Monday, October 19, 2009

Gadis Bayangan

Cerpen: Fandrik HS Putra
“Hey, gimana kabarnya pagi ini? lihatlah matahari sudah tersenyum.”
Kalimat itu selalu memanjakan aku saat kening bumu dikecup matahari. Seperti angin pagi yang membawa kesejukan surga. Seperti itu dia datang. Sulit sekali bagiku untuk tidak melemparkan senyum pertama tatkala mataku menatap kehidupan.
Ryna Kustitiani, begitulah ia memperkenalkan diri ketika aku tanya namanya. Nama yang—bagus, menurutku—akhir-akhir ini menghiasi ruang hidupku
Si gadis bayangan. Ya! Aku sangat suka menyebutnya dengan nama itu. Ia hadir seperti bayangan. Entahlah, apakah dia adalah reinkarnasi dari cintaku yang lama hilang atau hadir untuk memberi dimensi baru, yang jelas dia gadis bayangan.
Gadis bayangan. Sosok yang hanya bisa aku pandang dalam dimensi yang berbeda. Tidak nampak, tapi kehadirannya bisa kurasakan.
Rasanya tidak lengkap jika aku hanya menyebutkan namanya saja. Baiklah aku akan singgung sedikit, semua itu berawal dari ketidak sengajaan dan kesalah pahaman.
Siang itu, lagu Jangan Ada Dusta Diantara Kita milik band Angkasa mengantar pertemuanku dengannya, handphon-ku berbunyi.
“Halo…”
”Ini kak roy kan?”
“Maaf, anda salah”
“Bener kok, nomor ini ga’ mungkin salah, kamu siapa?”
Aku kira pembicaraanku dengannnya hanya akan berakhir dengan kalimat “maaf, anda salah sambung,” tapi itu luput dari dugaan. Dia selalu mencercaiku dengan beberapa pertanyaan yang tidak bisa aku mengabaikan pertanyaannya. Tentang nama, alamat, hobi bahkan sampai dengan cita-cita.
Suaranya manja. Tanpa terasa kata demu kata mengalir dengan indah merampas akal dan kesadaran. Setiap jengkal kalimat yang dikatakannya mampu membuatku terjerumus dalam bayangan semu.
Sebagai penutup dari pembicaraan itu dia mengatakan ” bolehkah aku memanggilmu malaikat cinta?”
Entahlah…sejak hari itu, dipenghujung bulan Agustus yang kuabadikan in memoryan 29 Agustus 2009, jiwaku seolah-olah telah menemukan kembali sosok yang lama hilang dalam kehidupanku. Ada rasa dan getar berbeda ketika ia berkata “hay, gumana kabarnya.”
Seperti pagi yang baru saja datang. Aku menekan jejeran angka-angka yang akan mengantarkan aku pada tutur manja si gadis bayangan.
Ia telah menjadi ruang baru di hatiku yang setiap pagi melengkapi hidangan kopi panas dan makanan kecil diatas meja. Orang yang pertama kali setiap pagi menjadi pendengar setia atas hari-hari yang telah kulewati.
17 Oktober 1993, itulah tanggal lahirnya. Tiga tahun lebih muda dariku. Dia suka sastra dan dia mengaku ingin menjadi seorang wartawan. Suatu pengakuan yang berjalan lurus dengan garis hidup yang aku rancang.
Setiap malam sering mengirim puisi-puisinya padaku agar turut dibedah dalam komunitasku dan meminta masukan pribadi dariku. Aku selalu bilang bagus, meski sebenarnya dia harus lebih banyak lagi belajar tentang sastra. Namun itu sudah bagus untuk remaja kelas XI SMA.
Pagi itu aku bangun tidur, berniat minum kopi dan menyulut sebatang rokok seperti yang biasa kulakukan setiap pagi. Tiba-tiba HP-ku berdering.
“Hey, gimana kabarnya pagi ini?”
“Baik,” ku jawab sekedarnya saja.
“Gimana puisiku yang tadi malam? Tumben ga' langsung komentar. Jelek, ya?”
“Aku ga’ bisa berkomentar karena puisi yang kamu kirim sama dengan perasaanku malam itu. Jadi, pikiran, hati dan perasaanku kacau.”
“Oh, gitu!”
Hening.
Aku tak bisa memendam perasaan ini lebih lama lagi. Tak ingin kehilangan yang kedua kalinya.
“Ryna, maukah kau menjadi adikku, seperti adik kandungku?lupakan malaikat cinta itu. Karena aku ingin kau menjadi adikku.”
Datangnya Ryna seperti datangnya bayangan adik kandungku yang meninggal tiga tahun yang lalu. Dia bukan siapa-siapa. Hanya gadis bayangan. Tapi, aku merasa sangat dekat sekali dengannya.
“Kakak!?”
Seperti embun yang baru saja disapu matahari. Juga pada burung yang masih terdengar kicauannya. Meninggalkan pesan bahwa pagi tak habis segalanya. Kutahu, setiap orang punya hidup dan aturan sendiri. Salahkah bila aku hanya ingin melewati hari demi hari yang tak mungkin terulang kembali. Bersamanya.
Ia serupa bayang-bayang, datang kemudian hilang dari pandangan, tapi tidak dari kenangan.
Aku hanya bisa mengenangnya diatas secangkir kopi.