Tuesday, March 29, 2011

Pemburu Matahari

Kata orang, sahabat nelayan adalah matahari. Tanpa cahayanya, hidup mereka akan susah, karena mendung akan membuat badai. Tentu, mereka akan cemas. Di samping itu juga, ikan-ikan akan cepat membusuk karena sulit untuk diawetkan. Kulit mereka yang hitam dan kering semakin meyakinkan bahwa pernyataan itu memang benar.

Mereka adalah para pemburu matahari. Para nelayan akan mengejarnya ke tengah laut jika matahari mulai tenggelam. Tentu, para pemburu itu akan kembali keesokan harinya dengan membawa matahari.

Sampai di kampung nelayan, tempat dimana aku dilahirkan, aku tekagum-kagum. Bukan hanya pantainya yang menebar pesona, tetapi rumah-rumah mereka yang sederhana, berjejel, dan menghadap ke laut turut pula menebarkan kesan yang istimewa. Tentu, pemandanga ini bukanlah sesuatu yang asing bagiku. Tetapi kerinduan tetaplah kerunduan: semakin lama berpisah, semakin mesra saat berjumpa. Ya, begitulah.

Aku teringat akan kisah nenek ketika masih kecil. Bahwa kehidupan para nelayan tak jauh berbeda dengan kehidupan anak-anak ikan di laut. Mereka akan terus bersama, saling melengkapi dan melindungi. Tak ada nelayan melaut berangkat sendirian. Mereka akan membentuk kelompok-kelompok dan hasilnya dibagi rata. Tapi sayang, kisah dari nenek itu tak bisa aku lanjutkan kembali. Cerita itu adalah yang terakhir kalinya aku dengar sebelum nenek terlelap dalam tidur panjangnya.

Pada penghujung musim hujan ini, kusempatkan diri kembali ke kampung halaman setelah hampir lima tahun aku tinggalkan. Kebetulan, proposal skripsiku yang diseminarkan diterima, meskipun ada beberapa catatan-catatan kecil yang harus dibenahi. Sejak lulus SMA dan melanjutkan kuliyah ke Jogjakarta, inilah pertama kalinya aku kembali ke Madura. Sengaja memang aku tak pernah pulang pulang. Disamping ongkos transportasi yang cukup mahal, aku juga ingin ketika melepas kerinduan diwarnai dengan derai haru.

Hari pertama kusempatkan berjalan-jalan di pantai. Kebetulan, siluet senja pada waktu itu cukup indah walaupun dikelilingi awan kelabu. Aku rindu pada mereka, para pemburu matahari. Para peburu itu telah mempersiapkan diri untuk berlayar. Mengejar matahari. Segala kebutuhan dinaikkan ke atas perahu. Aku membayangkan jala yang dipegang mereka, nanti bukanlah berisi ikan-ikan, melainkan matahari. Ah, aku sepertinya telalu terhipnotis dengan cerita itu.

Hanya ada satu dua perahu yang siap berlayar. Meskipun musim hujan akan segera usai, banyak nelayan yang tak berani melakukan pelayaran. Kualihkan pandanganku dari para pemburu itu. Di ujung selatan, sekitar seratus meter dari tempatku berdiri, aku melihat seorang perempuan sedang menatap senja. Ya, aku mengenalinya. Perempuan itu Maemunan, teman sekelasku waktu SMA. Aku sempat jatuh cinta pada perempuan itu, tapi tak ada keberanian untuk medekatinya. Entahlah, apakah saat ini perasaan itu masih ada atau tidak.

Sore itu, aku tak memiliki keberanian untuk menyapanya. Aku ragu apakah ia masih akan bersikap seperti dulu, atau sudah berubah. Butuh beberapa waktu untuk aku menyesuaikan diri, walaupun di sini adalah kampungku sendiri.

Aku pergi. Maemunah tetap menatap matahari yang akan diburu oleh para pemburu itu.
Sungguh miris mendengar nasib para nelayan beberapa bulan ini. Kata emak, beberapa lelaki di kampungku merantau ke kota bahkan sampai ke luar negeri. Anak dan istri terpaksa ditinggalkan. Cuaca yang buruk membuat mereka tak bisa melaut. Akibatnya, mereka harus membanting tulang, mencari pekerjaan lain untuk menafkahi keluarga mereka. Nelayan yang hanya memasrahkan penuh kehidupannya pada laut membuat mereka kelimpungan untuk mencari pekerjaan lain jika cuaca sudah tidak bersahabat. Ah, selalu saja demikian.

Setiap kali aku pergi ke pantai, setiap kali itu juga aku melihat Maemunah mematung di sana. Wajahnya kaku. Tatapannya sendu. Mengapa ia selalu di sana? Seperti yang aku kenal ia bukan penikmat senja. Ataukah Maemunah sedang menunggu sesuatu? Atau barangkali dia merasa kesepian? Sore itu, kusempatkan diri untuk menyapanya. Siapa tahu dia masih mengenaliku. Seperti dulu. Apa adanya.

“Maemunah, kau ingat aku,” kataku sedikit gerogi. Dadaku sedikit bergelombang. Mungkin karena perasaan itu masih ada.

Dia menatapku. Lama. Beradu mata. Tanpa kata. Kuperhatikan seluruh tubuhnya. Ternyata dia tetap seperti dulu: cantik dan mempesona. Aku kembali terkenang masa-masa SMA lagi. Bersama dalam tawa. Namun, sepertinya dia sedikit gemuk. Perutnya buncit. Itulah mengapa aku sedikit kaget saat melihatnya.

“Slamet, kaukah itu?” kata Maemunah menarik kedua alisnya.

“Ya, aku Slamet. Aku kira kau sudah lupa pada diriku.”

“Ah, mana mungkin aku lupa dengan orang yang paling menjenggelkan di kelas,” katanya renyah. Lantas, kita saling beradu tawa. Tanpa sadar, waktu telah menyeret aku dan Maemunah pada masa lalu.

“Aku perhatikan, setiap pagi dan sore kau selalu berada di sini. Apa kau suka fajar atau senja?” kataku manja. Lepas kata itu, Memunah kembali menatap senja.

“Aku sedang menunggu Kang Bahris pulang,” katanya sendu. Tangan kanannya memengang perutnya yang buncit. Aku mulai mengerti, meski masih belum tahu pasti.

Mendengar nama itu disebut, aku teringat pada teman SMAku lagi. Ya! Bahris. Ternyata lelaki tambun berkulit hitam itu berhasil mempersunting Maemunah, perempuan yang diincarnya sejak masih duduk di Sekolah Dasar. Aku sedikit cemburu. Ah, betapa beruntungnya kau kawan! Begitulah kilahku.

“Oh, selamat ya! Saya baru tahu sekarang kalau kawanku itu amat beruntung sekali memiliki seorang istri secantik kamu,” kataku menggoda. ”Kapan kau menikah dengannya?”

“Sudah hampir setahun. Tapi, setelah berjalan empat bulan, saat jabang bayi ini masih berusia tiga bulan, dia pergi meninggalkanku sendiri,” katanya pelan. Aku mulai menangkap ada kesedihan di matanya.

“Pergi? Maksudmu ia menghianatimu?”

“Jika ia menghianatiku tidak mungkin aku berdiri disini menunggunya pulang. Kang Bahris pergi karena aku dan calon bayinya ini,” raut mukanya nampak tenang. Tetapi, air mata tak bisa ditolaknya, mengalir membelah pipinya. Beberapa kali dia mengusap-usap perutnya.

“Lantas mengapa Bahris tega meninggalkanmu dengan keadaan seperti ini?” kataku memburu. Aku pun larut dalam kesedihannya.

“Dia hanya mencoba menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami, yakni menafkahi istri. Saat awal musim hujan, Kang Bahris masih bisa bertahan meskipun beberapa minggu itu dia sudah tidak melaut karena cuaca tak menentu. Seiring dengan jatah makanan yang mulai hampir habis, Kang Bahris merasa tepanggil: sudah selayaknya dia kembali mencari nafkah. Sulit di sini mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan selain menjadi nelayan.”

“Kau tahu di mana tempat suamimu bekerja?”

“Entahlah, aku tidak tahu dia berada di mana. Tapi yang jelas Kang Bahris pergi, diajak Ki Urat, bekerja sebagai tenaga serabutan. Sebulan yang lalu dia mengirimiku banyak uang. Katanya uang itu adalah hasilnya yang bekerja sebagai kuli bangunan. Dia juga mengatakan bahwa dalam beberapa minggu ini akan pulang,” katanya. Napasnya mulai tak teratur karena mencoba memulangkan kesedihan ke dalam hatinya.

Ah, begitu keraskah hidup menjadi nelayan. Bukankah mereka selalu pergi dengan lambaian tangan dan pulang dengan keceriaan? Mendengar nasib Bahri, aku kembali teringat keadaan dan kisah para pemburu matahari. Mungkinkah Bahri masih belum menemukan matahari yang pantas dibawa pulang dan dipersembahkan pada istrinya? Seandainya dia bisa berpikir jernih bahwa matahari itu telah mampir di tubuh istrinya, niscaya dia akan takut dengan kerinduan.

Kampung Cerita 04.36 AM

Wednesday, March 16, 2011

Nyai Randhe Kasean

Wajahnya sayu. Dari celah lambaian daun siwalan, bulan mencoba melebarkan senyum. Sepertinya, malam ini dia sakit hati. Cahayanya begitu dipaksakan mengecup kening bumi. Dia pernah berkata, apa yang selalu dia dambakan akan terwujud. Mungkinkah dewi fortuna kali ini tak berpihak kepadanya? Oh bulan, mengapa malam ini kau begitu pucat. Kurang tidurkah kau?

Nyi Randhe Kasean. Ya, aku menemukan wajah perempuan itu di sana. Wajah perempuan yang sering digambarkan oleh buyut, kakek, nenek, dan orang tuaku ketika purnama menjelma. Perempuan yang selalu murung, menunggu pria yang akan menjemputnya, lalu merebahkan tubuh bersama di bawah cahaya purnama. Aku harus menulis kegelisahan dan kerinduannya. Siapa tahu nanti tulisanku akan membantu mempertemukannya dengan kekasih yang telah bertahun-tahun meninggalkannya sendirian di atas sana.
Baiklah akan kuceritakan sosoknya sesingkat mungkin. Umurnya masih belum terlalu tua. Hal itu terbukti dari parasnya yang masih tampak gempal dan merona. Guratan kecantikan yang selalu dipertahankan begitu tampak. Seperi prasasti yang selalu diabadikan oleh sejarah. Nyai Randhe Kaseyan, wajah elok yang memotret berjuta kisah dan kenangan yang memilukan. Setahuku, belum ada di atas jagad raya ini sebuah nama yang menyerupai namanya yang menawan seperti itu.

Perempuan itu hidup dan tumbuh di tengah pahatan alam lepas. Lahir dengan seperangkat kesederhanaan dan kelebihan yang serba langsung. Hamparan bumi sebentuk magnitude yang mencerminkan kebesaran maha mutlak. Lautan di sisi kiri dan kanan menjadi teman bermainnya setiap hari, sahabat sekaligus orangtua yang mengajarkan sayang dan kedamaian. Dia selalu merendahkan nasib dalam bayang-bayang senja. Jadilah, tipikal keibuannya mantap dan memuncak mencakar langit. Perjuangan yang tidak main-main dalam jagat raya ini.

Randhe Kaseyan, mempunyai sifat yang lumayan unik. Berbeda dengan perempuan semasanya. Umurnya yang hampir udzur semakin memantik misteri yang sulit dipecahkan. Semacam misteri lukisan monalisa, karya Leonardo Da Vinci yang penuh arti. Memerihkan mata untuk menganalisa. Kenapa bisa seperti itu? Inilah kisah yang belum pernah dibaca oleh sejarah. Anak manusia sepertinya lebih senang mengkonsumsi mitologi mitos, mengobral wacana dalam kungkung keegoaan yang nyata.

Kubuka jendela kamarku selebar mungkin. Menerima kehadirannya dengan utuh. Angin malam dia biarkan membelai rambutnya dengan lembut, sehingga tampak seperti rumbai-rumbai sutera. Sebilah kain melilit seluruh tubuhnya. Pada kedua sisi ujung kain itu seperti kepakan sayap kupu-kupu yang lelah menanti datangnya musim semi. Matanya sendu menatapku yang memelototinya di balik jendela. Pada saat itulah, aku mencoba menebar senyum padanya. Siapa tahu senyum dariku bisa menjadi umpan untuk menarik senyumnya selebar mungkin. Tetapi, nonsense! Justeru aku yang terperosok dalam kesedihannya.

Entah, apa yang menguatkan hati alam, sehingga redup cahaya demikian mesra menjaga kesendiriannya. Sudah hampir setengah abad dia merasakan ada yang musykil dalam perjalanan hidupnya. Ada keluh, namun dia selalu sembunyikan lewat sebingkai senyum hambar. Terkadang, hidup memang sekedar fantasi. Halusinasi, bahkan.

Malam yang sunyi, tambah kelam saat sorot matanya menembus duniaku. Aku berdiri tegak di ambang jendela, memandang ke batas langit. Aku melihat awan sebagai pengiring atas kerinduannya. Dan reranting sebagai serai kecapi yang tak henti mengalunkan lagu syahdu. Hati tergetar dirasuk kerinduan. Sampai akhirnya ada nyanyian yang meluncur begitu saja dari kedalaman sunyiku; ghei’ bintang aduh gheger bulen, paghei’nah jhenur koneng .

Haruskah aku melepas seluruh asaku malam ini? Ah, ternyata, sebagai lelaki, aku masih begitu rapuh berdiri di atas cinta. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku sangat malu menatap Nyi Randhe Kasean dengan segala ketololanku. Aku begitu rapuh, gampang menggantungkan asa lantaran keinginan mutlak dalam diri pribadi yang berdiri di atas cinta tidak terpenuhi.

Nyi, aku ingin menulis kisahmu dalam catatan kecilku. Tetapi, izinkahlah aku sejenak berguru kepadamu. Merenungi dan mengambil hikmah atas kesetiaanmu, yang tetap berdiri menanti seorang lelaki yang akan menjemputmu di bulan sana, yang akan memberikan kebahagiaan untukmu, yang akan membelai rambutmu, dan yang akan mengecup keningmu dengan segala ketulusannya.

Jenis kelamin kita memang berbeda, kau perempuan dan aku laki-laki. Tetapi aku merasa memiliki sebuah kesamaan dalam sebuah retorika elegi romantisme. Aku harus banyak belajar kepadamu tentang makna dari kesetiaan agar aku tidak rapuh dan dengan mudahnya menerima seseorang berlabuh di hatiku. Padahal, aku tahu, betapa pedihnya apabila orang luka karena sebuah penghianatan.

Aku berdiri tegak di ambang jendela. Ada yang tumpah dari mataku. Ah, biarlah semuanya tumpah apa adanya. Biarlah Nyai Randhe Kasean memahami atas apa yang terlukis di hatiku saat ini, sebelum aku menulis dan belajar dari kisah kesetiaannya. Nyai, aku adalah lelaki yang rapuh. Lelaki yang gampang menyerah. Seandainya aku dihadapkan pada persoalan sama seperti yang kau hadapi, aku tak yakin akan bertahan hingga saat ini.

Baiklah, aku akan mulai menulis kisahmu. Maka, aku mohon tersenyumlah sedikit kepadaku agar tak ada beban untuk menuangkan kata-kataku, sekaligus aku juga akan terhibur malam ini jika kau mau memberikan seulas senyum kepadaku. Sekarang, tersenyumlah!

Nah, untuk memulainya, aku ingin bertanya dulu kepadamu: apakah kau merasa kesepian di bulan sana? Mengapa kau bertahan dengan kesendirianmu? Jawablah dua pertanyaan ini. Jika ini sudah terjawab, maka aku tak akan kesulitan menuliskan kisahmu yang selanjutnya.

Nyai.

Nyai Randhe?

Nyai Randhe Kasean!

Jawablah.

Aku kembali berdiri. Memaku di ambang jendela, memandang ke batas langit. Pendar cahayanya tumpah menjadi tanda-tanda kecintaan akan kesendirian. Kenapa sendiri? Janganlah bertanya seperti itu, jawabannya akan berujung pada romantika cinta yang sangat jauh dari nalar kemanusiaan

Ah, Cukuplah saya kisahkan saja kesendiriannya di balik celah remang dalam hatiku.
Terima kasih, nyai. Terima kasih atas kesendirian yang telah kau ajarkan padaku. Terima kasih Kini, aku lebih tegar berpijak di dunia ini. Aku akan memulai semuanya dari awal. Aku akan memulai kehidupanku dengan kesendirian, seperti yang telah kau ajarkan kepadaku

Rumah Bersama, 04. AM

Menemukan Alamat Langit

Cerita ini hanyalah sepotong kisah yang sempat aku tulis saat melakukan investigasi selama lima hari di Pasongsongan, salah satu kecamatan paling barat, bagian dari Kabupaten Sumenep. Cerita ini menjadi penting untuk kutulis karena di tempat itu aku menemukan sejarah dan kisah tentang langit.

Sore itu, matahari masih terlihat begitu garang menyengat ubun-ubun. Aku dan sahabatku Ubed, baru saja tiba di Pasongsongan. Menggunakan Colt angkutan desa, kami turun di Pasar Pao, sebelah barat kantor kecamatan.

Tiga puluh menit gema adzan sudah berlalu. Kami langsung menuju masjid terdekat. Sejenak menghilangkan penat serta haus yang menggerogoti perjalananku. Sekalian juga menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim.

Lamat-lamat aku mendengar gemuruh ombak. Hatiku tergugah. Mendengar debur ombak itu, semangatku pulih kembali. Aku sangat suka pada laut. Itulah mengapa aku memilih untuk melakukan investigasi di tempat ini. Pantai Pasongsongan bukanlah pantai wisata seperti halnya Pantai Slopeng atau Pantai Lombang. Namun, keeksotisannya tidaklah jauh beda dengan kedua tempat wisata tersebut. Begitulah kiranya yang aku dengar.

Aku bersikeras membujuk kawanku untuk bersegera menuju pantai. Ubed yang memang penduduk asli Pasongsongan merasa emoh ketika kuajak ke pantai, karena tempat itu tidak ada asing baginya sehingga tidak ada yang menarik. Tetapi tidak bagiku. Oh, aku hanya perantau dari pulau jawa yang “tersesat” di pulau garam. Inilah pertama kalinya kakiku berpijak di tempat ini.

Sebelum tiba di pantai, kami melewati Pasar Pao, tempat interaksi jual-beli antara nelayan dan tengkulak ikan. Pasarnya cukup ramai. Bau anyir ikan di pasar itu memaksaku menutup hidung. Pasar itu didominasi oleh kaum perempuan. Tak banyak laki-laki yang aku temui. Aku memang pernah mendengar kalau kampung nelayang sering disebut juga dengan kampung perempuan, karena si lelakinya pergi melaut. Atau jika memang mereka ada di rumah, pastilah mereka lebih memilih berbaring di atas kasur karena semalaman telah mengapung di atas perahu. Menangkap ikan.

Jalanan yang sempit membuatku tidak bebas bergerak. Aku harus berjalan zig-zag manakala bepapasan dengan orang. Dan, pada detik-detik—yang sangat saya ingat—itu aku berpapasan dengan perempuan yang sepertinya aku mengenalinya. Entah siapa. Sorot matanya teduh dengan kepala berhias jilban cokelat. Senyumnya merapat pada kerikil-kerikil jalanan yang dilaluinya. Aku terpana hingga angin membawa perempuan itu berlalu dari hadapanku.

“Dia adalah kakaknya Peremuan Langit,” kata Ubed tersenyum-senyum melihatku keheranan.

“Memang rumah Perempuan Langit ada di sini?” ucapku tak percaya.

“Ya, nanti akan tunjukkan di mana rumahnya,” katanya, menyejajarkan langkah denganku.

Perempuan Langit yang kami maksud bukanlah putri kayangan yang turun dari langit sebagaimana dalam cerita babat jawa, bukanlah perempuan keturunan Dyaus di zaman India kuno, bukan pula bagian dari cerita Zeus dalam kisah peradaban Yunani, atau dalam bahasa latinnya dikenal dengan Jupiter (ouv-pater) yang kesemuanya adalah cerita-cereta tentang langit. Bukan. Dia hanyalah seorang cerpenis yang selalu menggunakan diksi atau metafor langit dalam setiap cerpen yang ditulisnya, sehingga kami mengenalnya sebagai Perempuan Langit atau hanya memanggilnya dengan kata Langit saja.

Tiba di bibir pantai, beberapa beton kaki jembatan bejejel rapi. Maklum, di sana akan dibangun pelabuhan yang kata orang akan menjadi pelabuhan terbesar—hanya—di Kabupaten Sumenep. Sebuah kontraktor masih terliha bekerja. Bunyinya menderu. Bercampur debur ombak. Di pelabuhan itu, aku juga melihat beberapa orang memancing. Tak seekor ikan pun yang mereka dapat.

Aku terus berjalan. Menelusuri pelabuhan yang panjangnya seperti lapangan sepak bola itu. Hingga akhirnya, aku sampai di ujung pelabuhan. Berdiam diri membatu. Membiarkan angin mengiris lelahku.

Kulemparkan pandangaku sejauh mungkin. Menembus sekat antara penyatuan langit dan laut. Aku suka sekali pada laut. Laut adalah cemin langit. Jika langit mendung maka laut akan pucat. Sebaliknya jika langit terlihat cerah, maka laut akan nampak berseri-seri. Tapi sayang, rumahku jauh diri laut sehingga aku tak bisa menyapanya setiap pagi dan sore. Tapi aku menyimpan mimpi untuk memiliki rumah di pinggur laut, agar aku bebas menelanjangi laut kapan saja. Saat suka maupun duka.

“Bang, lihatlah! Itu rumah Perempuan Langit,” kata Ubed.

“Di mana?” kataku.

“Itu, tepat di bawah matahari.”

Aku mengikuti arah yang ditunjuknya; sebuah rumah yang berada di pinggir pantai. Jarak rumah itu kira kira dua ratus meter dengan pelabuhan. Berlantai dua dan berpartisi biru langit.

“Besar juga rumahnya.”

“Ah, tidak juga. Gedung berlantai dua itu bukan rumahnya, tetapi musholla.”

“Musholla?”

“Ya, musholla. Ayahnya adalah guru ngaji. Muridnya cukup banyak. Lantai bawah untuk santri laki-laki dan lantai atas untuk santri perempuan,” jelasnya.

Aku sempat berpikir, mungkinkah dia suka senja karena rumahnya begitu strategis melihat senja melambaikan tangannya menjelang petang. Memang, matahari saat ini tidak berada di atas laut. Posisinya di arah barat daya. Tepat berada di atas rumah Perempuan Langit. Jadi, aku harus mengurungkan niatku melihat siluet senja membingkai laut. Tetapi jika pada musim kemarau, matahari dipastikan akan bergeser empat puluh derajad ke arah utara dari posisinya saat ini. Jadi, pada musim kemarau matahari akan jatuh ke laut.

Telintas juga dibenakku, mungkinkah dia suka menggunakan diksi atau metafor langit karena kapan pun dia leluasa menelanjangi langit untuk menuangkan imajinasinya menjadi tulisan? Atau hanya sekedar melihat matahari yang sedang melambaikan tangannya, baik saat fajar menjelang dan kala petang tiba.

Saat ini pun aku berimajinasi, Perempuan Langit sedang duduk di mushollah lantai dua itu, Menghadap laut. Meliukkan penanya di atas kertas. Menggarap cerita pendek. Setidaknya rumah itu telah memberiku kesimpulan sementara bahwa di sanalah perempuan itu mencipta langit.

Lembah Cerita, 2011