Malam itu, aku bersama Riyanti sepakat akan menghitung banyaknya bintang yang jatuh dari langit. Di malam kasih sayang. Menghitung hingga subuh menjemput matahari.
Banyak orang yang beranggapan bahkan memberi umpatan bahwa hal yang kita jalani adalah pekerjaan orang yang tak waras. Bagi kita? Biasa. Mereka tidak mengerti akan peristiwa jatuhnya 1001 bintang di malam kasih sayang. Memang tidak banyak yang tahu! Tak banyak yang mau tahu.
“Sudah ngantuk? Jangan menguap terus, entar bintangnya jatuh ke mulutmu,” candaku saat melihat Riyanti terlihat ngantuk.
“Sayang, tinggal 547 lagi,” lalu menyandarkan kepalanya ke dadaku.
“Lho! Kok perhitungannya tidak sama.”
“Barapa?”
“454”
“Kok bisa jauh beda? Sih!”
“Aku ngitung yang jatuh, bukan yang belum.”
Aku tertawa. Riyanti justru mencubitku. Oooh…sungguh romatis malam itu. Di bawah pohon pualam, suara tokek bersahutan. Angin berdesir membuat kami semakin erat berpelukan.
Tak banyak yang tahu tentang peristiwa jatuhnya 1001 bintang. Jika diberi tahu, belum tentu percaya. Dan, memang remaja sekarang banyak yang tidak percaya. Mereka lebih memilih hal-hal yang kongkrit, semisal memuaskan cinta di bawah kerlap-kerlip lampu sambil geleng-geleng kepala. Sudah pusing, tiduran dech!.
Peristiwa itu terjadi ketika Dewa Eros, Sang Dewa Cinta dilanda kegelisahan akibat dilema cintanya yang begitu rumit. Akibat dilemma itu, ia membabi buta dan melepaskan semua anak panahnya ke langit. Konon, setiap satu anak panah akan kembali setelah 1001 bintang jatuh.
Malam semakin larut. Kami berusaha tetap bertahan meski pun dingin terus berpetualang. Aku dan Riyanti sudah sepakat untuk melihat peristiwa itu terulang kembali di depam mata.
“Aku ngantuk,” mulut Riyanti terbuka. Segera aku sambut.
“Tinggal berapa?” tanyaku lembut.
“73 lagi. Sudah tidak kuat. Berhenti saja”
“Kau yang begitu ingin melihat panah itu jatuh di atas cinta kita. Dan kau ingin melihat seperti apa kemilaunya,” semoga ucapanku menumbuhkan semangatnya kembali.
“Lihat! Ada yang jatuh lagi. Itu lagi! Itu! Terus… 72. 71. 70. 69. Bertahanlah!”
Riyanti beringsut. Merapikan tempat duduknya dan bersandar kembali di pangkuanku. Akutidak tega melihatnya. Mungkinkah peristiwa itu akan terjadi?
Meski tak akan terjadi, aku sudah merasakan turunnya aroma romantisme Dewa Eros. Malam itu akan menjadi kenangan terindah dalam sejarah cinta kita.
36… 27… 21… Riyanti sudah tidak kuat menahan dinging yang terus mencekam. Menggigil. Bibirnya gemetar seperti gemuruh ombak yang tenang.
17….14….9…. Riyanti sudah memejamkan mata. Terlalu lelah untuk ditahan. tertidur lelap di pangkuanku. Wajahnya begitu merona. Luar dalamnya begitu cantik. Wanita yang tidak kenal dengan yang namanya dugem, miras atau pun narkoba. Ia lebih memilih membaca, menulis atau jalan-jalan dari pada memasuki ruang yang kelam itu. Baginya romantisme adalah ketenangan, bukan menghambur-hamburkan uang. Begitulah yang aku tangkap dari salah satu sisi kehidupannya.
“Riyanti… Riyanti… bangun, tinggal 5 lagi. Harapan kita akan nyata.”
“Begitukah?” suaranya serak, hampir tak terdengar.
“Riyanti bangun, 4 hitungan lagi!”Riyanti beringsut.
”Lihat! Bintang yang ke 999”
“1000. Satu lagi Riyanti! Satu lagi!” Sebentar lagi cintaku akan abadi.
Riyanti tetap berat membuka mata. Ia terus mencoba. “Fan, cahaya apa itu?”
Cahaya? … terang sekali. Aku tak pernah melihat kemilau cahaya seterang itu di malam hari. Bukan… kemilau itu bukan cahaya anak panah Dewa Eros. Itu cahaya matahari pagi.
Aah… Aku terlambat ke sekolah!
Tuesday, August 18, 2009
ROMANTISME 1001 BINTANG
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment