Sunday, May 16, 2010

Sirine


Pagi terasa bising. Tak seperti biasanya aku bangun pagi seburuk ini. jendela kamar memang sengaja tak ditutup agar pendar cahaya matahari pagi lebih leluasa masuk tanpa harus permisi lebih dulu kepada mimpi. Tak ada bunyi ceracau burung pagi yang setiap hari selalu menyambut hari-hariku dengan ceria. Entah, apa yang terjadi kali ini. Seakan burung-burung itu kini lari menjauhiku. Menjauhi kehidupanku. Ceracaunya itu tiada, akupun juga gelisah.
Aku harus memulai hari ini tanpa sambutan burung-burung itu. Sunyi memang. Tapi aku tak harus mengatupkan mataku kembali di pagi yang cerah ini. masih ada matahari dan hembusan angin pagi yang akan membelaiku layaknya sang kekasih pujaan. seperti Melati di ujung cinta Sang Erros.
Ada yang tidak biasa kali ini aku dengar. Sepertinya di luar ada hujan yang sangat lebat sekali. Tapi rintikan itu membutku hanya mendengus kesal. Suara itu tak lebih dari bisingan yang terus membelah batok kepalaku hingga aku benci mendengarnya.
Apakah hujan mampir saat musim kemarau? atau ada hal lain sehingga hujan tidak bisa menunda waktunya untuk menyiram bumi? Rasanya tidak mungkin. Aku hanya berputar-putar di dalam opiniku saja. Kedua telingaku seperti mau pecah. Suaranya bagiku lebih parah dari bunyi senso.
Setelah aku keluar dari kamar, ternyata suara itu bukan suara rintik hujan, melainkan suara rintik air mata yang menghujani seluruh isi rumah. Membanjiri seisi rumahku. Sulit aku tebak apa yang telah terjadi di pagi hari ini. Mereka seharusnya menyambut pagi dengan senyuman. Bukan seperti yang aku lihat ini. Tangis dan ratapan bukan bukan sambutan yang menyenangkan.
Aku semakin tak mengerti dengan apa yang terjadi disekitarku. Bibi, mami, tante, paman, semua memuncratkan air mata. Hanya aku yang tak memuntahkan air mata suci itu. Semua hitam dengan mata yang begitu sembab. Ada kepiluan di hati mereka, meski aku belum bisa menjamah dan menafsiri apa yang sebenarnya mereka tangisi.
Aku tak berkutik manakala semuanya menghampiri dan memelukku sangat erat sekali. Sebelumnya aku kira mereka sengaja menyambut kedatanganku yang baru datang dari negeri mimpi. Ternyata aku salah. Mereka memelukku seperti segerombolan semut yang menemukan gula. Menumpahkan air mata kepadaku. Aku kesal aku benci sekali dengan orang yang menangis. Bagiku, tindakan menangis itu hanya berlaku pada orang yang cengeng. Sungguh aku benci!.
Suara sirine mengaung-ngaung di depan rumah. Semua orang yang mengerumuniku satu persatu lepas dan berlarian menuju suara itu. Ada suara sirine?. Aku suka suara sirine. Bagiku itu adalah musik instrumen yang lebih bagus dari instrumennya Kitaro. Aku juga berjalan menuju datangnya suara itu.
Tak lama kemudian suara sirine tak lagi meraung. Aku kecewa. Padahal aku ingin mendengar lebih lama lagi. Akan aku liukkan kepala dan pinggulku untuk mengiringi alunan suara sirine itu dengan berbagai gaya yang aku miliki.
Dari luar, orang-orang sibuk menggotong sesuatu yang aku tidak tahu entah apa isi di dalammya. Panjang. Seperti panjangnya orang dewasa. Kedatangan benda itu selalu diiringi dengan riak tangis. Yang aku benci mendengarnya.
Aku baru ingat, biasanya setelah aku disambut suara kicauan burung. Berganti suara klakson ayah yang memanggilku bertalu-talu. Yang akan mengantarkanku pergi ke sekolah dan ayah pergi ke tempat kerjanya. Kenapa hari itu suara klakson ayah tidak menyambut kedatangannku? Aku mencari ayah di tengah kerumunan orang-orang yang berbaju serba hitam itu. Aku cari di setiap ruangan. Tidak ada. Yang aku temui hanya tangis dan tangis.
Aku berhambur keluar rumah. Tentu saja tetap mencari ayah. Di samping rumah. Di belakang rumah juga tak aku temukan. Aku mencoba bertanya pada kakek tua yang menatapku heran.
“Apa kakek melihat ayah.”
“Bocah, kau mencari ayahmu?”
“Ya!”
“Barusan ia pamit ke dunia lain”
Kakek itu diam. Ia menoleh ke samping, tepatnya pada sepeda motor ayah. Lho… kenapa sepeda motor ayah penyok.
“Kakek. Ayah tak membawa sepeda motor?”
Kakek tak menggubris pertanyaanku. Ia hanya menatapku.
Ayah bertamasya? Mengapa tak mengajakku?
Aku semakin benci melihat orang menangis. Benci!

Annuqayah, 2009

Dimuat di Annuqayah Post tanggal 01 Mei 2010

Terbang Tanpa Sayap


Rasanya, baru kali ini aku melihat ibu termenung. Banyak pertanyaaan tersimpan di batok kepalaku tentang tingkahnya. Ada apa dengan ibu? Sepeninggal ayah, ibu tidak pernah bersikap seperti itu. Dulu, ia sangat tenang mengikhlaskan kepergian ayah. Meski, pada awal ayah menutup mata, ada air mata yang jatuh membelah pipinya. Setelah itu, tak kudapat lagi air mata itu jatuh.
Ibu terus memandang hampa. Kosong. Hanya, tangan kiri selalu membelai rambutnya yang panjang terurai. Mata sipit tanpa lalah menatap lukisannya sendiri, ayah dan seorang bocah –yang tak lain bocah itu aku—di Figura besar yang berada di atas meja kerjanya. Melihat ibu seperti itu, aku bingung. Apakah ibu mengenang wajah ayah yang selma ini tak sempat dikenang lagi sejak beberapa bulan lalu? Mungkin saja. Tapi, itu belum cukup meyakinkanku. Sejuta tanya terus berkecamuk seperti pertempuran sengit.
Ayah begitu lembut. Pada aku dan juga ibu. Ia begitu bijak. Tak ada celah bagiku untuk mencari sifat yang ganjil dalam dirinya. Begitu juga ibu. Ia sangat mencintai ayah. Ibu pernah menggubris cerita pertama kali benih-benih cinta itu muncul saat bertemu dengan ayah. Waktu itu, secara tak sengaja ayah berkunjung kerumah pamannya di desa—pada saat itu—di mana ibu tinggal.
Pagi itu masih buta untuk memuli aktifitas, ayah diajak jalan-jalan mengelilingi beberapa pemandangan desa. Tanpa sengaja, ayah melihat ibu dengan mukena yang masih dipakainya turun dari surau. Ayah terpesona dengan kecantikan seorang muslimah itu.
Singkat cerita, setelah pertemuan itu, tiga hari berikutnya ayah melamar ibu dan membawa ke pelaminan. Lahirlah aku, si buah hati pertama.
Setelah aku umur lima tahun, ayah meninggal. Awalnya, aku tak begitu memahami kalau ayah sudah pergi selamanya. Aku hanya menagisi ibu—karena pada saat itu ibu menagis. Aku tidak tahu kalau ibu menangisi kepergian ayah. terlalu dini buat aku memahami arti kehidupan dan kematian.
Belaian angin menjelma bara. Amat menyiksa. bumi seakan berhenti berputar. Tak ada lagi orang yang akan membelai rambut ibu. Mengecup keningnya setiap mata mulai mengatup. menumpahkan seluruh kasih sayangnya padaku. Ia harus menanggung status janda di usia yang terbilang muda.
Setelah kejadian itu, dalam beberapa bulan terakhir, aku tak lagi mendapati ibu menagis. Melamun pun juga tidak. Ibu selalu ceria dengan hiburan-hiburan yang aku buat. Kata ibu, aku lucu dan imut. Persis seperti wajah ayah. ibu selalu menemaniku bermain. Kadang, ia mencubit pinggangku lantaran aku suka usil padanya. Tapi, tak kudapatkan sama sekali kemarahan padaku. Ia hanya tersenyum.
Tapi kali ini, ibu kelihatan begitu sedih. Di ruangan yang hanya seluas 4x3 meter itu, wajah ibu begitu sembab. Aku hanya bisa memandang ibu heran. Belenggu menampar-nampar hatiku. Tak bisa berbuat apapun. Aku hanya bisa membiarkan ibu sendiri dengan sunyi. Mungkin, ia butuh ketenangan setelah lama bekerja sendirian.
“Kang, maafkan aku,” seutas bibir ibu mulai bergetar. Suaranya lirih, ada sesuatu yang di tahan. Sesekali ia mengatupkan mata agak lama. Merasakan getaran yang sulit dicapkan. Mengumpulkan kata yang tercerai berai. Tangannya menggumpal. Gemetar.
“Aku tidak sanggup hidup sendiri. Aku butuh seseorang, bersama merawat anak kita,” suara itu begitu lirih. Air mata ibu menetes. Mengalir tanpa hambatan membelah kedua pipinya.
“Aku tidak kuat menahan sindiran orang sekitar, selalu ada kata tidak sedap yang aku dengar ketika bertemu dengn mereka,” aku tidak tahu perasaan ibu saat itu. Dikala seperti itu, aku selalu ingin memahami setiap kata yang ibu ucapkan. Karena ibu, hanya punya aku. Hanya aku.
Wajah tirus ibu menatap lukisan ayah. Ia menggigit bibirnya sendiri. Malam semakin larut. Kesunyian kian mencekam. Jam dinding menunjukkan angka dua belas. Di luar, bunyi suara tokek bersahutan mengantarkan mega hitam berarak menyayat alam.
Dingin membangkitkan bulu roma. Kegelisahan kian kalut. Aku tetap berusaha menahan diri. Tiba-tiba, di luar jendela, ada kilau cahaya putih. Terang sekali. Mataku silau. Cahaya itu semakin dekat menembus jendela.
Tampak keterkejutan mengerutkan keningku. Ada yang datang. Bersayap. Berkelebat. Sinar cahaya itu sungguh menusuk mata. Meski demikian, mataku mencoba menahannya. Tak lama, keterkejutanku berganti senyuman.
Aku kenal dengan wajah itu. Ayah. Ia bisa terbang? Perlahan, ayah terbang menghampiriku. Membelai kepalaku lembut. Sejuk sekali. Aku tersenyum, Ayah juga tersenyum. Setelah puas membelaiku, ayah menghampiri ibu yang tetap bersama sunyi. Ayah juga membelai rambut ibu yang terurai. Panjang.
Ibu menagis. Menutup muka dengan kedua tangannya. Air mata itu kian tak terbendung. Oh, tidak! Sayap ayah terbakar. Rontok sehelai demi sehelai. Tetesan air mata ibu telah membakarnya. Ayah merasa kepanasan. Tubuhnya menggelinjang karena tetesan itu. Lantas, ibu tertawa renyah.
Bumi Al-Sael, (C/11) 2009
*) terinspirasi dari sayap patahnya Kahlil Gibran

Dimuat di Radar Madura tanggal 18 April 2010