Cerpen Fandrik Ahmad
(Dimuat di Lampung Post, 11 November 2012)
Di matanya, nasi putih yang
tersaji di atas lincak, kosong tanpa rasa. Nyeri yang timbul dari salah satu
bagian otot pahanya yang terputus membuat selera makannya tak kunjung datang.
Hanya duduk miring-miring di sisi lincak. Sedikit-sedikit meringis sakit bila
sebagian tubuhnya digerakkan. Maka sebenarnya, kendati hanya paha kaki bagian
kiri yang bengkak, perasaan sakit akan menjalar, terpusat di situ. Geliatnya
tak ubahnya sebuah ekspresi manusia yang sudah bosan menjalani hidup.
Namanya Salim. Ia acapkali mengutuk kecerobohan Parjo, patner kerjanya. Mengatai tak becus bekerja
sampai mengatai memang sengaja ingin mencelakainya. Suatu hari, saat hendak
menyudahi pekerjaan menggali sumur milik Nyai Tomang, lelaki dekil 20 tahun itu
tak cekat meraih ember dan parang ketika diarit sehingga ember yang digunakan
untuk mengarit tanah ke permukaan dan parang yang sudah tumpul ujungnya untuk
merapikan sisi bundaran sumur, nyemplung kembali mengenai dirinya yang masih
berada di dalam sumur itu.
Si istri menghampiri.
Menyodorkan sambal sisa kemarin pagi yang sudah digoreng lagi. Salim tetap tak
berselera meski di atas lincak itu tersedia terong rebus—kesukaannya—menggoda. Ikan asin pun juga gagal memancing selera makannya.
“Dimakan, Pak. Mumpung masih hangat. Kapan mau cepat sembuh kalau terus
begitu,” tukas istrinya.
“Bentar saja. Belum lapar,” Salim meninggalkannya sendirian di lincak. Seperti menyeret beban hidup, ia
bergegas ke beranda sembari menyeret kakinya yang tak pernah berhenti ngilu dan
kesemutan, seakan ada tumpukan ulat berpesta dalam
bengkak luka yang tak kunjung tertutup dan kering. Di luar, matahari menghanguskan halaman.
Sesekali pandangan dikacaukan angin yang menghempaskan debu.
Tangannya mengepal bersandarkan tiang bambu. Kedua alisnya mengerut hampir
bersatu membentuk kepak sayap elang yang tengah menukik menemui mangsa. Angin
tenggara membarakan amarahnya. Sudah diputuskan kalau Parjo akan di-PHK dari daftar patner kerja. Toh,
kehilangan Parjo bukan perkara memusingkan. Masih ada
Dulla, Saini, Ropil, atau yang lain
yang bisa diajak. Intinya
tidak dengan Parjo!
Warga kampung dan yang
setetanggaan dengan kampungnya merasa berbela sungkawa berselimut cemas atas
musibah itu. Pasalnya, kala mereka bergantian menjenguk Salim, kerapkali ia membuat
pernyataan untuk berhenti menggali sumur. Tentu akan menjadi mimpi buruk
apabila Salim berhenti. Siapa yang akan memberikan kehidupan di kampung itu
selain dirinya? Siapa yang akan memberikan sumber mata air selain dirinya?
Hanya ia yang bersedia menjadi tukang gali sumur, semua merasa gengsi. Lebih
baik tak memiliki pekerjaan ketimbang menggali sumur. Lebih baik kerja di luar
negeri ketimbang menggali sumur. Begitulah, segelintir pernyataan dari mereka.
Tak terhitung sudah seberapa
banyak jasanya bagi keberlangsungan hidup kampung itu. Lebih banyak dari
pundu-pundi uang hasil dari timbal jasanya. Satu sumur bisa dikerjakan dalam
waktu tujuh sampai delapan hari, tergantung dalamnya sumur. Upah yang bisa
didapat dua ratus ribu sampai tiga ratus ribu rupiah, tergantung kedalaman
sumur dan tergantung pada keikhlasan yang memberi. Itu pun seperempat persennya
diberikan kepada si tukang arit tanah galian.
Salim adalah aset berharga.
Satu-satunya orang yang mau mengambil pekerjaan itu. Berkat dirinya warga
kampung tak cukup kesulitan mencari air. Berkat dirinya penduduk kampung
terhindar dari derita musim penceklik berkepanjangan. Tangannya adalah sumber
mata air yang membasahi kulit, kerongkongan, sawah, dan ladang saat kemarau
tengah mencekik kampung. Baginya, musim kemarai merupakan berkah karena warga
banyak yang membutuhkan jasanya. Pada musim inilah ia berkesempatan menyisakan
uang untuk ditabung untuk biaya kehidupan keluarga, termasuk anak semata wayang
yang sudah menginjak kelas dua Madarasah Tsanawiyah.
Keberhargaan warga terhadap Salim baru
terasa saat ia mengalami musibah. Maka, apabila salah satu dari mereka tengah
lewat di lokasi sumur Nyai Tomang, tempat di mana awal perkara terjadi, mereka tak
pernah absen menggaungkan umpatan serta kutukan kepada Parjo ke dalam sumur
yang kedalamannya sudah mendekati enam meter itu. Bahkan sampai ada yang berani
menggaungkan sebuah ancaman membunuhnya apabila Salim benar-benar tidak mau
lagi menggali sumur.
“Ini tanggungjawab Parjo,” kata Lessap
kepada kawannya ketika tengah melewati sumur itu.
“Bertanggungjawab bagaimana? Ya,
nama sudah kecelakaan, ya, memang sudah apes,” Jawabnya mencoba bersikap bijak.
“Kamu mau menggantikannya jadi
tukang gali sumur?”
Lelaki itu tak bisa menjawab. Akan
tetapi, dari raut muka yang ditampakkan, tidak bisa memerankan posisi Salim.
Diam adalah pilihan yang tepat menengahi kebingungan.
“Makanya,” ia menaikkan suaranya.
“Pikirkan bila kang Salim benar-benar berhenti. Tak ada sumur. Tak ada air.
Kampung kita akan mati!”
Terbayang kemudian di kelopak
matanya sebuah kampung yang dilindas sejarah. Cerita yang diabadikan sebagai
kampung yang hilang hanya karena gara-gara tukang gali sumur. Air mukanya
menjadi keruh. Kekeringan dan kelaparan menyelimuti ketakutan; kampung mati.
Tak ada ternak. Tak ada hijau tanaman. Hanya dua usaha yang terbesit, menekan
perut sembari saling sikut antar kerabat serta tetangga. Seperti sebuah
sakratul maut, mereka merintih dan menjerit sebelum benar-benar larung dalam
tidur panjang.
“Kamu benar. Parjo pantas
bertanggungjawab,” lelaki itu pun turut mengamini.
Kebencian warga kepada Parjo
bertumpuk di dalam sumur menggantikan air yang gagal menggenang. Kasak-kusuk warga
yang menyalahkan Parjo seperti sebuah gaung; di manapun, kapanpun, dan dari
manapun asalnya gaung itu akan ditangkap oleh gendang telingan Parjo. Sadar
keselamatan dirinya terancam, Parjo tak bisa tinggal diam. Ia membutuhkan
keadilan untuk membela. Siapa tahu gaung itu akan berbuah nyata. Toh,
musibah tersebut bukan kehendaknya. Harus ada kuasa hukum yang bisa memberikan
keadilan untuk dirinya.
Pada suatu kesempatan, Parjo
bertamu ke rumah kepala RT. Pemahamannya, kepala RT memiliki payung hukum
kenegaraan, bisa memberikan keadilan. Kepala RT kan termasuk aparat pemerintah
meski hanya selevel kepala kampung, pikirnya.
Kepala RT menyambut Parjo dengan
wajah sinis. Bibirnya ditarik separuh. Mungkinkah juga tersebab peristiwa itu? Ah,
ia dipilih untuk menegurus kampung dan harus bijak menyelesaikan sebuah
permasalahan.
“Pak, tolong saya. Ancaman kepada
saya semakin banyak,” jelas Parjo.
“Ancaman yang bagaimana? Persoalan
apa?”
“Bapak pasti sudah tahu mengapa
mereka mengancam saya. Mereka semakin banyak, Pak. Ancamannya macam-macam.
Katanya mereka ingin mengusir saya dari kampung ini. Bila tidak mau, mereka
akan memaksa dengan membakar rumah saya. Ada juga yang ingin membuat kaki saya
bengkak seperti kang Salim. Ada yang lebih nekat lagi, Pak. Mereka ingin
membunuh saya!” Jelasnya dengan nada yang sangat kuat. Kepala RT diam hambar.
“Begitu, ya. Hem…”
“Ya, Pak,” tegasnya.
“Lalu, kenapa kamu ke sini?”
“Saya ingin meminta perlindungan
kepada bapak.”
“Kepada saya? Memang saya hansip
kampung? Memang saya polisi? Saya kepala RT.”
“Justru itu, Pak. Saya ingin
meminta perlindungan hukum dari bapak.”
“Owh, tunggu dulu. Tidak bisa
begitu,” kata kepala RT. Tenang. Tenang sekali.
“Kenapa, Pak? Di kampung ini bapak
kepala RT.”
“Kalau urusan kampung, baru ke
saya. Ini kan urusan pribadimu.”
“Semua penduduk kampung mengancam
saya. Bukankah ini sudah menjadi persoalan kampung? Persoalan keamanan karena
mau main hakim sendiri? Bapak harus melindungi saya. Saya tidak bersalah, Pak,”
urat di lehernya hampir menyumbul.
“Terus?”
“Apanya yang terus, Pak?”
Kepala RT diam. Sesekali pula lelaki
tambun itu melirik Parjo. Sementara Parjo semakin tidak tenang menunggu
keputusan lelaki tambun di depannnya. Betapa ia merasa kesulitan mendapatkan
keadilan di kampung sendiri, apalagi di luar.
“Kamu kabur saja dari sini. Beres.”
Parjo tersentak.
“Kabur? Bapak ngawur! Bapak mau
mengusir saya?” Nadanya meninggi.
“Tidak.”
“Siapa yang akan mengurus emak dan
adik saya?”
“Bawa kabur saja sekalian. Beres.”
Parjo naik pitam, tak mampu menekan
amarah. Ia berdiri. Mendorong cepat kursi duduknya ke belakang sembari menatap
tajam kepada kepala RT yang tetap begitu tenang. Ingin rasanya mencekik leher
kepala RT tersebab kegagalan mendapatkan keadilan. Namun ia lebih memilih menyegerakan
langkah menjauhi rumah itu.
“Ketimbang digerebek massa, lebih
baik pergi jauh-jauh!” Teriakan kepala RT semakin mengukuhkan kesimpulan bahwa
orang tersebut juga tidak menghendakinya.
Hampir sebulan Salim melawan luka
bengkaknya. Warga semakin cemas. Satu per satu sumur tak bisa terpakai. Kosong
tak berisi. Sementara mereka tetap tak memunyai solusi apa pun untuk bertahan
memenuhi kebutuhan air. Mereka tetap tak menemukan pengganti Salim. Tak ada
yang mau. Alasannya beragam, namun di balik keragaman itu tersirat betapa upah
tak sebanding dengan pekerjaan. Lebih baik merantau ketimbang memilih pekerjaan
itu.
Pada suatu malam yang tak lagi hening,
penduduk kampung menyemut menuju rumah Parjo. Ada yang membawa parang, golok,
celurit, pentungan, pikulan, gentong, dan apa saja yang bisa menggebuk Parjo.
Di tangan kiri mereka memegang benda yang sama, obor.
“Celaka, Pak. Penduduk kampung
mendatangi rumah Parjo,” pungkas istrinya ketika melihat pendar cahaya yang membesar.
Aduan istrinya menyentakkan adrenalin. Salim ternganga. Bagaimanapun ia tahu
kemarahan warga tersebab dirinya. Tak pernah dibayangkan betapa pekerjaan yang
oleh warga dipandang sebelah mata kini berbuah petaka. Satu sisi ia merasakan
sebuah kebanggaan akan keberhargaan dirinya. Ya, hatinya berseru betapa
perannya sangat vital. Namun, secuil kebanggaan itu tidak lebih besar dari rasa
bersalah yang ia rasakan: Parjo adalah orang yang pernah sama-sama mengusap
peluh, makan, menyeruput kopi, dan merokok bersama sehabis bekerja. Oh,
betapa tiada yang lebih indah daripada kenangan itu.
“Kita ke sana, bu!”
“Terlambat, Pak,” kata istrinya.
Parjo tak memedulikan. Ia terus berjalan secepat mungkin meski jalannya tak
beraturan. Cemas akan keadaan suami, istrinya turut menyusul.
Api begitu nyata
di mata Salim. Percikan itu melumat perasaannya. Umpatan-umpatan para warga
seperti turut pula membabat habis rumah beratap anyaman jerami padi itu. Semua
yang menyaksikan bersuka cita, tontonan menarik, kecuali Parjo, istrinya, dan
perempuan tua yang bersimpuh di tanah meratapi nasib. Dadanya sesak. Matanya
sembab. Seorang perempuan kecil menjerit-jerit di sampingnya. Menyeracau tak
jelas. Ya, perempuan tua dan perempuan kecil itu adalah emak dan adik Parjo.
Salim memeluk
istrinya sekuat mungkin. Bibirnya berguncang. Benar-benar tidak terduga sikap
warga bisa senekat ini. Darah tak lebih panas dari api di hadapannya. Namun apa
dikata ia tidak mungkin bisa melawan orang sebanyak itu. Matanya terus menjalar
di antara kobaran api mencari keberadaan Parjo. Kemanakah orang itu? Hanguskah
di dalam sana?
Hingga sudah tak
ada yang bisa dilahap oleh kobaran api, hingga panas sudah menjauh dari rumah
itu, dan hingga tinggal serakan arang abu di sana-sini, Salim belum menemukan
lelaki dekil itu. Namun ia cukup merasa lega. Pasalnya, Parjo selamat dan
berhasil melarikan diri dari amukan massa.
Kecemasan belum
berlalu. Warga terus memburu Parjo. Di samping itu, beberapa orang berusaha
membujuk Salim untuk kembali bekerja. Mereka bersedia menaikkan gaji yang biasa
ia dapat menjadi dua kali lipat. Namun ternyata Parjo sudah terlanjur kecewa oleh
peristiwa pembakaran itu. Akhirnya, melalui kesepakataan bersama, warga
bersedia bergotong-royong membuat sumur. Demi membuktikan komitmen, mereka akan
meneruskan sumur milik Nyai Tomang yang belum selesai. Setiap hari akan dipilih
setidaknya lima orang untuk bekerja menggali sumur. Herannya, di sumur itu
mereka merasakan suatu keanehan; bau busuk yang sangat menyengat.Ternyata bau
busuk itu dari seonggok mayat. Parjo!
Ditemukannya
mayat Parjo justru kian membuat penduduk kampung semakin cemas dan ketakutan.
Kematian Parjo seperti menjadi sebuah kutukan. Orang-orang yang mencoba membuat
sumur hanya mentok pada kedalaman tak lebih dari sembilan meter. Macam-macam
alasan yang mencuat: tak ada tanda-tanda air akan muncrat, takut ketinggian,
takut gelap, sampai ada yang mengemukakan mencium bau busuk yang diduga sebagai
kutukan dari kematian Parjo.
Semakin hari, sumur-sumur
semakin tandas air. Dedaunan meranggas. Bebatuan
di dasar kali teronggok lesu. Kering. Reta-retak tanah memilukan. Bila ada
ingin mendapatkan air haruslah berjalan menuju kampung sebelah sejauh dua kilo
menuruni sekaligus menaiki bebukitan.
Warga tergerak kembali
mendesak Salim bersedia menggali Sumur, dengan cara apa pun. Ini adalah
tugasnya.***
Jember-Sumenep, 8 September 2012
0 comments:
Post a Comment