(Dimuat di Tribun Jabar, 29 Juli 2012)
Hampir setengah hari air muka Majid terlihat keruh. Tak berubah. Pesan kiai sebelum berhenti dari pesantren, sungguh berat dijalani. Tetapi, pembenaran tetap bercokol di atas keraguan; tak mungkin dawuh seorang ulama menyesatkan, benarnya.
Selama 20 tahun menjadi abdi dalem kiai Khazin, tak sedikit pun terselip niat cela dari dawuh-dawuh beliau. Apalagi sampai bertentangan dengan nilai-norma agama. Tapi, Pernyataan emak atas pertanyaannya tempo pagi tak dinyana meletakkan sangsi pada pesan itu.
Angin meruak dari celah-celah dinding sirap. Suara krik-krik Jangkrik berpagut gembira menyaksikan senja surup. Melintas seorang lelaki tua berselempang sarung mengantarkan anaknya mangkat ngaji.
Pesan kiai Khazin menghitamkan selera. Berat tetap menjadi jawaban. Majid menyorongkan mata pada emak yang tengah beringsut ke bawah dop lima watt. Benar dirasa, penglihatan emak sudah tak lebih redup ketimbang pijar itu. Namun, jemarinya tetap cekatan merajut benang, menambal sarung yang lepas jahitan. Keterampilan menjahit masih ada. Dan, tusukan terakhir mengembangkan senyum perempuan itu.
“Cong, sini. Coba pakai,” Lekas Majid memenuhi panggilan itu.
“Sudah, Mak?”
“Coba pakai,” ia memberikan sarung itu.
“Mak.”
“Apa, Cong?”
“Benarkah kata Emak kemarin pagi?” Pertanyaan meragukan.
Sarung yang disorongkan melorot. Jatuh di atas kedua pahanya. Berat nafas setelah itu. Selama ini ia lakukan semata ingin membesarkan Majid tanpa bayang-bayang kecelaan seorang Epak. Apa jadinya bila semua sudah diketahui? Apakah tak akan membuat minder anaknya merajut kehidupan? Itu yang dipikirkannya. Tetapi, kran masa lalu terlanjur dibuka. Setetes air jatuh dan menandakan kalau masih ada tetesan air lagi yang akan mengalir.
“Ya, Cong. Dulu Epakmu maling,” berat nada itu.
“Benar, maling?” lagi. Majid meyakinkan. Kepala emak tegak menatap atap bubungan.
“Epakmu apes meninggal digrebek warga. Itulah kenapa sejak kecil kamu kutitipkan ke pesantren biar tak mendengar gunjingan orang-orang tentang Epakmu.”
Serasa hari itu Majid baru mengenal epak. Memang, emak tak banyak cerita perihal itu. Apalagi, menghabiskan waktu banyak di pesantren, hanya setahun sekali pulang libur Ramadhan, membuat Majid tak cukup waktu mendikte sosok kekar di balik emaknya.
“Sudah, Cong. Tak usah sedih. Epakmu punya mimpi yang terbaik untukmu. Epakmu tak ingin kau turut menjadi maling. Ia selalu mengingatkan emak untuk membawamu ke pesantren.”
“Ah, tidak, Mak. Aku tidak sedih,” masai raut muka Majid. Anak dan ibu saling pagut. Bagaimanapun ibu tetaplah ibu, bahwa kesangsian lagi sedang melilit hati anaknya.
Buah jatuh tak akan jauh dari pohon, begitulah pesan kiai Khazin perihal menyuruh menjejaki pekerjaan orang tua, sebelum berhenti mondok. Jika jadi petani, ya, petani. Pedangang jadi pedangan. Buruh, ya, jadi buruh. Lantas, bila ternyata maling, apa harus jadi maling? Ah, apa gunanya berpuluh tahun belajar agama. Apa gunanya beliau menyuruh menjadikan kitab Fathul Mu’in sebagai prinsip langkahnya. Kualatkah bila amanah itu tidak dilakukan?
Berhari-hari, kata maling, M.A.L.I.N.G, berseliwer di pikiran. Benar-benar mengganggu. Pikirnya, masa harus maling. Adakah jadi maling yang dibenarkan? Alasan itulah yang sedang dicari agar nanti bila ada yang bertanya bisa membenarkan. Pembenaran menjadi maling!
Pada saat semacam itulah muncul riwayat Sunan Kalijaga di benaknya. Ya, masa muda salah seorang Wali Songo itu maling totok, bahkan jadi perampok. Tak salah bila aku seperti Sunan Kalijaga, pikirnya. Kanjeng Sunan—nama populernya—tak hanya sebatas mencuri atau merampok. Tujuannya baik, membantu dan menafkahi orang-orang melarat. Mengambil hak fakir miskin, yang ada pada harta orang kaya, yang enggan mengeluarkan Zakat.
Diam-diam, tanpa sepengetahuan emak, Majid melaksanakan pesan itu. Berat mulanya tanpa dampingan restu orangtua. Tetapi kemantapan hati untuk melaksanakan pesan itu tertanam kuat. Sarung yang baru dijahit diselempangkan ke bahu. Tiba langkah pertama diayunkan, ingatlah lagi, seharusnya yang bercokol di situ bukan sarung, tapi sorban biru pemberian kiai untuk selalu dibawa setiapkali pergi—sebagaimana saran kiainya.
Majid akan belajar merampok dengan yang kecil-kecil dulu. Jatuhlah pilihan menyatroni sebuah rumah yang terlihat seperti gubuk hampir reot, tak berpalang pintu, dan palang-palang dinding sirap yang sudah berpanuan dan sebagain di bawahnya lembab mengelupas. Memasuki pekarangan, aroma celatong (kotoran sapi) menguap.
Sesampai di beranda, terdengar keluh yang sangat panjang. Seorang emak tengah menenangkan anaknya terbaring sakit.
“Besok ke rumah sakit, Bhing. Emak sudah dapat uang pinjaman,” kata emak mengelus dahinya.
“Mak, Rattin kerrong (kangen) Epak,” jawabnya lemas.
Majid kaku cukup lama. Ia seperti menyaksikan lakon dirinya sendiri. Nasib yang tak jauh beda tak memiliki orangtua lelaki. Haram memakan harta anak yatim apalagi merampasnya; begitulah Fathul Mu’in berbicara, berontak batinnya. Mampuslah niat menyatroni rumah itu.
Hari pertama gagal, hari kedua dicoba lagi. Gagal lagi.
Kali ini ia benar-benar akan menyatroni rumah orang kaya. Jauh sampai langkah mencari rumah yang diinginkan, berjalan dari desa ke desa, ia menemukan sebuah rumah cukup megah milik juragan tembakau yang—sebagaimana kekabar tetangga—pelit minta ampun. Santapan empuk sudah ditemukan!
Peralatan seadanya, yakni senter dan paku sekrup yang ujungnya sudah ditempa dan sedikit dibengkokkan. Kopyah putih digencet ke kepala. Sorban biru dililitkan ke leher agar tak jatuh. Majid mengangkat kedua tangan meminta perlindungan.
Rumah berlantai dua dan pilar berlapis marmer sudah terang. Kisi-kisi jendela dan pintu berwarna kuning emas. Berkilap-kilap oleh Lampu-lampu neon di setiap setiap pojok. Hanya satu yang cukup gelap, gudang kecil di samping rumah.
Majid mengendap-endap ke arah pintu gerbang. Dua anak muda asyik mansyuk bermain catur. Nyali sedikit ciut. Ya, Gusti Pangeran tuntunlah jejak hambaMu, doanya. Tak mungkin bisa menyusup dari depan, seketika berputar arah ke samping rumah, tepat di bawah pohon rambutan. Berlindung di bawah banyangan itu.
Ampun, ternyata di samping rumah berpagar tembok berduri. Ragu memanjat, meniti tembok yang di atasnya bersarakan beling-beling. Untung sandal yang dikenakan terbuat dari ban mobil yang biasa dijual di pasaran.
Kerapkali Majid berucap syukur. Merasa doanya terkabulkan. Sama ketika mencungkil jendela—tanpa kesulitan berarti—hingga ia sampai pada sebuah ruang kerja dan menggeledahnya. Mencari dokumen yang bisa menunjukkan daftar kekayaan. Lembar per lembar beterbangan.
Sampai pada sepertiga malam, petunjuk yang dicari belum diketemukan. Bagaimana mungkin mengambil zakat tanpa perhitungan yang jelas. Lalu, pada sebuah laci paling bawah, ia menemukan note keuangan. Dihitung-hitung jumlah pemasukan dan pengeluaran dalam catatan tulisan tangan itu.
“Kalau segini, jumlahnya segini. Ditambah ini, jadi…” hitungnya. Lirih sekali.
Setelah hasil pengkalkulasian dirasa sudah tepat, ia mencari barang—apa saja—yang bisa dijual sampai menembus jumlah nominal yang hitung. Alangkah kaget ketika sebuah jam dinding berdetak tiga kali. Sepertiga malam hampir habis. Dalam kitab Fathul Mu’in dijelaskan, waktu istijabah melaksanakan solat Tahajjud adalah sepertiga malam terakhir, ingatnya. Maka, terpanggilah sejenak meluangkan waktu melaksanakan solat Tahajjud.
Bersegeralah ia menghampar sorban biru seraya menegakkan takbir. Khusyuk. Saking khusyuk, saat menyudahi sujud dan berucap salam, Majid terperangah telah mendapati dua orang telah berdiri menyaksikannya. Ya, dua orang itu, pemilik rumah itu sudah bangun!
“Si..siapa kau?” tanya si lelaki. Si bini bergelayut takut.
“Saporanah (maaf), Pak. Aku maling,” jelasnya.
“Maling?” Lelaki itu mengernyitkan dahi. Majid membalas dengan anggukan bercampur rasa takut.
Si lelaki toleh kanan toleh kiri, memastikan dari mana maling di depannya datang menyusup. Semua puntu tertutup. Semua jendela tak ada yang terbuka. Bahkan, gorden tak bergeser sedikit pun. Hanya kertas-kertas yang berserakan. Benarkah maling? Mengapa harus melaksanakan solat segala? Maling Islami? Ah, ngaco! Jangan-jangan Nabi Khidir? Lelaki itu bergemetar. Bininya tetap diam. Erat dipelukan.
“Bu, Nabi Khidir, Bu,” bisik lelaki itu. Pelan sekali.
“Mungkin, Pak,” timpalnya. Majid sudah memasrahkan nasib kepada sejoli itu. Istighfar. Istighfar. Istighfar. Selalu, diucapkan.
“Hai, pemuda. Mau apa kau datang malam-malam ke rumahku,” si bini memberanikan diri menghardik. Lelakinya menegur dengan isyarat.
“Sudah kukatakan kalau aku ini maling. Aku ingin mencuri harta yang sepantasnya kalian harus bagikan kepada fakir miskin. Kata orang kampung, kalian juragan tembakau yang pelit, jarang mengeluarkan zakat. Malam ini aku datang untuk mengambil sebagian harta kalian,” jelasnya lantang bernada takut. Ia harus menyuarakan kalau dirinya di jalan yang benar.
“Nabi Khidir, Bu,” ujar lakinya. Tubuhnya mulai gemetar. “Benar mungkin lelaki itu Nabi Khidir.” Bininya lantas mengeluarkan keringat pucat.
Cecericit serangga malam melahap waktu senggang ketiganya. Majid sudah pasrah pada kehendak hukum. Pasrah bila kasusnya akan diseret kepada pihak berwenang. Tapi, ia tetap yakin kalau jalan adalah benar. Sementara, sepasang laki-bini itu takjub dan tak percaya kalau yang dilihat benar-benar-maling.
“Benar mungkin katamu, Pak. Ia benar-benar Nabi Khidir,” si bini mengamini. Lakinya memandang lekat. Membenarkan. “Mungkin ini teguran kepada kita,” tambahnya seraya langsung mendekap erat. Sayup-sayup dari luar rumah, adzan subuh menggema.
“Silakan. Sialakan ambil barang-barang di rumah ini semaumu. Ambillah. Zakati semua tidak apa-apa. Kami tobat. Tobat,” ucap lakinya. Majid tercenung. Kiranya, riwayatnya akan habis dan berakhir di penjara. Tapi….
“Alhamdulillah. Ya, sudah kita solat subuh berjamaah dulu, Pak. Urusan zakat belakangan. Nanti, kita hitung bersama-sama,” ajaknya. Keduanya manut.[]
Annuqayah, 17 April 2012
Catatan:
Fathul Mu’in : Salah satu kitab fikih
Istijabah : utama
0 comments:
Post a Comment