Showing posts with label Lan Fang. Show all posts
Showing posts with label Lan Fang. Show all posts

Wednesday, January 29, 2014

Gandrung


(Cerpen Lan Fang, Jawa Pos, 26 September 2010)

Apakah kau pernah melihat bulan bulat dengan kilap mentega? Itu hanya terjadi setahun sekali. Ketika itu pekat akan menyingkir dari semesta galaksi. Langit bersih seperti baru dicuci oleh hujan. Gelembung-gelembung harum alam merintik dari segenap pori-pori awan.

Konon, dahulu, pada saat bulan bulat sekilap mentega, orang-orang Cina berkumpul di halaman rumah mencecap kue manis berisi biji lotus, kacang hijau, dan gula merah yang manis. Mereka bercengkerama memandang bulan purnama ditemani teh sepat sampai lewat malam.

Hikayatnya, pada suatu waktu, ada seorang putri terkurung di bulan. Namanya Chang Erl. Kekasihnya, Hou Yi, si pemanah ulung yang berhasil memadamkan sembilan matahari dengan anak-anak panahnya. Mereka hanya bisa bertemu sekali dalam setahun, bertemu pada saat bulan paling sempurna untuk rindu yang tidak pernah purna, tidak pernah punah. Orang-orang Cina menyebut saat itu sebagai zhong qiu ye wan. Konon, pada saat itu Chang Erl akan menjatuhkan kembang bulan untuk sepasang sejoli.

“Bulan purnama di pertengahan musim gugur? Kita tidak mengenal musim gugur. Saat ini kita berada pada mangsa labuh, sebuah musim yang terjepit di antara hujan dan kemarau,” gumammu tumpang tindih antara gemerisik dan bisik. Aku tidak bisa membedakannya. Sama saja.

Sebenarnya aku ingin menyanggah kata-katamu. Siapa bilang musim gugur tidak menyapa kita? Tadi aku berjumpa dengannya di sebuah jalan protokol dengan jalur kendaraan dua arah yang selalu sibuk. Pada bagian tengah jalan, lekuk-lekuk pohon meliuk. Mereka menjadi peneduh dari kegarangan sebiji matahari. Pada akar-akar mereka debu-debu mengabu.

Di sana daun-daun gugur. Dari ujung-ujung ranting, mereka melayang dengan pasrah. Mereka berputar-putar sebentar bagai dipermainkan angin lalu terkapar dengan lembut. Seakan-akan mereka tidak berniat untuk melawan. Atau mereka sadar bahwa melawan pun akan percuma?

Ketika itu, lidahku ingin menyeru, “Lihatlah! Angin saja tak tega menghempaskan daun. Kenapa kau begitu kepadaku?”

Tetapi aku terbungkam ketika mereka menyerbu bumi. Beruntun mereka menamparku dengan lembut, tamparan yang tidak mau kuhindari. Kemudian mereka bergerombol, saling menyelip, saling menyelinap, saling menumpuk, saling memenuhi kepalaku. Aku jadi putri dengan mahkota daun, mahkota ringkih yang dipersembahkan sang pedih.

Tetapi, lihatlah…. Aku secantik Chang Erl, bukan?

Tiba-tiba ada laki-laki sekaya saudagar yang menggerutu, “Kau selalu tidak pernah tampil cantik.”

Laki-laki lain yang matanya sekeruh danau berpasir mencibiriku, “Hanya dengan daun, embun, hujan, kau sudah merasa cantik? Hah!” Masih ada laki-laki yang mulutnya dengan murah menyerapahiku, “Kau bukan cantik tapi binal!”

Kemudian saudagar laki-laki itu membawaku kepada seorang perempuan lalu berkata, “Belajarlah tentang kecantikan padanya.”

Sehari-hari, saudagar itu selalu tampak sebaik malaikat. Jadi aku yakin ia pun bermaksud baik padaku. Ia kerap berbisik padaku, berbisik seakan-akan tidak mau dan tidak boleh ada orang lain yang mendengar bisikannya. “Aku ingin mati saja.”

Aku heran, kenapa ia selalu ingin mati padahal seharusnya ia bisa menikmati hidup dengan kekayaannya? Atau karena aku fakir maka aku takut mati?

“Aku capai terbang dengan sebelah sayap,” gumamnya setengah tertawa sekaligus setengah menangis. Sejak itu aku mengerti bahwa ia bukan malaikat melainkan anak burung bersayap sebelah. Dengan letih ia mengayuh sayapnya yang sebelah, sayap kering tanpa bulu-bulu sehalus beludru. Pantas, ia selalu ingin mati.

Perempuan yang diperkenalkannya itu tampaknya juga setulus bidadari. Ia suka sekali menggeliat-geliat untuk mempertontonkan kecantikannya. Matanya selalu berkedip-kedip, lidahnya selalu dijulur-julurkan, kepalanya selalu digoyang-goyangkan, dan wajahnya rata seperti wajan penggorengan martabak.

Si saudagar laki-laki memandang perempuan itu dengan penuh kekaguman. “Lihatlah, betapa cantiknya dia tanpa hidung.” Ia bergairah bagaikan kerbau dicocok hidung. Pasti ia telah membatalkan keinginannya untuk mati.

Lalu perempuan tanpa hidung itu mengajariku cara mempercantik diri. Setiap malam, dengan mahir ia mencopoti hidung-hidung perempuan lain yang sedang bermimpi untuk ditempelkan di mulut, telinga, mata, dan hidungnya sendiri. Ia selalu tampil mempesona dengan wajah yang berhiaskan banyak hidung sampai subuh karena sebelum terang ia sudah harus mengembalikan hidung-hidung yang diambilnya tanpa izin itu.

Sekarang aku tahu kenapa aku selalu bermimpi buruk tentang perempuan tanpa hidung itu. Sebab aku tidak mau memberikan hidungku untuknya sekaligus aku tidak mau mempercantik diri dengan hidung-hidung imitasi.

Kemudian tentang laki-laki bermata pasir. Ia tidak pernah membawaku kepada perempuan lain. Ia kerap mengajakku duduk-duduk saja. Percakapan kami cenderung pembicaraan basi, seperti “kau suka apa?” tetapi ia tidak pernah memberikan apa yang kusukai. Bahkan ia suka melakukan apa yang tidak kusukai. Salah satunya adalah ia suka memegang stopwatch yang berbunyi untuk setiap detik yang telah terlampaui. Ia mirip sekali dengan pelatih atletik yang memacu anak latihnya berlari lebih cepat dari angka stopwatch.

Kesukaan lain yang disukainya adalah cerita tentang perempuan setengah baya yang menempel seperti lintah sehingga ia tidak pernah punya waktu untukku. Ia bercerita tanpa pernah bermaksud memperkenalkan diriku dengan perempuan yang kerap diceritakannya itu. Logikaku mengatakan bahwa ia pun betah menempel pada lintah betina tua itu dengan riang gembira. Karena setiap kali, tepat bersamaan dengan akhir ceritanya, setiap stopwatch berbunyi “tit…tit…tit…”, kulihat matanya mengeruh tetapi aku tidak menemukan pandangan bersalah di sana. Saat kami bertaut pandang ia tersenyum setulus bulus yang sedang berusaha menyenangkan hatiku.

Aku berkata, “Perjumpaan kita seperti pertandingan lari jarak pendek.”

Tetapi tampaknya ia tidak berniat memperpanjang waktu dengan memutar kembali stopwatch. “Maaf, sekarang sudah waktunya aku melayani lintah betina tua itu.” Ia suka sekali mengucapkan kata-kata itu.

Walaupun demikian, aku yakin bahwa ia juga suka padaku sebab laki-laki hanya mau minta maaf kepada perempuan yang disukainya. Jadi, seketika itu, dengan perasaan suka cita, aku menjawab, “Maaf, aku tidak suka dengan maafmu itu.”

Lain lagi dengan laki-laki yang mulutnya begitu murah serapah. Aku tahu betul dari mana ia berbelanja kata-kata sampah. Ia membelinya dari perempuan terhormat yang mungkin tidak pernah membinali laki-laki. Oh, kuralat. Ia membelinya dari perempuan terhormat yang mungkin belum pernah membinali laki-laki. Oh, kuralat lagi. Ia membelinya dari perempuan terhormat yang mungkin sudah pernah diam-diam membinali laki-laki. Oh, kuralat untuk kesekian kalinya. Ia membelinya dari perempuan terhormat yang mungkin tidak suka membinali laki-laki, mungkin perempuan terhormat itu suka membinali yang lainnya.

Jadi, terus terang kukatakan padanya bahwa aku perempuan yang mungkin tidak terhormat tetapi mungkin cantik dan mungkin suka membinali laki-laki. Tentu saja laki-laki yang sesuai seleraku. Seketika itu juga ia menjual semua koleksi kata-katanya: “Pelacur, sundal, lonte recehan!” Percuma. Aku sama sekali tidak berminat membeli kata-kata itu, apalagi membinali dirinya.

Nah, kau tidak seperti mereka. Kita bertemu pada suatu beranda tanpa lampion. Aku tidak yakin saat itu dalam keadaan gelap karena sumbu lilin cukup terang untuk melihatmu dalam keadaan memejam. Tampak wajahmu begitu tenang dan bersih sehingga aku langsung tergila-gila.

Aku ingat sebuah dongeng tentang Putri Tidur yang tertenung sampai seorang pangeran baik hati membangunkannya dengan ciuman. Aku yakin kau juga sedang dalam kuasa tenung sehingga aku ingin membebaskanmu dengan ciumanku.

Atau kau adalah drakula, Pangeran Kegelapan yang akan bangun pada saat gelap tiba? Bila demikian, aku sudah mempersiapkan sesuatu untukmu, akan kurelakan hidupku tidak untuk hidup dan matiku tidak untuk mati. Aku ingin kau segera membuka mata; melihatku dan mendengarkanku, “Inilah leher kekasihmu, Taring Runcing….” Aku menunduk untuk menyentuhkan bibirku pada bibirmu.

Tes!

Lilin yang kupegang lebih dahulu menjatuhkan minyaknya di bibirmu. Aku khawatir bibirmu terkelupas atau melepuh. Ternyata tidak. Bibirmu tetap seindah pualam. Minyak lilin mengental di sudut bibirmu. Pasti bibirmu dingin sekali. Aku kian ingin menghangatinya. Untuk kedua kalinya aku menunduk untuk menyentuhkan bibirku pada bibirmu.

Blep!

Lilinku padam karena desis angin membuatnya tak berdaya. Tetapi keadaan tetap tidak gelap. Ada remah-remah cahaya yang jatuh sehingga aku bisa melihat dengan jelas bibirmu terkuak dengan indah. Lalu dengan ikhlas kusongsong kilaumu yang menancap padaku. Dingin sejenak saja kemudian kurasakan ada yang menetes, bercucuran, mengalir dengan cara yang sangat sepi. Begitu kekal.

Perlahan-lahan kelopak matamu membuka. Aku melihatmu, zahir yang menyihir. “Sssttt, ini aku, Tuan Mimpi. Bungkuslah rapat-rapat setiap pertemuan kita. Jangan sampai ada yang terselip di bulu mata, nanti orang lain menafsirkannya. Berjanjilah, hanya kita yang tahu rindu begitu syahdu.” Aku hanya mampu setia untuk setiap katamu.

Abad pun berganti abad, kunjunganmu kian paripurna. Mimpi bisa terjadi kapan saja. Tetapi aku yakin tidak sedang bermimpi setiap bertemu denganmu. Sebab aku menyimpan dirimu dalam ingatan paling mesra. Segenap ingatan yang bisa kubangunkan setiap saat aku mau.

Kemudian sampailah kita pada mangsa labuh, yang ujarmu kemarau tidak, hujan pun tidak. Pagi-pagi jadi terlukai dan malam-malam jadi terkulai. Nganga dada membuat hari-hari kian berbatu. Kemesraanmu rontok seperti dedaunan yang bergelimpangan sehingga kerinduanku bagai gelandangan tak bertuan. Musim ini ngungun sekali.

“Apakah kau lupa padaku? Ke mana kau tersesat? Mangsa labuh ini hanya sebuah musim yang menjebak!”

“Aku sudah total berubah, tidak dan bukan yang dulu,” jawabanmu persis politisi bertelinga tebal yang tengah meliukkan lidah pada konstituennya.

Bila kau bukan Tuan Mimpi lagi lalu jadi apakah kau sekarang? Apakah jadi gunung, jadi laut, jadi jurang? Aku tidak percaya kau sejahat itu padaku. Kau tidak mungkin berhitam hati dan berputih mata padaku. Aku tetap meratap seperti tidak punya harga diri. Bukankah cinta tidak pernah berhitung dengan harga?

Sambil menangis sejadi-jadinya, aku mengitari jalan demi jalan, jalan yang itu-itu juga; tikungan demi tikungan, tikungan yang itu-itu juga; ceruk demi ceruk, ceruk yang itu-itu juga; tanjakan demi tanjakan, tanjakan yang itu-itu juga; masjid demi masjid, masjid yang itu-itu juga; sampai…

Sampai aku menangisi azan demi azan, azan yang itu-itu juga; harum demi harum, harum yang itu-itu juga; puisi demi puisi, puisi yang itu-itu juga; rindu demi rindu, rindu yang itu-itu juga; mimpi demi mimpi, mimpi yang itu-itu juga; sampai….

Sampai aku tersungkur.

Tidak kuhiraukan ujung-ujung pepohonan yang mendongak pongah padahal sesungguhnya mereka menderita karena terik. Mereka sudah terlalu cerdas untuk menyombongkan diri dari guncangan angin. Seperti itulah diriku yang tidak memedulikan apakah kau mencintaiku atau tidak, apakah kau merindukanku atau tidak, apakah kau mengharapkanku atau tidak. Sebab aku juga sudah terlalu cerdas untuk memanjakan lukaku karena diammu. Kau bahagia bisa membuatku begitu kan?

Aku tidak mendengar apa-apa kecuali semilir angin mengirim gema gumam dari semesta yang menato gendang telinga….

Duh, wong ganteng pepujaning ati. Mung sliramu kang tansah nglelewa. Rina klawan wengi ranane wong lagi gandrung. Among eling sira wong ganteng. Batin ora kuwawa nandang lara wuyung. Enggala paring usada mring wak mami kang lagi ngidam sari uga nandang asmara.

Hoi, sejoli mana yang akan berjodoh malam ini? Pandanganku mengabur. Aku menyesali Hou Yi yang hanya memadamkan sembilan matahari. Kenapa ia membiarkan sebiji matahari itu tetap menyala? ***

Dear: Gani


(Cerpen Lan Fang, Jawa Pos, 1 November 2009)

Hai, sudah lama kita sepi dari sapa. Aku selalu rindu bertukar kata denganmu. Mungkin hanya untuk pertanyaan remeh-temeh seperti, ''Bagaimana senjamu di sana?'' atau sekadar, ''Tahukah kau kalau di sini terang masih saja setia?'' Karena berkabar denganmu sama seperti menyapa kegembiraan.

Aku tahu belakangan ini kau sangat sibuk. Dan, bagi laki-laki, sibuk berarti tidak punya waktu untuk hal-hal yang remeh-temeh. Itu membuatku tahu diri bahwa aku juga termasuk salah satu yang remeh-temeh untukmu. Bahwa aku adalah seseorang yang tidak perlu kau masukkan ke dalam daftar kesibukanmu. Pasti terlalu sederhana untukmu bila harus meladeni pertanyaanku tentang kenapa senja tampak murung. Atau ikut mengamati sampai kapan kesetiaan terang bisa bertahan. Dan, sudah pasti mentraktirku ngopi sambil lesehan di Alun-Alun Sidoarjo (seperti pertama kali kita bertemu) menjadi sesuatu yang amat mahal.

Baiklah, Gani, begini, apakah kau ingat dengan seorang laki-laki yang kau kenalkan padaku ketika terang masih perkasa? Yah, laki-laki seperkasa terang itu! Laki-laki yang meluncur deras dengan langkah seringan angin.

''Tahanlah dia,'' katamu ketika aku hendak menghindar. ''Semoga dia membawa kebaikan untukmu,'' kata-katamu membuatku terharu, Gani. Bukankah kau juga selalu baik padaku?

Maka, ia kutahan seperti menahan tatapannya yang bagai badik membidikku terlalu dalam.

''Namaku Q,'' ujarnya ketika aku bertanya siapa namanya.

Tiba-tiba saja dia membuat dadaku terbelah. Seperti keterbelahan yang kutemukan pada huruf Q. Bukankah Q seperti yin yang? Sebuah keutuhan yang membelah dalam bentuk dan warna. Dua belahan yang berlekuk untuk saling melengkapi lekuk yang lain. Karena dada tidak pernah utuh, bukan? Selalu ada nganga yang harus kita sembunyikan. Dan, kepada belahan yang satulah, kita harus memercayakan nganga itu untuk tertutupi. Lalu, apakah dia adalah belahanku yang satu itu? Aku tidak tahu, Gani. Tetapi, yang kutahu adalah rongga dadaku menjadi begitu longgar. Kerangkanya bergeser dan tak lagi bersekat. Maka, dia begitu mudah menerabas untuk menghuninya.

Gani, bagiku mengenal Q adalah bersentuhan dengan kebahagiaan. Sekali lagi kuulangi, kebahagiaan, Gani! Bukan sekadar kesenangan. Pasti kau tahu bedanya kebahagiaan dan kesenangan, bukan?

Ia seperti Sri Khrisna. Semua yang melekat padanya adalah keindahan. Wajahnya, langkahnya, senyumnya, matanya, kata-katanya, semua merdu dan ayem.

Ia seperti lagu yang tidak perlu nada do re mi fa sol la si do, tetapi mampu meninabobokanku. Ia sehangat cokelat yang kuhirup ketika gerimis tidak terlalu lebat, tetapi sudah cukup membuat tanah basah. Ia secokelat biji-biji kopi yang digerus, tembakau yang dirajang, juga daun-daun kering yang gugur di pengujung kemarau. Daun-daun yang menimpaku sampai mataku berkedip-kedip. Tetapi, aku tidak ingin menghindarinya. Mataku tidak pernah tuntas memandangnya. Karena debar terlalu berkuasa. Sehingga, setiap kali pandanganku selalu jatuh pada dinding, meja, dan lantai. Aku malu bila sampai terjatuh di dalam tatapannya. Di sana aku cuma menjadi penikmat getar yang dihantarkannya. Bisakah kau bayangkan itu, Gani?

Q adalah mimpi yang tidak pernah kumimpikan sebelumnya. Ia selalu memenuhi apa yang kuinginkan. Ia cukup bermantra ''sim sala bim'' maka hanya dalam dua detik, aku sudah menjadi putri dengan kemanjaan yang berkelimpahan. Bila aku ingin dia elang, maka dia elang yang kokoh tetapi cakar-cakarnya tidak mencengkeram. Bila aku ingin dia langit, maka dia langit yang teduh. Bila aku ingin dia tembang, maka dia geguritan yang mengharumkanku dengan ratusan wangi ratus. Bila aku ingin dia kisah, maka dia sediakan canting agar aku bisa menulis helai-helai malam. Maka, bila ini mimpi, aku tidak mau bangun, Gani.

Kami adalah sehati yang mendiami dua dada. Satu hati yang saling mengirim dan menerima getar dari semesta. Aku menyesal pernah mengabaikan getar itu. Bahkan ketika getar menjadi debar yang terasa nyut nyut nyut tetap saja kuanggap sebagai entah yang kupertuankan. Sampai ketika getar itu menjelma menjadi telur semesta yang berbisik dalam desis aneh, ''sssttt... ini aku...'', aku baru memercayainya sebagai tuanku yang bersuara tanpa bunyi. Maka, sekarang dengan setia kuerami rasa itu.

Tetapi, tiba-tiba ada perang yang membuat mimpiku retak!

Dengarlah, perang itu hiruk-pikuk seperti gemuruh Kurusetra. Di mana-mana ada suara yang memekakkan seperti jerit sangkakala. Prajurit-prajurit kecil harus bertempur melawan dengan gajah dan kuda. Hujan lembing dan panah menjadi badai yang menderu-deru. Riuhnya membuat katup-katup jantungku merenggang. Rasa yang kuerami itu tidak aman lagi bersembunyi di sana.

Di sana aku melihat Q seperti Hector, seperti Achilles, seperti Musashi. Dia bertarung tanpa pedang, tanpa samurai. Tetapi harus terus menebas. Lalu, tampaklah dia terkepung segerombolan orang yang berbicara dengan bahasa dari pulau-pulau tersembunyi. Orang-orang dengan bahasa yang tak kumengerti. Bahasa yang menggoreskan sayatan seperti irisan pedang dan samurai. Tidak berdarah, tetapi melukai. Dan kuratapi lukanya seperti tercucur cuka.

Perang itu seperti mata pisau yang membuat puisiku mati kata. Puisiku menderita sekali di sana. Takdir memakunya sehingga tidak bisa bergeser. Ah, tepatnya, puisiku tidak mau menggeserkan diri. Karena pada wajahnya, langkahnya, senyumnya, matanya, kata-katanya, pada Q tertancap sekujur puisi.

''Perang adalah sekumpulan manusia berkartu dua. Durna yang bisa menjelma menjadi Rahwana!'' Begitulah, kuserapahi perang. Aku terbakar kemarahan sendiri.

''Begitu bengiskah kau menilai Durna? Tahukah kau bila Durna seorang resi terkemuka? Durna semulia Bisma. Ia tidak membela Kurawa. Yang dibelanya adalah Hastinapura,'' Q menegurku dengan lemah lembut. Yah, Q selalu bicara dengan nada rendah yang lemah lembut padaku. Ia selalu menegurku dengan rasa. Karena itu pula, aku tidak pernah mampu membantahnya.

Tetapi, aku tidak kenal Kurawa atau Pandawa. Mereka semua petinggi-petinggi yang berebut Hastinapura. Sedangkan, tahta Hastinapura itu bukan apa-apa untukku. Aku cuma mencari Q. Aku cuma ingin Q. Sederhana saja, bukan?

Dan bila berbicara tentang Bisma, bisa saja kumengerti bila hidup dan matinya hanya untuk Hastinapura. Karena ialah sebenarnya pemilik takhta Hastinapura yang bersupata tidak akan jatuh cinta.

Tetapi, bagaimana dengan Durna? Ia resi, ia begawan, ia guru yang begitu dihormati Pandawa dan Kurawa. Ia yang mendidik anak-anak raja itu memanah, berkuda, bergulat, bertombak, bergada, sampai menjadi para satria terkemuka. Suaranya dipatuhi Pandawa dan Kurawa. Kupikir bila ia mencintai Hastinapura, tidak seharusnya ia biarkan Bharatayudha meluluhlantakkan negara yang dibelanya, bukan?

Oh, Gani, dalam mimpiku, kulihat Q adalah Ekalaya. Dia memuja Durna sebagai sang mahaguru. Tetapi, dia tidak bisa berguru padanya karena hanya seorang satria biasa dari kaum pemburu. Dia bukan anak raja. Juga bukan putra dewa. Lalu, bagaimana caranya agar bisa menjadi murid Durna? Maka, ia mengintip ketika Durna mengajar Arjuna. Kemudian, membuat arca Durna yang diakuinya sebagai guru. Sampai Arjuna memergokinya dan menantangnya bertanding panah. Maka, dua busur sama-sama direntang. Dua anak panah sama-sama melesat. Panah Arjuna memang tidak pernah luput dari sasaran. Tetapi, panah Ekalaya membelah panah Arjuna! (bukankah Q memang keterbelahan?)

Durna terkejut. Ia tidak menyangka ada satria lain yang bisa mengalahkan murid kesayangannya, Arjuna. Kemudian, ia menanyakan siapa guru Ekalaya? Dan ia mengatakan bahwa gurunya adalah Resi Durna.

Tahukah kau apa yang terjadi setelah itu, Gani?

Durna meminta Ekalaya melakukan dakshina. ''Bila kau menganggapku guru, maka potonglah ibu jari kananmu,'' pinta Durna pada Ekalaya sebagai bukti bakti dan patuhnya.

Ekalaya pun memotong ibu jari kanannya untuk dipersembahkan kepada gurunya. Walaupun ia tahu bahwa dengan pengorbanannya itu, ia tidak bisa lagi memanah dengan baik. ''Inilah bakti dan patuhku,'' ujarnya tanpa menyesali ibu jari kanannya yang hilang. Maka, tidak ada lagi satria panah yang bisa mengalahkan Arjuna.

Oh, Gani... Apakah seorang guru boleh memenangkan muridnya yang satu dengan menyakiti muridnya yang lain?

Pasti sakit. Tetapi, Ekalaya tidak menangisi panah dan meratapi busurnya. Justru aku yang menangisi dan meratapi Q. Aku menyesali jarinya yang terluka. Sakitnya itu air mataku, Gani!

Aku begitu pilu ketika menyadari ternyata sehati belum tentu berarti sepikiran. Gani, apakah sehati saja sudah cukup kuat untuk mengikat dua perasaan? Jawablah...

Mungkin kau keheranan dan akan bertanya padaku, ''Kenapa kau sekarang begitu cengeng?''

Sudah tentu aku menjadi cengeng ketika debar berubah menjadi ketir-ketir yang setiap saat menalu. Bukankah artinya aku harus mulai mempersiapkan hati untuk menerima rasa sakit dari pikiran yang berselipan? Padahal, bukankah hati kami satu rasa?

Aku ingat, kau selalu mengatakan bahwa aku selalu berbicara dengan hati. Padahal, hati tidak pernah dipakai oleh para samurai. Yang ada pada diri petarung adalah terus bertarung atau terpancung. Yang ada pada diri samurai hanyalah menebas atau ditebas. Yang ada pada Q adalah hari-hari berangin yang tidak tahu apakah langit akan teduh atau badai.

Lalu, apa yang ada padaku?

Aku selalu mengatakan pada Q bahwa yang ada padaku adalah mimpi. Memimpikannya tentu saja. Memimpikannya sebagai pangeran berkuda yang membawaku pergi dari perang itu. Pergi ke surga kecil yang kutemukan tanpa sengaja di pedalaman Bojonegoro.

Di sana ada sendang yang dikelilingi hutan bambu. Ketika angin bernapas, batang-batangnya saling bergesekan dan daun-daunnya saling berciuman. Angin juga menggugurkan sebagian dari mereka ke permukaan sendang. Mereka terapung-apung di sana, berpayung cabang pohon-pohon besar yang diselimuti humus dan lumut.

Lalu, rumah bambu itu tidak berdinding sehingga udara bebas lalu lalang. Sebebas kebahagiaan yang menerobos ke dalam hatiku. Dan lantainya dari besek bambu, atapnya dari daun dan pelepah kering yang dijalin satu dengan yang lain dengan tali tambang. Aku menghirup harum yang luar biasa ketika berada di dalamnya. Harum dari partikel udara yang menguap dari sela-sela daun dan pelepah itu. Aku tidak mau kehilangan kesempatan itu. Diam-diam kucuri harum itu. Kuselipkan ke dalam ingatanku.

''Di sana Eden, di sana Firdaus!'' kukatakan dengan menggebu. Karena tempat yang semula hanya bisa kutemukan di dalam kitab tiba-tiba saja tercipta. Kupikir, di tempat itu kehidupan akan berjalan abadi. Karena tidak ada perang di sana. Dan di sana terlalu indah untuk berkisah tentang Durna dan Rahwana. Sehingga, senja tidak akan pernah murung dan terang akan selalu setia. Tidak seperti neraka kecil yang pernah kujumpai di sebuah gedung tua di Jember. Tempat yang membuatku mengerti bahwa neraka tidak selalu panas api.

Bahkan, di dalam rumah bambu itu kutemukan banyak buku. Bukan buku baru seperti di toko buku. Tetapi, buku-buku yang halamannya sudah menguning dan lusuh. Dan, ketika kubuka, puisi berjatuhan dari lembar-lembarnya, bertebaran di atas lantai. Puisi itu tampak berkilauan seperti permata yang bergelantungan di ujung-ujung atap rumah bambu. Puisi yang selalu membuatku teringat bahwa ia adalah puisi.

Dan, seperti biasa ia tertawa mendengar kata-kataku (ia selalu tertawa padaku, Gani). Katanya, ''Iya, semoga saja aku selalu puisi untukmu. Kita adalah puisi yang sehati dan sepikiran,'' begitulah Q padaku. Ia adalah pengharapan indah yang memberikan kebahagiaan tak berkesudahan.

Maukah kau juga mengamininya, Gani? ***

Saturday, June 29, 2013

05.03.2004

Cerpen Lan Fang

05.03.2004: 06.00 - 09.00 pagi.
Aku bangun dengan jiwa berpengharapan. Matahari pagi menembus kisi-kisi batinku yang remang. Sejenak hatiku terasa ringan ketika merasa seharusnya ada sesuatu yang "manis" untukku hari ini. Semalam, aku memang tidur lebih cepat. Karena aku ingin lebih cepat menyongsong pagi.
Perasaan itu membuatku segera terbang ke kamar mandi. Kucuran air membuatku terasa nyaman. Lalu kubiarkan busa sabun menjilati tubuhku yang telanjang. Membilasnya. Membelitkan handuk di tubuhku. Mengenakan pakaian. Berkaca.
Saat mereguk kopiku yang masih hangat di atas meja, aku tersenyum ketika melihat banyak SMS masuk yang berisi ucapan selamat ulang tahun. Mas Ari, seorang redaktur harian beroplah besar di Surabaya; Vina dan Evy, sekretaris di kantorku; Rudi, sahabat yang tidak pernah berpaling; Janet, adik yang paling sering berselisih paham denganku; Vera seorang gadis muda energik editor sebuah penerbit.
Aku sudah meraih tas, kamera, dan notes kecilku, siap hendak berangkat ke kantor. Meski begitu banyak SMS yang masuk, tetapi aku masih menunggu dari seseorang...

05.03.2004 : 09.00 - 13.00 siang.
Aku keluar rumah menuju terminal kota Joyoboyo dengan menumpang colt bison dari arah Malang. Anganku terbang ke dunia lain. Saat ini aku adalah seorang wanita karier dengan blazer licin bermerek dari sebuah butik mahal di Tunjungan Plaza berwarna terakota, make up made in Japan yang membuat wajahku mulus seakan tanpa pori dan komedo, parfum beraroma laut tropis dengan harga hampir satu juta rupiah untuk sebuah botol kecil saja, dengan note book tipe terbaru, duduk di atas jok empuk Mercedes A 140 yang kecil lincah, dengan hembusan air conditioner yang halus, ditingkahi suara empuk Julio Iglisias yang mengalunkan When I Need You?
Lamunanku pecah ketika tiba-tiba badanku terdorong ke depan dan suara sopir colt bison mengeluarkan sumpah serapah khas Surabaya, "Jancuk! Matamu, cuk! Nyebrang gak ndelok-ndelok (Menyeberang kok tidak melihat-lihat)?!"
Olala! Ternyata aku hanya penulis freelance di sebuah media yang belum menerimaku sebagai pegawai tetapnya dan saat ini sedang berada di jok colt bison tua yang koyak berdebu. Tidak ada air conditioner atau Julio Iglisias. Yang ada hembusan angin kota Surabaya yang terik dan suara serak kernet berteriak-teriak, "Boyo...Boyo...Joyoboyo... kiri... kiri!" Ternyata aku perempuan dengan wajah tanpa bedak, kakiku terbungkus celana strect murahan made in China, dengan atasan sederhana, dari tubuhku menguap aroma keringat yang membasahi tengkuk, leher, dada dan ketiakku, karena harus berlari mengejar berita.
Di Terminal Joyoboyo, aku leluasa melihat para pedagang kaki lima yang berseliweran menjual buah-buahan, permen, tisue, pangsit mie, sampai VCD porno bajakan. Aku mengamati para kernet, sopir, makelar, pengamen sampai pengemis. Mereka beraktivitas dengan ekspresi bebas. Mereka duduk mencakung, merokok, tertawa terbahak menampakkan gigi geligi yang hitam karena kerak nikotin dan bermain kartu. Tidak adakah himpitan kesusahan menekan batin mereka? Ataukah kesusahan sudah begitu akrab menjadi sahabat mereka sehingga tidak perlu lagi untuk ditangisi? Aku berpikir diam-diam.
Sekelompok pengamen datang dan mulai mendendangkan Cucakrawa dengan suara sumbang, ditingkahi suara botol galon air minum mineral dan bunyi uang logam beradu. Kulirik dengan ekor mataku, salah satu di antara mereka adalah seorang gadis dengan wajah cukup manis kalau saja tidak banyak luka-luka parut yang terlihat jelas di lengannya sebelah dalam. Aku sempat memikirkan bekas luka itu karena apa? Karena narkobakah? Bekas berkelahikah? Kenapa gadis semanis dia memiliki luka parut begitu banyak di lengannya? Apakah luka parut di hatinya lebih banyak lagi karena hidupnya begitu pahit?
Pahit?
Rasa pahit itu menyeruak tanpa permisi ke dalam dadaku karena ring tone ponselku yang kutunggu sama sekali belum berbunyi.

05.03.2004 : 13.00-17.00
Ini sudah lewat setengah hari, begitu aku membatin dalam hati dengan perasaan gelisah. Tetapi kenapa yang kuharap dan kutunggu belum juga mengirim salam? Lewat jam makan siang, aku mulai merasa putus asa dengan penantianku. Apakah aku terlalu berharap banyak hanya untuk sebuah ucapan selamat ulang tahun dari seorang laki-laki?
Tengah hari, Surabaya diguyur hujan deras. Kuhabiskan siangku dengan menikmati rasa dingin di dasar hatiku. Aku masih belum berniat kembali ke kantor walaupun dikejar deadline.
Dingin? Ah, tidak!
Kehangatan sontak menyeruak ketika aku teringat laki-laki itu.
Senja bergerimis yang kemudian menjelma menjadi hujan lebat membuat kami duduk rapat di dalam sebuah angkutan kota menuju terminal kota Bekasi ketika aku ditugaskan untuk menulis tentang seorang anak cacat di Kelurahan Karang Satria, Bekasi. Walaupun hanya ada empat orang yang berada di dalam angkutan kota itu, aku enggan untuk jauh darinya. Aku suka menghirup aroma tubuhnya yang memenuhi seluruh aortaku menuju pompa jantung. Aku suka bersandar di bahunya. Selalu saja ada rasa nyaman yang menghangati seluruh katup dan bilik hatiku bila berada di dekatnya. Karena itu, aku selalu merasa ingin menikmati setiap detik yang kulalui bersamanya.
"Datanglah, percayalah, dan bersandarlah padaku. Aku tidak akan membuatmu menderita," begitu ia menawarkan asa di tengah keputusasaan yang tengah melandaku.
Alangkah indah, nyaman, dan menentramkan kata-kata itu. Apakah aku terlalu bodoh, tolol, atau naïf, jika akhirnya tanpa berpikir panjang uluran tangan ini kuterima dengan kata "ya"? Apakah aku dalam kontrol sihir sehingga begitu mudah tersirap hanya dengan sebuah pengharapan yang masih di dalam angan-angan? Aku tidak tahu. Yang aku tahu pasti, laki-laki itu benar-benar seperti alien yang menyedot seluruh energiku sehingga aku tidak mampu berkata "tidak". Juga seperti monster yang menarikku amblas sampai ke perut bumi dan memaksaku hanya bisa mengucap "ya". Aku cuma merasakan adanya perasaan ngeri jika harus melepaskan rasa nyaman yang tengah melingkupi seluruh rasa di batinku.
Rasa nyaman?
Ya... rasa nyaman itu langsung ada ketika ia menawarkan tumpangan di terminal keberangkatan bandara Cengkareng. Ketika itu aku sedang menawarkan naskah ke sebuah penerbit di Jakarta. Aku berangkat hanya dengan modal pengharapan penerbit itu bersedia menerbitkan naskahku. Tetapi ternyata penolakan yang kuterima. Aku panik karena tertinggal pesawat terakhir yang terbang ke Surabaya. Padahal uang di dompetku tinggal lima puluh ribu rupiah sekadar cukup membayar airport tax dan ongkos taksi dari Bandara Juanda Surabaya ke rumah. Aku duduk termenung tanpa harus tahu berbuat apa di belantara Jakarta yang kurasa sangat luas. Dan laki-laki itu datang mengulurkan tangannya.
"Aku Ian," begitu ia memperkenalkan diri dengan hangat dan menawarkan tumpangan di rumahnya serta janji mengantarku kembali ke Cengkareng mengejar pesawat terpagi yang terbang ke Surabaya.
"Aku Metta," rasa nyaman yang hangat itu membiusku.
Apakah aku begitu murahan? Apakah aku begitu ceroboh? Apakah aku begitu tolol? Begitu mudahnya aku percaya dengan seorang laki-laki yang baru pertama kali kukenal. Tetapi aku tidak peduli itu. Yang kurasakan saat itu, betapa lelahnya tubuh dan jiwaku. Jika kemudian, ada yang menawarkan rasa nyaman, hangat, dan keteduhan, aku tidak mau berpikir dua kali untuk menerimanya.
Salahkah aku?
Ya... rasa nyaman itu terus melingkupiku ketika sepanjang malam ia duduk di sampingku untuk mendengarkan cerita tentang hidupku yang tersaruk dan terpuruk. Mungkin ia seperti mendengarkan sebuah dongeng tentang kisah hidup seorang pengarang roman picisan yang tenggelam di dalam keputusasaan yang tidak berujung pangkal ketika harus berkeliling menawarkan naskahnya, ia menjelma bak seorang penjual jamu yang mempromosikan naskahnya sampai mulut berbusa tetapi masih saja menerima penolakan. Akhirnya ia cuma diterima bekerja sebagai penulis freelance yang honornya hanya cukup untuk sekadar melewati hari demi hari tetapi harus berlari berlomba dengan deadline untuk menyerahkan hasil tulisannya, sampai akhirnya, ketika si pengarang jatuh bangun dalam pelukan cinta seorang laki-laki yang salah --laki-laki yang menyesatkan jalan hidupnya, laki-laki yang menggunakan tulisannya sebagai sarana untuk mempopulerkan dirinya sendiri, laki-laki yang kemudian ditinggalkannya ketika ia merasa sudah berada di ujung garis batas pengharapan, sampai... ketika si pengarang bertekat memulai kehidupan barunya dengan kemungkinan terburuk: "berjalan sendiri"! Laki-laki itu duduk tanpa menyela sepatah kata pun.
Kuselesaikan ceritaku dengan air mata yang berurai. Aku merasa menjadi perempuan paling cenggeng dan tolol, karena sudah begitu banyak berbicara dengan seorang laki-laki yang baru pertama kali kutemui. Tetapi sekaligus juga merasa sangat lega! Semua beban yang kusimpan sendiri seakan-akan mendapat tempat berbagi. Segala suntuk tumpah ruah. Aku seakan-akan menjelma menjadi manusia baru yang mempunyai pengharapan kembali. Jiwaku yang mati seakan berarti lagi.
Lalu kami menghabiskan malam itu dengan bercerita sambil telentang tidur di lantai rumahnya yang sederhana. Aku menjadikan kedua lenganku sebagai bantal dan mataku menatap serat-serat kayu yang menjadi langit-langit rumahnya. Di sampingku, laki-laki itu bercerita tentang rasa sepi, rasa sayang, dan rasa asa.
"Istriku pergi. Aku malas mencarinya. Aku butuh kau di sisiku. Aku sayang sekali padamu..."
Aku menoleh setengah tidak percaya, setengah takjub, setengah heran, setengah terpesona, sekaligus setengah muak! Jujur saja, aku sedang dalam keadaan penuh kemuakan menghadapi laki-laki dan cinta. Aku anggap yang kudengar barusan adalah kata-kata gombal. Bukankah seharusnya ia tahu bahwa aku adalah pengarang roman picisan yang suka mengobral kata-kata cinta dan sayang di dalam tulisan-tulisanku? Lagipula ia bukan berbicara dengan perempuan belia yang baru pertama kali jatuh cinta.
"Kau laki-laki kesepian... Kau hanya butuh perempuan untuk ditiduri...," sahutku setengah geli acuh tak acuh.
"Tidak. Aku butuh kamu dalam segalanya. Aku sayang sekali padamu. Aku butuh kau untuk bercinta. Bukan sekadar untuk ditiduri," ia tidak mengindahkan tawa geliku. Ia menjawab dengan nada serius sambil memandangku dalam-dalam.
Aku terperangah ketika rasa nyaman dan hangat menjalari seluruh pori-pori jiwaku. Rasa itu mem-bah! Aku terdiam seperti pengarang kehabisan kata-kata.
Dan akhirnya malam itu kami bercinta di dalam angan-angan sampai aku lena di dalam genggaman tangannya sampai pagi.
Besoknya ia mengantarku sampai di Bandara Cengkareng. Sesaat sebelum turun dari mobilnya, lagi-lagi ia berkata, "Bolehkah aku memeluk dan menciummu?"
Aku terpana. Aku terpesona. Seluruh jiwaku tergetar.
Ia memelukku cukup lama. Mencium pipi, kening dan rambutku. "Ah... kamu wangi. Aku suka wangimu," ujarnya ketika menghirup udara di sela-sela rambutku. Lagi-lagi aku tidak mampu mengucap sepatah kata pun. Mulutku terkunci. Tanpa mampu kucegah, aku memejamkan mata dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Mendadak saja, aku ingin waktu berhenti, ketika untuk kesekian kalinya aku merasakan rasa nyaman itu memenuhi seluruh duniaku. Ajaibkah?
"Jangan pulang ya. Tetaplah di sisiku," kudengar bisikan suaranya seperti desau angin lalu.
My God...!
Apakah rasa lelahku mencari sandaran dan rasa sepinya mencari penghiburan membuat dua jiwa yang kosong saling melengkapi? Dalam batinku, aku bertanya kepada Tuhan, apakah ini anugerah, kecelakaan, halusinasi, ataukah deja-vu? Hatiku berperang sendiri, benarkah perasaan cinta, sayang dan dekat, bisa timbul mendadak begitu cepat pada seseorang yang hanya kita kenal beberapa saat? Apakah ia laki-laki dari masa lalu?
Semua berjalan dalam rotasi yang begitu cepat.
Ketika aku ingin berjalan kaki, ia menemaniku menaburkan kenangan di sepanjang jalan yang kami lewati. Ketika aku tengadah memandang dahan-dahan pohon yang saling meliuk, ia memelukku pula dengan melingkarkan lengannya di bahuku. Ketika aku ingin naik angkutan kota dari terminal ke terminal, ia bersamaku dalam deru debu dan keringat. Ketika aku menghirup aroma tanah basah sehabis hujan, ia taburkan aroma tubuh dalam desah nafas dan geliat birahi.
Hari masih tinggal seperempat lagi. Harapan mendengar suaranya atau sekadar SMS-nya tinggal sebiji sawi. Tetapi aku masih berbesar hati. Lima Maret dua ribu empat, masih belum berganti...

05.03.2004 : 17.00-22.00
Aku masih belum berniat pulang. Aku masih menanti. Aku melangkah gontai menembus gerimis menggigil dingin, membiarkan sepatuku, bajuku, rambutku, tubuhku, wajahku, seluruh pipiku basah. Aku tidak tahu, basahku karena gerimiskah atau karena air mata. Aku ingin menghabiskan waktu menunggu salam selamat ulang tahun. Aku gigit bibirku sendiri dalam rasa senyap yang kian menggigilkan. Tidak sakit. Tetapi ngilu. Rasa ngilu yang bertebaran di sepanjang jalan, membias di tirai gerimis, bergaung di antara gedung-gedung, meninggalkan noktah di bekas jejak kakiku melangkah.
Kuingat tulisan Kahlil Gibran: jika cinta sudah memanggilmu, pasrahlah dan menyerahlah, walau pisau di balik sayapnya akan melukaimu.
Laki-laki itu benar-benar membuat aku pasrah dan menyerah di dalam sayap cinta. Pun, laki-laki itu membuat aku terluka dan berdarah ketika pisau di balik sayap cinta itu menikamku!
"Istriku kembali. Kami tidak bisa bercerai. Kami menikah di gereja," ujarnya setelah kami saling mengenal empat bulan.
"Aku tidak menyuruhmu bercerai. Aku hanya ingin selalu bersamamu," apakah jawabanku terdengar sangat naïf?
"Tidak mungkin."
Aku tersalib kecewa dan luka. Aku merasa seperti Yesus yang didera sakit dari ujung rambut bermahkota duri sampai ke ujung kaki dipalu paku. Kulihat bukan saja kepalaku, tanganku, kakiku, tubuhku berdarah, tetapi hatiku, jantungku, paru-paruku, lidahku, mataku, telingaku, semua mengucurkan darah.....
Surabaya menggelap ketika aku melambaikan tangan mencegat sebuah angkutan kota. Semestinya aku belum berniat pulang, kalau saja tidak merasa khawatir kemalaman dan sudah tidak ada angkutan kota lagi.
Kuraba saku celana strect-ku. Kulihat telepon selularku masih dalam keadaan yang sama. Tidak ada message, tidak ada miscall, tidak ada mailbox...

05.03.2004 : 22.00 - 24.00
Aku berbaring telentang di atas ranjang yang senyap. Di sampingku, telepon selularku masih dalam keadaan on. Akalku menyuruhku lebih baik tidur saja dan melupakan harapan sebiji sawi yang sejak pagi kuletakkan di tempat yang tertinggi. "Lupakan saja... laki-laki itu menipumu...", begitu kata otakku. Tetapi perasaanku mencegahnya dan tetap memelihara asa setipis kulit bawang itu. "Hari ini belum habis...laki-laki itu tidak menipumu... dia memikirkanmu...," begitu kata batinku.
Akal dan perasaanku terus berperang sampai menjelang tengah malam. Tetapi kenyataannya toh perasaan yang selalu menang.
Aku tetap memelihara asa setipis kulit bawang itu!

06.03.2004 : 24.01
Lima Maret dua ribu empat sudah lewat....
Tidak ada apa-apa di telepon selularku. Benda komunikasi canggih abad millennium itu tetap diam tidak bergerak. Aku tidak tahu apakah aku harus tertawa atau menangis untuk ketololanku atau kenaifanku? Aku tidak tahu apakah aku harus membuang biji sawi ataukah menyimpan kulit bawang?
Yang kutahu, ada rasa asin menganak di lekuk pipiku ketika aku menggambar rupanya, menulis namanya, mendengung suaranya di langit luas, di langit kamarku, di langit hatiku...
Kututup mata... bercinta dengan bayang-bayang sepanjang malam!

(Surabaya: 05.04.2004: 08.45 PM: saat ini aku masih kasmaran!)

Festival Topeng


(Cerpen Lan Fang, Jawa Pos 28 Maret 2010)

1. Tidak ada

PERKENALKAN, namaku Prameswari. Kata orang tuaku, arti namaku adalah permaisuri. Karena aku dilahirkan dengan kecantikan seorang putri. Jadi sudah sepantasnya kalau orang tuaku berharap aku memiliki kemewahan hidup seorang permaisuri.

''Nasibmu akan menjadi istri pejabat tinggi yang kaya raya. Paling tidak pangkat suamimu itu adalah kepala desa,'' begitulah ibu berharap aku mendapatkan suami yang kaya, berpangkat, dan mempunyai jabatan tinggi.

Nah, suamiku bernama Drajat Hartono. Kata orang tuanya, arti namanya adalah laki-laki yang berderajat dan berharta. Tetapi ternyata tidak ada hubungannya antara nama dengan nasib manusia. Karena suamiku bukan kepala desa apalagi pejabat tinggi yang kaya raya. Suamiku cuma seorang pembuat topeng.

Suamiku membuat wajah-wajah dari kayu. Ia membentuk kayu-kayu itu menjadi wajah tokoh-tokoh pewayangan. Ada wajah Kresna, manusia setengah dewa, titisan Dewa Wisnu. Ada wajah Bisma, putra Gangga, satria Hastinapura yang tidak bisa mati. Ada wajah Arjuna, salah satu Pandawa yang paling dipuja. Sampai ada pula wajah Durna, guru Hastinapura yang sangat dihormati.

Selain membuat topeng-topeng dengan wajah wayang, suamiku juga menerima pesanan topeng wajah yang disesuaikan dengan kehendak pemesannya. Ada yang memesan topeng wajah dengan mimik sedang tertawa lebar atau sedang tersenyum simpul. Ada juga yang minta dibikinkan topeng berwajah bijaksana dan berwibawa.

Sebetulnya aku kesal dengan pekerjaan suamiku. Karena pekerjaannya ini tidak menghasilkan uang setiap hari. Padahal kami butuh uang untuk makan setiap hari, bukan?

Bayangkanlah, setiap hari suamiku membuat berbagai macam topeng kayu. Ia menyerut kayu sampai permukaannya menjadi halus. Lalu membentuk mata, hidung, mulut dengan telaten sehingga topeng kayu itu benar-benar menyerupai wajah manusia. Tetapi sampai saat ini tidak ada yang membelinya.

Akhirnya, topeng-topeng itu hanya menumpuk di seluruh sudut ruangan rumah. Topeng-topeng itu tumpang tindih satu sama lain. Mata beradu telinga, telinga beradu hidung, hidung beradu mulut, mulut beradu mata. Kadang-kadang aku melihat mereka saling diam. Tetapi aku lebih sering melihat mereka bertengkar dan saling menggigit satu sama lain karena berebut tempat yang lebih leluasa.

''Minggir! Ini tempatku!''

''Tidak. Kau saja yang ke pinggir.''

''Rupanya kau mau kutendang, ya?''

Begitulah, aku kerap mendengar keributan mereka. Bukan itu saja. Mereka juga saling menyikut dan menendang sehingga tumpukan topeng-topeng itu selalu bergerak. Kadang-kadang hendak rubuh tetapi kemudian mereka segera berkelompok untuk saling bergandengan. Misalnya, para topeng Durna berkelompok dengan sesama topeng Durna. Dan para topeng Arjuna menyatukan diri dengan para topeng Arjuna lainnya. Atau kelompok topeng berwajah bijak berkumpul bersama-sama. Sedangkan topeng-topeng yang tersenyum simpul pun mengelompokkan diri mereka sendiri.

''Kangmas, mungkin topeng-topeng itu hendak menyerang kita. Sepertinya mereka sedang merencanakan suatu konspirasi besar-besaran," kataku gelisah.

''Tidak apa-apa. Mereka hanya menginginkan etalase, sebuah tempat terhormat untuk memajang wajah mereka,'' sahut suamiku tanpa mempedulikan kegelisahanku. ''Tetapi kita tidak perlu membeli etalase. Karena pada waktunya nanti, topeng-topeng itu akan habis terjual semua. Dan topeng-topeng itu akan menyiapkan etalase untuk diri mereka sendiri," sahut suamiku.

Begitulah, setiap kali setelah menyelesaikan sebuah topeng suamiku menumpuknya lalu ia terus membuat topeng yang berikutnya. Kian hari, topeng-topeng pun semakin menggunung. Sehingga aku semakin terganggu karena suara dan pandangan mereka terasa mengikutiku. Tetapi mungkin aku keliru. Karena yang sebenarnya terjadi justru aku yang selalu memperhatikan gerakan dan mendengarkan suara mereka.

Pada suatu ketika, aku menemukan ada sesuatu yang tidak biasa. Yaitu, ternyata ada sebuah topeng yang hanya dibuat sebuah saja oleh suamiku. Dan topeng itu tidak dilemparkannya ke gundukan topeng-topeng itu. Melainkan, ia meletakkan topeng yang hanya satu-satunya itu di samping tempat tidur kami.

''Topeng apa ini?'' tanyaku.

''Ekalaya.''

''Kenapa tidak ditumpuk bersama topeng-topeng yang lain?''

''Jangan. Biarkan saja dia di situ,'' cegah suamiku ketika aku hendak melemparkan topeng Ekalaya keluar kamar.

Kupikir, suamiku semakin keterlaluan saja. Rumah kami yang kecil sudah dipenuhi tumpukan topeng. Mereka sudah menyita banyak tempat dengan bergerombol di ruang tamu, di meja makan, di dapur, sampai di kamar mandi. Satu-satunya tempat tanpa topeng adalah kamar tidur. Hanya di tempat inilah aku tidak dihantui pandangan dan bisik-bisik para topeng itu. Di kamar, aku bebas bermanja-manja pada suamiku tanpa kuatir ada topeng yang mengintip dan menguping kegiatan bercinta kami.

''Ayo, ceritakan dongeng pengantar tidur, Kangmas,'' aku memintanya meninabobokanku dengan dongeng.

''Dongeng kancil dan buaya?'' tanyanya.

''Tidak. Kemarin sudah dongeng itu. Aku bosan.''

''Lalu Yayi mau dongeng apa?''

Mataku menangkap seekor cicak lari terbirit-birit di tembok. ''Ceritakan dongeng cicak dan buaya saja,'' sahutku sambil memeluknya.

Suamiku tertawa, ''Yayi...Yayi...buat apa cerita indah yang terlalu licin itu? Lebih baik kuceritakan tentang Ekalaya saja ya?''

Aku setuju karena aku pun ingin tahu kenapa ia sampai meletakkan topeng Ekalaya itu di pinggir tempat tidur. Padahal, setahuku, Ekalaya sama sekali bukan tokoh wayang yang terkenal. Bahkan namanya hampir tidak pernah terdengar.

''Itu karena orang-orang tidak mengetahui ada cerita yang tak terkisahkan...,'' kata suamiku. Lalu ia menempelkan bibirnya ke telingaku. Terpaan napasnya terasa halus. Suamiku meneruskan ceritanya dengan suara lirih. Seakan-akan kuatir terdengar oleh yang lain. Rupanya ia mengerti bahwa topeng-topeng yang memenuhi rumah pasti sedang menelinga.

Tiba-tiba kulihat cicak yang terbirit-birit tadi menghentikan larinya lalu menatap kami dengan mata berkedip-kedip. Sepertinya ia juga ketularan penyakit menguping para topeng. Diam-diam kupuji, cicak kecil itu rupanya bernyali juga. Bagaimana kalau sekarang dia kutembak dengan ketapel karet? Pasti dia akan terpelanting dari tembok, jatuh ke lantai, lalu....bisa saja kepalanya kuinjak dan...

Perhatianku dari cicak di tembok itu teralihkan ketika mendengar suamiku mengisahkan nasib Ekalaya dengan suara yang begitu pilu.

''Ekalaya rela memotong ibu jari kanannya sebagai bukti baktinya kepada Durna. Walaupun dengan demikian maka Ekalaya tidak bisa menjadi pemanah ulung lagi. Padahal diam-diam Durna memberikan ibu jari itu kepada Arjuna,'' tiba-tiba mataku bagaikan terhalang embun dan kabut.

''Jadi ibu jari kanan Arjuna ada dua. Dan Arjuna selalu menyembunyikan cacatnya itu karena malu. Tetapi tidak ada yang tahu kalau Arjuna sebenarnya berjari sebelas...''

''Betapa jahatnya Durna. Ia bermain dua kartu. Ia tidak layak menjadi guru!'' aku berteriak dengan penuh kemarahan.

''Sssttt...cerita ini hanya untukmu, Yayi...'' Suamiku membungkam kemarahanku dengan sebuah ciuman.

Ciumannya membuat kemarahanku mencair. Dan betapa bodohnya Ekalaya..., kemarahanku lalu mencair menjadi tetes yang tergelincir di ujung mata.

''Sudahlah, Yayi... Dalam perang memang harus ada yang dikorbankan untuk sebuah kemenangan,'' aku tahu suamiku bermaksud menghiburku. Tetapi suaranya getir sekali.

Topeng Ekalaya melihat suamiku menciumi air mataku.

***

2. Mengada.

Kemudian sampailah kami pada suatu waktu yang terasa aneh. Mendadak saja, setiap hari rumah kami didatangi para pembeli topeng. Mereka datang dengan mobil yang mengkilap dan mengenakan baju safari, jas atau batik sutra yang selalu necis dan licin. Ada yang rambutnya klimis seakan-akan sebotol minyak rambut ditumpahkan di sana. Ada yang bergaya flamboyan dengan kumisnya.

''Siapakah mereka?'' tanyaku keheranan.

''Mereka semua kupanggil Pakde Wan. Merekalah yang memesan topeng-topeng itu.''

''Tampaknya mereka adalah orang-orang kaya. Mereka membayar topeng tanpa menawar. Dan mereka gembira ketika mendapatkan topeng yang sesuai dengan keinginan mereka. Sebenarnya apa pekerjaan mereka?'' tanyaku penasaran.

Lalu suamiku menjelaskan bahwa para Pakde Wan itu sedang mempersiapkan diri menyongsong Festival Topeng Nasional. Mereka sudah menyediakan etalase yang dihias seindah mungkin dengan bermacam-macam warna. Lalu mereka akan berjejer beramai-ramai dengan memakai topeng-topeng yang dibeli dari suamiku seperti layaknya kemeriahan sebuah parade. Untuk itu, mereka tidak segan-segan mengeluarkan uang berapa banyak pun. Karena ini adalah sebuah festival yang akan mengantarkan mereka sampai pada gerbang megah sebuah singgasana.

''Singgasana? Aku ingin singgasana itu. Jadikan aku seorang permaisuri," tukasku.

''Yayi...Yayi...,'' gumam suamiku ini jelas tidak memuaskanku.

Maka, mulailah setiap hari aku mengomel dari pagi sampai pagi lagi. ''Kau yang membuat topeng tetapi orang lain yang kaya. Kenapa tidak kau kenakan sendiri saja topeng itu sehingga bisa kaya seperti para Pakde Wan itu?'' aku merasa suamiku tampak semakin bodoh saja.

Bagaimana suamiku tidak bodoh kalau ia tidak menaikkan harga jual topeng-topeng itu? Padahal topeng-topeng dengan wajah yang tersenyum dan tertawa itu sangat dicari pembeli. Terlebih lagi topeng wajah Arjuna laris seperti pisang goreng saja. Hampir rata-rata semua Pakde Wan yang datang ingin membeli topeng wajah Arjuna. Menurut mereka Arjuna adalah satria sakti yang berwajah mempesona. Sehingga Arjuna bisa memikat siapa saja.

Bukankah seharusnya suamiku bisa menjual topeng wajah Arjuna itu dengan harga seratus kali lipat. Karena para Pakde Wan itu tampak seperti orang-orang kalap yang tergila-gila memakai wajah Arjuna. Tetapi suamiku tetap menjual topeng-topeng itu dengan harga yang hanya cukup dipakai untuk membeli dua kilo beras. Bodohnya lagi, suamiku juga tidak menolak ketika para Pakde Wan itu menukar topeng dengan baju kaos yang berwarna, berangka dan ada gambar topeng yang dibelinya. Sampai akhirnya rumah kami berubah seperti tempat penimbunan kaos.

Akhirnya omelanku pun menjadi-jadi. ''Kita butuh hidup yang lebih layak! Bukan butuh kaos!''

Tetapi suamiku tetap tenang-tenang saja. Ia justru lebih suka membersihkan topeng wajah Ekalaya daripada mendengarkan omelanku.

Aku semakin panik ketika perayaan Festival Topeng semakin dekat. Kemeriahan umbul-umbul parade sudah terlihat di mana-mana. Begitu juga topeng-topeng sudah dipajang di etalase-etalase. Di rumahku sudah tidak ada persediaan topeng lagi. Yang ada hanyalah topeng wajah Ekalaya itu. Itu satu-satunya topeng yang tidak dijualnya. Tepatnya, topeng wajah Ekalaya adalah satu-satunya topeng yang tidak pernah diminati para pembeli.

''Buatlah sebuah topeng lagi. Dan ikutlah menjadi peserta Festival Topeng. Apa gunanya namamu Drajat Hartono kalau ternyata kau tidak berharta dan tidak punya jabatan,'' aku masih meneruskan omelanku dengan kesal karena melihatnya begitu memanjakan topeng Ekalaya yang menurutku bodoh itu. Aku tidak mau kebodohan Ekalaya yang rela memotong ibu jari kanannya sendiri itu menular kepada suamiku.

''Aku harus membuat topeng apa, Yayi?''

Aku terlonjak saking gembiranya. Akhirnya suamiku bergeming juga.

''Buatlah topeng wajah Rahwana. Jika para Pakde Wan itu harus memiliki banyak topeng untuk mengubah-ubah wajahnya tetapi kau cukup memiliki sebuah topeng saja. Sebuah topeng tetapi sudah berdasamuka, bersepuluh wajah. Dan setelah itu kau adalah Drajat Hartono yang sebenarnya, laki-laki berharta dan mempunyai jabatan yang tinggi,'' sahutku menggebu-ngebu dengan penuh semangat.

Aku gembira sekali ketika suamiku mulai menyerut sepotong kayu lagi. Kali ini ia membuat topeng yang lebih besar dari sebelumnya. Wajah di topeng ini lebih banyak daripada jumlah delapan penjuru mata angin. Ada wajah dengan mata melotot sebesar meteor, ada yang bermulut besar sampai bisa menelan gunung dan mengisap lautan, ada juga wajah dengan hiasan taring seperti Pangeran Drakula, dan bermacam-macam bentuk yang lain. Pokoknya, inilah topeng suamiku yang paling hebat. Setelah selesai, suamiku langsung mengenakan topeng Rahwana itu. Sehingga aku yakin takdirku menjadi permaisuri akan segera tiba.

Topeng Ekalaya berairmata ketika topeng Rahwana menciumiku.

***

3. Tidak ada

Akhirnya dengan seluruh gegap gempita, Festival Topeng berakhir juga. Dan seperti yang sudah bisa kuduga sebelumnya, suamiku berhasil mendapatkan singgasana yang kuidam-idamkan. Sejak itu orang-orang memanggil suamiku bukan Drajat Hartono, tukang topeng lagi. Tetapi dipanggil Pakde Wan Drajat Hartono. Dan sudah jelas namaku juga berubah. Bukan lagi prameswari, istri tukang topeng. Sekarang aku dipanggil Prameswari Pakde Wan Drajat Hartono. Dan hidupku benar-benar bergelimang kemewahan seorang permaisuri.

Aku bangga sekali dengan suamiku. Sekarang ke mana pun ia pergi selalu dihormati banyak orang. Bila ia duduk, selalu diberi kursi di depan dan diberi pelayanan kelas satu. Setiap kali ia berbicara pasti banyak orang memberikan tepuk tangan. Dan ia tinggal menunjuk-nunjuk saja maka ada orang lain yang akan menyelesaikan apa yang ditunjuknya.

Tetapi sekarang mulai ada yang terasa menggelisahkanku. Kian hari aku semakin tidak mengenal suamiku sendiri. Aku mulai merindukan suamiku yang sederhana berwajah bersih dengan keningnya yang berseri. Suamiku, yang setiap malam mengakhiri dongengnya tentang kejujuran, pengabdian, dan kesetiaan dengan mesra ''Yayi...Yayi..., kita sambung besok lagi, ya...''

Itu semua sudah tidak pernah kutemukan lagi pada suamiku. Karena setiap saat yang kulihat adalah sepuluh wajah Rahwana. Wajah yang menyeramkan itu hadir baik ketika suamiku sedang berbicara, makan, berjalan-jalan, tidur atau pada saat bercinta sekali pun. Bahkan setiap malam yang kudengar adalah dengkur raksasa kekenyangan. Celakanya, suamiku tidak berniat untuk menanggalkan topeng Rahwana itu.

Aku mulai berpikir keras bagaimana caranya agar bisa melepas topeng Rahwana dari wajah suamiku. Maka kusiapkan obeng, lingis, palu, kapak, pisau, dan segala peralatan pertukangan yang biasa dipergunakan suamiku bekerja. Lalu kutunggu sampai sepuluh wajah itu mendengkur seperti gemuruh gunung yang hendak meletus. Saat itulah kuayunkan palu dengan seluruh kekuatan untuk menghancurkan wajah-wajah buruk itu.

''Kraaakkkk!'' kupecahkan satu per satu wajah-wajah kayu itu sampai terbelah dengan bunyi berderak.

''Yayiiiii...!'' suamiku meraung sambil mendekap kesepuluh wajahnya yang telah bergelimpangan di lantai.

Ketika itulah aku melihat lagi wajah suamiku yang tanpa topeng. Wajahnya sudah menghitam seperti terkena radiasi kemoterapi penyakit kanker. Bentuk wajahnya juga sudah tidak karuan. Pipinya penuh dengan borok bergelembung, hidungnya melengkung seperti tukang sihir, matanya tanpa kelopak, bibirnya melebar sampai ke pipi dengan lidah yang terjulur.

''Tidak. Tidak. Kau bukan Drajat Hartono, suamiku...,'' aku menangis kecewa melihat wajah asli suamiku berubah serupa dengan topeng Rahwana.

''Yayi...Yayi...,'' mahluk itu menangis mendekap wajahnya sendiri. ''Ini aku...Kangmas-mu...'' Dari sela-sela jarinya, kulihat air matanya mengalir. Air mata yang berwarna abu-abu.

Aku semakin tersakiti karena mengenali suara yang sangat kurindukan. Aku menginginkan suamiku kembali, Drajat Hartono --si tukang topeng yang sederhana tetapi berhati legawa. Walaupun ia tanpa harta dan tanpa jabatan apa-apa tetapi selalu jujur, setia, dan berbudi mulia.

Topeng Ekalaya melihat aku menciumi air mata suamiku. ***

Sumber: http://lakonhidup.wordpress.com/2010/03/28/festival-topeng/

Dua Perempuan


(Cerpen Lan Fang, Suara Merdeka, 11 Desember 2006)
Kamar A5
AKU melihat perempuan muda itu masuk sendirian ke kamar sebelah. Ia cantik berumur tiga puluh lima tahunan. Ketika melintasiku, ia cuma tersenyum tipis, hanya senyum basa basi. Karena kulihat ada mendung di wajah cantiknya. Sepanjang sore aku duduk di depan kamarku, tetapi ia tidak kelihatan keluar dari kamarnya lagi. Sampai malam.
Kamar A6
Perempuan muda di kamar sebelah itu tersenyum ramah ketika aku hendak masuk ke kamarku. Kurasa ia hendak mengajakku ngobrol. Tetapi aku sedang tidak berniat ngobrol. Perempuan di kamar sebelah itu muda, segar, dan cantik. Aku sempat mengintip sedikit dari tirai jendela yang kusibakkan, kulihat ia tertawa ceria dengan seorang laki-laki separuh baya. Sampai malam.
Kamar A5
Akhirnya perempuan di kamar sebelah itu mengajakku ngobrol. Sepanjang pagi sampai siang, ia mondar mandir keluar masuk kamar dengan gelisah seperti sedang menanti seseorang. Ia bahkan tidak memesan makanan.
Wajahnya keruh, muram, juga marah, dan sedih. Sebenarnya aku ingin tahu kenapa. Tetapi ia tidak memberiku kesempatan bertegur sapa. Padahal hampir semua penghuni rumah penginapan ini sudah kukenal.
"Hamil ya? Berapa bulan?" mendadak ia bertanya ketika sekeping sore jatuh dari kaki langit. Ia duduk di teras depan kamarnya sendiri. Kelihatan sekali, pertanyaannya itu hanya basa-basi daripada duduk melongo sendiri.
"Tujuh bulan," aku senang ia menyapaku walau pun sekadarnya.
"Anak pertama ya?" ia bertanya lagi.
"Untukku anak pertama. Tetapi untuk bapak, ini anaknya yang keempat."
"Maaf, bagaimana maksudmu?" ia tidak kelihatan ngobrol sekadar lagi.
"Ini kehamilan pertama untukku. Tetapi bapak -maksudku suamiku- sudah memiliki tiga anak dari Teteh, istri terdahulu."
"Ooo..." ia tidak meneruskan percakapan.
Kamar A6
Akhirnya aku mengajak perempuan di kamar sebelah itu ngobrol. Sepanjang pagi sampai siang aku sudah menunggu. Sampai capai, bosan, kesal, marah dan sedih. Aku sampai tidak mempunyai selera makan sama sekali.
Tadi aku berpikir hendak sarapan bersamanya. Tetapi ia tidak datang-datang juga. Katanya, sibuk, sibuk dan sibuk. Entah pekerjaan apa yang membuatnya begitu sibuk sampai sulit sekali untuk menemuiku. Padahal aku datang dari Surabaya ke Jakarta khusus menemuinya. Tapi aku tahu, ia pasti disibukkan oleh istrinya.
"Kami dari Cilegon," begitu kata perempuan muda di kamar sebelah, ketika sekadar iseng aku menanyakan mereka dari mana. "Bapak hendak membeli rumah di sini. Kami sedang melihat-lihat kompleks perumahan di sekitar sini."
Perempuan muda itu memanggil laki-laki yang diakui sebagai suami tersebut dengan panggilan "Bapak". Laki-laki itu memang sudah kelihatan seperti bapak-bapak. Kepalanya plontos dengan kacamata botol dan perut sedikit membuncit. Ia memang lebih pantas menjadi bapak perempuan muda itu.
"Selisih usia kami memang jauh. Bapak sudah lima puluh lima tahun dan usiaku dua puluh lima tahun," perempuan itu menjelaskan dengan nada tanpa beban. "Tetapi enak kok, Mbak, kalau punya suami yang usianya lebih tua. Bisa ngemong dan lebih pengertian," sambung dia santai.
"Bapak juga sangat adil dalam membagi waktu, perhatian, dan keuangan kepadaku dan Teteh. Bahkan belakangan ini, Bapak selalu memberiku sedikit lebih banyak karena aku sedang hamil. Adil kan bukan sekadar harus sama rata, Mbak...tetapi sesuai dengan pemenuhan kebutuhan."
Ooooo..., aku jadi malas untuk meneruskan percakapan.
Kamar A5
Kuceritakan kepada Bapak mengenai pembicaraanku dengan perempuan di kamar sebelah. Kukatakan bahwa aku adalah perempuan yang paling berbahagia ketika dikawini Bapak. Walau pun pada saat mengenal Bapak, aku sudah mempunyai pacar yang seusia denganku. Tetapi entah kenapa aku memutuskan untuk menerima Bapak, walau aku tahu bahwa Bapak telah beristri dan mempunyai tiga anak yang usianya hanya terpaut beberapa tahun di bawahku.
Ketika mengenal Bapak, aku bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan kontraktor. Dan Bapak sebagai patner usaha dari perusahaan di tempatku bekerja. Aku langsung saja mengiyakan lamaran Bapak walau pun kedua orang tuaku keberatan karena selisih usia kami terpaut jauh dan kedudukanku sebagai istri kedua.
Kamar A6
Aku sudah tinggal di sini dua hari. Dan rasanya aku hampir meledak. Ia sama sekali tidak mengunjungiku. Kami hanya saling menelepon atau bertemu di plaza terdekat, lalu ia terbirit-birit begitu ada dering telepon dari istrinya. Ia begitu ketakutan dengan istrinya. Aku marah tetapi tidak punya hak untuk marah. Aku sedih dan meratapi ketololanku di kamar yang melompong.
Aku tidak tahan. Aku ingin cerita kepada perempuan di kamar sebelah tentang kemalanganku. Aku mengenal lelakiku sudah tiga tahun lebih. Aku menyayanginya lebih dari menyayangi diriku sendiri. Kalau ditanya kenapa aku menyayanginya sampai seperti itu, aku juga tidak tahu apa alasannya.
Bahkan kalau mau jujur, lelakiku justru memiliki banyak kekurangan. Ia tidak kaya, tidak ganteng, tidak kekar, tidak lulusan luar negeri, tidak mempunyai deposito, tidak punya sikap tegas, dan banyak "tidak" "tidak" "tidak" yang lain. Juga membuatku tidak tega meninggalkannya.
Tetapi aku malu cerita kepada perempuan di kamar sebelah itu. Apa yang bisa kuceritakan kepadanya karena lelakiku hanya memiliki kata "tidak" yang lengkap. Adapun Bapak -suaminya itu- memiliki semua kata "ya" yang genap.
Laki-laki tua separo baya itu bukan saja memiliki kekayaan, memberinya uang dan akan membelikannya rumah, tetapi juga jelas-jelas mencintainya.
Kerap kudengar suara mereka tertawa di teras kamar. Mereka bercerita dan saling berbicara dengan nada lemah lembut. Kalau pun lelaki itu berada di rumah istri tua nya, lelaki itu tidak segan menerima teleponnya. Lalu lelaki itu segera terbang ke pelukannya.
Bagaimana dengan lelakiku?
Aku bukan perempuan mata duitan yang menuntut kekayaan darinya. Tetapi jangankan memberiku uang, memberiku sekilas ciuman saja susahnya minta ampun. Ia mau bermain api tetapi tidak mau terbakar. Ia suka bermain air tetapi tidak mau basah. Ia melarangku SMS bahkan jeritan teleponku ratusan kali pun tidak diterima bila ada istrinya. Ia selalu kalah dengan teriakan dan bantingan pintu istrinya. Lalu ia seperti balita kebelet ngompol, lari terbirit-birit meninggalkanku bila istrinya sudah memekik di telepon seluler. Dan terus menerus berjalan begitu. Siapa yang tahan?
Sampai saat ini ia tega membiarkan aku terkapar terbakar kerinduan di kamar ini. Aku bukan sekadar gemetar inginkan napasnya menyentuh kulitku.
Lebih dari itu. Aku ingin ia mengerti bahwa napasku untuk hidupnya. Aku ingin waktu berhenti ketika aku bersamanya. Karena semua yang ada pada diriku untuknya. Akhirnya aku hanya bisa menceritakan kemalanganku sambil tersedu sepanjang malam kepada tembok.
Kamar A5
Perempuan di kamar sebelah itu benar-benar misterius. Dua malam ini tidur kami terganggu karena semalaman entah berapa kali kudengar bunyi pintunya terbuka dan tertutup. Ia keluar masuk kamar hanya sekadar mondar-mandir lalu duduk di teras kamar. Apakah ia tidak tidur? Atau ia tidak bisa tidur? Dan besoknya kulihat matanya sembab dengan pelupuk mata bengkak. Ia menangis. Pasti! Tetapi apa yang ia tangisi?
Kamar A6
Perempuan muda yang sedang hamil itu benar-benar mengagumkan. Bagaimana tidak mengagumkan? Keberadaan perempuan kedua di dalam sebuah rumah tangga akan selalu dihujat masyarakat sebagai perempuan yang memalukan. Tetapi ia kelihatan begitu tenang, berbahagia dan menikmati keberadaannya. Sementara aku kelincutan seperti ikan kehabisan air. Tidak tahu harus bagaimana
"Aku tidak bingung dengan statusku. Kalau suatu saat harus mundur, aku tidak keberatan untuk mundur. Asal bapak bertanggung jawab atas anak yang kulahirkan. Karena aku masih muda. Aku masih bisa kawin lagi," ia bercerita sangat ringan.
"Apakah kamu tidak memiliki perasaan cemburu dan ingin memiliki?" tanyaku.
"Perasaan itu kadang-kadang ada. Tetapi buat apa? Bapak mencukupiku semuanya. Aku tidak pernah kekurangan apa pun."
Aku terperangah mendengar jawabannya. Tetapi permasalahanku bukan karena lelakiku tidak seperti lelakinya yang serba mencukupinya dari kepala sampai ke kaki. Juga bukan masalah apakah aku bisa mencari laki-laki lain atau tidak.
Masalahnya, aku bisa mati kalau hidup tanpa laki-laki itu!
Kamar A5
Aku bisa tertawa kalau ada yang bilang cinta bisa bikin orang mati merana. Yang benar adalah orang bisa mati kalau tidak punya uang.
Karena itulah, aku memutuskan untuk menerima lamaran Bapak dan memutuskan pacarku yang kerjanya saja masih tanda tanya. Walau pun ia lebih pantas jadi bapakku daripada menjadi suamiku, tetapi yang jelas hidupnya sudah mapan. Daripada pacarku yang baru saja menyelesaikan kuliahnya. Kapan aku bisa menikmati libur ke luar negeri, mobil mahal dan rumah mewah? Aku tidak mengurangi jatah istrinya. Karena milik Bapak sudah berlimpah ruah. Aku hanya mengambil kelebihannya sedikit. Kurasa aku tidak salah.
Tetapi kalau orang mencibirku sebagai perempuan pengeretan, aku bisa marah. Karena aku tidak seperti itu. Bukankah sekarang aku sedang mengandung anak Bapak? Aku akan memberikan seorang bayi kepada laki-laki tua itu. Kalau pun aku tidak menjadi istrinya lagi, tetapi anakku tetap akan menjadi anaknya.?
Kamar A6
Aku ingin sekali memberikan anak kepada lelakiku. Karena anak adalah bagian yang hidup dariku dan darinya. Anak akan membuat cinta tidak pernah berakhir. Anak membuat aku memilikinya utuh penuh. Aku tidak perduli jika itu dikatakan salah. Karena tidak ada yang salah di mata cinta.
Kamar A5
Aku tidak tahu apa yang salah dengan perempuan di kamar sebelah. Karena sudah seharian ini ia tidak kelihatan. Semalam juga tidak terdengar pintu kamarnya terbuka dan tertutup seperti malam-malam sebelumnya atau langkah sandalnya yang terseret-seret di teras depan.
"Aku menunggu seseorang," itu katanya ketika kami bertemu kemarin.
"Sudah ketemu?" tanyaku.
Ia mengangkat bahu. "Sebetulnya sudah. Tetapi tidak bisa bicara."
"Kenapa?"
"Karena dia selalu sibuk," sahutnya seakan asal menjawab.
"Seandainya kamu bisa bicara dengannya apakah kamu mau bercerita?"
"Maaf, bagaimana maksudmu?" aku meniru pertanyaannya ketika
awal percakapan kami.
"Ceritalah tentang aku."
"Oooo...," aku tidak tahu bagaimana harus meneruskan percakapan.
Kamar A6
Tidak salah kalau aku capai menunggu lelakiku datang. Aku sudah
di sini tiga hari dan dia tetap tidak punya waktu. Padahal sudah bermalam-malam aku menyisir sepi sampai tepian pagi. Maka tubuhku yang penat kubaringkan di tempat tidur dengan perasaan enteng. Di sisi bantal, kuletakkan amplop dari dokter kandungan yang menyatakan aku positif hamil.
Aku harus istirahat. Kulihat ada lingkaran hitam di mataku karena terlalu banyak menangis dan tidak tidur. Tetapi aku takut, kalau sewaktu-waktu dia datang menemuiku, padahal aku masih lelap. Karena buatku, waktu bersamanya sangat berarti. Aku tidak ingin kehilangan sedetik pun.
Kamar A5
Ada seorang laki-laki yang mencari perempuan di kamar sebelah.
Ia mengetuk-ngetuk pintu kamar sebelah tetapi tidak ada yang membuka.
"Ketuk saja, mungkin sedang di kamar mandi," kataku sok tahu.
Laki-laki itu mengetuk pintu agak keras.
Tidak ada sahutan.
"Apakah ia keluar?" laki-laki itu bertanya kepadaku.
Aku menggeleng dengan yakin. "Dari semalam ia tidak ke mana-mana.
Ia menunggu seorang laki-laki."
Ketukan di pintu semakin keras.
"Apakah kamu yang ditunggunya?" aku bertanya lagi.
Laki-laki itu diam.
Pintu itu bukan diketuk lagi. Tetapi digedor. Lalu dibuka paksa dengan kunci serep milik penjaga wisma.
Bau tidak sedap menghambur keluar.
Perempuan itu tidur nyenyak di atas tempat tidur.
Laki-laki itu terhenyak.
Tetapi telpon selulernya menyalak nyaring. Suara seorang perempuan terdengar menggelegar di ujung sana "di manaaaaa? Cepat pulangggggg!!!"
Laki-laki itu langsung membalikkan badan.
"Hei, ada pesan untukmu...," panggilku.
"Aku sibuk...," ia pergi seakan terkencing-kencing.
Bahkan laki-laki itu tidak sempat membaca amplop di sisi bantal perempuan itu.
Surabaya, 15.07.2006, 01.58 WIB