Monday, September 15, 2014

Dialog Kemanusiaan dalam Alquran

Dimuat di Okezone.com
Judul               : The Wisdom
Editor Ahli      : Prof. Dr. H. Rosihan Anwar, M. Ag
Penerbit          : Al Mizan
Terbitan          : Pertama, Mei 2014
Tebal              : 1.236 halaman
Ukuran           : 18 x 26 cm

Dewasa ini program penanaman nilai-nilai Alquran semakin kuat dan berkembang pesat. Berbagai metode pembelajaran, penghafalan, dan penafsiran Alquran lahir secara beragam. Hal ini tentu menunjukkan betapa semangatnya umat Islam untuk memahami Islam secara kafah.

Alquran merupakan sebuah mukjizat yang luar biasa pentingnya bagi kehidupan. Kitab yang mencakup kitab-kitab sebelumnya, yaitu Taurat (Nabi Musa As) Zabur (Nabi Daud As) Injil (Nabi Isa As), menjadi panutan guna mengarungi kehidupan dunia dan akhirat.

Segala sesuatu yang berkaitan dengan keesaan dan kekuasaan Allah sudah terangkum di dalam satu kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad tersebut. Keesaan dan kekuasaan Allah yang tak terhingga membuat karakter bahasa yang digunakan multi-interpretatif.

Karakter bahasa yang multi-interpretatif membuat Alquran berpeluang ditafsirkan secara beragam. Namun, keberagaman bukan semata-mata persoalan persepsi beberapa orang mengenai suatu obyek yang pasti akan berbeda-beda, tetapi merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan untuk manusia, sebagaimana dalam pengantar mushaf The Wisdom.

Hadirnya The Wisdom, padanan bagi kata al-hikmah dalam bahasa Arab, memberikan warna dan corak tersendiri dalam dunia tafsir. Sebuah iktikad baik untuk memudahkan siapa saja dalam memahami kandungan Alquran, sekalipun dari tingkat pemula.

Di dalam mushaf setebal 1.236 halaman tersebut difasilitasi terjemahan perkata, terjemah bahasa Indonesia dari Kementerian Agama RI, asbabun nuzul, hadits, doa-doa, munasabah (hubungan antar ayat) dan memuat 1.420 artikel dengan tema-tema beragam yang diklasifikasikan ke dalam enam tema, yaitu akhlak, akidah, ibadah, muamalat, ilmu, dan kisah. Pembaca akan sangat mudah masuk pada pembahasan tema-tema tertentu karena, selain difasilitasi daftar isi surat, The Wisdom juga difasilitasi daftar isi ayat sesuai dengan klasifikasi enam tema tersebut.

The Wisdom disarikan dari kitab para mufassir masyhur, diantaranya kitab Fi Dzilali Qur'an, Tafsir Al Maraghi, Ruh al-Ma'ani, Tafsir Ar-Rozi, Tafsir Ibnu Abbas, Aisar Al-Tafasir, Al Munir, Tafsir Jalalain, Tafsir Al Jawahir, Tafsir Al-Sa'di Ibn Munzhir, Tafsir At-Thabari, Al-Jawahir Al-Hisan, Tafsir Al-Manar, Bada'i Al-Tafsir, Al Wasit, Tahrir wa Tanwir, Abu Hafs Sirajudin, Al-Bahr Al-Muhit, dan Al-Jami' Al-Ahkam Al-Qur'an.

Keunikannya adalah uraian tafsir yang menggunakan metode tematik (maudu’i) dan komparasi (muqaran). Tema yang dipilih dalam beberapa ayat sesuai dengan keterwakilan enam tema utama yang diangkat. Selain daripada itu, pemaparan tema pembahasan juga dilengkapi dengan essai dalam rangka mendialogkan Alquran dengan problem etis kemanusiaan dan kealaman dalam konteks kekinian. Dengan gaya tutur yang sederhana, kandungan moralnya sangat mudah dipahami.

Oleh karena menggunakan metode tematik, tentunya pembahasan ayat per ayat tidaklah menyeluruh. Hanya beberapa ayat terpilih yang menduduki porsi tertentu. “Keterbatasan ruang”—yang menjadikan mushaf ini hanya setebal 1236 halaman—membuat pembaca kurang bisa mendalami penggalan ayat yang ingin dipilih dan diketahui kandungannya.

Satu contoh kecilnya adalah muatan nilai keimanan (akidah) yang terkandung dalam surat Al-baqarah ayat 177 yang tidak masuk dalam aspek pembahasan. Salah satu dari 17 kontributor yang masuk dalam tim penulisan mushaf ini lebih memilih membahas muatan nilai ibadah dalam surat Al-Baqarah ayat 178-179 yang membahas tentang qisas. (hal.54)

Tentu keterbatasan tersebut bukanlah sebuah cela karena sebelum membuka mushaf ini pembaca sudah dibenturkan dengan kalimat “Alquran Disertai dengan Tafsir Tematis” yang mengindikasikan bahwa tafsir di dalamnya hanya pada tema-tema tertentu atau tema-tema pilihan.

Pendekatan metode tematik tampaknya ingin memberikan pengertian bahwa kehadiran The Wisdom untuk memudahkan pembaca dalam memahami kandungan isi Alquran. Apalagi pembahasan dalam mushaf ini juga menghindari wacana-wacana yang rumit dan konvensional.

Alangkah lebih baik bila The Wosdom lebih dikembangkan sebagai tafsir yang berdiri secara utuh, kendati membutuhkan banyak tenaga dan pikiran. Paling tidak, harapan ini muncul dikarenakan kehadiran mushaf ini, dengan karakter bahasa yang mudah dipahami, mendorong pembaca untuk memahami dan menyelami lebih dalam kandungan Alquran.

Semoga kehadiran The Wisdom dapat memudahkan pembaca dalam memahami secara sederhana kandungan Alquran, sehingga usaha dan semangat untuk membumikan nilai-nilai qur’ani menjadi lebih kuat di Tanah Air ini.[]

Monday, September 8, 2014

Cerita yang Gagal Kutulis

Mungkin itulah sebabnya, sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu mengulang kenangan.
Kuintip langit dari sipit mataku. Awan tampak mengandung dan pucat. Entah, kapankah bulatan itu akan pecah dan memburai seperti tangis seorang perempuan—yang kupikir sebelumnya selalu bermata cerah—yang sempat kuintip sore kemarin, berjalan menjauhi titik matahari.
Tapi, bukan karena itu aku berlama-lama mematung di wajah jendela. Bukan. Aku berijtihad memulai cerita yang kau pesan semalam.
''Buatkanlah cerita tentangku. Kau harus buktikan dengan dengan ide-ide kreatif yang sudah bercokol di kepalamu.Bukankah kau sudah memiliki banyak referensi mengenai diriku?'' Harus kuakui, suara serak dan sembab itu menyebabkan keraguan pada ketegasanku untuk mengatakan tidak.
''Aku usahakan, tapi tak bisa janji.''
''Sebagai Raja Dongeng, kau kerap mengatakan, tulislah apa yang bisa kau tulis. Sekarang, aku ingin meminjam bahasa itu untuk kuucapkan kepadamu. Yah, anggap saja aku sebagai peserta menulis yang sedang mengingatkan strategi dan jurus jitu itu kepada gurunya.'' Sudah tiga setengah tahun kau memanggilku Raja Dongeng oleh sebab keranjinganku menulis cerita.
''Baiklah. Akan kucoba. Tapi, kau harus mengabulkan satu permintaanku malam ini.''
''Permintaan? Apa? Ayo, sebutkan.''
Aku mendesah. Dalam. Dalam sekali. Biarlah perasaanmu mengular.
''Tetapi tak boleh marah. Janji dulu kau tak akan marah.''
''Aku tak akan mungkin marah kendati yang akan kau ucapkan kurang sedap di telinga. Anggap sajalah sebagai timbal jasa sebab kau telah bersedia menulis cerita untukku.''
''Sebenarnya aku hanya ingin mengajakmu tertawa bersama. Kita sudah lama tak tertawa bersama. Bagaimana?'' aku tak tahan lagi. Tawaku pecah.
''Ah, cara bercandamu garing. Gak lucu...!''
''Tapi kau harus tertawa.''
Sejenak  kita terjebak diam sebelum tawa pecah bersama-sama. Aku lega bisa membuatmu tertawa malam ini. Paling tidak, tidurku sedikit nyenyak sebelum kututup pembicaraan ini dan men-silent-kan handphone.
Aku ragu bisa menulis cerita untukmu. Cerita tentangmu. Barangkali aku terpikat dengan keadaan yang memberikan cukup jaminan bahwa pilihan yang diambil dapat menjanjikan sesuatu yang amat kuimpikan. Seberapa banyak waktu dan keruwetan yang akan kuhabiskan sekedar mendapatkan jaminan itu? Hem, jika keraguan ini menjadi semacam garis tak berhingga atau menjadi semacam garis lingkaran, ia betul-betul dapat menyesatkan!
***
Laron-laron mengerumuni merkuri di sudut-sudut taman kota. Ada sebuah kursi beton yang sebagian masih lembab dan sebagian sudah kering. Kendati demikian, hanya kursi itu yang terbilang kering dari air hujan yang turun melepas senja. Kursi beton, tempat di mana kita biasa membagi cerita di taman itu. Dingin? Tentu. Hatiku tak kalah dingin dengan kabut tipis yang memburamkan lampu-lampu kota.
Aku menunggumu sebelum Masjid Agung di sebelah taman, sebelah jalan raya mengumandangkan adzan Isyak. Kulirik arloji digital yang menunjukkan waktu tanpa kesalahan. Sesekali kuhitung menit yang sudah berdetak selama berada di sini. Pekerjaan yang paling membosankan adalah menunggu. Tetapi bila menunggu sesuatu yang sangat diharapkan, maka kesabaran yang akan menunggu. Aku ingin mendengar cerita itu langsung darimu. Dari mulutmu.
Langit berkedip. Sepoi angin menggiring cemas. Aku mengatupkan bibir kuat-kuat menahan hati yang mungkin segera membeku. Jalan-jalan taman kota dan bising kendaraan belum juga menampakkan wajahmu.
''Maaf, terlambat. Lama menunggu?'' Bau parfum ini? Aha...
Seketika kau sudah berdiri di sampingku ketika aku memperhatikan gincu banci-banci di sudut taman. Cukup lama aku tak melihat wajahmu. Selama aku merindukan senyum yang menghadirkan palung di pipimu itu.
''Lumayan.''
Kau duduk.
''Aku tetap menyebalkan, bukan? Selalu datang tak tepat waktu.'' Anganku mengulur jauh sebelum kebiasaan itu kau ucapkan lagi.
''Tetapi aku yakin kamu akan datang. Sudah siap?''
''Siap?''
''Ya, bercerita. Bukankah sekarang posisimu sebagai juru cerita dan posisiku sebagai juru tulis?''
''Nikmati saja dulu suasana kota. Sudah lama kita tak melakukan hal semacam ini: melihat anak-anak bermain, para ABG yang saling curi pandang atau bergelut mesra, para banci, atau para pengamen yang mengobral suaranya yang biasa kita pesan menyanyikan beberapa lagu bila sudah kehabisan topik,'' pungkasnya. Matanya ke mana-mana.
Aku terdiam, terpaku menatap mata itu. Mata yang sembab. Mata yang semacam baru tiba di titik frustasi yang tak menemukan ruang untuk berbagi. Matanya seperti ingin bertutur tentang banyak hal yang harus siap kutampung. Tapi mengapa belum mulai bertutur? Sorot itu kemudian menggantung di langit. Berpendar.
Aku diam menyambut kalimat pertamamu. Diam pula menyambut air matamu. Kau bercerita. Banyak. Banyak sekali. Sebanyak air matamu yang terus menetes. Sesekali  menikam manik mataku dengan tatapanmu yang muram.
***
Aku bingung harus memulai dari mana, yang sekiranya aku tidak ikut di dalam cerita yang aku tulis. Mungkinkah pula aku mesti menulis ceritamu tanpa memasukkan aku sebagai salah satu lakonnya? Ah, itu hanya akan menjadi sekedar cerita yang mengandalkan imajinasi belaka. Imaji kosong tanpa makna. Bukankah kau menyuruhku menuliskan kisah nyata? Tentang sakit? Tentang penghianatan?
Rembulan terlihat separuh ketika mengantarkan langkahku jatuh ke taman kota. Kuhirup udara sedalam mungkin dan mengentaskannya tanpa beban. Di depanku, seorang anak menagis meminta eskrim pada ibunya. Dasar anak! Malam hari minta eskrim. Di sudut samping mataku, seorang pengamen mengobral suaranya kepada para pembeli makanan di sepanjang trotoar. Di sudut sebelah mataku, tepat di kursi beton tempat biasa kita duduk, sepasang kekasih tengah menjalin asmara. Betapa rona sejoli itu sungguh tak begitu asing. Ya, itu perempuan yang tengah kudapati menangis pada suatu sore.
''Kalau kita menikah,  ingin punya anak berapa?'' kata perempuan itu, memandang seorang ibu bermain dengan anaknya.
''Empat.''
''Empat? Tidak kurang?''
''Tak punya anak tak jadi masalah asal kau tetap seperti ini.'' Perempuan itu dipeluknya di tengah bekapan dingin sehabis gerimis.
''Jangan bilang begitu. Banyak yang mengatakan kalau anak itu semacam pupuk rumah tangga.''
Satu kecupan mendarat di rambutnya. Lantas ia menggamit kedua tangannya. Tanganku turut bergerak.
Aku tersentak. Aku tahu kalau ucapan-ucapan itu adalah ucapanku sendiri. Kau juga tahu siapa perempuan yang kumaksud. Ah, masa lalu yang sudah berhasil kukubur bangkit lagi, menjadi teror seumpama hantu. Yang tak habis pikir, mengapa aku bersedia menuliskan cerita tentangmu. Yang tak habis pikir, mengapa kau tanpa beban menyuruhku menuliskan cerita tentangmu.
Benar memang, cerita yang kau maksud bukanlah cerita tentang kita, melainkan senandikamu bersama selingkuhanmu. Tetapi cerita itu tidaklah lengkap tanpa menyinggung penghianatanmu telah menyelingkuhiku. 
Betapa bodohnya kita dulu, mengubah status sahabat menjadi kekasih lantaran sama-sama salah mempersepsikan perhatian kita masing-masing. Seharusnya, bila tak mengubah apa pun, aku bisa legawa menarasikan bebanmu tanpa harus merasa terbebani; perasaan iba seorang sahabat tanpa merasa pernah disakiti.
Deru kendaraan mulai lengang. Desis Anjing betina sedang menyusui anaknya cukup jelas terdengar. Malam sudah larut benar. Kertasku tetap putih.
***
Pagi sekali, handhoneku berdering, membangunkanku.
''Bagaimana? Selesaikah ceritaku?''
''Belum. Maaf, aku tidak bisa.''
''Kenapa?
''Aku tak habis pikir kenapa kau memunyai perasaan menyuruhku setelah keputusan berpaling ke lain hati. Itu sudah cukup menyiksaku, apalagi menuliskannya. Maaf, aku tidak sanggup...'' kutekan tombol berwarna merah.
Aku ingin tidur lagi. Hari ini hari minggu, hari libur. Aku tak mau semua berpikir--termasuk diriku sendiri--mengapa sebegitu bodohnya sempat bersedia menuliskan ceritamu yang telah jelas-jelas melukaiku. Tetapi setidaknya, sebagai seorang teman, kebersediaanku menandakan betapa aku masih memiliki rasa iba dan simpati atas kesedihanmu, kendati aku gagal menulis cerita itu.
Sudahlah, aku ingin tidur.***

Jember, 16 Mei 2013

Friday, September 5, 2014

Surat dari Jules Cotard


(Dimuat di Majalah Horison, Agustus 2014)

Aku tak perlu menunggu mati hanya sekedar merasa mati. Ceramah atau nasehat sebelum mati sebagai bekal menembus alam lain, yang katanya penuh fantasi, menjadi semacam angin musiman yang merontokkan dedaunan tua. Cerita panasnya lautan neraka berikut indahnya taman surga menjadi hal yang sungguh-sungguh aneh—bila tidak ingin dikatakan lelucon.

Suatu pagi. Di beranda. Kulitku tersentuh ujung arang cerutu yang dikepit tangan kakek. Kicau burung kakek yang ditarik ke langit-langit dengan ketinggian derajat tertentu telah melupakan satu hal dalam pikirannya jika aku tengah di dekatnya, mengajak mendengarkan kicauan burung yang diberi nama Si Murai Jalul. Kedengarannya cukup aneh, bukan? Jalul adalah simbol sayang kakek kepada burung jenis murai itu.

Si Murai Jalul hanya satu dari sekian burung piaraan Kakek. Di belakang rumah, burung Kacer beradu sahut dengan burung Cucak Jenggot. Jalak Suren juga masih belum dimandikannya. Ya, kakek pernah mengatakan ingin menghabiskan masa tua dengan pekerjaan yang amat disenanginya. Aku baru tahu kalau pekerjaan yang amat kakek senangi adalah memelihara burung setelah kakek mengaku bahwa dirinya sudah tua. Kakek kerap mengatakan ingin terbang, bebas, tanpa beban, tanpa tujuan. 

Kulitku terkelupas. Merah. Tidak panas. Tidak sakit.

“Aduh, kasihan cucuku. Maaf, ya,” Air mukanya menggantung sesal. Matanya belingsatan ke segala sudut rumah. Cerutu itu segera di buang ke seberang pagar. Tangannya segera mengelus-elus tepian lukaku. Matanya celingakan. Semoga tak ada yang tahu, tebakku pada mata itu. Ah, kakek.

“Kakek…!” Alang bukan kepalang, Ibu muncul dari balik tanaman bonsai. Teriakannya seratus persen akan mengagetkan seisi rumah, seperti gempa baru bertamu. Ayah yang cuek karena pekerjaannya dan si pembantu yang paling malas mendengarkan ocehan akan menghampiri teriakan itu.
“Sudah kukatakan jangan dekat-dekat dengan Ari,” sergahnya. Ari, namaku. “Kakek itu ceroboh!”

Ayah yang sudah seperti orang hendak balas dendam juga segera mengumpat. Kepada Ibu, bukan kakek. “Ada apa ribut-ribut?” atau “Tidak bisakah diam sebentar. Aku terganggu.” Hem, entah, kendati aku terlahir dari daging kedua orang itu, aku tak memiliki banyak pembendaharaan kata sebagai tera bagaimana keduanya dapat menjalani hidup bersama sampai sekarang.

Tak terima dengan bentakan Ayah, Ibu turut melancarkan serangan. Endingnya mudah ditebak: Ibu membelaku ketimbang membela Ayah mertuanya, sedangkan Ayah memilih membela kakek ketimbang membelaku. Memang, aku tak sebegitu berharga. Di mata siapapun orang hidup lebih berharga ketimbang orang mati.

Air muka kakek berubah keruh. Bukan tersebab pertengkaran yang biasa terjadi kapan waktu itu. Di langit-langit, si Murai Jalul berhenti berkicau. Sangat disayangkannya mengingat hari masih segar, Jauh dari panas dan bising kendaraan.

Dulu, waktu senggang merupakan waktu yang begitu surgawi, sebelum semuanya berjalan seperti sepasang rel kereta api, tak ada titik temu. Sebagai wanita karir, Ibu disibukkan dengan usaha butik. Kelas importir. Ayah juga disibukkan dengan pangkatnya sebagai manajer perusahaan yang bergerak di bidang multifinancial, selain mengurus kebun teh milik kakek yang sudah dipasrahkan kepadanya. Sampai sekarang keduanya tak berubah; terus diburu pekerjaan.

Aku ingin kembali menjadi anak kecil. Menghabiskan waktu sepenuhnya sekedar bermain. Aku rindu pada pada sebuah album keluarga yang secara bergantian, Ayah dan Ibu menerakan sebuah gambar, membuka halaman per halaman untuk menanamkan kesimpulan dibenakku betapa serasi nan romantis mereka berdua.

“Beruntunglah kamu terlahir sebagai anaknya,” begitulah gambar-gambar itu berbicara sebelum mimpi menghampiriku.

Sekarang, keberuntungan itu sudah purna. Percuma merespon perang mulut itu. Aku juga tidak memiliki alat untuk mengatakan kepada mereka betapa gambar-gambar itu berhasil membangun keberuntungan dalam hidupku. Bicara hanya membuang waktu. Aku bahkan tak punya pemikiran apa pun. Semuanya tak bermakna. Otakku sudah mati. Begitulah kesimpulan surat dari Jules Cotard.

Aku berusia dua puluh tiga tahun. Usia yang menurut seorang yang terlahir sebagai lelaki merupakan usia emas. Usia merdeka. Usia bebas ekpresi. Usia bebas memilih. Usia bebas memutuskan garis hidup antara remaja dan dewasa. Mohon arti remaja dan dewasa ini jangan disandarkan pada usia, karena jawabannya hanya ada pada psikolog. Apabila begitu, kita tidak punya pilihan menentukan sendiri jawabannya. Intinya, bebas. Ya, bebas.

Aku tak memiliki makna dari usia dua puluh tiga tahun itu. Jiwaku hanya bisa dipahami oleh jiwaku sendiri karena orakku tak bisa merespon dan tubuhku tak bisa mengejewantahkannya. Itu sulitnya. Aku hidup diantara dua dunia. Kehidupan yang sangat sesak, pedih, dan pahit. Kupikir, hantu-hantu yang berkeliaraan di dunia ini turut juga merasakan tiga rasa yang ingin ditinggalkanku itu. Hantu-hantu bukan ingin meneror, melainkan ingin bertanya bagaimana cara keluar dari kehidupan di dua dunia.

Dan akhirnya, menghabiskan waktu di pemakaman merupakan tempat yang paling aku senangi. Aku sepenuhnya percaya bahwa bagian dari tubuhku sudah tak eksis lagi. Seharusnya di sanalah tempatku. Aku merasa sudah mati dan sudah selayaknya menemani mereka yang terbaring rapi di bawah tanah sana. Tetapi, keluargaku terus melarang—bahkan terus mengawasiku—pergi ke pemakaman. Kata mereka, aku masih hidup.

Peristiwa aneh ini kualami setelah bangun dari tidur. Benar-benar sulit dijelaskan, apalagi diterima. Aku merasa otakku hilang! Tak bisa merespon rasa dan tak bisa membedakan bau. Naluri berkehendak raib. Aku menjadi orang yang hidup tanpa nafsu. Aku tak butuh makan, tak butuh minum, tak butuh udara, dan semua kebutuhan alamiah manusia lainnya. Akibat peristiwa aneh ini, aku seperti sebuah bola karet yang dibandulkan ke sana ke mari. Membawaku dari puskesmas, rumah sakit, dukun, hingga psikiater.

Kata dokter, apa yang kuderita adalah kelainan syaraf. Kerusakan pada salah satu respon otak untuk menangkap sebuah rangsangan. Satu hal yang aku mujurkan, dokter itu tak tahu kalau aku mengkonsumsi obat anti-depresi yang kuminum tanpa sepengetahuan orangtua. Hem, dokter spesialis macam apa di depanku ini.

Kata dukun, aku adalah manusia yang disinggahi makhluk halus kiriman orang. Makhlus halus itu sudah bersarang lama, beranak pinak, dan sulit dibedakan mana jiwaku dan mana jiwa makhluk itu. Jiwaku sudah menjadi rumah mereka. Sejatinya, makhlus halus itu bisa dikeluarkan dari badanku, namun bisa saja jiwa ikut pula pergi. Owh, Ini bukanlah solusi. Ini pembunuhan terencana!

Kata psikiater, aku kekurangan perhatian. Hal mendasar yang menyebabkan seperti ini adalah keterasingan yang berlarut-larut dalam keluarga. Psikiater cantik berwajah lesung itu (kupikir ia juga memakai parfum bila saja hidungku bisa mengendus bau) menyuruh orangtuaku menghabiskan waktunya bersamaku, setidaknya weekend. Menyambungkan perasaan yang ia logikakan dengan kinerja sistem syaraf. Ia juga menyarankan melakukan liburan keluarga, tidak tanggung-tanggung, ke luar negeri sambil lalu menemui seorang ahli neurologi bernama Jules Cotard[1].

Perihal perjalanan ke luar negeri bisa dikatakan hobinya Ayah. Tiga kali ia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif sekedar berkeinginan berpelesiran gratis ke luar negeri. Tiga kali nyalon, tiga kali gagal. Setiapkali ada kesempatan pasti mencalonkan diri. Menurut perhitungannya, orang yang nyalon dengan mengeluarkan uang berapa pun tak ada kata rugi. Urusan modal, belakangan. Sampai aku menerakan soal ini, hobinya tersebut gagal diwujudkan kecuali dengan uang sendiri. Pantaslah bila Ayah yang paling ngotot melakukan perjalanan ke luar negeri. Jules Cotard adalah jalan alasannya kendati kota Paris yang bersarang di pikirannya.

Dua minggu kemudian, kami berhasil menemui Cotard. Dua minggu selanjutnya, ia melayangkan surat. Begini isi suratnya:

Sungguh, dia benar-benar pasien yang luar biasa. Apa yang dia rasakan tentang dunia yang melahirkan pengalaman tak lagi menggerakkannya. Ia merasa berada dalam kondisi antara hidup dan mati…

Kedatangan surat itu seakan menjadi palu hakim, memvonisku sebagai orang yang hidup tetapi mati. Aku benar-benar tak perlu merasa untuk makan, minum, berbicara, atau apa pun. Cotard mengatakan bahwa segala kebutuhan alamiahku sebagai orang yang masih hidup harus dijaga. Jadilah aku seperti tanaman. Harus dipupuk. Harus disiram. Harus dijaga segala nutrisinya. Apabila terlambat sedikit, akan layu tanpa mengeluarkan desis keluh.

Orangtuaku sekarang memiliki hobi lain. Mereka kerap membatu. Agenda kerja harian menjadi kacau. Nah, jadilah keluarga kami keluarga batu: eksis dengan pikiran masing-masing. Barangkali mereka ingin memahami sejauh mana rasaku di atas rasa mereka. Barangkali pula mereka ingin memahami makna surat dari Cotard pada bagian tulisan: ini penyakit sindrome yang banyak diakibatkan oleh depresi dan efek pil anti-depresi...

Mujur. Kedatangan kakek melahirkan kembali kran ‘kemeriahan’ keluarga yang sempat hilang. Ayah membawa kakek tinggal serumah setelah kedua adiknya sepakat mengirimkan kakek ke Panti Jompo. Materi sudah mengalahkan cinta. Kesibukan mengalahkan sayang. Sementara, Ayah masih ingin mengembalikan sesuap nasi yang pernah disuapkan kepadanya tempo dulu.

Masalahnya, Ibu kurang senang. Mengurusi seorang anak saja pekerjaan sudah kacau, apalagi ditambah mengurusi manula. Alasan Ibu kupikir berlebihan. Kata pembantu, karena kakek bau tanah. Kapan-kapan aku perlu mengajak Ibu mengunjungi tempat yang sangat nyaman, tempat faforitku. Tempat yang seharusnya aku berada di situ. Ibu harus sadar betapa manusia diciptakan dari tanah dan sepantasnya kembali ke tanah. Pemakaman dapat menjawabnya. Semoga.

Engkau mungkin berpikir, kenapa orang yang merasa otaknya sudah hilang atau orang yang sudah merasa hidupnya sudah tak eksis lagi bisa menjelaskan apa yang dialami. Otakku memang tak berfungsi merespon pertengkarang hebat keluargaku yang terjadi hampir kapan waktu. Otakku juga tak berfungsi menyerap memaknai surat dari Cotard. Otak hanyalah alat untuk menyampaikan respon perasaan dan rasa itu sendiri tersimpan pada palung jiwa yang sangat dalam. Jauh melebihi fantasi. Bila otak tak berfungsi, apakah perasaan tak bisa disampaikan?

Kesimpulannya hanya ada pada satu titik, betapa jiwaku kini tidak pernah bisa diselami oleh mereka yang tubuhnya bersarana sempurna, sebagaimana yang ditulis Cotard pada akhir suratnya. []

Jember, 4 September 2013


[1] Jules Cotard, dokter pertama yang menemukan dan mendeskripsikan kondisi neurologi misterius yang diakibatkan oleh pil anti-depresi yang kemudian disebut Sindrome Cotard, yaitu orang hidup tetapi merasa dirinya sudah mati.