Cerpen Fandrik Ahmad*
Jika ada seorang yang bertanya tentang apa yang diinginkan dalam hidup ini, jawabnya pasti beragam. Namun, dari keberagaman itu, aku yakin senua akan bermuara pada satu titik simpul; kebahagiaan. Tak kecuali aku. Tapi kita hanya bisa menjalani hidup. Tak punya daya kekuatan untuk mengatur hidup.
Hal itu yang menimpa hidupku, kini. Aku mengimpikan kebahagiaan. Keinginan yang diimpikan banyak orang itu seakan tak pernah berpijak dalam hidupanku.
Awalnya, bermula dari Eppak1 terbaring sakit keras. Ia mengidap penyakit diabetes hinggga bobotnya turun 6 kg. Selama enam bulan ia dirawat di rumah sakit. Sebulan yang lalu Eppak—terpaksa—dipulangkan ke rumah. Keluargaku tak sanggup membiayai segala perawatannya. Hutang keluarga sudah sangat banyak, apalagi bunganya terus bertambah.
Di rumah, aku dan Emak2 harus jatuh bangun menghidupi kesehatannya. Setiap hari aku harus berjalan sejauh 2 km untuk membeli obat. Yang satu biji seharga 7.500, tiap hari harus membeli obat itu sebanyak tiga butir. Keadaan seperti ini membuatku dan Emak seringkali berpuasa. Sebenarnya, aku malu pada Tuhan, puasaku bukan murni lahir dari keikhlasan, melainkan keminiman ekonomi.
Suara itu berbisik membangunkanku. Setiap subuh berkumandang. Aku bisa menebak, itu suara Emak di dapur. Menggunakan lampu teplok3 sebagai penerang kesibukannya. Begitulah, listrik di kampungku tidak ada. Sedangkan minyak tanah masih moncer-mampet. Penduduk kampung harus bersusah payah mendapatkan minyak yang terbilang langka di Negeri yang kaya akan tambang minyak ini. Di tengah pagi buta, ia sudah memulai aktivitasnya.
Lampu teplok meliuk-liuk tertiup angin, membuat bayangannya seperti raksasa. Meliuk-liuk seperti penari. Aku selalu membiasakan diri bangun pagi. Kata Ustadz Syafi’i, guru ngajiku, bangun pagi dan berwudhu’ adalah cara mujarab mengaktifkan indra setelah istirahat, terutama otak. Belajar paling efektif adalah saat kepala belum terisi apa-apa, begitulah kata beliau.
Cekatan sekali tangannya mengolah bahan mentah menjadi jajanan pasar yang menarik. Semenjak Eppak sakit, ia bekerja keras, menjual jajanan beraneka macam. Dibawa ke pasar ketika hari senin dan kamis. Itulah pekerjaannya semenjak Eppak sakit keras.
Sakit Eppak semakin parah dan harus dilarikan kerumah sakit lagi. Aku tidak tega melihat beban yang ditanggung Emak. Kuputuskan untuk berhenti sekolah demi membantunya. Memang, ada rasa iba yang amat sangat ketika harus mengakhiri sekolah hanya sampai kelas 2 MTs. Air mataku muntah, jiwaku merintih. Emak terpaksa harus pinjam uang lagi pada Ki Jarot, tengkulak ikan di kampung kami.
“Utang yang bulan lalu belum dibayar, malah mau ngutang lagi,” bentak Ki Jarot ketika aku dan Emak bertandang kerumahnya. Aku tak bisa melupakan kejadian itu. Dalam perjalanan, mata Emak selalu sembab. Apa yang harus aku lakukan?
Pagi itu, datang Junaedi, tunanganku. Ia membawa selembaran uang. Katanya untuk kebutuhan Eppak di rumah sakit.
“Uang ini hasil jual sepeda dan tabunganku.” Ujarnya singkat.
Aku malu pada keluarga Junaedi. Mereka sering membantu keluargaku. aku tak tahu bagaimana harus membalas budi baiknya. Sebulan yang lalu, seluruh hasil panen jagungnya diberikan untuk biaya Eppak.
Junaedi adalah calon suamiku––tepatnya adalah tunanganku. Aku dijodohkan dengannya sejak kecil4. Aku suka kepribadiannya, seorang anak nelayan yang sederhana.
Selang satu minggu di rumah sakit, Eppak menutup mata, kembali keharibaan-Nya. Kami berduka telah kehilangan sosok sangat bijak yang pernah dimiliki keluarga kami. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Emak menjerit sejadinya membuat aku semakin pilu.
Ia meninggal tidak menyisakan sangkolan5. Seluruh harta keluarga kami terkuras habis untuk biaya perawatannya dulu. Bahkan, kini aku dan Emak harus menanggung utang yang kami pinjam dari Ki Jarot.
“Aku kasihan pada Emak, setiap kali bayar hutang, hanya cukup membayar bunga saja. Bahkan bunga itu belum sepenuhnya terbayar,” aku mengadu pada Junaedi, hanya ia yang bisa mengerti perasaanku.
“Aku tahu, sungguh berat tanggungan keluargamu. Sabarlah, aku akan berusaha membantu melunasinya.”
Sebagai tunangannya aku malu, ia seakan sudah menggantikan sosok Eppak-ku, menanggung segala beban keluarga.
Sore itu, menjadi kisah yang sangat memilukan dalam hidupku. Ki Jarot datang kerumah, menuntut hutang yang sudah lima bulan belum dibayar. Ia memberi jangka satu minggu untuk melunasi seluruh hutang Emak tanpa tersisa. Jika tidak, maka aku harus rela dinikahinya, menjadi istri ke empatnya6. Dengan begitu, semua hutang akan dianggap lunas. Itulah ancaman yang ditawarkan jika sampai keluargaku tidak bisa lunas dalam jangka waktu yang ditetapkan.
“Maafkan aku, Jun! Aku telah menodai cintamu,” air mataku jatuh berurai.
“Maksudmu?” Junaedi tak mengerti.
“Kamu tahu kan, seberapa banyak hutang keluargaku pada Ki Jarot? Beberapa hari yang lalu, ia datang ke rumah menagih hutang itu kembali. Ia memberi jangka waktu seminggu. Jika tidak, aku harus menjadi istri ketiganya."
“Lantas, kamu menuruti kemauannya begitu saja?” Mimik wajahnya tiba-tiba berubah. Seakan tak percaya…
“Emak diseret-seret begitu saja di depan mataku sendiri. Apa aku tega? Tidak! Lebih baik aku menjadi istrinya dari pada melihat Emak diperlakukan sewenang-wenang oleh anak buahnya, tapi bagaimana denganmu?” terasa air mataku mengalir semakin deras di pangkuan Junaedi––tunanganku.
Sejenak, hening tiba-tiba merayap seperti ular. merajai kegalauan kami saat itu. tak ada sepatah katapun yang terucap.
“Sekarang, aku akan ucapkan salam perpisahan padamu. Semoga kau dapat pengganti yang lebih baik dariku. Karena besok, aku akan menikah dengannya.” Sakit sekali meninggalkannya terpaku sendiri menatap deburan kecemasan ombak kecil, melihat air matanya keluar tanpa tumpah. Tatapannya kosong saat langkahku semakin menjauh.
Aku tahu, apa yang harus aku perbuat; menjaga nama baik keluarga, menjaga harga diri, menjaga Emak yang selalu disakiti, dan itu merupakan amanat dari Eppak untuk menjaganya. Hidup memang terlalu liar untuk ditinggalkan dan terlalu jahat untuk dijalani.
Malam yang indah bertabur bintang-gemintang. Melati-melati itu sudah ditabur di halaman, membawa aroma bunga surga. Namun, di kamar aku menangis sendiri menatap diriku di cermin yang sudah berhias melati. Sebentar lagi bunga itu akan layu seumur hidup.
“Sudah siap, Nduk?” Dari cermin, kupandangi wajah Emak yang sedikit keriput. Matanya sembab. Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya ketika air mata menghujani gaun pengantinku. Aku jatuh dipelukannya. Kepasrahan adalah jalan terakhirku.
“Ki Jarot, keluar kau!” tiba-tiba ada suara lantang dari luar mengagetkan kami.
Oh…tidak. Bukankah itu suara Junaedi, kekasihku.
Aku melangkah keluar kamar, dan benar! Itu suara Junaedi yang terlihat angkuh dengan memakai celana hitam, kaos putih, dan sarung yang diikat di pingangnya, serta tangan kanannya mengacungkan celurit ke wajah Ki Jarot.
“Hai, bocah, ikan teri, bosan hidup ya?” Di tengah kumpulan para anak buahnya, Ki Jarot berdiri di atas kesombongannya. Aku cemas, semoga saja tak terjadi apa-apa dengan dia.
“Aku ingin membuat perhitungan denganmu, Lintah Darat!” suara kekasihku begitu lantang. Membuat dadaku semakin kalut.
“Apa? Anak bau kencur sepertimu ingin buat perhitungan. Emangnya mau belajar Matematika?” tawanya pecah, lantas diikuti oleh semua anak buahnya.
“Katembheng pote mata, bengo’ pote tolang.7” Sesumbar Junaedi.
Hanya dengan mengangkat kedua tangan Ki Jarot, seluruh anak buahnya telah mengepung Junaedi. Memang, ia didikan alam liar, dan kini telah menunjukkan sifat keliarannya.
Malam itu menjadi persaksian manusia yang disulut emosi. Celurit berayun-ayun tak tentu arah memamerkan kilatan singkat. Diselingi teriakan-teriakan lantang. Melati-melati itu terinjak kaki yang liar, yang nampak hanya sekelebatan bayangan nafsu manusia yang hampir tuntas. Aku menititkkan airmata dan menjerit sejadi-jadinya dipelukan Emak.
“Mati kau, bocah!!!”
“Tidak…!" Teriakku lantang.
Hidupku hancur berkeping-keping saat ujung celurit itu menggores bagian perut kiri Junaedi. Darah pun tumpah. Mereka tak segan-segan membacok inci demi inci kulitnya.
Seperti angin yang membawa kabar duka, seperti itu pula aku terbang mendekatinya. Aku menyentuh luka yang menganga di perutnya, berusaha merapatkan kembali kulit yang usus-ususnya hampir keluar. Aku meraih celurit yang masih lekat genggamannya. Tawaku pecah, aku merasa celurit itu adalah maskawin yang akan diberikan Junaedi bila saatnya nanti. Saat melati itu bermekaran kembali. Segera kukalungkan celurit itu di leherku dan menekannya kuat-kuat.
Lalu, tiba-tiba Junaedi datang kembali dengan senyum merekah. Mengalungkan melati di leherku.
Annuqayah, 2009
Keterangan:
1. Sebutan Ayah bagi orang Madura
2. Sebutan Ibu bagi orang Madura.
3. Lampu yang terbuat dari kaleng bekas dengan bahan bakar minyak tanah
4. Biasanya tradisi di desa selalu menjodohkan anaknya sejak kecil
5. Warisan
6. Kebanyakan juragan di Madura beristri lebih dari satu
7. Dari pada putih mata lebih baik putih tulang
*) cerpenis, tinggal di Madura
Dinobatkan sebagai juara II LKT Cerpen se-Madura
Dalam rangka memperingati Hari Ibu
Yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) STIK Annuqayah
Tuesday, April 21, 2009
Celurit
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
mm bagus sekali!
Post a Comment