksian yang begitu ketat serta kuota penerimaan PNS yang selalu tak sebanding dengan banyaknya peserta yang mendaftarkan diri, jalur “cepat” menjadi solusi. Mereka bersedia membayar jutaan rupiah demi mendapat satu tempat sebagai abdi negara.

Tingginya daya tawar dan daya saing CPNS di mata masyarakat memberi indikasi bahwa pekerjaan yang memiliki prospek yang cerah hanyalah menjadi PNS. Pekerjaan relatif mudah dan tidak perlu memikirkan untung-rugi. Minat besar itu mengukuhkan bahwa ketersediaan lapangan tenaga kerja yang ada kurang menjanjikan. Paradigma semacam ini harusnya menjadi indikator pemerintah dalam memperbaiki ketersediaan lapangan kerja. Nah, yang menjadi pertanyaannya sekarang, bisakah pemerintah mewujudkannya? Padahal, jumlah angka pengangguran di negeri ini masih sangat besar.

Menjadi PNS adalah impian banyak orang, utamanya yang (masih) berprofesi sebagai tenaga honorer yang bertahun-tahun tidak pernah diangkat menjadi PNS. Menjadi seorang PNS memiliki kehidupan yang sejahtera. Selain gaji bulanan, masa pensiun PNS dijamin negara seumur hidup sehingga tak pelak banyak yang rela “menanamkan” modal jutaan rupiah demi memuluskan jalan untuk menjadi seorang PNS.

PNS bukanlah jabatan yang harus diperebutkan, apalagi diwarnai dengan suap menyuap, karena hal itu hanya akan memudarkan tugas “mulia” seorang abdi negara yang mengabdikan diri untuk kesejahteraan umum. Selain menjadi tangan kanan pemerintah, PNS juga menjadi telinga untuk mendengar kondisi dan aspirasi masyarakat.

Percaloan itu tidak hanya mencoreng nama baik seorang abdi negara, tetapi juga semakin menancapkan dan mengukuhkan akar money politic dalam birokrasi pemerintahan, karena komplotan jaringan tersebut juga melibatkan oknum pegawai Pemprov Jawa Timur dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Praktik percaloan ini harus ditindak tegas, sebab jika penanam modal itu benar-benar menjadi PNS, tentu akan menjadi persoalan baru yang lebih akut di instansi pemerintahan. Kualitas PNS akan dipertanyakan dan tidak menutup kemungkinan mereka akan menularkan efek karambol.

Penulis setuju dengan kebijakan yang dilontarkan Gubernur Jawa Timur Soekarwo bahwa siapa pun PNS yang terlibat dalam penipuan serta praktik percaloan CPNS harus dipecat. Sebab, siapa lagi yang menjadi penyuluhan kebijakan pemerintah serta tegaknya demokrasi kalau bukan mereka.

Saturday, October 23, 2010

Catatan di Garis Cakrawala

Berapa kian kali, aku mendapat surat yang sama. Surat pengakuan sebuah perasaan. Tapi kenapa dia tak terus terang saja. Siapa namanya. Juga alamatnya. Malah katanya tak penting bagiku untuk membalas surat-suratnya.

Jujur, aku senang sekali. Dan itu harus aku hargai dan harus aku jaga. Prinsip hidupku mengatakan: menjaga agar orang-orang yang mencintaiku tak kehilangan kembali. Aku harus mencari tahu siap orangnya!

@@@

Tok…tok…!

Ketukan dari balik pintu mengagetkanku yang masih tidur pulas. Mau tidak mau aku harus merelakan mimpi indahku lenyap karena suara itu.

“Dani, bangun, dah jam berapa nich!”suara kakak terdengar jelas di balik pintu.

"Ya! Kak," jawabku malas.

Aku sangat kesal dengap perlakuan kakak. Betapa tidak, di saat aku berdiri tegar di ujung kapal TITANIC, berdiri kokoh sebagai Jack yang sedang memeluk Rose dari belakang. Merentangkan tangan dan memandang hamparan samudera luas. Menikmati indahnya laut. Membiarkan desauan angin samudera membelai kita—aku dan Rose. Tiba-tiba kapal yang kami tumpangi menabrak sebuah gunung es. Benturannya sangat keras. Sekeras tangan kakak mengetuk pintu.

Langkahku gontai membuka puntu. Aku buka pintu kamar. Di sana, kakak sudah menatap tajam. Aku yang belum sepenuhnya menyatu dengan ‘roh’ku menggaruk kepala, meski sebenarnya tak ada gatal.

“Ah, kakak apa-apan sih, ganggu tidurku saja.” Ucapku kesal.

“Coba lihat! dah jam berapa sekarang” celotehnya.

Akau menatap jam dinding yang bergelantung di belakang kakak. Astaga! Mataku terbelalak. Mulutku terbuka lebar menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 07.35 WIB. Rasa kantuk yang dari tadi bergelantungan, kini buyar entah ke mana. Secepat kilat aku melangkah ke kamar mandi. Tak peduli dengan kakak yang tetap berkacak pinggang menatapku.

Setelah semua siap, aku sempatkan menghampiri kakak di meja makan. Meraih tangannya dan mencium dengan penuh hormat. Tangan dinginnyalah yang selama ini membesarkanku tanpa aku merasakan sebuah kasih sayang orang tua seperti yang sempat kakak rasakan. Katanya: ibuku meninggal setelah melahirkan aku, sedangkan ayah meninggal pada waktu aku berumur sembilan bulan. Ayahku meninggal dalam tragedi tabrakan di senja hari sepulang dari tempat kerjanya.

Aku benar-benar banyak kehilangan di masa laluku. Banyak kehilangan orang yang mencintaiku. Maka dari itu, aku sangat tak ingin kehilangan kakakku. Aku akan berusaha menjaga orang-orang yang selalu memahamiku, menganggap aku ada dan memberiku cinta dan kasih sayang.

“Kak, aku berangkat,” pamitku memburu.

“Hati-hati di jalan,“ kata kakak.

Aku terus melangkah. Keterlambatan membuatku tergesa-gesa. Saking tergesa-gesanya, sampai di teras, aku hampir terjatuh karena menginjak sesuatu. Sepucuk surat. Aku langsung memasukkan ke dalam tas tanpa berpikir apa isi di dalamnya. Aku harus mengejar waktu.

Matahari terus meninggi. Aku berlari melewati gang-gang perumahan yang agak kumuh. Jalan pintas yang sering aku pakai bila terdesak.

Tiba di sekolah, gerbang utama ditutup. Tak seorang pun siswa yang berkeliaran. Semua sudah berada di kelas masing-masing. Kecuali satu orang, yang selalu setia menjaga pintu gerbang. Security alias Hansip!

Aku terpaksa menunggu jam pertama usai. Seperti biasa, nongkrong di kedai bu Tijah.
“Kamu tidak masuk? Terlambat ya?” tanya Bu Tijah. Ada nada sindiran dari ucapannya. Aku hanya mengangguk.

Setelah meneguk minuman Frestea sebatas menghilangkan dahaga, aku teringat pada surat yang aku injak tadi. Masih lengkap dengan bekas sepatuku. Kubuka surat itu. Ah! Ternyata isi dan bahasanya sudah klise!

@ @ @

Minggu melipat hari. Kini, hari-hariku disibukkan dengan Ujian Akhir Nasinal (UAN) yang tinggal beberapa hari lagi. Persiapan harus di matangkan. Standart kelulusan tahun ini terbilang tinggi. Sehingga memaksaku untuk mengikuti kegiatan ekstra kurikuler semacam lest, kursus dan kegiatan lain yang sekiranya mendongkrak nilaiku nanti.

Hari itu, senja kian mendekat. Matahari mulai mendekati garis cakrawala. Semua orang kembali keperaduan. Memenuhi panggilan suci. Aku baru pulang dari sekolah, usai mengikuti pelajaran Ektra Kurikuler. Tubuhku lelah. Begitu pun pikiran dan semangat juangku yang beberapa hari terakhir selali diforsir.

Aku ingin cepat sampai di rumah. Ingin segera istirahat.

Seperti biasa, jika dalam keadaan tidak memungkinkan, aku lewat jalan pintas. Aku takut sampai di rumah, gelam sudah mencekam. Di jalan, di gang kecil, aku sempat berpapasan dengan gadis. Di pundaknya tersandang tas. Beberapa buku terselip di pelukannya. Dia berjalan menunduk.

Dia terus berjalan menunduk menapaki jalan yang remang itu. Entah mengapa, aku merasakan sesuatu bahwa dia seakan sangat dekat denganku. Ada perasaan yang berbeda. Setelah dekat, aku berusaha mencuri pandang. Namun aku gagal mendapatkan sketsa wajahnya. Dia selalu menunduk. Seakan ada beban perasaan yang menyelimutinya.

Sempat terlintas dibenak untuk menyapa. Namun aku ragu. Takut gadis itu memberikan persepsi lain terhadap niat baikku. Lagipula hari mulai gelap. Takut dia akan berprasangka yang bukan-bukan. Akhirnya aku tak mempedulikannya. Membiarkannya berlalu begitu saja tanpa aku pedulikan, seperti angin yang membawa kabar sunyi.

Sesaat kemudian, telingaku mendengar suara aneh yang disusul dengan hantaman keras. Ya! Itu suara denyit ban mobil. Tepat di persimpangan jalan, aku melihat gadis tadi sudah tergolek di tengah jalan. Darahnya nengalir. aku cepat-cepat ke sana.

Oh…betapa naifnya. Gadis yang malang. Dia tertabrak mobil. Darahnya bercucuran ke mana-mana. Mukanya yang cantik, kini berhias darah yang terus keluar dari hidung dan pelipisnya. Aku pegang pergelangan tangannya dan menekan urat nadi, ternyata sudah bernyawa. Aku bingung, apalagi malam terus membuntuti.

Aku mengambil tas yang masih berselendang di dadanya. Mengotak-atik isinya. Berharap mendapatkan sebuah titik terang. Namun aku tak mendapat keterangan apapun. Yang aku temukan hanya buku-buku pelajaran dan sebuah catatan harian kacil berwarna biru.

Aku kaget. Tak percaya. Di dalam catatan itu, namaku bertaburan dalam pahatan penanya. Catatan harian itu memberiku sebuah kesimpulan bahwa dialah yang selalu menulis surat untukku. Dia menumpahkan semua isi hatinya di diary itu. Kepadaku.

Dia mencintaiku? Aku tetap tak percaya. Aku terus berusaha mencari identitasnya. setidaknya, tahu siapa nama gadis itu. Namun sia-sia belaka, aku tak mendapatkan apa-apa.
Air mataku berjatuhan. Tak tahu harus berbuat apa. Ada penyesalan yang mendalam. Aku kembali tak bisa menjaga dan memelihara orang yang mencintaiku. Kenapa aku selalu kehilangan orang yang selalu mencintaiku? Kenapa…?

Aku hanya bisa merangkul gadis yang sudah tak bernyawa. Aku peluk erat-erat. Aku tak peduli meski tubuhku harus bersimbah darah. Di malam yang sunyi aku lebur bersama kepedihan. Hanya kepedihan. Meratapi penyesalan.

Bumi Al-Sael (C/11), 2010

Dimuat di Majalah Infitah

Kosambhi, Berkomitmen Mengangkat Sastra Anak Pesantren

Sastra merupakan salah satu media dakwah umat islam. Tranformasi keilmuan umat islam banyak dituangkan dalam bersastra. Salah satu bukti kongkritnya adalah penyebaran agama islam di indonesia, yang dibawa oleh wali songo, dengan metode bersastra.

Di pondok pesantren, tradisi kesusastraan tetap dilestarikan. Setiap pagi, sore ataupun malam hari, syi’ir/nadhoman tak pernah lekang dibaca civitas pesantren. Seperti Syi’ir Amrithi atau Alfiah karangan Ibnu Malik. Bahkan dikuatkan juga dengan pembacaan diba’—yang kata M Faizi menjadi cikal bakal lahirnya sastra pesantren—nyaris dibaca dua kali dalam seminggu.

Tapi sayang, mereka (baca: insan pesantren) banyak yang tak menyadari kalau sebenarnya literatur-literatur keilmuan agama islam banyak dituangkan dalam bentuk sastra. Dan pesantren, sebagai tempat penyebaran dakwah islamiyah pastinya kaya akan literatur-literatur itu. Hal itu dikarenakan mereka mengartikannya secara sempit saja, yakni kitab turats.

Menyatukan Komitmen

Di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk Sumenep, tradisi kesusastraan tradisional maupun kontemporer masih banyak diekpresikan dengan gaya teatrikal atau dramatikal. Sedangkan dalam bentuk tulis menulis masih minim sekali.

Dengan melihat faktor di atas, Penulis menilai perlu adanya sebuah wadah untuk menampung kreatifitas santri dalam dunia tulis menulis, utamanya di bidang sastra. Maka, muncullah inisiatif untuk mendirikan sebuah komunitas sebagai lahan untuk berperoses.

Berbekal dari pengalaman penulis selama menjadi anggota The Pencil Connection Sumenep, penulis mengajak A. Faruqi Munif, seorang santri sekaligus siswa MA 1 Annuqayah yang berprestasi dan dikenal produktif dalam menulis puisi, untuk mewujudkan gagasan itu.
Pencarian anggota kami lakukan secara sembunyi-sembunyi. Artinya, kami mencari beberapa santri yang dipandang potensial dan produktif menghasilkan karya tulis sastra dengan cara pendekatan secara pribadi, bukan dengan cara membuka pendaftaran. Anggotanya juga akan dibatasi, hanya mengambil maksimal delapan orang. Mengingat metode yang akan diterapkan dalam komunitas itu, tidak akan efektif jika terlalu banyak anggota.

Awalnya, kami mendapatkan lima belas orang calon anggota. Semuanya masih berstatus siswa, hanya penulis pada waktu itu yang baru berstatus mahasiswa. Karena yang dibutuhkan hanya delapan orang, maka kami membuat penyeleksian yang super ketat. Mereka disuruh menyetor hasil tulisan sendiri sebanyak 25 puisi atau 3 buah cerpen dalam seminggu. Penyetoran itu berlangsung selama dua minggu. Siapa yang bisa, dialah yang lolos.

Dan, pada malam ahad, tanggal 27 Desember 2009, bertempat di serambi Masjid Jamik Annuqayah, yang berhasil lolos seleksi hanya tujuh orang. Tepat pada pukul sepuluh malam, ketika langit bertabur bintang, dideklarasikanlah komunitas itu dengan satu komitmen: Menulis sampai mahok!

Makna Filosofis

Nama komunitas yang juga mendeklarasikan diri secara independen itu adalah masukan dari hasil diskusi para sastrawan Sumenep yang dimotori oleh Guguk Mancanegara. Alhasil, beberapa pertimbangan untuk menyematkan nama Kosambhi dirumuskan sebagaimana berikut.

Pertama, serambi merupakan tempat yang sangat nyaman bagi santri untuk belajar, bermusyawarah, atau berdiskusi. Annuqayah yang mempunyai masjid jamik seluas 32 x 35 M itu memiliki serambi yang sangat luas, sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi santri untuk belajar. Dan pertemuan rutinitas itu akan selalu ditempatkan di sana.

Kedua, nama Kosambhi diambil dari nama sebuah buah dalam bahasa Madura. Bentuknya seperti buah Duku atau buah Kelengkeng. Dapat dimakan dan bisa dijadikan obat. Tapi, rasanya kecut dan terkadang pahit. Dengan makna filosofis itu, diharapkan kepada seluruh anggotanya untuk bersabar dalam menjalankan sebuah proses. Sebab, proses merupakan jalan terjal untuk meraih kesuksesan.

Meyakini Proses

Rutinitas yang berlangsung setiap malam minggu itu hanya memiliki empat aturan. Pertama, peserta wajib menyetor buah karyanya berupa 30 puisi atau satu cerpen dengan ketentuan empat halaman folio bergaris setiap minggu. Jika tidak menyetor maka menggunakan sistem hutang.

Kedua, setiap peserta yang dikenai tugas presentasi wajib menyetor karya yang akan dipresentasikan dua hari sebelum hari H. Dalam presentasi, peserta memiliki waktu sepuluh menit untuk mempertanggungjawabkan karyanya. Setelah itu dilakukan bedah bersama untuk mencari titik kelebihan dan kekurangan dalam karya itu.

Ketiga, jika waktu sudah menunjukkan jam sembilan malam, lengkap tidak lengkapnya peserta, rutinitas harus dimulai. Dan yang terakhir, apabila dalam tiga kali berturut turut peserta selalu datang terlambat atau selama dua hari peserta tidak hadir tanpa alasan yang jelas, maka akan tereliminasi dengan sendirinya. Artinya, tergantung yang bersangkutan mau ikut apa tidak. Yang jelas, aturan-aturan itu sudah tak berlaku lagi padanya.

Aturan itu dibuat agar anggota tidak main-main dalam berproses, dan untuk menjaga produktivitas mereka dalam berkarya. Awalnya memang banyak yang mengeluh, tapi lama kelamaan mereka sudah terbiasa dan merasa enjoy dengan aturan itu.

Sesuai dengan target yang diinginkan, selama tiga bulan, karya-karya anak Kosambhi telah bertebaran di media-media lokal Annuqayah antara lain: Buletin Hijrah, Ukhuwah, Majalah Muara, Infitah, Inspirasi, Dinamika, dan Majalah Fajar serta Jurnal Pentas. Bahkan ada juga yang telah melampaui target yakni dimuat di media regional antara lain: Radar Madura, Majalah Kuntum, Surabaya Post, blog www.penyairnusantaramadura.blospot.com, dan di Majalah Horison (Kaki Langit). Beberapa prestasi juga terus mengalir baik di tingkat lokal, regional, bahkan nasional.

Untuk menambah semangat, kami mencoba menghadirkan beberapa sastrawan ternama di daerah Sumenep untuk berbagi pengalaman dalam dunia sastra. Disamping itu pula, kami telah menerbitkan sebuah antologi puisi dan cerpen setebal 120 halaman dengan modal awal sebesar Rp. 10.000 per anggota.

Hingga saat ini, Kosambhi tetap eksis dengan anggota yang tak bertambah dan tak berkurang. Akhirnya, meyakini sebuah proses adalah jalan untuk melampaui takdir.

Fandrik HS Putra
Perintis dan pengasuh KOSAMBHI

Tuesday, October 12, 2010

Merintis Pendidikan Berdaulat

(Catatan Tambahan atas Tulisan Yudha Cahyawati)

“Zul, sekolah ini adalah sekolah. Dimana pendidikan agama, pendidikan budi pekerti bukan sekedar pelengkap kurikulum. Kecerdasan bukan dilihat dari nilai-nilai, dari angka-angka itu. Bukan! Tapi dari hati…” (Pak Harfan, Laskar Pelangi. Menit 20-22)

Menarik kiranya membincang Rintisan Sekolah Bertaraf Intennasinal (RSBI) yang diulas oleh guru SDN Wates 2 itu (Kompas, Senin, 4 Oktober 2010). Boleh dikata, pendidikan di Indonesia saat ini berada dibawah bayang-bayang sistem dan kualitas asing bermana globalisasi. Sertifikasi RSBI merupakan salah satu indikasinya, sehingga wilayah pendidikan kita menjadi lahan basah kapitalisme.

Segala fasilitas RSBI memang sangat mewah. Dari segi arsitektur gedung sampai dengan kurikulum dengan adanya beberapa pelajaran bahasa asing dan sarana penunjang lainnya seperti laboratorium, perpustakaan serta ruang belajar yang representatif. Hal itu karena diukur dari tingkat “Internasionalnya”. Namun, itu semua tidak bisa mengaplikasikan slogan Education for All karena tak semua anak didik bisa masih pada sekolah tersebut.

Untuk menikmati fasilitas RSBI, masyarakat harus “disulap” menjadi orang berduit. Mahalnya biaya pendidikan seakan mengharuskan masyarakat miskin dilarang bersekolah. Kapitalisme pendidikan telah mengorok substansi pendidikan itu sendiri dan wajar sembilan tahun hanya diwajibkan bagi kaum berduit saja.

Salah satu dampak dari RSBI adalah pendidikan menjadi tidak berdaulat. Jati diri pendidikan kita akan musnah. Rasa nasionalisme menjadi berkurang, pendidikan berkualitas akan menjadi ranah kaum elit semata. Banyaknya kasus korupsi di negeri ini merupakan salah satu indikasi dari praktik pendidikan yang tidak berdaulat itu.

Sertifikasi ISO, World Class Unuversity, serta RSBI, jika terlalu terobsesi pada pendidikan “di luar” sistem pendidikan dan kondisi riil pendidikan di Indonesia akan menjadikan sistem pendidikan nasional tidak berdaulat, tidak memiliki jati diri, dan visi misi yang jauh ke depan berlandaskan semangat nasionalisme dan kebutuhan kerakyatan.

Bapak Darmaningtyas, dalam Principal Mentoring MQIP (Madrasah Quality Improvement Program) di PP Annuqayah yang diadakan oleh putera Sampoerna Foundation, secara tegas mengatakan kalau RSBI lebih merupakan euphoria dan global trend semata. Bahwa dengan adanya label Internasional itu, negara-negara maju yang berkepentingan dengan bisnis jasa pendidikan bisa leluasa masuk ke sekolah-sekolah di Indonesia (18-19 November 2009).

Dalam hal ini, pintu kapitalisme melalui jalur pendidikan akan terbuka lebar. Mereka (baca: kapitalis asing) akan sangat mudah menanamkan praktik-praktik bisnis di sekolah. Misalkan pengadaan ujian standar internasional, buku pelajaran, kurikulum, tenaga guru, beserta sertifikasi itu sendiri.

Celakanya lagi, tantangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan juga terus mengemuka. Untuk meningkatkan kualitas—karena terkait dengan ketersediaannya sarana penunjang dan pengembangan mutu didik—haruslah tersedia banyak biaya. Tak jarang biaya pendidikan semakin mencekik leher dan substansi pendidikan kian terasingkan.
Jika kenyataannya memang demikian, RSBI tak bisa menjadi solusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan di negara ini untuk bersaing dengan pendidikan “di luar”. Sebab, sekali lagi, hanya orang-orang tertentu yang hanya bisa menikmatinya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat sekitar memiliki peran signifikan dalam dunia pendidikan. Problem sosial dan ekonomi kemasyarakatan adalah hal yang tidak bisa ditunda serta mendapat perhatian awal dalam pengelolaan pendidikan. Hal inilah yang seringkali terlupakan dan upaya panyadaran kepada masyarakat tak berpengaruh lagi, mengingat “pengeluaran” selalu menjadi tolak ukurnya.

Pendidikan Murah

Di Pulau Madura, sudah banyak institusi pendidikan yang mempraktikkan pendidikan berbasis masyarakat. Pemerataan pendidikan menjadi tujuan utama. Biaya pendidikan yang relatif “dimurahkan” dan berorientasi pada potensi lokal sudah banyak dipraktikkan, utamanya di Kabupaten Sumenep dan Pamekasan. Di Kabupaten Sumenep, biaya SPP setingkat SLTA sudah di bebaskan dengan mengambil dari APBD, sehingga masyarakat yang benar-benar peduli pada pendidikan tidak diambil pusing oleh mahalnya biaya pendidikan.

Sebenarnya, yang perlu dilakukan oleh pemerintah Jawa Timur adalah memerangi kapitalisme sebelum melakukan upaya penyadaran akan pentingnya pencerdasan dan pencerahan pendidikan. Sebab, kapitalisme dewasa ini telah mengakar kuat. Upaya penyadaran kepada mpasyarakat juga perlu ditegakkan, mengingat angka kemiskinan tergolong sangat besar dibanding dengan provinsi-provinsi yang lain.

Sejarah pendidikan yang kolonialistik hendaknya ditinggalkan, agar slogan Education for All tidak hanya sebatas menjadi topik pembicaraan yang tak kunjung usai serta pemerataan pendidikan bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Semoga!

Sunday, October 10, 2010

Pengurus Unit Kegiatan di Lubangsa Dilantik

GULUK-GULUK—Panggung utama di depan Masjid Jamik Annuqayah berguncang. Hentakan alunan musik rebana Jam’iyyatul Hadrah Nurul Fata PPA Lubangsa memaksa para santri Lubangsa untuk berbondong-bongdong memadati halaman itu, sehingga pengurus keamanan Lubangsa tak perlu susah-susah menggiring mereka ke tempat itu.

Senin malam (04/10) kemarin, sekitar pukul delapan, pengurus PPA Lubangsa melaksanakan pelantikan pengurus unit-unit kegiatan di PPA Lubangsa periode 2010-2011. Pembacaan lagu Indonesia Raya dan Mars Annuqayah bergema sebelum prosesi pelantikan dimulai. Itu merupakan yang kedua kalinya pelantikan pengurus unit kegiatan di Lubangsa dilaksanakan berbarengan.

Unit-unit kegiatan tersebut adalah organisasi-organisasi santri yang berada di bawah naungan pengurus seksi tertentu di Lubangsa. Misalkan Majalah Muara yang berada di bawah naungan pengurus seksi Kepustakaan Pers dan Penerbitan (KP2) atau Sanggar Andalas yang berada di bawah naungan pengurus seksi kesenian.

Adapun pengurus-pengurus yang dilantik pada malam itu meliputi kru redaksi Majalah Muara dan Kompak (KP2), pengurus Usaha Kesehatan Pondok Pesantren (UKPP-KPO), pengurus Biro Pengembangan Bahasa Asing (BPBA-P2PK), pengurus Forum Organisasi Santri Lubangsa (FORSA-P2O) pengurus Jam’iyyatul Hadrah Nurul Fata, Tahsin al-Khot, Sanggar Andalas, dan CTL Pamor (Kesenian).

Abdul Wahid, ketua pengurus PPA Lubangsa, mengatakan bahwa penggabungan pelantikan ini diharapkan nantinya bisa memperkuat tali kekeluargaan antar-unit kegiatan yang ada, begitu juga di antara pengurus-pengurus yang menaungi unit kegiatan tersebut.

“Kami sangat bangga ketika semuanya (pengurus unit) berkumpul mengikuti prosesi pelantikan. Dalam hati saya mengatakan, inilah wajah-wajah santri Lubangsa yang bisa diharapkan potensinya untuk mengangkat PPA Lubangsa menjadi lebih baik,” ungkapnya.

Dia juga mengimbau kepada semua pengurus unit kegiatan untuk secepatnya melaksanakan program kerja masing-masing setelah pelantikan ini.
diunduh dai blog www.annuqayah,blogspot.com

Sunday, August 15, 2010

Carok


Cerpen: Fan D Ahmad

Sepotong senja jatuh menggantung di pucuk pohon Siwalan. Angin tenggara menerpa rerantingan pohon Randu. Kapuk beterbangan melukis langit, pengganti awan yang tak secuil pun kelihatan mengawang. Di atas ranting, bertengger seekor burung Dadali penuh pilu. Mendekap gelisah. Matanya menghujam ke aliran sungai dan selokan tak berair. Semuanya kering kerontang. Sesekali melirik ke padang ilalang yang menjadi tempat pencahariannya, memangsa serangga.

Punggung hitam para kuli sawah menghantam matahari. Keringat bercucuran, mengairi sawah kering itu. Segala jenis rumput, mati. Sawah-sawah berpetak-petah, seperti sisik ular yang akan mengelupas. Tandus. Petani hanya menahan nafas panjang ketika bertandang ke sawah. Putus harap.

Burung Gagak kaok-kaek melayang dan berputar di atas tegal dan sawah tanpa mengepakkan sayap. Mengapung berjam-jam. Burung gagak itu kebingungan mencari air walau hanya sepetak kaki. Mereka memanggil hujan. Kaok

Lenguhan sapi terdegar serak. Meraung-raung tanpa henti. Tubuhnya belepotan celatong. Beberapa kali kakinya dihentakkan sambil menyerunduk tabing, mencoba untuk keluar kandang. Ekornya dikibas. Menuntut pemiliknya mencari rumput segar. Sudah lama sapi-sapi itu tak menikmati segarnya rumput hijau. Mereka tak lagi bisa ditipu oleh plastik hijau yang dipasang di matanya, agar rumput-rumput kering berubah hijau dan terlihat segar. Liur selalu meleleh. Ember tempat air minum sapi itu kosong.
Burung gagak kembali berkaok, menyaksikan penduduk yang sedang berkumpul. Sayapnya seakan menjadi naungan atas orang-orang yang merindukan hujan itu. Di tengah terik senja, sorak-sorai bergemuruh. Beberapa diantaranya mengepalkan tangan tinggi-tinggi. Lengkin suara mereka memecah langit.

Burung Gagak itu menjadi saksi atas dua orang yang saling cambuk di tengah kerumunan orang.

“Pukul, lebih keras lagi!” teriak mereka.

“Ya, lebih keras lagi, agar hujan segera turun,” teriak yang satunya.

Cplas. Pyar…! Rotan terus diayunkan menyanyat kulit dua orang bertelanjang dada yang saling pukul. Punggung kedua orang itu memar. Merah padam. Bercak luka menjadi garis tepi antara tulang punggunnya. Sakit tak terelakkan. Namun, sakit itu dikalahkan oleh lengkingan orang-orang di sekitarnya yang menginginkan ritual ojung lebih seru lagi.

“Lebih keras lagi” teriakan mereka semakin lantang.

“Ya! benar. Jangan lembek,” teriak yang satunya.

Debu terus mengepul seiring hentakan kaki mencari posisi yang tepat guna menghindar dari rotan dan melecutkannya ke tubuh lawan. Tepat sasaran. Dengus rintihan dua orang bertelanjang dada yang saling pukul itu semakin panjang. Menahan sakitnya rotan mengorok kulit mereka. Kontras dengan gemuruh penonton yang semakin antusias menyaksikan ritual ojung.

Pertunjukan mulai membosankan. Tenaga telah terkuras habis. Lecutan rotan tak ubahnya sepasang tangan bayi memegang puting susu ibu. Tak lama kemudian salah satu diantara keduanya roboh, terkapar tak berdaya. Mulutnya runyam minta seteguk air. Haus. Sedangkan lawannya mengacungkan rotan tinggi-tinggi, berdiri diatas keangkuhannya, pertanda kemenangan telah diraih. Namun, penonton tak puas menyaksikan ojung yang hanya sesaat itu. Mereka tak tangguh.

“Hentikan!”

Tiba-tiba seluruh penonton yang melingkar dikagetkan suara Matgeni. Sorot pandang beralih pada lelaki berkumis tebal yang memakan celana hitam komprang dan kopyah kumal yang tingginya sejengkal tangan itu.

“Kalian semua payah!” ucap Matgeni murka.

Mereka hanya diam menyaksikan bola mata Matgeni menelanjangi perasaan mereka. Mereka ketakutan. Tak berani berucap sepatah katapun. Takut lidah terpeleset dan hanya akan mendatangkan bencana bagi diri sendiri.

“Hanya ini kemampuan kalian? Mana akan ada hujan turun di Desa ini!” ucapnya berang.
Matgeni mengambil rotan dari tangan orang yang terkapar, melecutkan pada lelaki yang masih berdiri di atas keangkuhannya. Cplas. Sekali lecutan, orang itu tumbang, terkapar di tanah meringkuk kesakitan. Belum puas Matgeni meluapkan amarahnya dengan rotan, ia menendang kedua orang yang sudah terkapar tak berdaya itu. Yang menyaksikan tetap diam. Gigi-gigi bergemeretak ngeri. Tak ada yang berani beranjak dari tempat itu sebelum Matgeni memerintah bubar.

“Ingat!” Matgeni kembali bersuara lantang. Rotan ditangannya diacungkan pada muka-muka pucat. “Hujan tak akan turun jika kemampuan kalian hanya seperti ini. Persembahan kalian percuma. Harus lebih serius, jangan lembek seperti tajin,” rotan itu dibanting.

Sudah berapa kalinya ritual ojung dilaksanakan, tapi tetap tak menuai hasil. Hujan yang selalu menjadi mimpi malam mereka tak kunjung datang. Petani yang seharusnya mengerok kulit dengan uang logam, sehabis mencangkul di tegal, untuk menghilangkan otot-otot yang kaku, harus digorok dengan lecutan rotan yang sampai saat ini tak ada hasilnya. Bahkan ritual itu sudah memakan satu korban.

Adalah Pak Lessep yang kala itu menjadi lawan tanding Sarkoya. Pak lessep mati ditempat kejadian setelah rotan yang dilecutkan oleh Sarkoya tepat mengorok lehernya.

“Cepat, kalian bubar. Bubar!”

Matgeni semakin murka. Ia mengeluarkan sebilah celurit yang terselip di balik punggungnya dan mengangkat tinggi-tinggi. Orang-orang segera berhamburan. Takut Matgeni membabi buta dan terkena sabetan celuritnya.

Di desa itu, Matgenilah yang paling disegani sekaligus ditakuti. Dari kalangan warga biasa, kiyai, sampai sesama blaternya. Ia seorang blater bengis dan kejam, tak pandang bulu. Siapa saja yang menyakiti atau membangkang perintahnya, maka akan berurusan dengan celuritnya yang setiap malam jum’at dilumuri darah ayam dan bau kemenyan. Tak jarang pula Matgeni sering berbuat onar ketika ada mirammi, dan mempelopori perjudian. Hanya satu yang tak pernah dilakukannya, memerkosa perempuan.
Umurnya sudah enam puluhan. Siapa yang mau berurusan dengannya? Pemuda mana yang berani dengan lelaki tua itu? Walau usianya senja, bukan berarti otot dan tulangnya semakin lapuk. Tidak. Justru diusianya yang sudah terbilang udzur itu, Matgeni merasakan puncak keemasan menjadi seorang blater.

Semakin tua, banyak yang semakin mengakui ke blaterannya. Sehingga tak ada orang yang berani mencuri di desa tempat tinggalnya. Itulah nilai baiknya di mata masyarakat.

Malam itu, cahaya purnama rebah di halaman. Bayangan pohon Randu memanjang seperti bayangan raksasa yang siap menerkam. Daun-daun yang tersisa berguguran diterpa angin malam berpetualang. Sudah kebiasaan jika purnama telah jatuh, tiap keluarga akan keluar rumah, mengusung lencak ke halaman, seceret kopi atau teh hangat disiapkan. Malam itu, mereka siap bermandikan cahaya purnama.

Canda dan tawa pecah mengiringi gerak purnama yang semakin menggantung. Romantisme keluarga tercipta.

Halaman yang kering serta temaram lampu teplok remang-remang sangat menyenangkan untuk arena bermain. Bocah-bocah kecil membuat komunitas baru bersama teman sebayanya, bermain sepuasnya tanpa harus mengganggu romantisme orang tua. Masa kanak-kanak adalah surga yang hanya datang sekali. Ada yang bermain slodoran, petak umpet, ular naga dan cangklok.

“Kita bermain cangklok yuk! Capek main slodoran terus,” ajak Sumarti, cucu Matgeni satu-satunya, pada Minten.

“Boleh” jawab gadis berambut ikal itu.

“Tapi kita harus buat lagi. Yang kita buat tadi sudah dipakai mereka,” Sumarti memberi isyarat mata.

“Ayo, kita buat!”

“Di mana?”

“Di sana, lebih terang.”

Sumarti mengambil ranting kering dan membuat gambar persegi panjang di atas sepetak tanah, Panjangnya tiga jengkal tangan dan lebar hanya sejengkal saja. Lalu, Minten meneruskan membuat lingkaran sebesar siku tangan di tengah bentangan garis itu. Semua ada enam belas lingkaran; satu lingkaran di garis lebarnya, tujuh lingkaran digaris panjangnya. Dua gadis lucu itu, semangat mengorok enam belas lingkaran itu dengan bhetok. Dan senyum mengembang saat ke enam belas lingkaran itu siap pakai.

“Sekarang kita tinggal cari kerikilnya,” teriak Minten girang.

“Pakai tae embik saja. Biar mudah,” usul Sumarti.

Kedua gadis cilik itu melangkah ke kandang. Ada tiga ekor kambing di dalamnya. Bentuknya memprihatinkan, kurus. Di bawah teplok damar yang diletakkan di depan pintu masuk kandang, Minten dan Sumarti sibuk memilih-milah tahi kambing sesuai keinginan, bulat seperti kacang atom. Tawa kecil pwcah tatkala kambing itu mengembik. Embek!.

Angin berdesir melintas di atas pekuburan sebelum sampai di rumah Matgeni. Dengan bantuan cahaya teplok damar disamping kandangnya, Matgeni bersunggut-sunggut meracik jamu untuk sepasang sapi karapannya. Sepuluh telur ayam kampung, jahe, temu ireng, dan madu diolah ke dalam ember kecil. Lenguhan sepasang sapi panjang berulang-ulang. Sesekali terdengar keras hentakan kaki sapi, ekornya tak pernah berhenti dikibaskan. Matgeni belum sempat membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dari dalam kandang.
Saat membuka pintu, aroma celatong merebak. Cahaya purnama rebah di punggung sepasang sapi yang diberi nama Brino dan Bruno, yang memar penuh goresan paku. Terdengar gemerincing uang logam yang dikalungkan pada lehernya. Lendir terus mengalir dari mulut sapi itu.

Setelah sepasang sapinya tenang, Matgeni kembali mendekat. Dielusnya punggung-punggung sapi penuh goresan paku itu dengan lembut. Kemudian, dengan cekatan ia memegang tongar dan membuka paksa mulut sapi itu dan memasukkan seruas bambu yang di dalamnya sudah ada racukan jamu tadi. Brino memberontak, namun cengkraman tangan Matgeni lebih kuat. Ramuan itu habis diminum.

Lampu teplok berayun ditiup angin. Malam semakin dingin saat purnama menggapai kesempurnaan. Matgeni menyalakan api unggun dari tumpukan sabut kelapa. Asapnya mengepul menembus bubungan atap kandang. Lesatan anak-anak api dari sela-sela sabut kelapa itu berhamburan. Bruno dan brino nampak tenang. Nyamuk tak lagi mengganggu tubuhnya. Sementera itu, seekor katak Seldung melompat menjauhi nyala api.
Tiba-tiba terdengar suara bocah kecil menangis. Suara itu semakin dekat dan rebah dipangkuan Matgeni.

“Ada apa, nak?” Tanya Matgeni berang.

“Minten, ke. Minten main curang,” ucap cucunya sesenggukan.

“Kurang ajar. Di mana dia sekarang?”

Sumarti mengarahkan telunjuknya yang mungil tepat dimana ia bermain dengan Minten. Langkah Matgeni angkuh, tangan Sumatri seakan-akan diseret ke tempat itu. Di bawah pohon Randu, sepasang bias mata bocah kecil ketakutan.

“Anak nakal, tak diajari tata krama, ya?” Matgeni memintal kuping Minten dan mendorongnya.

“Ampun, ke,“ gadis berambut ikal kumal itu sesenggukan.

Matgeni belum puas memintal kuping Minten. Rambutnya ditarik. Tiba-tiba seorang berdiri angkuh di depan Matgeni mengacungkan celurit.

“Matgeni, mau kau apakan anakku! Kurang ajar!” kata kang Lessep, ayah Minten.

“Oh, Anaknya bajingan, tak tahu tata krama,” Matgeni memandang sinis.

“Aku tak pernah ngopeng Minten. Kau jangan seenaknya saja.”

Cah. Tanpa banyak bicara, kang Lessep melesat. Matanya merah. Matgeni menghentakkan kaki tiga kali ke tanah lalu mengeluarkan sebilan celurit dari balik punggungnya.
Di senjakala yang indah, celurit-celurit berayun tak tentu arah. Memamerkan kilatan singkat yang sempat tergores. Teriakan lantang keangkuhan menggema. Debu-debu mengepul di udara bengis. Hingga yang nampak hanya sekelebatan bayangan nafsu manusia yang hampir tuntas. Dan menyemburlah darah.

Sumenep, 29 Juli 2010

Keterangan:
Celatong : Kotoran sapi
Tabing : Dinding terbuat dari anyaman bambu
Ojung : Tradisi memanggil hujan
Tajin : Nasi bubur
Mirammi : Pesta
Lencak : Balai-balai bambu
Tae embik : Kotoran kambing
Ke : Singkatan “kakek”
Ngopeng : Menjewer

Saturday, July 31, 2010

Kado Ulang Tahun dari Sahabat II

Ada dua peristiwa menarik bagi saya yang terjadi pada 20 kali dalam 29 juli dalam hidupnya. Jika yang pertama adalah ucapan “selamat ulang tahun” dari orang yang dirangkai dalam sketsa hidup, dan ucapan itu merupakan yang pertama kalinya dalam hidup saya. Sedangkan yang kedua adalah kado dari pernikahan sahabat dekat saya yaitu Syamsuni. Meskipun kata “kado” itu hanya saya sendiri yang meraskannya. Entah, dengan Syamsuni.

Ya! Syamsuni adalah teman canda saya di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM-STIKA) dan di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Kami sama-sama aktivis Pergerakan Mahasiswa Idealis (PERMIS), angkatan PMII komisariat guluk-guluk tahun 2008. Tepat ada tanggal 29 juli itu dia telah menyempurnakan separuh agamanya, menikah dengan perempuan yang bernama Misnatun Murian, yang juga aktivis PMII dan Pimpinan Redaksi (Pimred) Majalah Dinamika (LPM-STIK Putri).

Ketika Syamsuni melakukan ijab-qabul di kediaman sang istri, di desa Dungkek, lagi-lagi saya mengelus dada. Saya berulang tahun, teman saya menikah. Saya msih sangsi, teman saya bahagia. Saya masih ragu apakah bisa membangun kepingan harapan itu, teman saya telah memetik buah harapanya. Saya merasa kalah telak. Mohon maaf, perasaan ini bukan datang oleh sebab iri.

Saya sempat mengabadikan kejadian itu, foto bareng dengan kedua mempelai. Bersama mereka, saya berandai-andai, ngelantur ke mana-mana. Seandainya wanita dalam sketsa hidup saya tidak “diembat” orang, pasti angan saya hanya mengarah pada satu obyek. Siapa ya, yang nantinya akan bersanding dengan saya?

Usai acara, rombongan mobil yang membawa saya langsung tolak ke pesantren Annuqayah. Dalam perjalanan, kami tak ada habisnya membicarakan kedua mempelai itu. Dari hal menarik sampai yang jorok-jorok (biasa, connect semua).
Tiba-tiba seorang teman saya menerima Short Message Service (SMS) dari nomor yang tak dikenal. Isi SMS itu adalah….

“Catat, tangal 29 Juli adalah kemenangan PERMIS atas GEMPUR”

Begitulah bunyi kalimat SMS itu. GEMPUR singkatan dari Gerakan Mahasiswa Pemuda Reformis, angkatan PMII komisariat Guluk-Guluk tahun 2006, dua tahun lebih tua dari angkatan saya. Nah, misnatun murian, termasuk angkatan GEMPUR. Jadi wajar, jika mereka bangga. Jarang-jarang seorang kader berhasil mendapatkan kakak seniornya. He..he..

Batin saya sedikit terpukul karena dalam catatan benak teman-teman, tanggal itu bukan diabdikan untuk kelahiran saya, melainkan pernikahan teman saya. Ya! Biarlah mereka menikmati percikan kesenangan pernikahan Symsuni, tanpa harus tahu kalau hari itu adalah hari ulang tahun saya. Membiarkan seperti roda mobil yang terus berputar dan angin yang menampar-nmpar rambut saya.

Seandainya perempuan dalam sketsaku tak mengucapkan selamat ulang tahun, niscaya sampai saat ini saya tak pernah sama sekali mendapatkan ucapan itu. SELAMAT ULANG TAHUN.

Kado Ulang Tahun dari Sahabat I

Tanggal 29 juli 1990 di desa Sukogidri, Ledok Ombo, Jember, merupakan sejarah lahirnya seorang bayi laki-laki mungil dan imut, yang kemudian diberi nama Fandrik Haris Setia Putra. Kemarin tepat pada perguliran 29 Juli yang ke dua puluh kalinya bayi tersebut sudah menapaki usia dewasa. Tapi, mengapa dia nampak murung? Bukankah seharusnya dia berbahagia sebab usianya (akan) masih berlanjut sampai saat ini?

Dalam sejarah hidupnya, tak pernah ada tiupan lilin atau bahkan ucapan “selamat ulang tahun” yang mengalir dari orang-orang terdekatnya. Orang tuanya sekalipun tak pernah merayakan kelahiran putra pertamanya itu. Tangal 29 juli tetap berjalan seperti hari-hari biasa. Bahkan lelaki yang saat ini mengarungi lautan ilmu Annuqayah itu tak pernah berpikir dan mengingat kalau tanggal 29 Juli adalah hari ulang tahunnya. Semua biasa-biasa saja, berjalan apa adanya.

Tapi, bulan Juli 2010 terasa berbeda, sebelum tanggal 29, dia selalu mengingat hari itu. Hari yang akan menjadi batas antara fase remaja dan fase dewasa. Ada hal berat yang dirasakannya ketika menunggu vonis 20 tahun itu. Banyak pertanyaan muncul di batinnya. Apakah bisa saya bersikap layaknya orang dewasa? Apakah saya bisa menjadi orang yang lebih dewasa?

Pada usia itu, dia tak (belum merangkai) mempunyai sketsa hidup, baik dalam skala pendek ataupun skala panjang. Target apa yang akan dicapai pada tahun 20-nya itu. Dalam skala pendek, dari tahun ke tahun aktivis pers itu selalu mempunyai target-target tertentu yang harus dicapai. Namun, untuk tahun ini dia sangsi dan bingung target apa yang harus diprioritaskan. Lagipula sketsa jangka panjang yang telah dia rangkai harus direvisi kembali, sebab aral telah menjatuhkan salah satu sketsa jangka panjangnya. Yang membuat semua bangunan harapan menjadi amruk pula.

Ya! Di bulan itu juga, seorang hafidzah yang juga menjadi salah satu target skala panjangnya, menyatakan kalau dia tak bisa menjadi bagian dari sketsa hidupnya. Penolakan itu bukan tanpa alasan, tapi lebih untuk menghormati orang lain yang lebih beruntung dari pada seorang yang biasa dipangil Fafan itu. Jika dipikir ulang, bukanlah kesalahan seorang hafidzah, tapi murni kesalahan pribadi yang selalu berdiri di atas ke-ego-an, yang selalu memprioritaskan cita-cita, dengan kata belajar, belajar dan belajar.

Ya! Itu memang sudah menjadi konsekuensi. Sebab, beberapa bulan yang lalu, orangtuanya pernah menawarkan padanya untuk mengkhitbah gadis yang sudah khatam Al-Qur’an sejak Februari lalu. Tapi, ia tetap berpikir tentang cita-cita dan harapan orang tuanya. Dan ia sempat membatin, pasrah seandainya ada orang lain yang sudah mendahuluinya. Dan peristiwa itu telah diabdikan dalam bentuk sebuah cerpennya yang berjudul “Ruang Sunyi”.

Tapi, mengapa saat seorang hafidzah itu menyatakan langsung kalau sudah dikhitbah oleh orang lain, Fafan merasakan sebuah kehilangan yang amat besar. Bisakah ia mencari pengantinya? Yang sesolehah dirinya? Dirinya sangsi.

Meski dia sudah menjadi “milik” orang lain, dalam usianya yang ke 20 tahun itu, gadis itulah yang pertama kali mengucapkan “selamat ulang tahun” padanya. Dan ucapan itu juga adalah yang pertama kali dalam catatan hidupnya.

Ya! Ucapan selamat itu bisa sedikit melebarkan senyumnya, walaupun sangsi terus menghantui. Apakah masih bisa menapaki usia itu dengan merangkai kembali bekas kepingan harapan yang masih ada? Semoga bisa membangunnya kembali. Amien.

Friday, July 23, 2010

Zamrud Khatulistiwa dan Atlantis yang Hilang


Dari sabang sampai merauke
Berjajar pulau-pulau

Kutipan lagu Nasional Perjuangan Indonesia yang diciptakan oleh R. Suharjo ini menggambarkan betapa besar peradaban Indonesia pada kala itu. Negeri seribu pulau yang memiliki kekayaan alam elastis, estetik, dan eksotis. Banyaknya pulau di Indonesia melahirkan berbagai suku, agama, ras, dan budaya yang saling berinteraksi dan semakin mengukuhkan bahwa Indonesia adalah negeri yang “berperadaban”.

Namun, kekayaan alam yang begitu besar dan terbentang luas tersebut seakan tidak pernah dirasakan oleh masyarakatnya sendiri. Terlupakan dalam benak mereka. Baru bisa merasakan ketika banyak investor asing yang mencaplok kekayaan kita atau ingin “berkuasa” di negeri pertiwi ini. Bahan tambang seperti emas, batubara, dan migas terus diekploitasi. Baik yang ada di darat maupun di laut.

Sebenarnya jika dirunut dalam konteks sejarah, gerakan kesadaran bangsa Indonesia sudah dimulai sejak terjadi peristiwa sumpah pemuda pada tanggal 28 Desember 1928. Mereka berkelekar menyatu, membangun persatuan dalam napas kebebasan, persaudaraan dan kesetaraan; bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia, yang kemudian dilanjutkan dengan perjuangan mengusir penjajah yang akhirnya terabadikan dalam proklamasi 17 Agustus 1945.

Sebagai generasi dan regenerasi, seharusnya kita menjaga kekayaan yang secara susah payah telah dipersembahkan oleh pejuang-pejuang bangsa ini. Beliau—saya menyebut beliau karena bagi saya perbuatan mereka amatlah mulia daripada seorang jendral ataupun kiai—berkorban demi anak cucu. Dan—pasti—berharap untuk merawat dan melestarikannya.

Cipratan Surga itu Bernama Indonesia

Budayawan Emha Ainun Najib dalam puisinya yang berjudul “Renungan Ilir-Ilir” menyebutkan negeri ini adalah cipratan surga. Surga seakan-akan pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan keindahannya. Dan cipratan itu bernama “Indonesia Raya”. Hal itu tidaklah berlebihan kiranya mengingat kekayaan alam yang dimiliki oleh negeri kita ini. Hutan tropis dan tanah yang subur membentang luas. Hasil lautnya pun kaya. Pasti semua setuju dengan kalimat tersebut.

Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Indonesia merupakan salah satu dari tujuh negara mega biodiversitas yang dikenal sebagai pusat konsentrasi keanekaragaman hayati dunia. Kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia sebanyak ± 6.000 spesies flora dan fauna yang dimanfaatkan sehari-hari untuk pangan, obat-obatan, kosmetik, pewarna dan lain-lain. Selain itu, Indonesia juga memiliki 60 ladang minyak (basins). 38 di antaranya telah dieksplorasi, dengan cadangan sekitar 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. (Walhi, 2004)
Salah satu sumber kekayaan bangsa ini adalah potensi sumberdaya kelautan dan perikanannya. Indonesia memiliki panjang garis pantai 95.181 Km dan dengan luas laut 5.800.000 Km2. Kenyataan ini menunjukkan, kekayaan alam yang begitu besar, seharusnya Indonesia bisa menjadi negara yang makmur. Sangat mampu mencukupi kebutuhan rakyat. Sebagai negara maritim, mau tidak mau Indonesia harus mengelola bidang kelautan dan perikanan, yang merupakan unggulan kempetitifnya. Sektor inilah ke depan, yang akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia, setelah kekayaan bumi lainnya, seperti minyak, tambang, dan hutan.

Ironisnya, dalam hal budidaya kelautan, misalkan garam, yang sangat mudah diproduksi di dalam negeri karena sumber dayanya tersedia secara cuma-cuma, ternyata sampai sekarang negara kita masih mengimpor garam. Jumlahnya juga cukup besar, yaitu kurang lebih 1,58 juta ton per tahun senilai Rp. 900 miliar (kompas.com). Selain itu negara kita masih mengimpor udang dari Amerika Serikat. Padahal, jika kita benar-benar memanfaatkan secara optimal, maka APBN akan menerima pemasukan sebanyak 41 persen dari sektor ini.

Sumber Daya Manusia, dari segi kuantitas dan kualitas juga masih belum optimal. Para investor asing dengan mudah memerdaya kita secara halus. Kita, pemilik yang sebenarnya ditipu dengan kata manis, sehingga kita (terpaksa) mau mengeruk habis-habisan kekayaan Indonesia untuk mereka. Yang serakah adalah mereka, tapi yang membuat onar adalah bangsa kita sendiri. Mau diperbudak.

Peristiwa Hilangnya Atlantis

Fenomena di atas mengingatkan kita pada peristiwa serupa di suatu wilayah yang dikenal sebagai pusat peradaban; yaitu Atlantis. Apakah ada hubungan dengan Indonesia?

Atalantis merupakan sebuah tempat yang mempunyai bentangan daratan dengan peradaban tinggi dan kekayaan alam yang melimpah, yang tenggelam ribuan tahun silam. Pulau legendaris yang pertama kali disebut oleh Plato dalam bukunya “Timaeus dan Criteas” itu sampai saat ini masih menjadi misteri. Namun sayang, buku yang ditulis 360 SM itu tak menyebutkan di mana sebenarnya posisi peradaban itu. Hanya saja menjelaskan bahwa bentangan negeri itu berada di antara Samudera Atlantik dan luasnya sama dengan gabungan Libya dan Asia Minor. Hal ini yang kemudian mendorong para ilmuan melalukan penelitian untuk menelusuri dan menemukan sisa-sisa peradaban tinggi yang telah dicapai oleh bangsa Atlantis itu.

Dalam buku Prof. Arysio Nunes dos Santos, Ph.D, seorang fisikawan nuklir dan ahli geologi, yang berjudul “Atlantis The Lost Continents Finally Found”, Secara tegas menyatakan bahwa lokasi Atlantis yang hilang itu adalah Indonesia. Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Umar Anggara Jenny, juga pernah menyatakan bahwa Atlantis itu sekarang bernama Indonesia (Republika, 18 Juni 2005). Hipotesa ini merunut kepada persamaan letak geografis Atlantis dengan Indonesia. Seperti wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani—berikut dengan bencana alamnya.

Sah-sah saja para ilmuwan mengatakan bahwa wilayah yang berperadaban itu adalah Indonesia, meski sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan. Dan ini merupakan suatu berkah yang patut kita banggakan. Tapi, apakah kita hanya bisa berbangga diri? Tidak.

Masih ada satu hal yang terlupakan, yaitu penyebab hancurnya Atlantis. Bahwa negeri itu memiliki penduduk yang semula merupakan orang-orang terhormat dan kaya, kemudian berubah menjadi ambisius. Yang kuat menindas yang lemah. Mengeruk kekayaan alam, di darat maupun di laut, tanpa batas. Serta berbagai kelakuan buruk lainnya (mungkin ‘korupsi’ salah satunya). Sehingga kondisi wilayah itu tidak berimbang dengan “etika” alam. Sehingga banjir, letusan gunung berapi, dan gempa bumi, dan tsunami yang sedemikian dahsyat menenggelamkan seluruh benua itu.

Nah, Indonesia yang disebut sebagai salah satu “mantan Atlantis” ini bakal kena hukuman serupa kalau tidak mau berubah seperti yang ditampakkan bangsa ini secara keseluruhan. Investor asing dan pengerukan kekayaan alam yang berlebihan merupakan dua stereotipe penyebab hilangnya kekayaan kita. Jika kita tidak sadar sejak hari ini, maka bersiaplah untuk kehilangan pekayaan kita.

Dalam hal ini hanya ada dia pilihan: Membuktikan bahwa Atlantis yang hilang itu memang kini sudah “berwajah” Indonesia, atau Indonesia yang digadang-gadangkan sebagai Atlantis baru akan sama nasibnya dengan benua Atlantis itu. Terserah?

Sunday, July 4, 2010

Demi Sahabat, Tiga Kilo Dalam Kegelapan

Kamis malam (01-17), sebanyak dua belas orang, termasuk juga saya, bertakziyah ke rumah Fathorrahman Hasbul, alumni PPA Lubangsa dan mantan kru Majalah Muara, di desa Duko, Kecamatan Ganding.

Dua belas orang itu adalah sahabat dekatnya sewaktu masih sama-sama menjadi santri. 6 orang kru Majalah Muara--termasuk juga saya--, 2 orang kru Buletin Kompak, dan 4 orang adalah sahabat dekatnya sewaktu
masih di Madrasah Aliyah (MA) I Annuqayah.

Lima menit sebelum adzan maghrib, kami berangkat. Perjalanan sepanjang tiga kilo itu ditempuh dengan berjalan kaki. Dari lapangan kemisan, terus mengarah ke utara. Melewati pematang sawah. Pulang dan pergi. Perjalanan itu kami tempuh dengan tergesa-gesa. Takut dimakan kegelapan. Sebab, diantara kami tidah ada yang membawa penerang, semacam senter dan lain sebagainya.

Tiba di desa itu, kami disambut langsung oleh Oong—sapaan akrab Fathorrahman Hasbul. Dengan senyum tipis dan wajah berseri-seri, alumni yang sekarang menetap di Kutub, Jogjakarta itu langsung mempersilakan kami untuk solat maghrib terlebih dahulu. Sebab, tahlilan masih akan dimulai setelah solat isyak.

Ini adalah kali kedua bertakziyah ke rumahnya. Takziyah pertama terjadi setahun yang lalu, ketika ayah pemuda berperawakan kalem itu berpulang ke haribaan-Nya. Dan kini, tepat setahun, ibunya menyusul.
Kini ia sebatangkara. Ia termasuk orang yang miskin. Peninggalan harta orangtuanya tak begitu banyak.Untuk mencukupi kehidupannya di jogjakarta, hanya bertumpu pada kreatifitas menulisnya.

Sambil menunggu tahlilan dimulai, kami berbagi pengalaman. Maklum, setahun berpisah, baru sekarang bertemu. Tak pelak canda dan tawa menghiasi suasana yang sebenarnya masih dirudung duka itu. Memang
itulah tujuan kami, menghapus duka seorang sahabat, meski hanya sesaat.

Usai tahlilan, kami langsung pamit. Terlihat diwajahnya sebuah keharuan. Ia banyak mengucapkan terima kasih karena masih ingat dengan arti sebuah persahaban. Matanya berseri-seri ketika kami semakin jauh
dari pandangannya. Kami tahu, betapa beratnya ditinggal kedua orang tua.

Kini, tinggallah kami yang harus berjuang. Melewati pematang sawah dengan tangan hampa. Tanpa ada cahaya yang menerangi langkah kami. Perjalanan itu dicekam ketakutan. Takut hantu, takut terpeleset, dan
takut jika tiba-tiba ada seekor ular mematuk kaki kami. Namun, kami tetap sadar bahwa perjuangan ini masih kalah berat dengan perjuangan teman kami, Fathorrahman Hasbul. Berjuanglah sahabat!

Thursday, July 1, 2010

Club The Pencil Connection Madura

Di sini...
Kita mencoba merangkai hidup dengan kata
Tanpa harus bicara...
Kami tahu kalau lidah tak bertulang
Kami tahu kalah perasaan adalah sarang setan
Dan kami tahu kalau hidup bukan hanya bernafas
Tapi hidup adalah merangkai harapan.
Jika bukan karena harapan-harapan
Maka hidup akan mati
Demi merangkai hidup itu
Kami menyatu dalam cinta, cita dan karya !



salah satu peserta karantina The Pencil Connection sedang mempresentasikan tulisannya kepada Ahmad Khotib (kanan) selaku direktur eksekutif.


Ahmad Khotib sedang mengecek tulisan peserta yang akan dipresentasikan


Fandrik Hs Putra (depan) salah satu pembimbing sedang memberikan penyajian teknis membuat catatan kaki (foot note)


berpose setelah seminggu suntuk digembleng dengan pelatihan kepenulisan. Sekaligus sebagai ikrar untuk terus mengarungi dunia dalam kata!

Sahabat Sejati, Hanya yang Berdimensi Ukhrawi

Temanmu adalah yang membuatmu menangis karena nasehat, bukan yang membuatmu tertawa disebabkan lelucon

“Seribu teman masih terlalu sedikit, sedangkan satu musuh sudah terlalu banyak," demikian seharusnya perilaku sosial orang dalam masyarat.

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup dengan kesendiriannya. Mereka membutuhkan orang lain sebagai kawan, sahabat untuk saling melengkapi, membantu antar satu sama lain yang bisa menjalin persahatan hingga akhir. Istilahnya, teman bisa dicari dalam sehari namun persahabatan tak cukup dibangun hanya seribu waktu dan sejuta masa.

Ungkapan-ungkapan bijak ini bukanlah suatu yang mengada-ngada. Tapi memang, itulah kenyataannya. Seseorang akan sangat terbantu masalahnya, manakala ia memiliki banyak kawan. Misal, ketika ia membutuhkan pekerjaan, maka, dengan mudahnya ia bisa meminta pertolongan melalui teman-temannya untuk memberi informasi ketika lowongan itu ada. Ketika satu tempat gagal, ia akan menghubungi sahabatnya yang berada di lokasi lain. Begitu seterusnya, hingga ia memperoleh apa yang ia butuhkan. Ini masih seputar permasalahan ekonomi, belum merambat ke permasalah lain, seperti curhat, konsultasi, dan lain sebagainya. Sahabat sangat berperan penting untuk mencairkan permasalahan-permasalahan tersebut.

Sebaliknya, ketika seseorang memiliki musuh, dunia akan terasa sangat sempit, karena setiap kali kita melangkahkan kaki ke luar rumah, kita selalu merasa dihantui oleh rasa takut, khawatir akan bahaya ancaman musuh yang setiap saat bisa menghampiri. Dunia seluas inipun akan terasa tak seubahnya daun kelor, kecil lagi sempit. Itulah perbedaan antara memiliki teman dan musuh.

Sekalipun demikian kian, kitapun harus selektif dalam memilih teman, sebab, bukan mustahil sahabat yang kita anggap bisa membawa rahmat, justru menimbulkan mafsadat. Karena pada realitasnya, banyak orang yang 'mencuri' perilaku buruk dari teman karibnya. Yang menjadi masalah, kebanyakan mereka tidak menyadari sama sekali akan hal itu. Ingatlah akan warning Rosulullah yang menyatakan bahwa dalam hal bergaul dengan orang lain, kita tak ubahnya mendekati dua orang. Yang pertama, pandai besi, dan yang kedua penjual minyak wangi.

Ketika kita berakrab-akrab dengan pandai besi, sedikit demi sedikit kita akan terkena panasnya percikan api yang keluar dari besi. Sebaliknya, ketika kita berdekat-dekat dengan penjual wewangian, secara spontanitas, kitapun akan mendapatkan aroma harumnya juga. Begitu pula perihalnya dalam memilih sahabat. Karena itu, kita harus berhati-hati.

Teman Baik

Memiliki teman baik adalah impian semua orang. Tak satupun manusia sudi memiliki sahabat yang rela 'memakan' sahabatnya sendiri. Namun, kenyataannya tidak jarang orang salah kaprah dalam memaknai teman baik.

Ada sebagian mereka yang berpendapat bahwa teman baik itu adalah teman yang seia-sekata. Artinya, siap membantu dan mendukung dalam segala hal. Adalagi yang mendefinisikan, bahwa teman baik adalah teman yang setia dalam suka maupun duka.

Apapun definisi yang digunakan dalam memaknai teman baik, itu sah-sah saja, karena setiap orang pasti memiliki alasan tertentu mengapa ia memiliki pemahaman yang demikian. Namun, sebagai muslim, kita harus memiliki pemahaman yang pas, yang sejalan dengan ajaran Islam, sebab, tidak semua pengertian mengenai teman baik, itu sebanding lurus dengan ajaran agama ini.

Islam memiliki 'rambu-rambu' yang jelas dalam memaknai teman baik dan buruk. Sebab itu, belum tentu teman yang katanya seia dan sekata itu teman yang baik menurut pandangan Islam, karena, terlebih dahulu akan ditinjau, dalam hal apa mereka menerapkan definisi ini. Ketika mereka menegakkannya dalam hal amar ma'ruf nahi munkar, maka Islam membenarkannya. Tetapi, ketika hal itu dalam masalah kekufuran dan kejahatan, tentu hal ini tidak dibenarkan.

Firman Allah, “Dan saling membantulah kalian dalam hal kebaikkan, dan janganlah kalian saling membantu dalam hal keburukkan. “ (Al-Ma'idah: 2).

Karenanya, jangan sampai kita terkecoh, dengan alasan teman akrab, kitapun rela membantu teman kita, sekalipun dalam kejelekkan. Sekiranya itu terjadi, sejatinya kita telah berbuat kedzaliman pada teman, orang lain, dan pastinya, terhadap diri kita sendiri, “man a'annaka 'ala syarri dzalamaka” (barang siapa yang telah membantumu dalam hal keburukkan, maka sesungguhnya dia telah mendzalimu). Dampaknya, kita akan kebagian ‘bunga' dosa, sebagai buah atas keikutsertaan kita dalam mensukseskan misi jahat tersebut.

Hal ini berdasar pada hadits Nabi yang berbunyi, “Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikkan maka ia akan mendapatkan ganjaran setimpal dengan apa yang dilakukan oleh si pelaku”.

Mafhum mukhalafah dari hadits ini, mereka yang membantu kejelekkan, pun akan mendapatkan balasan yang setimpal.

Dan yang lebih penting lagi, teman dalam perspektis Islam, tidak hanya terbatas di dunia semata. Namun, Ia mencakup dimensi akhirat. Persahabatan yang baik, yang mengharap ridha Allah, akan mengundang syafaat Allah di hari kiamat kelak.

Ini sebagaimana sabda Rosul yang menjelaskan bahwa kelak di akhirat akan ada beberapa kelompok manusia yang akan mendapat naungan Allah dimana pada saat itu tidak ada naungan selain naungan-Nya, dan salah satu diantara mereka adalah orang-orang yang bersahabat dan berpisah karena Allah.

Sebaliknya, persahabatan yang mengundang murka Allah, kelak, pada hari kiamat, justru akan menjadi sebab permusuhan mereka di akhirat, sekalipun mereka di dunia sangat kompak/setia, bagai kancing dan baju, kata orang. Mereka akan saling menyalahkan satu sama lain, saling menghujat, dan menuntut.

Firman Allah, “Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa.” (Az-Zuhruf: 67)

Dalam surat Al-Furqan, Allah juga berfirman, “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang dzalim menggigit dua jarinya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, “Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rosul (27) wahai! Celaka aku! Sekiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku.” (Al-Furqan: 27-28).

Lalu, bagaimanakah profil teman baik itu, yang kelak, di akhiratpun akan tetap menjadi sahabat karib kita?

Dalam Al-Quran, Allah telah menggambarkan dengan gamblangnya sosok-sosok yang patut kita dekati sebagai teman dekat. Allah juga telah menjamin, bahwa hanya merekalah orang-orang yang baik untuk dijadikan teman.

Firman-Nya, “Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rosul-Nya (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (Al-An'am: 69)

Bukti konkrit akan kebenaran mereka sebagai pribadi-pribadi yang sholeh, tercermin pada perilaku mereka yang senantiasa menyeru manusia kepada kebaikkan dan mencegah dari kemungkaran. Dan ciri itu pula yang melekat pada sosok teman yang baik itu, “Khaorul ash-haabi man yadulluka 'alal khairi” (Sebaik-baik teman adalah yang menunjukkanmu kepada kebaikan). Sahabat yang mengingatkan kita kepada kebaikan ketika kita lalai, mencegah kita untuk berbuat keji ketika kita terbawa arus ke sana, adalah hakekat teman sejati itu. Dan sungguh bukan termasuk sahabat yang membawa rahmat, bila sahabat kita tersebut ikut bergembira, tertawa merayakan kesuksesan kita dalam menjalankan kemaksiatan, “Shadiquka man abkaka laa man adh-hakaka” (Temanmu adalah yang membuatmu menangis -karena nasehat- bukan yang membuatmu tertawa -disebabkan lelucon-).

Akhirnya, kita berdo'a kepada Allah, semoga Dia senantiasa mempertemukan kita dengan para sahabat, yang mereka senantiasa mengajak kita mendekatkan diri kepada Allah, sehingga persahabatan kita pun dinaungi rahmat-Nya, yang kemudian menghantarkan kita termasuk orang-orang yang mendapatkan naungan pada hari dimana tidak ada naungan, selain naungan-Nya.

dikutip di Majalah Hidayatullah

Sunday, June 27, 2010

Dialog Maya

Beberapa minggu ini, pikiranku kacau. Sulit untuk katakan apa sebenarnya yang terjadi pada jiwaku ini. Bayangan semu itu selalu melekat dalam pikiranku. Sungguh menyesakkan bila sungging senyum mungil itu lahir kembali dalam jiwaku yang gersang. Sorot matanya yang tajam telah membunuh gairah hidupku.
Memang, Aku tak selalu bergantung pada dirinya, pada cintanya, tapi tiada salah jika aku berharap. Kepergiannya dari hatiku sudah cukup memberikan luka yang amat perih. Aku ingat kejadian tempo dulu. Saat ia menegaskan kepergiannya—mungkin juga kebenciannya—dengan mengirimkan pesan singkat via Email……
Felisa
MAAF AKU HARUS PERGI
Kalimat singkat yang bisa membuatku menyisir luka. Membua hatiku jadi beku. Tak ada Setelah membaca pesan singkat itu, sampai sekarang, aku tak lagi membuka Emailku. Bahkan gairahku untuk menulis sirna. Tertutup oleh bayangan yang ia lukis di batok kepalaku. Kubiarkan saja laptop yang menjadi teman candaku setiap hari itu tetap mengatup tanpa kusentuh dan aku belai dengan ide-ide kreatifku.


Aku tak ingin seperti batu. Makanya, aku selalu berusaha menyibukkan diri. Menghilangkan waktu untuk berpikir tentangnya. Berusaha menutup celah untuk memutar kembali memory pahit-manis yang terjalin bersama Felisa, kekasih sekaligus penghianat cinta.
Kusibukkan hari-hari dengan membaca dan menulis. Meski yang tercipta hanyalah oretan-oretan usang yang tak bernilai dan terkadang wajahnya muncul di ujung penaku.
Pagi itu, menjadi catatan sejarah baru setelah lelah berdiam diri seperti batu. Lebih dari sebulan aku tidak lagi mengotak-atik situsku. Saat matahari baru mengecup kening bumi, entah mengapa aku rindu pada situs dunia mayaku. Di pagi yang cerah, di depan laptop, aku membuka Email, Faceebook, dan Blogger.
Ups!... ada lima belas surat masuk. Dari kakak di Jogjakarta, dari teman-teman kelas yang saling memberi ucapan selamat karena lulus UN, dari andy yang katanya sudah baru menikah seminggu lalu. Dan, ada lagi surat masuk yang membuatku mengernyitkan dahi.....
Ketika surat tak di undang datang!
Hiiii....SEREM!
Ummul corn
Siapa dia? Baru kali ini aku mendapat surat dari alamat Email itu. Mungkinkah dia Felisa? Rasanya tidak mungkin. Ia sudah berjanji tidak akan berhubungan denganku lagi dalam bentuk apa pun.
Segera aku balas surat itu.
Datang tanpa permisi? Dasar, kurang ajar!
Haris Saputra
Esoknya ia membalas lagi. Dan ingin mengkonformasi menjadi teman di facebook. Ia tidak menggunakan foto sendiri di profilnya. Yang digunakan adalah gambar kartun perempuan berkerudung pink. Senyumnya centil sekali. Segera aku konfirmasikan.
Setelah aku konfirmasi, ternyata, ia langsung online……
“Mungkinkah kau pangeranku?”
“Bisa saja!” hanya sekedar basa basi.
“Aku suka tulisanmu, hanya sebatas tulisan, tidak lebih!”
Aku tidak suka basa basi. Tapi, mulut cewek itu lincah. Membuatku tertarik berkomunikasi dengannya. Ya! meski hanya berbasa basi. Tak lebuih dari itu.
“Suka tulisanku? Bukan suka pada penulisnya?”
“Ya! bisa dikatakan begitu. Ha…ha…”
Dan, persahabat kami semakin akrab, mungkin juga karena hobby kita sama. Sama-sama menulis di webblog. Aku selalu mengajaknya berdiskusi via facebook. Sungguh diskusi dengannya sangat menyenangkan—meski aku tidak tahu siapa dia sebenarnya, itu tak penting—gairahku menulis dan menelusuri dunia internet mulai bangkit kembali.
Guluk-guluk, Sumenep, 2010

Sudah nongkrong di Harian Radar Madura
tanggal 27 Juni 2010

Saturday, June 26, 2010

Yuk! Menulis Feature*

Fandrik Hs Putra**
Sepulang dari Yogyakarta bersama teman saya, saat liburan Idul Adha, ia berseru bahwa pengalamannya berkunjung ke Yogyakarta merupakan pengalaman pertama selama dalam hidupnya. Sehingga pengalaman itu banyak yang mengesankan. Kesan yang dilihat. Kesan yang didengar. Semuanya menarik untuk ditulis.

Lalu, saya menyarankan semua kesan yang ia rasakan untuk ditulis agar tak satupun yang tercecer dalam pengalaman itu hingga atau bahkan beberapa tahun ke depan (itulah gunanya menulis!).

“Tapi, apa yang mesti saya tulis? Seperti apa?” begitulah pertanyaannya.
“Ya! Bercerita saja. Buat catatan harian, cerpen, atau feature,” jelasku. Ia mengernyitkan dahi ketika saya menyebut feature.

Apa feature itu?
Jika dalam sebuah berita yang diutamakan ialah pengaturan fakta-fakta. Maka dalam penulisan feature kita dapat memakai teknik “mengisahkan sebuah cerita”. Penulisan feature pada hakikatnya adalah seseorang yang berkisah. Penulis melukis gambar dengan kata-kata: menghidupkan imanji pembaca; menarik pembaca agar masuk ke dalam cerita itu dengan membantu mengidentifikasikan diri dengan dengan tokoh utama.
Penulisan feature untuk sebagian besar tetap menggunakan penulisan jurnalistik dasar, karena ia tahu bahwa teknik-teknik itu sangat efektif untuk berkomunikasi. Tapi, bila ada aturan yang mengurangi kelincahannya untuk mengisahkan suatu cerita, ia segera menerobos aturan itu.

Tahu filosofis pramida terbalik dalam jurnalistik?
Nah, piramida terbalik (susunan tulisan yang meletakkan informasi-informasi pokok dibagian atas dan informasi yang tak begitu penting di bagian bawah. Sehingga mudah dipotong jika tulisan terlalu panjang) tersebut sering ditinggalkan.terutama bila urutan peristiwa sudah dengan sendirinya membentuk cerita yang baik. Tulisan yang hidup adalah senjata penting untuk menaklukkan minat pembaca di tengah persaingan antara media komunikasi yang kian ketat. Mereka yang digandrungi karena memiliki jiwa personal, memiliki sudut pandang yang unuk dna cerdas, serta penuh vitalitas.
Setidaknya ada tujuh unsur yang menjadi pedoman untuk menulis feature.

Informatif
“Feature adalah arsitektur, bukan dekorasi interior” kata Ernes Hamingway. Untuk bisa menulis feature yang efektif, penulis pertama-tama harus mengumpulkan kepingan-kepingan informasi /data yang detail, spesifik, dan akurat. Bukan kecanggihan retorika atau pernak-pernik bahasa.

Signifikansi
Tulisan yang baik memiliki dampak bagi pembaca. Dia mengingatkan pembaca pada sesuatu yang emngancam kehidupan mereka: kesehatan, kemakmuran, maupun kesadaran mereka akan nilai-nilai. Dia ingin memberi informasi yang ingin dan penting diketahui pembaca. Serta meletakkan informasi dalam sebuah perspektif yang berdimensi mengisahkan apa yang telah, sedang atau akan terjadi.

Fokus
Tulisan yang sukses biasanya justru pendek. Terbatasi secara tegas dan fokus. Umumnya tulisan yang baik hanya mengatakan satu hal. “Don’t write about Man, write about a Man,” kata Elwyn Brooks White, seorang humoris Amerika.

Konteks
Tulisan yang efektif mampu meletakkan informasi pada perspektif yang tepat sehingga pembaca tahu darimana kisah berawak dan kemana akan mengalir.

Wajah
Tulisan akan efektif jika penulisnya mampu mengambil jarak dan membiarkan pembacanya seakan bertemu, berekenalan serta mendengarkan sendiri gagasan atau informasi dari tulisan itu. Atau bisa menggambarkan sosok seorang tokohnya.

Bentuk
Tulisan yang efektif memiliki sebuah bentuk yang mengandung sekaligus mengungkapkan cerita. Umumnya berbentuk narasi. Dan sebuah narasi akan sukses jika memiliki semua informasi yang dibutuhkan pembaca dan jika ceritanya bisa diungkapkan dalam bentuk aksi-reaksi.

Suara
Tulisan akan mudah diingat jika mampu menciptakan ilusi bahwa seorang penulis tengah bertutur kepada pembacanya. Majalah/koran yang baik tak ubahnya seperti pendongeng yang memukau. Dan penulis yang baik mampu menghadirkan warna suara yang konsisten ke seluruh cerita, tapi menganekaragamkan volume dan ritme untuk memberi tekanan kepada makna.

Secara ringkas, tulisan yang baik mengandung informasi yang menarik dan berjiwa. Menarik karena penting, terfokus, dan berdimendi. Serta berjiwa karena berwajah, berbentuk dan bersuara.

Untuk membuat tulisan feature yang baik, perhatikan enam “kegagalan” yang harus dihindari:

1. Gagal menekankan segala yang penting. Seringkali terjadi karena gagal meyakinkan bahwa kita memahami informasi yang kita tulis.
2. Gagal menghadiran fakta-fakta yang mendukung.
3. Gagal memerangi kejemuan pembaca. Terlalu banyak klise, hal-hal yang umum. Tak ada informasi spesifik yang dibutuhkan pembaca.
4. Gagal mengorganisasikan tulisan secara baik. Organisasi kalimat mauun secara keseluruhan cerita.
5. Gagal memperaktekkan tata bahasa secara baik; salah memubuhkan tanda baca dan salah menuliskan ejaan.
6. Gagal menulis secara balans, sebuah diosa yang biasanya terjadi akibat ketidakpercayaan kepada pembaca atau keengganan untuk membiarkan fakta-fakta yang ada mengalir sendiri tanpa restu dan persepsi penulis tentang arah cerita yang benar. Dengan kata lain menggurui pembaca, elitis.

Begitulah cara tentang menulis feature yang saya paparkan kepada teman saya. Dan ternyata, ia tertarik menulis kisahnya dengan cara seperti itu. Alasannya untuk mengasah imajinasi dan kemampuan dalam mengolah data/informasi.
Lalu, apa yang ia katakan?

“Baiklah saya akan mencoba menulis feature!”


* Disajikan pada pelatihan diklat jurnalistik Ikatan Santri Annuqayah Jawa (IKSAJ). Disarikan dari berbagai sumber buku jurnalistik.
** Aktifis Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) STIK Annuqayah dan pimred annuqayah

Abdul Wahid, Figur Pemimpin Baru di Lubangsa


Fandrik Hs Putra, PPA Lubangsa

Guluk-Guluk—Pemilihan ketua pengurus baru PP Annuqayah Lubangsa periode 2010-2011 sudah dilaksanakan Selasa (22/6) kemarin. Dalam pelaksanaan pemilihan itu, Lubangsa mendapatkan figur ketua pengurus baru. Abdul Wahid, santri asal Banaresep, Lenteng, terpilih menjadi ketua pengurus PP Annuqayah Lubangsa. Pada periode sebelumnya, dia menjabat sebagai sekretaris umum.

“Saya tidak menyangka akan terpilih menjadi ketua pengurus. Entah apa yang mereka lihat dari diri saya. Namun yang jelas ini bukanlah suatu kebahagiaan, tapi sebuah tanggung jawab yang besar akan saya emban,” tutur pengurus yang berpenampilan kalem itu.

Dalam perjalanan kariernya, ia belum pernah menjabat sebagai ketua dalam sebuah organisasi. “Tidak pernah sekalipun (menjadi ketua). Yang paling tinggi jabatan saya, ya, di sekretaris itu,” ungkap pengurus yang tinggal di blok F/02 itu.

Namun, Rohanna, wakil sekretaris Lubangsa periode 2009/2010, punya pandangan lain. Menurutnya, Wahid adalah sosok yang penuh tanggung jawab.

“Dia pekerja keras. Tidak kenal lelah. Ia sangat bertanggung jawab akan tugas-tugasnya. Bahkan ketika pesantren libur, ia terus membenahi administrasi pesantren. Itulah yang saya nilai darinya. Rasa tanggung jawabnya besar,” ungkapnya.

Pemilihan pengurus Lubangsa Selasa kemarin berlangsung alot. Dalam pemilihan bakal calon, ada lima nama yang muncul: Rahisyam, Baidi Anas, Sobri Salim, Imam Abdurrahman, dan Abdul Wahid. Karena untuk dapat menjadi calon harus memiliki 20 suara, maka yang kemudian lolos sebagai calon hanya Abdul Wahid dan Sobri.

Pemilihan pun berlangsung seru. Perolehan suara dua calon tersebut terbilang berbeda tipis. “Yang memiliki hak suara sebanyak 61 orang. Saya memperoleh 31 suara, sedangkan Sobri memperoleh 29 suara. Satu suara tidak sah,” kata Wahid.

Dalam kepemimpinannya ke depan, ia akan fokus untuk membenahi kinerja pengurus, sebab pada tahun sebelumnya banyak pengurus yang menjabat di luar kemampuannya. Di samping itu, ia juga akan membenahi administrasi, utamanya program kerja dan pembenahan struktur kepengurusan.

dicomot dari annuqayah.blogspot.com