Friday, December 3, 2010

Yu…k, Menulis Fiksi! )*

Bersiaplah Menjadi Artis!
“Ada tiga cara untuk menjadi penulis: menulis, menulis, dan menulis”
Ungkapan di atas mungkin sudah terlalau klise. Tapi, benar sekali ungkapan sastrawan gaek Kuntowijoyo itu bahwa untuk menjadi seorang penulis hanyalah menulis. Menulis adalah penyambung umur. Jika kita mati, tulisan akan membuktikan diri kalau kita ada. “Aku menulis, maka aku ada,” begitulah ungkapan (alm) Gus Zainal Arifin Thoha, pengasuh pesantren mahasiswa kutub, Yogyakarta.

Kiranya kurang berimbang jika saya nggak mengutip dari cendikiawan muslim sendiri mengenai menulis. Baiklah, kata Imam Al-Ghazali “Jika kau bukan anak seorang raja, maka menulislah”. ungkapan Imam Al-Ghazali itu memberi indikasi bahwa menulis bisa menjadi artis. Nah, mulai sekarang, budayakan menulis, agar kita menjadi ARTIZ…!!!

Sebenarnya apa sih yang dikatakan fiksi itu? Dalam karya sastra, fiksi juga disebut karya rekaan. Sebagai cerita rekaan, fiksi merupakan kisahan yang mempunyai tokoh, lakuan, dan alur yang dihasilkan oleh daya khayal atau imajinasi pengarang. Biasanya yang termasuk dalam ragam fiksi adalah roman, novel, dan cerita pendek (cerpen). Fiksi dikaitkan dengan cerita yang mengada-ada, rekayasa, sampai pada absurditas. Benarkah demikian? Bagaimana dengan catatan harian yang anda tulis, apakah juga termasuk fiksi? Jangan terjebak pada kosa kata. Bereksperimenlah! Intinya menulis pengalaman ( panca indera) dengan bercerita.

Modal Awal Menuju Kesuksesan
Sulit nggak ya, jadi penulis? Benarkah menulis itu sulit? Memang tidak ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan ini. Dan pertanyaan ini juga terus menerus ditanyakan orang dari generasi ke generasi.

Secara umum, sulit atau mudahnya sesuatu tergantung banyak hal, antara lain, niat, kemauan, serta anggapan dan keyakinan yang ada dalam pikiran kita. Jika niat dan kemauannya kuat, maka usaha untuk mencapainya juga akan lebih giat, sehingga proses pencapaiannya akan terasa lebih mudah.

Sebaliknya, jika kita menganggap sesuatu itu sulit, maka kesulitan pulalah yang akan kita hadapi. Lain halnya jika kita menganggap sesuatu itu mudah (ingat: menganggap mudah tidak sama dengan menganggap enteng), maka biasanya segala sesuatunya akan terasa lebih mudah. Berikut beberapa kiat menulis fiksi:

1. Mantapkan niat; Jangan takut jatuh!
“Jangan silau pada prestasi, silaulah pada proses!”
Ingat euy, segala perbuatan harus disertai niat, termasuk ketika menulis. Inilah software yang harus ditata terlebih dahulu sebelum berkutat dengan segala detil teknis penulisan seperti ide, plot atau ending. Niat harus dikokohkan! Aral menjadi seorang penulis sangat terjal, utamanya untuk menembus media; tidak diterima sekali saja sudah nyerah.

Joni Ariadinata, cerpenis senior FLP, dia harus menunggu karyanya hingga sampai ratusan kali untuk dimuat di media. Tpai, karena komitmen tertanam kuat, dia tidak menyerah begitu saja. Dan hasilnya, anda bisa lihat sendiri!

2. Mengejar Ide, Merangkai harapan
Jemputlah bola, jangan ditunggu, jika tidak, kau tidak akan pernah menendangnya, dan GOALLL! A.A Navis memilih nongkrong di toilet berjam-jam – hingga konon ia terserang wasir—demi mengejar sang ide. Jika kamu gimana? Yang penting, di mana enjoy ketika menulis, di situlah tempatnya.

Banyak yang ingin menulis selalu menunggu mood, nggak ada mood nggak menulis. Wah… itu namanya penulis kacau. Kelas teri campur tempe! Menulis fiksi selalau dituntut untuk mengasah otak, selalu bereksperimen dalam rumah kata. Eksperimen disini dimaksudkan untuk melahirkan ide-ide cemerlang serta berlatih untuk meracik diksi yang bagus, memukau, bombastis, dan tentunya tidak klise.

Orang yang disebut penulis adalah yang selalu menulis, tidak harus terkenal. Jika kedua syarat di atas sudah terpenuhi, anda adalah seorang penulis!

Menulis dan Membangun Cerita
Jangan batasi diri Anda! Tulislah kata apa saja yang muncul yang berhubungan dengan setting/lokasi, atau karakterisasi dan ide-ide yang sedang anda bangun sehingga sehingga membentuk gambaran cerita. Jika telah mempunyai gambaran alur ceritanya, itu lebih baik, tapi kalau belum juga tidak menjadi masalah. Ide-ide perlahan akan terbentuk dan berkembang dengan sendirinya asalkan memiliki kemauan kuat. Beberapa adegan, ide, kata, dan kalimat mungkin akan tampak kacau, namun anda masih bisa memperbaikinya.

Membangun cerita berarti membuat urutan adegan, membuat garis besar jalan cerita untuk plot/alur cerita yang akan Anda buat. Rangkailah beberapa adegan yang sempat terpotong-potong itu menjadi sederetan kalimat yang mengalir. Di tahap inilah Anda perlahan membangun garis besar cerita Anda. Saat Anda melakukan hal ini, carilah unsur-unsur kunci dalam cerita yang dapat memberi kesan dramatis.

Jika anda menulis tulisan panjang seperti novel. Mula-mula berilah nama untuk setiap adegan dan simpan di bagian Struktur Cerita. Terkadang saat inspirasi tidak kunjung datang, gunakan saja cara lama: "brainstorming" (membuat coretan kasar)! Tulis sebuah kata, lalu kata lain dan yang lain lagi.

Karakterisasi Cerita
Pada bagian ini anda akan dapat menentukan beberapa hal yang merupakan unsur-unsur umum dalam cerita:

1. Tema
Cerita seringkali ditentukan oleh tema. Pertentangan antara kebaikan dan kejahatan, pertumbuhan, kedewasaan, cinta, kebebasan, kematian dan lainnya. Di sini Anda diharap menentukan tema umum cerita. Disamping tema sebagai arah cerita, juga berfungsi sebagai pemilihan diksi yang akan dipakai dalam cerita itu.

2. Tujuan
Tujuan di sini mencakup segalanya; pembaca, pesan dan karakreristik media. Ingatlah, bagaimanapun juga sebuah cerita bukanlah tentang mengejar sebuah tujuan yang spesifik. Spesifikasi dari tujuan itu sendiri nantinya akan tertuang dalam pesan yang akan anda disampaikan dalam tulisan sekaligus memudahkan anda untuk menyampaikan pesan-pesan yang akan anda tulis.

3. Gaya Bahasa
Kekuatan dari sebuah cerita adalah sejauh mana anda merangkai kata serta mencari diksi yang terpat. Ingat, kualitas sebuah karya fiksi itu diukur oleh perasaan. Rangkailah bahasa sedemikian rupa, tentunya yang selaras dengan tema dan tujuan yang anda bangun. Tujuan gaya bahasa adalah memporak-porandakan perasaan pembaca. Pembaca seakan diaduk-aduk oleh derita yang anda bangun dan “terjatuh” ke dalam cerita itu.

Unsur Intrinksik dalam fiksi:
1. Tema : Merupakan pokok persoalan yang menjiwai seluruh cerita. Tema diangkat dari konflik kehidupan.
2. Plot : Dasar cerita; pengembangan cerita.
3. Alur : Rangkaian cerita.
- Dalam alur hubungan tokoh bisa rapat yaitu memusat pada satu tokoh; atau renggang yaitu tokoh berjalan masing2.
- Proses alur bisa maju; mundur; atau maju mundur.
- Penyelesaian Alur ada alur klimaks dan ada alur anti klimaks.
4. Setting : Tempat terjadinya cerita, terbagi menjadi :
- Setting geografis —-> tempat di mana kejadian berlangsung
- Setting antropologis —-> kejadian berkaitan dengan situasi masyarakat, kejiwaan pola pikir, adat-istiadat.
5. Penokohan : Tokoh baik (protagonis), tokoh yang jahat (antagonis), tokoh (tritagonis) dan tokoh tokoh sampingan (pembantu). Penghadiran tokoh bisa langsung dengan cara melakukan deskripsi, melukiskan pribadi tokoh; atau tidak langsung dengan cara dialog antar tokoh.
Bidang2 tokoh harus digambarkan :
- Bidang tampak : gesture, mimik, pakaian, milik pribadi, dsb
- Bidang yang tidak tampak : motif berupa dorongan / keinginan, psikis berupa perubahan kejiwaan, perasaan, dan religiusitas.
6. Sudut pandang : Penghadiran bisa dengan :
- Orang pertama pelaku utama: penulis terlibat sebagai tokoh utama
- Orang pertama pelaku sampingan: penulis menjadi bagian dari cerita tapi bukan sebagai tokoh sentral
- Orang ketiga: penulis tidak masuk di dalam cerita. Dia memposisikan diri sebagai narator (pencerita).
7. Suasana : Yang mendasari suasana cerita adalah penokohan karena perbedaan karakter sehingga menimbulkan konflik. Dengan konflik pengarang berhadapan dengan suasana menyedihkan, mengharukan, menantang, menyenangkan, atau memberi inspirasi.
Semua point ini harus dihadirkan secara utuh baik berupa cerpen, novel, drama, skenario film / sinetron, sehingga pembaca, pendengar, pemirsa mempunyai daya imajinatif; mempunyai tafsiran tentang tokoh, suasana, dsb; terhadap karya fiksi tersebut.

Jangan lupa : tema, plot, alur, dan setting juga harus jelas sehingga karya fiksi benar2 utuh sebagai karya seni bukan berupa sekadar curahan hati (seperti diary).

Sekarang! Tulislah Apa yang Anda Mau…..!

)*Rangkaian kalimat ini disampaikan pada pelatihan kepenulisan Ikatan Santri Pantai Utara (IKSAPUTRA) Putri tanggal 18 November 2010 di Prancak, Pasongsongan, Sumenep. (edisi revisi)

The Prometean dan Khalifah Perspektif Demokrasi

Barack Husein Obama, saat beramah tamah ke Indonesia (09/11) sempat mengungkapkan, demokrasi harus dibangun dengan menghargai nilai-nilai hak asasi manusia, keadilan, kemanusiaan, aspirasi politik, dan terwujudnya kesejahteraan bagi rakyat. Indonesia yang terkenal dengan negara plural mampu menyatukan negaranya dalam bingkai Bhinnika Tunggal Ika. Dengan salah satu penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia telah dipandang mampu menyatukan masyarakatnya dengan dasar negara Pancasila. Begitulah katanya.

Sah-sah saja Obama menyatakan demikian, sebab statusnya adalah tamu. Tamu, siapa saja, harus pintar mencuri perhatian, memperlakukan tuan rumah seramah mungkin. Sanjungan itu tak lebih dan tak kurang hanyalah sebagai penyambung lidah untuk menikmati jamuan makan bakso, keripik, dan empeng bersama pak presiden.

Jika sejenak kita mencoba menceburkan diri ke dalam kenangan peristiwa 11 September, mungkin kita harus berpikir ulang. Sejak peristiwa itu, Amerika menyebut Islam sebagai kelompok garis keras. Bapak dari terorisnya teroris. Jika berkaca pada perkataannya, bahwa Indonesia merupakan salah satu penduduk muslim terbesar di dunia, secara tidak langsung “masyarakat” Obama juga mengategorikan Indonesia sebagai sarang teroris. Penulis bukan bemaksud mendiskreditkan Obama cs, tetapi hanya sebagai renungan untuk berpikir ulang makna sarang teroris itu.

Pertanyaannya sekaran, benarkah Islam merupakan ajaran kelompok garis keras, yang secara tidak langsung merendahkan Hak Asasi Manusia (HAM) serta seakan juga telah memperlakukan hukum rimba? Inilah pertanyaan mendasar dalam menyikapi ham dalam perspektif keislaman dan keindonesiaan.

Hak dapat dimaknai sebagai suatu nilai yang diinginkan seseorang untuk melidungi dirinya agar dapat memelihara kehidupan serta mengembangkan kepribadiannya. Dalam kata asas, terkandung makna bahwa subjek yang memiliki hak semacam itu adalah umat manusia secara keseluruhan tanpa membedakan status, suku, agama, ras, dan budaya. Dengan demikian Hak Asasi Manusia sedemikian penting, mendasar dan mutlak pemenuhannya (Cf. Sidney Hook,1987).

Islam yang diggembar-gemborkan sebagai agama rahmatan lil alamin memandang manusia bukan sebagai hak otoritas kebebasan. Berbeda dengan orang barat yang memaknai manusia sebagai “makhluk prometean” (the prometean), yaitu manusia yang memberontak terhadap segala jenis otoritas dan mengedepankan otonomi pribadi yang mutlak. Sedangkan Islam memandang manusia tidak lepas dari status dan fungsinya penciptaanya di muka bumi yakni sebagai khalifah (duta Tuhan). Dalam pengertian mandataris, yang diberi kuasa, bukan sebagai penguasa. Adanya unsur ketuhanan dalam diri manusia membuat otonominya tidak bersifat mutlak.

Islam memandang hak asasi manusia sebagai manusia bebas (Q.S. 33:72), bebas dalam kemauan dan perbuatan (Q.S. 76:2-3), bebas dari tekanan dan paksaan manusia lain, bebas dari eksploitasi manusia lain, bebas dari pemilikan manusia lain (Q.S. 90:13), dan bahkan bebas dalam beragama (Q.S. 2: 256; dan 10:99). Karena itu, Islam memandang hak asasi manusia dengan cara pandang yang berbeda dari Barat, tidak bersifat anthroposentris, tetapi bersifat theosentris (sadar kepada Allah sebagai pusat kehidupan). Penghargaan kepada hak asasi manusia, dengan demikian, merupakan bentuk kualitas kesadaran keagamaan, yaitu kesadaran kepada Allah sebagai pusat kehidupan (A.K. Brohi, 1978).

Kaitannya dengan demokrasi, pancasila sebagai ideoligi negara sudah final, tidak bisa ditawar lagi. Kemajemukan suku, agama, ras, dan budaya telah terakomudir di dalamnya. Rumusan kelima sila itu sesuai dengan misi islam; iman, islam dan ihsan. Karenanya, Islam tidak mempermasalahkan kedudukan pancasila sebagai ideologi negara serta ideologi pemerintahan.

Namun pada tatanan realitanya, kemajemukan tidak sepenuhnya toleran. Konflik antar suku, ras, dan agama tetap berkepanjangan di negeri ini. Peristiwa bom Bali, konflik di Poso, serta tindakan kekerasan atas nama agama mensinyalir bahwa HAM di negara kita masih sekarat. Dalil-dalil “pembebasan” selalu dijadikan legitimasi untuk menonjolkan antar suku, ras, dan agama, sehingga ruang lingkup pancasila dalam tatanan formalitasnya tidak menyentuh kepada hak kemanusiaan itu sendiri.

Agama tetap menjadi faktor penting bagi sinergisitas penguatan demokrasi dan civil society di Indonesia, sebab kekerasan yang terjadi 90% atas dasar agama. Meski Indonesia bukan negara agama, kehidupan masyarakat Indonesia tidak dapat dilepaskan dari agama. Kedudukan manusia sebagai khalifah harus menjadi upaya sadar bahwa hak otoritas kemanusiaan tidak bersifat mutlak sebagaimana persepsi orang barat, sehingga upaya pembebasan sebagai penegak dari HAM memiliki batasan-batasan tertentu.

Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), guru-guru kita telah mengjaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Menjunjung tinggi kebebasan; dalam menyampaikan hak hingga memeluk agama. Kondisi itu harus dikelola dengan baik dan bijak oleh pemerintah dan kalangan agamawan agar keragaman agama dan budaya di Indonesia tidak menjadi sumber konflik, tetapi menjadi berkah dan kekayaan bangsa yang saling menguatkan saling mengukuhkan, dan saling memperkaya pengalaman masing-masing.

Menikmati Berbuka Puasa di Rowo Indah

Jika anda pernah atau akan berkunjung ke Kecamatan Ledokombo, maka sempatkanlah barang sejenak untuk mampir ke sebuah danau kecil di Desa Sukogidri. Salah satu desa di kecamatan paling timur Kabupaten Jember.

Rowo Indah nama danau kecil itu. Terletak di atas bebukitan, berjarak 1,5 kilometer dari Balai Desa Sukogidri ke arah timur. Jika sudah sampai di perkampungan yang dikenal dengan Dusun Duklengkong, hanya sekitar 12 rumah, maka kendaraan apa pun harus diparkir di sana. Tak ada rekomendasi untuk dibawa ke lokasi karena jalannya terlalu sempit.

Perjalanan yang masih menyisakan 400 meter ke arah utara itu harus ditempuh dengan berjalan kaki. Mengesankan dan sedikit menguras tenaga. Saya dan teman saya terkadang mengenduskan nafas berat menapaki jalan yang menanjak, berliku, dan bebatuan. Sesekali menahan perut yang keroncongan karena berpuasa.

Tiba di lokasi sekitar pukul 15.50, sebuah pengeras suara sepertinya menyambut kami. Rasa lelah berikut capek seketika terasa lenyap ketika melihat panorama Rowo Indah. Meskipun waktu menginjak sore hari, suasana naturalnya tetap segar. Teriakan bocah-bocah kecil di tepian danau itu menggelitik hati. Bermain. Berkejaran di sisi danau seluas 4 hektar.

Dua buah perahu mengapung mengelilingi danau. Sarat akan penumpang. Perahunya berwarna-warni, namun yang paling mencolok adalah warna kuning kombinasi merah. Burung-burung bangau terbang dan hinggap di Pohon Kelapa saat perahu berukuran sedang itu melintas di dekat mereka. Hanya dengan uang 2000 rupiah perkepala, sudah cukup mengelilingi danau satu putaran.

Ya, di sekitar sisi Rowo Indah berjejel Pohon Kelapa. Bahkan, di tengah danau yang memiliki kedalaman 3,5 meter itu menjulang empat Pohon Kelapa. Maklum, Rowo Indah asalnya memang adalah sebuah ondhut (persawahan yang memiliki sumber air).

Tanggal 28 Juli lalu, sempat menjadi ketegangan warga. Sekitar pukul 02.00 dini hari, ondhut itu meledak, menyemburkan air yang sangat deras. Sehingga menenggelamkan beberapa sawah di sekitarnya. Mereka, yang memiliki sawah gagal panen.

Sebenarnya, setiap tahun ondut itu sering mengalami ledakan air. Pernah Februari lalu terjadi ledakan, warga masih bisa mengantisipasinya. Namun, semburan saat ini lebih besar dari sebelumnya. Sekilas peristiwa itu mengingatkan saya pada semburan Lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo. Bahkan terdengar juga celetukan para warga kalau itu juga “Lumpur Lapindo”. Namun, sama sekali tak terbukti, sebab airnya tak membahayakan. Bahkan bisa menjadi obat. Banyak orang-orang yang berdatangan untuk menyembuhkan penyakit. Seperti sakit mata, jerawatan, gatal-gatal, dan penyakit kulit lainnya.

Beberapa warga merasa iba atas orang yang sawahnya ikut terendam. Muncullah aksi gotong-royong untuk membuat selokan selebar setengah meter ke arah selatan menuju Sungai Laok.

Usaha mereka nihil, tak membuahkan hasil. Maka, muncul ide baru dari kepala RT Dusun Duklengkong; menutup selokan dan membiarkan airnya tetap menggenang. Usulan itu disambut baik. Untuk menambah daya tarik pengunjung, kepala RT dan kepala desa memfasilitasi dua perahu yang disewa dari Muncar. Nantinya, 35% dari hasil perahu masuk pada anggaran pendapatan desa dan sisanya menjadi hak para pemilik sawah setelah dipotong biaya sewa perahu.

Tidak hanya itu, setelah meledak, danau itu menjadi banyak ikannya. Banyak pendatang yang juga mencoba “mengadu nasib” dengan memancing. Kailnya bukanlah cacing atau daging, tapi hanya lumut kerak. Bagi yang ingin memancing sudah ada posisinya, yaitu di ujung timur, di bawah dua Pohon Randu besar berdiameter kira-kira 30 centimeter. Mereka seperti nampak mengikuti kontes memancing, padahal tidak. Siapa berminat, silahkan mencoba. Gratis!

Beberapa pengusaha lokal sempat melirik Rowo Indah untuk dikembangkan menjadi tempat wisata. Namun, para pemilik sawah tak setuju menjual lahannya karena sawah atau ladang merupakan prioritas utama mata pencaharian mereka. 90% masyarakat Desa Sukogidri adalah petani. Mereka berharap dan meyakini suatu hari lahan itu bisa kembali seperti sedia kala.

Kondisi Rowo Indah itu dibiarkan begitu saja dengan keeksotisan alamiahnya. Membiarkan apa adanya tanpa ada langkah-langkah untuk mempercantik diri. Hanya pembersihan tepian danau dari tumbuhan enceng gondok seminggu sekali.

Setelah menyaksikan dan sedikit berbincang santai dengan para pemancing, yang katanya bisa memperoleh 30 ekor seukuran tangan bayi dalam waktu satu jam, kami melanjutkan perjalanan ke arah utara. Di utara danau itu berjejel rapi para penjual makanan. Dari makanan ringan sampai makanan khas pedesaan seperti lontong, ketupat, soto, rujak, dan lain sebagainya.

Ada sembilan penjual di sana yang saling berhadap-hadapan. Tempatnya sangat sederhana, terbuat dari bambu dan atapnya dari plastik yang di atasnya ditumpangi jerami. Beberapa makanan yang ditata rapi membuat saya harus beberapa kali menelan ludah.

Karena lidah saya selalu ngidam makanan itu. Maka kami memutuskan untuk berbuka puasa di sana. Apalagi matahari sudah hampir mendekati garis cakrawala.

PNS Berprofesi Ganda

Terbongkarnya penipuan berkedok penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di berbagai daerah Jawa Timur menambah berita duka negeri ini. Saat bangsa Indonesia berkabung atas bencana tsunami di Mentawai sampai peristiwa meletusnya gunung Merapi, di Jawa Timur, berita duka itu seakan tenggelam oleh maraknya fenomena praktik calo CPNS.

Menurut laporan Polrestabes Surabaya, korban calo CPNS yang diduga dilakukan Joko Suparno, telah mencapai ribuan orang. Tersebar di Madura (Kabupaten Pamekasan, Sampang dan Bangkalan), Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Jombang, Mojokerto dan Madiun. “Penyumbang” korban terbanyak adalah Madura yang mencapai 305 orang (Pamekasan 85 orang, Sampang 67 orang dan Bangkalan 153 orang). Bagaimana dengan kabupaten Sumenep? Bukan jaminan kabupaten paling timur Madura itu bersih dari percaloan. Diduga salah satu anggota DPRD Sumenep juga terlibat di dalamnya. (Kompas Jatim, Sabtu 30 Oktober 2010). Maka dari itu bupati Sumenep A. Busyro Karim akan mengontrol PNS yang indisipliner serta menyelidiki calo CPNS yang diduga kuat memiliki jaringan dengan kabupaten Madiun yang merupakan penyumbang korban terbanyak setelah Madura.

Profesi Ganda

Modus yang banyak dilakukan oleh calo CPNS melalui jalur khusus, yaitu tanpa tes atau lewat tenaga honorer. Para korban diiming-imingi jaminan lolos seleksi CPNS sampai menjadi PNS asal memenuhi “syarat” yang diinginkan si pelaku. Ironisnya, para pelaku praktik percaloan yang telah tertangkap maupun yang telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) memiliki background sebagai PNS. Hal itu mengukuhkan bahwa PNS di negeri kita—meminjam bahasanya M Mushthafa—sedang mengidap penyakit yang sekarat. Praktik yang dilakukan oleh PNS berprofesi ganda itu semakin mencoreng nama baik abdi negara yang seharusnya menjadi penyuluh kebijakan pemerintah kepada masyarakat.

Secara resmi hanya ada dua metode perekrutan CPNS. Pertama, lewat tes jalur umum, sedangkan yang kedua melalui rekrutmen tenaga atau pegawai honorer yang telah mengabdikan diri selama bertahun-tahun. Karena jalur kedua sangat sulit ditempuh, “harus” mengabdikan diri bertahun-tahun bahkan sampai puluhan tahun, maka jalur pertamalah yang paling banyak diminati. Akan tetapi, penyeleksian yang begitu ketat serta kuota penerimaan PNS yang selalu tak sebanding dengan banyaknya peserta yang mendaftarkan diri, jalur “cepat” menjadi solusi. Mereka bersedia membayar jutaan rupiah demi mendapat satu tempat sebagai abdi negara.

Tingginya daya tawar dan daya saing CPNS di mata masyarakat memberi indikasi bahwa pekerjaan yang memiliki prospek yang cerah hanyalah menjadi PNS. Pekerjaan relatif mudah dan tidak perlu memikirkan untung-rugi. Minat besar itu mengukuhkan bahwa ketersediaan lapangan tenaga kerja yang ada kurang menjanjikan. Paradigma semacam ini harusnya menjadi indikator pemerintah dalam memperbaiki ketersediaan lapangan kerja. Nah, yang menjadi pertanyaannya sekarang, bisakah pemerintah mewujudkannya? Padahal, jumlah angka pengangguran di negeri ini masih sangat besar.

Menjadi PNS adalah impian banyak orang, utamanya yang (masih) berprofesi sebagai tenaga honorer yang bertahun-tahun tidak pernah diangkat menjadi PNS. Menjadi seorang PNS memiliki kehidupan yang sejahtera. Selain gaji bulanan, masa pensiun PNS dijamin negara seumur hidup sehingga tak pelak banyak yang rela “menanamkan” modal jutaan rupiah demi memuluskan jalan untuk menjadi seorang PNS.

PNS bukanlah jabatan yang harus diperebutkan, apalagi diwarnai dengan suap menyuap, karena hal itu hanya akan memudarkan tugas “mulia” seorang abdi negara yang mengabdikan diri untuk kesejahteraan umum. Selain menjadi tangan kanan pemerintah, PNS juga menjadi telinga untuk mendengar kondisi dan aspirasi masyarakat.

Percaloan itu tidak hanya mencoreng nama baik seorang abdi negara, tetapi juga semakin menancapkan dan mengukuhkan akar money politic dalam birokrasi pemerintahan, karena komplotan jaringan tersebut juga melibatkan oknum pegawai Pemprov Jawa Timur dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Praktik percaloan ini harus ditindak tegas, sebab jika penanam modal itu benar-benar menjadi PNS, tentu akan menjadi persoalan baru yang lebih akut di instansi pemerintahan. Kualitas PNS akan dipertanyakan dan tidak menutup kemungkinan mereka akan menularkan efek karambol.

Penulis setuju dengan kebijakan yang dilontarkan Gubernur Jawa Timur Soekarwo bahwa siapa pun PNS yang terlibat dalam penipuan serta praktik percaloan CPNS harus dipecat. Sebab, siapa lagi yang menjadi penyuluhan kebijakan pemerintah serta tegaknya demokrasi kalau bukan mereka.