Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Saturday, September 1, 2018

Slerok

(dimuat di Kompas, 15 Juli 2018)

Ia berpesan, jangan dikubur di tanah wakaf. Sebagaimana kata wakaf, siapa pun boleh dikubur di sana. Tak perlu merogoh kocek sekedar penebus sekotak lubang kematian. Tidak. Ia ingin berbaring di tanah sendiri.

“Tak ada yang lebih merdeka selain mati di atas tanah sendiri,” tukasnya.

Namanya Pak Mat. Tinggal di Slerok1. Sebuah perkampungan di kaki Gunung Raung. Bagian dari Pegunungan Ijen. Pemisah dua kabupaten di ujung timur tanah Jawa: Jember dan Banyuwangi. Lelaki berkulit besi tua itu seorang petani rajin dan ulet.

Mengembala ternak menjadi selingan pekerjaan. Saya sering mengambil bagian dari pekerjaan ini. Hampir pasti semua petani memiliki ternak. Terutama sapi.

“Aku selalu berdoa semoga anak cucuku dapat menggarap ladang dengan baik. Tetapi takdir berkehendak lain. Harapanku hanya ada pada Wulan. Dan Tuhan sudah mengambilnya,tukasnya mengenang kepergian anak semata wayang.

Penyuka semur keong besusul dan oseng pakis itu harus mengakhiri hayat di ujung jarum infus. Keranjingan semur keong besusul membuat tubuhnya digerogot kolesterol. Menjelang sekarat, yang bercokol di batok kepala kami hanya sekotak ladang untuk dijual. Biaya pengobatan sangat tinggi untuk ukuran kelas teri. Sekotak ladang paling masuk akal sebagai penebus kesehatan.

“Pantang petani menjual tanah. Tanah adalah warisan. Menjual berarti menghianati leluhur. Tanah adalah titipan. Karena tanah ini banyak darah bercipratan. Mati di ujung laras,“ tukasnya berkaca masa lalu.

Kami pun tak punya nyali menjual tanah. Ia sudah membuat pilihan sekarat di ujung ajal. Ada kebanggaan bersinar di kelopak matanya. Seolah ia melakukan mati dengan cara yang sangat mulia.  

Sejatinya saya hanya pendatang. Seorang relawan. Pak Mat menyilakan saya tinggal bersama keluarganya. Saya berbagi kamar dengan Wulan, salah satu murid saya. Sayang, detak nadinya berhenti di tahun kesembilan dari hitungan napas pertama. Wulan menyerah di ujung penyakit lupus. Seorang murid cerdas dan periang. Pembara semangat luar-dalam.

Saya hampir jatuh. Pertahanan terbang. Harapan menjadi abu. Sampai terbesit di pikiran untuk jauh meninggalkan Slerok. Apa yang perlu dipertahankan bila mimpi-mimpi sudah lari?

Namun senyum cerlang Wulan dengan segala keterbatasannya, membuat perasaan meningalkan anak-anak Slerok seperti tamparan keras. Sakit sampai ke palung paling hitam. Bayangan Wulan kerap bercokol di pucuk Raung. Melambai-lambai. Sebentuk sapaan saat mentari sorong mengecup kening bumi atau saat senja menutup hari.

Jika saya tak empati pada sekolah dasar, tempat Wulan dan anak kampung Slerok merajut asa, barangkali kaki ini sudah jauh berpijak. Meninggalkan kesiur angin beraroma dingin. Meninggalkan kemilau embun di ujung ilalang. Meninggalkan malam yang selalu basah. 

Sekolah itu saya temukan mati suri. Dua tahun lamanya. Sekolah yang diabaikan pemerintah. Bangunannya serba sirap. Hanya ada dua ruang. Satu ruang diisi tiga rombel: kelas satu, dua, dan tiga. Satu ruang lagi untuk kelas empat, lima, dan enam.

Tak ada yang mau mengajar di sana. Jalan terjal, akses yang sulit. Hanya petugas perhutani yang kerap terdengar di ruang kelas yang sering kosong itu. Itupun seminggu sekali. Seorang teman, salah satu anak petugas perhutani, meminta saya bersamanya mengajar di sana. Menghidupkan kembali sekolah itu.

Namun suatu hari, yang sejatinya tak sanggup dan tak ingin saya ingat, ia menghilang dan tiba-tiba muncul dengan seorang lelaki yang sudah enam tahun mengikat janji dengan saya. Ia datang hanya berpamitan. Selebihnya saya anggap hanya penghianatan.

Saya mesti banyak belajar cara berdamai dengan masa lalu. Toh, masa lalu bukan untuk dihukumi, melainkan sebagai cermin langkah selanjutnya. Saya memilih tetap bertahan. Melupakan segala hal yang terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga.

Ada dua hal yang tak ingin saya lewati, yaitu ketika mentari mengintip dari balik gunung dan ketika perlahan merangkak menjauhi kampung. Gunung Raung, dengan segala misteri yang tersimpan, tampak menjadi permata berkilau. Air jernih mengalir menggoda mata. Ikan-ikan berkecipuk manja. Pepohonan pinus berjejal rapi. Gugusan awan menari di atas kaldera.

Saban pagi sepasang kerbau harus saya tambat di pematang sebelum mengajar. Menyaksikan hingar-bingar kampung Slerok.

Perempuan kok mengembala kerbau. Harusnya memasak di dapur. Daya tarikmu akan berkurang, Duk,tukas Pak Mat, suatu ketika.

“Apakah ada larangan dalam adat perempuan mengembala kerbau?”

“Pantasnya perempuan itu di dapur. Istri yang jago masak adalah dambaan suami.

“Ibu jago masak, ya, Pak?”

“Ibumu cantik karena jago masak,” kami berdua tertawa.

“Jadi, kalau tidak jago masak, ibu jelek, begitu?”

Tiba-tiba tawa kembali lepas sendirinya. Memberi isyarat tak perlu jawaban.

Pak Mat dan istrinya menganggap saya sebagai anak sendiri. Begitu sebaliknya. Di sini, di keluarga ini, banyak kenyamanan yang lebih saya dapatkan daripada keluarga sendiri. Tak ada pertengkaran, kebohongan, kesibukan, dan rasa egois yang kerap saya temukan di meja keluarga di kota. Tak ada kamuflase. Tak ada.    

Saya sering membantu mereka berladang. Kontur tanah yang subur membuat kampung Slerok cocok ditanami aneka jenis tanaman. Penduduk kampung suka menanam padi, tembakau, dan cabai. Saat letih menghampiri, kami istirahat di pondok bambu, menikmati secangkir kopi dan rebusan singkong yang digali dari kebun sendiri.

Pada mulanya saya tak sepaham dengan jalan pikirannya. Sempat berpikir bahwa lelaki cungkring ini tipikal petani yang tak mengerti perubahan. Ketika sebagian petani beralih pada pupuk olahan dan traktor sebagai alat membajak, pupuk kandang dan sepasang kerbau tetap menjadi andalan.

“Seandainya tanah layaknya manusia, pasti merasa kesakitan oleh pupuk berbahan kimia. Seandainya tanah layaknya manusia, pasti merasa kesakitan dibajak kasar dengan baja,” tukasnya.

“Bukankah teknologi mempermudah segalanya? Tanah yang seharusnya dibajak tiga hari menjadi hanya sehari. Sungguh, saya sama sekali tak tertarik dengan cara bertani seperti itu. Sekarang ini kita hidup di dunia yang serba instan.

“Bertani itu tak jauh berbeda dengan bercinta.

“Maksudnya?”

“Tidakkah berpikir betapa mesin itu telah merampas pekerjaan petani? Lihatlah! Pak Murtaep sering menganggur karena tak ada yang mau menggunakan jasa sepasang kerbaunya.”

Sepertinya ada ilmu baru yang saya dapatkan. Sebuah filosofi bertani yang tak pernah diajarkan di sekolah maupun di perguruan tinggi. Rasanya belajar bertani kepadanya juga belajar bagaimana mencintai tanah air.

“Setiap keringat yang jatuh saat bekerja adalah kenikmatan. Sesuatu yang istimewa itu tidak lahir secara instan,” tukasnya.

***
Benih-benih tembakau menghijau sambut kemarau. Nicotiana tabacum itu dikenal sebagai komuditas utama sektor pertanian. Ikon kualitas tembakau daerah Jember. Daunnya bercorak macan tutul bila sudah kering. Aromanya khas. Tak sulit membedakan dengan tembakau lain.

Sesuai permintaan, Pak Mat dikubur di sudut bagian barat ladang miliknya. Saya dan ibu selalu menyempatkan diri mengirim simpul-simpul tawasul untuknya sebelum menggarap sebidang tanah peninggalan.

Perempuan uzur itu bercerita. Betapa suaminya sama sekali tak pernah menanam tembakau. Saya terhenyak. Heran.

Hasil panen seharusnya dinikmati sendiri, bukan dijual kepada orang luar,” tukas ibu menyadurkan cerita pada riwayat bapak.

“Bukankah bertani merupakan ladang penghasilan utama, sebagaimana pedagang dengan ladang usahanya?”

“Tembakau bukan makanan. Tentu semuanya langsung dijual. Tak mungkin menyisakan sebagian untuk dimakan sendiri atau dan berbagi dengan tetangga.”

Menjual untuk membeli. Rasanya sah-sah saja. Sekarang harga sayuran murah. Modal pasti sulit kembali. Bagaimana mungkin bertani dengan cara yang sudah bisa dipastikan merugi?”

Mukanya yang keriput menarik senyum yang masih tersisa. Matanya yang hampir mengabur berkaca-kaca pada sebuah gundukan tanah di mana suaminya disemayamkan.

Siapa yang bilang merugi? Hal paling membahagiakan bagi kami ketika bisa berbagi hasil panen dengan petani lain. Lumbung tak pernah kering. Tak punya uang, kita masih bisa makan. Hampir semua yang tumbuh bisa kita makan. Tuhan sudah terlalu murah untuk kita.

Seperti inikah bentuk patriotisme petani?

Duk, ini wasiat Bapakmu. Dengarkan! Jika kau sudah menemukan jodohmu dan tak pernah memiliki niat meninggalkan kampung ini, maka semua tanah ini kami serahkan kepadamu.”

Mata itu tampak memberi keyakinan. Sorong penuh harap. Lalu ibu menatap lekat pada nisan. Pada gundukan tanah yang mulai ditumbuhi rumput kecil. Mata itu sudah tak sejernih asalnya, tetapi masih seperti gravitasi yang dapat menyerap segala keraguan.

Saya belum siap.

“Alam senantiasa setia mengajari kita.

Sekawanan burung bangau terbang ke peraduan. Angin berdesir pelan. Senja merangkak semakin jauh. Matahari membulat serupa kuning telur gosong.

Kami menuruni jalan setapak. Sampir lorek dijinjing setinggi lutut. Tanaman pakis di sepanjang tebing menguning oleh sapuan senja. Setenteng singkong dalam genggaman. Lepas pandangan ke arah Timur, pohon pinus berderet kokoh seurut bidang tanah yang memiring.

Semua berjalan alami tanpa polesan. Hijau daun, tanah subur, air jernih, udara sejuk dan kicau merdu. Pandangan itu mengingatkan saya pada sebuah bait puisi. Inikah cipratan surga yang bocor itu?2  

Ah, saya jatuh cinta dengan kampung ini. Tak ingin pulang ke masa lalu. Apa pun itu.

Saya ingin jago masak agar tampil cantik seperti Ibu. Maukah Ibu mengajari saya cara memasak yang baik dan benar?”

“Siapa yang bilang ibu cantik?”

Ada simpul senyum terkembang. Saya yakin senyum itu bukan karena pujian. Senyum itu ingin menebak kebenaran dari sebuah jawaban. Ia sudah tahu jawabannya. Sementara saya tetap menjawab sekedar untuk menggodanya.

“Bapak.”

Hem, tumben. Kau tidak sedang jatuh cinta, bukan?”

Saya tersipu. Semoga ia tidak menangkap rona merah muda, karena membayangkan seorang lelaki muncul dari balik senja, suatu ketika, yang entah kapan lelaki itu benar-benar datang menemui saya.[]
Jember, Januari 2018
(Dedikasi untuk keluarga alm. Ribut Sri Wulandari)
Catatan:
1.       Potongan kisah lain tentang Slerok sudah dipublikasikan di Republika, 6 Juli 2014.

2.      Emha Ainun Najib dalam syair Ilir-Ilir.

Thursday, August 9, 2018

Carok

(Nominator LMC Kab. Sumenep 2017)

Tambak garam membentang di bahu kanan dan kiri jalan. Sedap aroma garam. Kincir yang berputar. Bulir-bulir asin mengkristal. Bentangan tambak itu menandakan laju bus yang kutumpangi segera berhenti di terminal Wiraraja. Arloji di pergelangan kiri menunjukkan pukul tiga dua puluh enam menit.

Rem berdenyit. Ada suara suspensi. Penumpang berdesakan seolah bus tak memiliki banyak waktu ngatem di terminal. Mereka bukan tidak tahu bahwa Wiraraja adalah terminal terakhir di ujung timur Pulau Madura.

Lepas kedua kaki berpijak di tanah aspal, kuhirup pelan desau angin yang terasa asin. Masih belum terkira betapa sore ini aku menghirup aroma tanah kelahiran yang cukup lama kutinggalkan. Segar aroma bunga tembakau. Harumnya tanah yang dibasahi hujan pertama di penghujung kemarau. Dan sedapnya nasi jagung dengan lauk ikan asin yang dimakan dengan ulam daun kelor.

Seorang lelaki mendekat. Langkahnya tergesa-gesa. Tubuhnya dekil dan tambun. Kulitnya mulai mengeriput kendati otot-ototnya masih kekar. Anom[1] Mustapa. Orang yang menghubungiku untuk segera pulang. Jika saja ibu tak menyuruhku segera pulang, tentu punggungku masih memanggul karung di tanah rantau.

“Ibumu sudah menunggu, Cong[2]!”

Tanpa berpikir panjang, aku membonceng di belakangnya. Nom Mustapa memacu motornya membelah kota. Masjid Agung terpancang kokoh di pusat kota. Masjid kebanggaan orang Sumenep yang selesai dibangun tahun 1787 Masehi. Ornamen gerbangnya bergaris-garis kuning berpadu dengan warna putih pada setiap sisinya.

Motornya terus melaju. Aku banyak diam.

Sampai di kampung nelayan, pesisir pantai berpagar cemara udang berjejel menyapu pandangan. Keindahan pantai Lombang memang tiada duanya. Perahu yang ditambat di sepertiga pantai menggoda adrenalin untuk berlayar dan bersenandung ole olang.[3] Bocah-bocah pesisir melepas langkah tanpa beban. Berlarian di atas hamparan pasirnya yang putih. Menatap perahu yang tampak kecil dalam pelayaran.

Aku jadi ingat cerita yang selalu menjadi pengantar tidur anak nelayan. Betapa kehidupan kami tak jauh berbeda dengan kehidupan anak-anak ikan di laut; terus bersama saling melengkapi dan melindungi. Tak ada yang melaut sendiri. Mereka akan membentuk kelompok-kelompok kecil lalu hasil tangkapan dibagi sesuai kesepakatan. Aroma amis campur asin dan gaya teriakan cempreng nan lantang menjadi ciri khas karena ombak telah mengajarkan bagaimana bersikap tegas dan sigap menjadi seorang nelayan.

Melihat bocah-bocah pesisir yang berlarian tanpa sandal, aku juga jadi teringat pada perempuan pesisir yang sering bermain denganku di bibir pantai Lombang. Kami sering bermain nikah-nikahan dengan lokan sebagai maskawinnya. Riak ombak yang tenang membuat kami betah berlama-lama di sana. Maemunah nama perempuan itu. Gadis yang seharusnya sudah kunikahi betul jika saja carok tak terjadi waktu itu. Dua tahun lalu. Peristiwa yang sudah mengasingkanku di tanah rantau. Anom mengirimku pada kerabatnya di Jawa sampai waktunya harus melaksanakan carok balasan.

Derap roda motor nom Mustapa melewati Pasar Jukok, tempat transaksi jual-beli antara nelayan dan tengkulak. Anyir ikan menembus rongga hidung. Pasar itu dikuasai kaum perempuan. Ketika para lelaki melaut, kampung nelayan bak kampung perempuan. Tak ada yang dilakukan kecuali berada di emperan rumah, berkumpul sesamanya lalu mendongengkan malam yang mengasingkan; tentang nafkah batin yang jarang terpenuhi, sampai pada sentilan renyah perselingkuhan dengan para tengkulak.

Bapakku seorang nelayan, tetapi rumah kami cukup jauh dari laut. Awalnya kami tinggal di tepi pantai. Sepeninggal nyaeh, mereka pindah ke rumah yang sekarang kami tempati—rumah kaeh-nyaeh[4]—sementara rumah yang lama kami tukar dengan gudang penyimpan ikan.

Roda motor yang kutumpangi kini berderap di atas jembatan yang airnya tenang tak pernah berisik. Aku dan Maemunah kerap bersiraman di situ.  Banyak penduduk mandi dan mencuci, terutama saat kemarau, ketika sumur-sumur menjadi kering. Beberapa sapi seharian ditambat di tepi sungai. Hanya di tempat itu rerumputan tetap hijau. Sementara bila sudah digiring ke kandang, mata sapi itu ditutup plastik hijau agar tertipu melihat rerumputan ranggas menjadi segar.

Di tepi jembatan terdapat sebuah bakap[5], tempat petani menunaikan salat. Bakap memang biasa dibangun di dekat sungai agar bila ada petani yang bekerja hingga sore, mereka tidak perlu pulang untuk menunaikan salat.

Aku sering melihat seorang petani salat di bakap itu. Terkadang hanya mengenakan sarung tanpa baju. Di sampingnya ada cangkul, arit dan celana kolor yang belepotan tanah. Sarungnya digulung agak tinggi hingga menutupi pusar namun juga menutupi lutut, mirip lelaki yang memakai kemben.
Saban pagi, perempuan-perempuan paruh baya biasa melintasi jembatan itu. sebuah bakul berisi tapai atau tangkapan ikan bertengger di kepala mereka. Siap dipasarkan. Sampir lorek dijinjing setinggi lutut. Mereka berbaris rapi. Kadang tanpa alas kaki. Berjalan seperti sekawanan semut yang mengangkut remah-remah roti. Saat perempuan-perempuan itu melintas, petani di tegalan bersahut sapa dengan nada menggoda.

Jembatan itu menandakan bahwa sebentar lagi langkahku berpijak di halaman rumah. Senja memerah seperti bara api berkilat-kilat. Pepohonan siwalan berdiri kokoh. Aroma celatong[6] menguak dari kandang sapi. Di bawah pohon siwalan, pada batang cemara udang, dan di antara kandang-kandang itu aku tumbuh menjadi lelaki lepas dan bebas.

Ibu menyambut dengan muka berkaca-kaca. Sampir bermotif cengkeh dijinjing setinggi lutut. Aku 
jatuh dipelukannya seperti anak kucing yang kedinginan. Senja mulai memerah. Semerah mata ibu yang hendak bicara tentang kesedihan.

Pada dinding rumah, ada potret usang kaeh-nyaeh di pigura terpisah. Pada dinding yang lain, terpajang potret kenangan bersama Ke[7] Husen bersama kuda yang kutumpangi saat petamakali khatam Al-Quran.

Ke Husen tidak hanya dikenal sebagai guru ngaji. Lelaki itu kerap kedatangan tamu dengan tujuan yang beragam. Dari yang meminta ilmu kekebalan, meminta pemenangan kerapan sapi sampai meminta pemenangan kontes lotrengan. Ke Husen terkenal dengan dukunnya para blater[8]. Lelaki tua itu memiliki mantra nylateng[9] dan rapal nyeppet[10] yang ampuh.. Bila ada seseorang yang ingin melakukan carok, Ke Husen adalah pilihan tepat meminta keselamatan.

“Kamu disuruh segera menemui Ke Husen,” tukas Ibu.

***
Malam hampir memasuki waktu Isya. Aku dan anom sudah di langgar menunggu Ke Husen. Beralas tikar rajutan daun siwalan. Langgar ini benar-benar sudah tua. Jaring laba-laba bergelantungan di langit-langit. Sebagian kayu plafon tampak lapuk dimakan usia. Gedek bagian bawah sudah mengeropos. Hanya keempat pilarnya yang terlihat masih kokoh.

Di depan pengimaman tumbuh rumpun bambu berduri menudung atap langgar. Konon, rumpun bambu itu sengaja ditanam sebagai pelindung agar langgar dari tak terlihat di kejauhan oleh penjajah. Pada masanya, penjajah kerap membakar masjid atau langgar karena dianggap sebagai sarang pemberontak.

Malam ini aku akan mematangkan carok balasan kepada Talhah, seorang tengkulak yang telah membuat nyawa bapak melayang demi kehormatan keluarga. Ya, Talhah kerap menggoda ibu di bakap itu yang hampir setiap hari mencuci dan bersiraman di sana. Tak terima dengan perlakuan itu, bapak menantang Talhah melakukan carok tanpa perhitungan yang matang hingga kemudian nyawanya melayang.

Seorang perempuan mendekat membawa beberapa gelas kopi. Aku tercekat. Maemunah! Gadis yang sering kunikahi di gundukan pasir itu semakin tumbuh menjadi gadis sintal. Bibirnya terlihat segar. Sepasang matanya teduh namun tajam. Kulitnya kini kuning langsat. Rasanya Potre Koneng terlahir kembali!

Maemunah meletakkan gelas itu satu per satu. Tatapanku tak pernah lepas dari parasnya hingga langkahnya menghilang di balik daun pintu rumah. Angin berdesir pelan. Beberapa daun bambu kering jatuh. Serangga kecil berputar-putar mengelilingi dop 5 watt. Ke Husen baru saja tiba usai mengobati warga yang diduga terkena penyakit kiriman.

“Kapan datang, Cong?”

“Tadi siang, Ke,” tukasku.

“Sudah siap?”

“Siap!” jawabku yakin.

Ke Husen bergegas ke dalam rumahnya. Tak lama kemudian lelaki itu keluar dengan sebilah celurit jenis takabuan terbungkus kain putih. 

“Ini celurit yang dipakai carok oleh bapakmu. Pakailah. Sudah kuisi beberapa rapal mantra di dalamnya.”

Kubuka kain putih itu. Aroma dupa meruak. Ada beberapa lembar kertas bertulis huruf-huruf hijaiyah berserakan. Kuusap mata celurit itu tanpa takut terluka. Tiba-tiba wajah Talhah tergambar jelas di batok kepala. Akhirnya carok balasan segera kutunaikan.

Katembheng pote mata ango’ pote tolang,[11]” tukasku.

“Betul, Cong. Lokana daghing bisa ejhei, lokana ate tade’ tambhana kajhebe ngero’ dara,[12]” timpal Nom Mustapa meyakinkan.

“Kamu harus bermalam di sini. Aku akan mengalirkan mantra nylateng ke tubuhmu, sekaligus merapalkan mantra nyeppet,” kata Ke Husen.

Malam itu jatuh tanpa sepotong rembulan.

“Setelah semuanya selesai, ijinkan aku menikahi Maemunah, Ke,” tukasku. Entah, keberanian apa yang membuatku berucap demikian.

“Tuntaskan dulu niatmu, Cong. Tebuslah anakku dengan jantung Talhah sebagai mahar. Bukankah dulu pernikanmu juga tertunda gara-gara lelaki itu,” kata Ke Husen sembari melinting rokok dan menyulutnya.  

***
Celurit takabuan sudah siap di genggaman. Sesekali kuayunkan untuk merasakan sensasi tebasan. Tubuhku terasa lebih lentur dan ringan, tetapi kuat dan bertenaga. Mungkin ini efek mantra Ke Husen. Ah, tak penting. Yang jelas hari ini aku akan ngongghei[13] Tahlah. Dua tahun aku mengasingkan diri diperantauan hanya untuk membalas kesumat yang harus segera dituntaskan. 
Rerimbun pelepah siwalan di perbukitan sebelah barat memaksa matahari redup sebelum waktunya. Orang yang kutunggu terpatri di depan mata. Talhah sedang memberikan sepuluh telur ayam dan secangkir madu untuk jamu sepasang sapinya. Darahku mulai berdesir. Amarah langsung meledak.
“Talhah! Dua tahun aku menunggu!” teriakku.
Kusabet celurit sekuat mungkin ke arahnya. Talhah menghindar ke tanah lapang. Celurit terus kutebas diantara batang-batang cemara udang dan siwalan. Berkali-kali Talhah menghindar sempoyongan. Tampar sapinya menjadi perisai. Seranganku membabi buta. Satu sabetan begitu cepat dan kuat telak mengenai tangan kirinya. Ada Darah mengucur. Jari manis dan kelingkingnya bergelantungan hampir lepas.
Patek!” umpatnya.
Talhah mengeluarkan sekken[14] dari balik punggungnya. Tanpa banyak cas-cis-cus, lelaki kekar itu juga mulai melakukan serangan. Matanya menatap jalang.
Di udara yang bengis, debu-debu mengepul di antara tebasan celurit tak tentu arah. Sesekali memamerkan kilatan singkat yang sempat tergores. Teriakan lantang saling berpaut. Meski ukuran celuritku lebih besar ketimbang celurit Talhah, aku cukup kereporan menandingi kesigapan dan kelenturan tubuhnya. Beberapa kali Talhah sempoyongan menghindar tebasanku sebelum akhirnya satu bacokan berhasil kudaratkan di punggungnya.
“Patek!” Talhah meringis.
Sadar lawan terluka, aku semakin di atas angin. Amarah menjadi beringas. Talhah meringis kesakitan tetapi tubuhnya tetap gesit menghindari seranganku. Tiba-tiba satu tebasan telak tepat mengenai perut sebelah kiri. Mataku berkunang-kunang dan mulai hilang keseimbangan. Kutekan lukaku agar usus tak keluar. Anyir darah tersaup angin. Akupun tumbang. Terkapar.
Talhah menjilat darah[15] yang menempel di ujung celuritnya. Luka sabetannya membuatku sulit bergerak sehingga lelaki bercodet itu leluasa membacok-bacok tubuhku.

Celuritnya dibentangkan di atas dadaku sebagai simbol kepuasan dan kebanggaan atas kemenangan, sekaligus pengakuan bahwa dialah yang membunuhku. Bilapun harus mati diujung celurit, setidaknya kehormatan keluarga sudah kujunjung tinggi.

Hanya saja yang kupikirkan adalah bagaimana caranya menitip rindu dan memenuhi janjiku pada Maemunah.[]
Jember, 18 November 2017




[1] Anom: paman
[2] Cong: panggilan singkat dari kata “kacong”  
[3] Salah satu lagu tradisional masyarakat Madura yang menggambarkan kerasnya kehidupan nelayan di tengah laut.
[4] kaeh-nyaeh: kakek-nenek
[5] Kata ‘bakap’ berasal dari ‘wakaf’ dengan maksud bahwa tempat salat itu awalnya dibangun dengan dana pribadi tapi untuk orang umum.
[6] Celatong: kotoran sapi
[7] Ke: singkatan dari kae/kiai, sebutan bagi orang yang sudah tua atau dituakan.
[8] Blater: preman; jagoan
[9] Sejenis mantra yang diyakini membuat orang berani dan siap tempur
[10] Sejenis mantra yang diyakini akan kebal terhadap bacokan senjata tajam
[11] Artinya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Sebuah peribahasa dalam masyarakat Madura yang memiliki makna Lebih baik mati daripada berkalang malu.
[12] Artinya, lukanya daging masih bisa dijahit, tetapi lukanya hati tidak ada obatnya kecuali minum darah. Sebuah peribahasa dalam masyarakat Madura yang memiliki makna bahwa malu adalah aib yang tak ada obatnya kecuali carok.
[13] Ngonggei: mendatangi rumah lawan dan menantang langsung di depan halaman.
[14] Jenis celurit berukuran kecil yang biasa dijadikan sekep, mudah diselipkan di balik baju sehingga tidak mengundang perhatian orang.
[15] Sisa darah di celurit diyakini sebagai penghilang penyakit dhen-keddhenan, yaitu raut muka selalu tampak pucat seperti kekurangan darah.