Friday, July 10, 2015

Lelaki Ketujuh

Percayakah kawan, setiap malam setelah menikah, dengan siapa pun, suami saya berubah binatang. Kadang serigala, harimau, singa, kadang pula anjing, babi, atau bermacam rupa binatang lainnya. Perupaan itu tak pernah berakhir kecuali saya resmi bercerai dengannya.
Engkau tak harus percaya pada cerita ini. Pada usia yang baru menginjak dua puluh lima tahun, saya sudah menikah enam kali, dengan laki-laki berbeda. Seperti pernikahan sebelumnya, tak pernah berumur lebih dari sebulan. Pernikahan saya yang keenam hanya sepuluh hari. Umpatan betapa saya perempuan yang gemar gonta-ganti suami menjadi buah bibir siap petik kapan saja.
Air mata tentu menitik. Saya tersiksa—namun di suatu sudut lain saya memang merasa pantas menerima—dengan pernikahan yang tak pernah berujung sakinah-mawadah-rahmah. Siapa yang ingin seperti ini? Bermimpipun tidak.
Saya pasrah pada takdir. Saya bukan tipikal orang yang suka memandang dunia dengan segala kerumitan-kerumitan. Sejatinya hidup ini tidak ada kata sakit apalagi tersakiti. Yah, persoalannya sederhana; perasaaan kita sendirilah yang kerap menyiksa sendiri. Hanya saja persoalan sederhana kadang tidak bisa dipikirkan secara sederhana pula.
Saya memang sudah menikah enam kali dengan lelaki berbeda. Namun bunga kesuburan saya tetap ranum, mekar tak tersentuh. Tak ada satu pun diantara keenam kelaki itu yang berhasil memetiknya. Ketika matahari sempurna merebahkan diri di pangkuan cakrawala, suami saya mengajak tidur, sesosok binatang menggeliat penuh berahi. Perempuan mana yang tak ketakutan bila tiba-tiba suaminya berubah demikian. Semua kembali normal ketika cahaya fajar berpintal dan memanjang di ufuk timur.
Kerap secara tiba-tiba kekasih pertama yang saya tinggalkan—sebelum pernikahan pertama—bertandang di pikiran. Banyak alasan yang membuat saya memilih lelaki lain daripada menikah dengannya—namun rasanya kurang bijak bila saya harus memaparkan alasan itu. “Kau tak akan pernah bahagia kecuali menikah denganku,” tukasnya sebelum pergi dengan luka yang menganga dan sorot mata serupa duri siwalan. Seperti ditarik, perasaan selalu menarik saya ke sana. Bertekuk lutut tak apa asal dapat menemukan kebahagiaan, meski sekarang saya tidak tahu dimana keberadaannya.
Entah dengan pernikahan yang ke tujuh ini. Lelaki yang menjadi pilihan ibu. Kata ibu, ia sempurna. Wajahnya teduh dengan mata yang serupa pendar langit. Tunggu. Bukankah keenam lelaki sebelumnya juga berwajah sama; teduh dengan mata serupa tatapan malaikat? Perempuan mana yang tak tergoda dengan tatapan seperti itu. Dan, semua berubah menakutkan.
Ah, sudahlah. Apapun yang terjadi, saya yakin pilihan ibu sebaik-baik pilihan. Sudah seharusnya saya memberikan kesempatan kepada perempuan bermata ilalang itu setelah berkali-kali saya tolak pilihannya.
Dik, mari salat. Sebentar lagi Ashar,tukas lelaki ketujuh itu. Aku beranjak mengikuti langkahnya ke perigi. Ia berbeda dengan keenam lelaki sebelumnya. Sejak pernikahan saya dengan lelaki pertama, baru lelaki ketujuh ini yang senantiasa menjaga lima tiang waktu saya sebagai manusia beragama.
Selesai salat, selayak seorang istri, saya mencium tangannya.
“Berdoalah. Pinta apa yang Dik Taris inginkan.
Kata-katanya bagai aliran telaga yang sangat menyejukkan. Saya mengangguk. Ia menengadahkan tangan dengan khusyik. Saya mengikuti. Lamat-lamat, terlantun doa dari bibirnya yang lembut.
Amin.
***
Dik, bangun. Waktunya salat tahajjud,ia mengguncang-guncang pundak saya. Saya menggeliat pelan.
Dik, sudah waktunya Salat Tahajjud,” Ujarnya lagi. Saya membuka mata. Pelan. Ya, Tuhan! Seekor serigala dengan seringai menyeramkan siap menerkam. Saya memejamkan mata. Menutup diri dengan selimut.
“Pergi! Jangan mendekat…” Saya menggerang di pojok kamar. Wajahnya menjelma bunglon. Bersisik tajam dengan kelopak mata semerah saga.
Dik, apa yang terjadi? Ada apa denganmu?” Suara itu lembut namun tampak ditekan.
“Pergi!!!”
Ini hanya halusinasi. Saya harus melawannya.
“Salatlah duluan. Taris menyusul,” akhirnya.
Terdengar langkah menjauhi kamar. Lalu bunyi pintu. Derek engsel. Hening. Saya membuka mata. Menatap langit-langit kamar. Lagi dan kesekian kali, saya mengusir suami yang seharusnya saya manja dengap pelukan. Bagaimana saya bisa merebahkan kepala di dadanya agar saya menemukan ketenangan? Sementara acapkali matahari terbenam perupaan binatang tak ada hentinya.
Pagi masih belum sempurna ketika ia menggenggam tangan saya dan mengajak jalan-jalan mengitari perkampungan. Menikmati denyar pagi dan melihat lambaian daun siwalan yang menghijau.Satu hal yang sangat indah di pagi itu adalah wajahnya tak berubah keruh setelah semalam saya usir dengan sadis.
“Apa yang terjadi semalam?”
Saya duduk di pondok bambu di sebuah pematang sawah menghadap matahari yang perlahan terbit. Saya menghela napas dan menghembuskan pelan. Semoga semua bisa terjawab pagi ini.
Setiap malam halusinasi itu pasti datang. Perubahan wajah pada semua orang yang menjadi suami Taris. Taris tidak tahu apa penyebabnya. Semuanya kembali normal ketika adzan Subuh berkumandang. Saya melihatmu menjadi seekor bunglon dan serigala. Kejadian seperti ini sudah berlangsung lama, sejak pernikahan pertama. Rasanya Taris lelah sekali.”
Saya bisa mengerti. Mari bersama-sama untuk menyembuhkan penyakit itu. Dik Taris tidak keberatan kan jika saya sebut penyakit?”
“Tidak. Taris memang selalu menganggap ketidakwajaran adalah penyakit. Ibu juga selalu bilang bahwa apa yang Taris rasakan adalah penyakit.”
“Tak ada yang sulit selama kita mau berusaha dan berdoa. Matahari sudah tinggi, kita pulang sekarang,” katanya seraya membantuku berdiri.
Sudah dua bulan lima hari kami menikah. Selama itu saya tidak pernah tidur dengan suami saya. Setiap matahari kembali ke peraduan, ia selalu menjauh. Saya sampai bertanya, tidakkan bosan dengan keadaan seperti ini? Bukankah pernikahan itu hanya sebagai alat pemuas nafsu?
“Itu anggapan yang salah. Keinginan biologis tentu pasti ada. Tetapi tujuan menikah semata karena untuk menyempurnakan agama. Tahukah Dik Taris bahwa kesenangan dan kebahagiaan itu berbeda? Kesenangan muncul dari nafsu, sementara kebahagiaan datang dari hati. Kesenanganlah yang membua kita tidak pernah puas,” tukasnya.
“Lau apa gunanya jika seorang istri tidak bisa memanjakan suami?”
“Soal Dik Taris tidak bisa melaksanakan kewajiban layaknya seorang istri, saya ikhlas. Barangkali ini adalah cobaan bagi saya, bagi keluarga kita.
Saya tatap-lekat wajahnya yang bening. Mata yang tak jauh berbeda dengan pendar langit pagi. Mata itu seolah memberi energi kesabaran.
Air mata tak bisa saya sembunyikan.
***
Ia berdiri di ambang pintu. Krek. Krek. Tangannya membandul daun pintu berulang ke depan-belakang. Sesekali memainkan gerendel. Tampaknya ada sesuatu yang dicari. Entah apa. Bubungan tak lepas dari perhatiannya.
Ia mundur dua langkah. Pandangannya ke depan tak terbatas. Diam cukup lama, lalu kembali lagi posisi semula, dan maju dua langkah hingga kedua kakinya menyentuh tanah. Ia menatap langit.
“Aneh,” desisnya setelah melintasi pintu berulang kali.
“Ada apa?” saya coba memberanikan diri.
“Tidak apa-apa. Sudah salat?”
“Ya.”
Air mukanya tampak keruh. Saya diam tidak tahu harus berkata apa. Tanpa memberitahu, saya yakin ada sesuatu yang disembunyikan dalam pikirannya.
“Coba ke sini.”
Saya mendekat.
“Pandangilah langit itu.”
Saya manut.
“Sekarang lewati pintu itu dan pandangi lagi langit yang tadi pandang.”
Saya melewati daun pintu dan memandang langit pada titik yang sama.
“Apa Dik Taris merasakan sesuatu yang janggal?”
Saya terhenyak. Benar. Langit tampak berbeda. Lebih hitam dan gelap. Saya mendekat ke sisinya dan kembali memandang langit pada titik yang sama. Langit tampak lebih cerah. Lebih berenergi.
“Kenapa bisa berbeda?”
“Entahlah. Saya juga tidak tahu. Nanti saya coba tanyakan pada Kiai Zainur,” tukasnya. Kiai Zainur adalah pengasuh pesantren di mana di mana suami saya menimba ilmu agama.
***
Mega belum sepenuhnya hilang saat Kiai Zainur mengetuk daun pintu. Saya sudah mengunci pintu kamar sebelum gelap menancapkan cakarnya. Saya mencuri pandang dari celah-celah pintu. Keduanya, guru dan murid itu, terlibat sebuah percakapan serius.
Adzan Maghrib berkumandang. Suami saya mengetuk pintu kamar, mengajak salat berjamaah. Saya jadi cemas. Membayangkan rupa bagaimanakah yang akan saya temui. Pelan daun pintu saya buka dan saya menutup mata serapat-rapatnya.
“Buang rasa takut itu. Dia suamimu,” tukas Kiai Zainur.
Saya masih belum berani menyingkirkan kedua telapak tangan dari muka saya, hingga sepasang telapak tangan memberikan kekuatan keyakinan dan keberanian betapa yang hadir di hadapan saya adalah sebenarnya suami. Senyum dan pandangannya adalah sebenarnya imam dalam hidup.  Perlahan sepasang tangan itu menyibak tangan saya. ketakutan seketika menghilang oleh senyum yang mengembang dari sudut bibirnya.
Kiai Zainur duduk khidmat di atas hamparan sajadah. Ia minta segelas ait putih. Tasbihnya berputar-putar. Dengan sebuah isyarat ia meminta kami mengikuti apa yang diucapkannya. Selesai berdoa dan meniup air putih, Kiai Zainur melangkah ke beranda. Langkahnya pelan, tegak, dan berwibawa. Pintu terbuka. Segelas air putih itu disiramkan pada undakan tanah di depan pintu. Pada tanah basah itu, ia menyuruh suami saya menggalinya dengan tangan. Selang beberapa menit, ada yang tampak di permukaan. Sehelai kain usang. Panjangnya kira-kira dua jengkal. Suami saya segera menyerahkannya.
“Sehelai kain kafan,” tukas Kiai Zainur.
Kami bersipaku. Diam dalam bahasa masing-masing, mempertanyakan kain itu mengapa bisa terpendam di depan pintu rumah. Sesungging senyum dari masa lalu tiba-tiba hadir dalam pikiran. Tetapi saya tak berniat untuk menceritakannya.
“Ada orang yang menginginkanmu,” tukas Kiai Zainur.
Mimpi saya seakan terjawab sudah.
***
Bulan menggantung di pelepah siwalan. Dua buah bohlam dikerubung serangga-serangga malam. Gigil, tentu saja. Paras bulan sempurna rebah di wajahnya yang teduh. Matanya serupa langit berbintang. Parasnya tak lagi buas dan menyeramkan. Kami menghabiskan separuh malam dengan dzikir. Tentu, setelah kami tunaikan ‘kebahagiaan’ yang sempurna.[]
Jember, 5 April 2015

Anak Negara


(Dimuat di Tabloid Nova, 7 Mei 2015)

Mereka menyebut kami anak negara. Membanggakan bukan? Kata ibu, ibu dari semua anak-anak ibu, sudah sepatutnya kami berbangga diri. Jarang ada seorang anak disebut anak negara, kecuali nasibnya memang segaris dengan kami.

“Pemuda adalah harapan bangsa. Tetapi banyak pemuda yang tak mengerti pentingnya revolusi. Hidup sekedar bersenang, meneguk miras dan melakukan seks bebas seperi sekumpuan arisan,” kata ibu. Ada bara di matanya.

Jumlah kami yang banyak hanya diasuh oleh seorang perempuan yang kami sebut ibu. Jadilah ia seperti Dewi Gandari yang memiliki banyak anak. Namun, ibu bukan pendendam sebagaimana istri Destarastra yang buta itu. Ia tak mengajari haus kekuasaan. Ia mengajari sikap keteladanan. Mungkin suatu saat dimana perempuan berhenti melahirkan, anak ibu lebih berkali-kali lipat dari anak Dewi Gandari.

Masalahnya, kapankah perempuan berhenti melahirkan?

Ibu bukan seorang ibu negara. Bukan istri presiden atau pejabat. Ia hanya seorang juru masak di sebuah lembaga perlindungan anak. Setiap hari menyeduh secangkir kopi, menyiapkan makanan untuk para karyawan, dan menyapu seluruh ruangan sebelum dan sesudah karyawan pulang. Pekerjaan memang banyak, tapi ibu tak pernah alpa mendongengkan kami tutur halus untuk menanamkan betapa kita mesti berbangga diri menjadi anak negara.

Jika Dewi Gandrari mensugesti anak-anaknya mempertahankan kekuasaan Hastinapura, ibu malah menanamkan niai-nilai pengabdian. Memberilah sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya.[1]

Kami sadar kendati pura-pura tak menyadari. Seperti anak Dewi Gandari yang terburai menjadi seonggok daging sebelum menjadi bayi-bayi kecil nan mungil, seperti itulah pula nasib kami. Barangkali juga kami pernah ditendang seperti Dewi Gandari menendang segumpal daging yang keluar dari rahimnya. Lantas kami ditutup oleh selembar daun di bawah gerimis. Dia, perempuan itu, menunggu kami menangis di bawah daun itu kemudian lari sekencang-kencangnya. Ya, kami bernasib sama: sama-sama lahir dan terbuang.[2]

“Waktu ditemukan, kamu tertutup panci, wuekkk

“Ketimbang kamu ditemukan nyangkut di gorong-gorong, hampir disosor bebek.”

“Alaaaah, tak usah turut campur. Dirimu hampir sudah dimakan anjing.”

“Coba dirimu, tiga hari disusu kucing. Hahahaha...”

Itu bukan sebuah olokan, hanya semacam nonstalgia masa lalu. Kami tak pernah marah hanya karena cacian atau olokan semacam itu, karena kami sadar, betapapun sadar, dan sesadar-sadarnya.

“Sudah, sudah! Kalian anak-anak Ibu yang terbaik,” sela ibu. Kami berebut memeluknya.

“Ibu, tuturkan cerita indah padaku. Suatu saat, semoga aku bisa menulisnya dan menerbitkannya dalam bentuk novel,” pinta Taris, temanku yang paling cerewet. Ibu tak mau, tapi Taris tetap merajut.
Ibu bercerita bercerita tentang masa kecil Taris. Kami tertawa, kecuali Taris. Ketika giliran ceritaku, mereka tertawa, kecuali aku. Baru ketika ceritanya selesai, kami sama-sama tertawa. Adakalanya kita harus menertawakan nasib sebelum nasib menertawakan kita.

***

Malam terus merambat. Gerimis turun tak teratur. Terkadang tampak akan reda, tetapi lantas deras sekali, seperti nasib yang tidak jelas. Taris mengeluh. Ia memintal perutnya.

“Lapar?”

“Iya.”

“Masak mie instan.”

“Malas.”

“Tunggu di situ. Aku mau membangunkan ibu.”

“Jangan. Kasihan.”

“Tapi kamu lapar.”

“Sudah. Tak usah.”

“Kenapa?”

Taris mendekatkan bibirnya. Berbisik jika di luar sana ada sebuah warung yang menjual nasi goreng super enak. Ia menyebutnya nasi goreng sehabis hujan. Awalnya sepele. Saat malam hari hujan turun, Taris pertamakali mengenal hidangan ini. Tentu tanpa sepengetahuan kami, terutama ibu. Nasi goreng yang dimasak dengan minyak kelapa, dipadu dengan sambal mentah yang juga dibuat agak inovatif: rajangan bawang merah, cabe rawit, sereh, kecombrang dan tomat, disiram dengan minyak kelapa yg dipanaskan bersama sedikit terasi, lalu dikucuri jeruk nipis. [3]

“Kamu harus mencoba,” godanya. Perempuan bermata ilalang itu memang sangat menggandrungi nasi goreng. Sayang, warung itu hanya buka malam hari. Sementara kami tidak diperbolehkan keluar malam.

***

Malam benar-benar menusuk tulang. Taris selalu memilh jalan sepi. Jalanan dengan bias cahaya yang remang, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam peta kota. Apalagi kalau bukan karena alasan tak ingin ketahuan karena melanggar aturan. Jalanan becek dan aroma comberan yang meluap mengaduk-aduk isi perut. Aku tak yakin nanti bisa makan dengan lahap.

“Masih jauh?”

“Sebentar lagi.”

Kami menyisir sisi tembok perumahan agar gerimis tidak menyentuh tubuh kami. Salak anjing serta suara-suara aneh dari tumpukan sampah menggegaskan langkah. Di tempat yang remang, di manapun asal remang, sejoli tertangkap basah mengecup bibir kekasihnya yang lebih basah dari gerimis. Gelandangan mendengkur dengan keras. Menutup wajahnya dengan koran bekas.

“Masih jauh?”

“Sebentar lagi.”

Kami tiba di sebuah gang apartemen yang sama bentuknya. Dua apaertemen itu terkenal dengan sebutan apartemen kembar. Kendati cukup sempit gang itu, pencahayaannya cukup memadai. Sepanjang perjalanan, aku melihat sejoli berpeluk mesra melewati “pintu” belakang. Aku tercenung sementara. Lamat-lamat terdengar sebuah alunan musik yang menghentak. Inikah wajah kotaku?

“Masih jauh?”

“Sebentar lagi.”

Di sebuah pintu yang lain, seorang perempuan tengah merokok. Pakaiannya tak seberapa untuk mengusir dingin karena memang hanya sebagian tubuh yang tertutupi. Barangkali karena alasan dingin perempuan itu merokok. Ia menatap sinis. Tatapan tak bahagia. Saat punggungku cukup jauh meninggalkannya, derak pintu terbuka. Aku menoleh. Seorang perempuan terjungkal oleh dorongan dua lelaki kekar. Perempuan yang merokok tadi tak mempedulukan isak tangis perempuan di depannya. Ia mematikan rokoknya dengan santai dan masuk menyambut dua lelaki bertubuh kekar. Sebentar, ia meludahi perempuan itu dan membuang puntung rokok ke mukanya!

“Masih jauh?”

“Sebentar lagi.”

Ada perasaan lega keluar dari gang itu. Langkah kami menjejaki trotoar. Segerombolan anak muda berpesta dalam permainan kartu. Kulit kacang bertebaran. Ada yang memetik gitar. Ada yang berpeluk mesra. Ada yang bersentuhan bibir. Ada yang menenggak minuman dengan sorot mata merem-melek dan mulut mengecap-cecap. Taris mempercepat langkah setelah mata mereka menuding kami, lantas terbahak-bahak.

“Masih jauh?”

“Sebentar lagi.”

“Aku mau kembali.”

“Sebentar lagi. Tuh, sudah kelihatan.”

Kelihahatan memang. Sinarnya seperti kunang-kunang. Semak-semak diantara reruntuhan gedung tua masih harus kami lewati sebelum sampai pada tujuan. Sepanjang jalan berderet warung soto, nasi goreng, bakmi, bakmi, dan kopi. Kecuali nasi goreng dan kopi, semua tutup. Makin ke ujung, deretan itu makin remang-remang, dan yang paling ujung adalah tempat cinta yang hitam. 

Taris memesan dua bungkus nasi goreng. Ruangan di dalam ternyata cukup lebar untuk ukuran sebuah warung. Banyak orang di dalamnya dan aku tak bisa menyapu salah satu wajah mereka karena cahaya dari luar lebih terang sehingga yang tampak hanya bayangan yang berkelebat.

“Aku sudah sering ke sini,” tukas Taris.

Kami bersigegas pulang. Langkah Taris dua kali lebih cepat. Ia ingin segera sampai dan menyantap sebungkus nasi di dalam kantong plastik. Sebuah mobil Porche parkir di depan gedung tua. Sekejap lampu sein menyala dan mobil itu hilang di balik gelap. Deru mobil turun perlahan. Lantas senyap. Tiba-tiba diantara reruntuhan gedung tua terdengar tangis bayi.

“Kau dengar itu?”

“Disitu memang banyak dedemit.”

“Tidak. Suara itu tangisan bayi.”

“Dedemit! Kau mau membawanya?” Sungguh, bulu kudukku jadi merinding.

Belum sempat aku mengelak, langkah Taris semakin menjauh, meninggalkanku yang tiba-tiba membatu oleh tangis itu. Aku yakin itu tangis bayi. Ah, sudahlah. Bukan urusanku. Tapi bagaimana jika suara itu benar-benar tangis bayi? Bayi yang baru lahir ibarat kapas putih. Diinginkan atau tidak dinginkan, dari hubungan sah ataupun hina, bayi itu tetap seperti kapas putih. Bukankah kau juga ditemukan terlantar dan menangis seperti itu? Ada suara berisik di kepalaku.

Taris sudah masuk di gang gelap itu. Aku benar-benar tidak bisa bergerak. Tangis itu seolah-olah menginginkanku untuk menyambanginya. Kususuri semak-semak reruntuhan gedung tua itu. Berbekal suara berisik di kepala, bukan berbekal berani. Astaga! Benar! Suara itu. Bayi!

***

Satu anak menjadi bagian dari keluarga. Kami bahagia, kecuali Taris. Ia marah telah membawa bayi itu pada ibu, yang membuat ibu tahu bahwa diantara kami ada yang melanggar aturan, dan akan membuat ibu bersikap awas. Aku tak mengatakan apa-apa soal Taris. Tapi gadis yang memiliki tahi lalat di pipi kirinya itu tetap tak bisa terima.  

Taris gadis yang tak bisa dimengerti. Selera makannya sangat buruk, kecuali pada beberapa menu yang ia sukai, makannya lahap sekali. Ia kerap keluar malam karena lapar oleh sebab kebiasaan buruknya itu. Pada suatu malam, ia tak kembali lagi. Ibu panik lapor polisi dan meminta bantuan pada komisi perlindungan anak. Aku tahu Taris ke mana, tapi aku tak bisa mengatakan pada ibu, karena sekarang aku juga tak tahu ia dimana.

Ibu jadi pemenung. Mengutuk diri sendiri. Gadis yang sangat menyukai nasi goreng itu adalah anak negara yang sangat disayanginya. Ia paling dekat dengan ibu karena kemampuannnya memecahkan teka-teki silang. Ya, di waktu luang, ibu kerap mengisi teka-teki silang, sementara Taris selalu membantunya bila mengalami kesulitan.

Bulan membentuk sabit, berbentuk irisan semangka, membulat kuning telur, lalu hilang diganti serpihan bintang. Beberapa lembar daun melayang tertiup angin. Membubung tak jelas kapan dan di mana jatuhnya. Ibu banyak menghabiskan berita di depan layar televisi. Barangkali berharap tiba-tiba Taris melambaikan tangan. Tanpa Taris, senyum ibu tak pernah terkembang, kecuali saat menyimak berita eksekusi para gembong narkoba. Ia senang sekali bandit-bandit akan mati dengan kepala berlubang. Ibu tampak sangat membencinya.

Pada sebuah purnama yang kesekian, aku melihat seorang gadis tengah menenteng kantong plastik berisi makanan. Matanya sayu dan kelabu. Bibirnya bersenyum rindu. Perutnya membuncit seperti purnama di atas reruntuhan gedung tua yang tampak seperti senja.[]
Jember, 16 Februari 2015



[1] Dikutip dalam film Laskar Pelangi [37.07]
[2] Selama 2014 terjadi 135 kasus pembuangan bayi secara sengaja [data Komnas PA]
[3] Nama dan narasi dicomot dari status penulis Puthut Ea [17 Februari 2015] 

Wednesday, March 25, 2015

Malang, Welcome

Pukul 18. 20 WIB, saya sudah menginjakkan kaki di terminal Tawang Alun, Jember. Ya, malam itu saya akan berangkat ke Malang untuk menghadiri Pembinaan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) Bahasa Indonesia SMK Tahun 2015 di VEDC, Jl. Teluk Mandar, Arjosari , Tromol Pos 5 Malang 65102, Jawa Timur- Indonesia (50 meter ke timur dari Terminal Arjosari). Acara tersebut berlangsung selama tiga hari (25-27 Maret 2015).

Ada calo yang menghampiri saya. Bertanya hendak kemana? Malang. Begitulah jawaban singkat saya. Calo itu menuntun saya pada bis yang parkir di jurusan Surabaya. Maaf, mas saya tidak bisa ditipu, batin saya. saya mengacuhkannya. Saya menuju parkir bis jurusan Malang, kendati tak ada bis yang terparkir di sana. Saya duduk-duduk, menunggu kedatangan bis. Ditemani sweater dan Pocarisweat membuat menunggu jadi tidak membosankan.

Selang 34 Menit kemudian, bis Harapan Baru No. 042391 masuk terminal dan langsung parkir di tempat tujuan. Tentu, saya langung tancap kaki dan bis pun meluncur dengan pasti.

Sepanjang perjalanan, saya mencoba untuk tidak tidur. Maklumlah, perjalanan perjalanan pertama ke Malang. Saya ingin tahu saja, titik jalan mana yang memisahkan jurusan Jember-Surabaya dengan jurusan Jember-Malang.

Pukul 23.23 WIB, saya tiba di Terminal Arjosari. Seorang teman, namanya Imam Bukhori menjemput saya dengan motor Supra X 125. Sayapun dibawa ke tempat kos mahasiswa pascasarjana UN Malang itu.

Cukup di sini dulu ya... Saya capai, ingin tidur...      

Sunday, March 22, 2015

Penyair dan Aroma Kopi

(Fandrik Ahmad, Suara Merdeka 22 Mare2015

Orang pertama yang memperkenalkan saya dengan kopi adalah kakek. Saya tidak tahu tepatnya berapa usia saya saat itu, terjadi pada suatu malam.

Kakek membangunkan saya, mengajak keluar rumah. Tidak biasa ia seperti itu. Kakek memang kerap keluar, tapi tak pernah mengajak orang. Kebiasaan yang tidak disukai ibu. Tidak hanya satu atau dua kali ibu mengomel melarang kakek menghentikan—kata ibu—kebiasaan buruk itu. Namun kakek terlalu bebal tidak pernah ada rasa jera.

“Fafan ikut kakek, ya. Ayah dan ibumu malam ini merayakan pernikahannya. Mereka tak bisa diganggu,” tukasnya.

Kakek menarik lengan saya lantas membopong saya tanpa harus menunggu jawaban iya atau tidak. Entah, barangkali masih pukul delapan, bisa jadi sudah pukul sebelas. Yang jelas mata saya sudah sangat berat. Di ruang depan, sayup-sayup suara ibu melengking persis seperti saat melarang kakek keluar rumah. Suara ayah tak kalah kerasnya. Seperti itukah cara mereka merayakan ulang tahun pernikahan ke sembilan?

Saya meringkih di punggung kakek seperti udang usai digoreng. Kulit saya tidak akrab dengan desau malam. Pakaian yang saya kenakan sepertinya tidak cukup hangat. Saya mengatup mata malas. Kakek tak banyak bicara. Langkahnya sunyi membelah malam. Lampu jalanan berpendar suram dan serangga-serangga berputar-putar.

Saya membuka mata ketika gendang telinga sayup-sayup menangkap sebuah irama tanpa syair. Indah sekali. Kakek duduk lesehan. Saya cukup takjub dengan suasana yang asing. Saya perhatikan segala sudut tempat itu. Empat buah bohlam dengan cahaya kuning redup, pilar-pilar dan pagar dari bambu, atap jerami, deretan meja setingggi dada orang duduk. Ada asap rokok. Ada aroma kopi.

Orang-orang lesehan berkelompok-kelompok. Tawa kerap meledak. Obrolan mereka mirip bunyi segerombolan tawon. Yang duduk sendiri juga ada. Menikmati permainan musiknya sendiri. Ada yang membaca. Ada yang menulis. Ada yang hanya diam tanpa kata: minum kopi, menghisap rokok, dan mengentaskannya ke udara.

“Kalau ngantuk, tidur saja,” tukasnya memberi pahanya untuk saya tiduri. Saya menuruti saja apa kata kakek kendati mata sudah tidak berat lagi dan sulit terpejam.

Ketika rebah di pahanya, waktu seperti berhenti. Saya menemukan rahasia-rahasia di bawah kolong-kolong meja. Selain saya, yang tahu hanyalah si pembuat rahasia. Tentang genggaman tangan, colekan nakal, dan tindihan paha. Tentang sebuah kartu yang terselip dan puntung rokok dengan bara yang masih menyala. Tentang kertas-kertas, huruf, kata, dan kalimat yang berserak. Semua seperti membisikkan rahasia. Saya tidak tahu persisnya. Barangkali karena pikiran anak-anak sangat pendek untuk menjangkau rahasia. Saya tatap lekat wajah kakek yang hampir pensiun jadi guru bahasa. Tangan kirinya mengapit sebatang rokok. Dari sudut mata saya, bara itu tampak sama besar dengan cahaya bohlam di atas kepala kakek yang asik menulis.

Saya tak paham waktu itu.

***
Saya heran mengapa kopi selalu akrab dengan musim. Bila malam datang bersama gerimis, secangkir kopi dengan uap yang meliuk-liuk akan tampak romantis. Ketika malam jatuh dengan bintang yang menggoda, secangkir kopi akan membias sebuah bisikan untuk tidak segera beranjak dari malam. Pada situasi seperti itu, seseorang akan tampak tergila-gila dengan kopi.

Sampai pada suatu malam, ketika hujan masih menyisakan rinai di ujungnya, saya tergoda untuk berhenti sejenak di sebuah persimpangan jalan. Sebuah kedai kopi menghentikan langkah saya. Memang hampir di setiap jalan di kota ini selalu ada kedai kopi. Kedai tersebut memang sederhanan dan cukup luas. Tata ruang diatur sedemikian rupa. Beratap jerami dan berpilar bambu. Bohlam-bohlam menggantung dengan sinar kuning redup. Asap tipis membubung ditenggarai obrolan-obrolan renyah. Sulit membedakan mana asap rokok dan uap kopi. Kesulitan membedakan dua hal yang saling bersentuhan itu sepintas menghadirkan bayangan kakek. Sejak kakek pergi tiga belas tahun lalu, aroma kopi sedikit menjauh dari kehidupan saya.

“Pahit atau manis?” tukas seorang pelayan. Perempuan. Saya memandangnya cukup lama. Rasanya ada yang berdesir.

“Manis,” tak adakah selain pahit dan manis?

Tak lama kemudian perempuan berkemeja putih dengan lengan yang digulung itu datang lagi. Jeans pesil membuat jalannya tampak menggoda. Uap kopi meliuk-liuk di atas nampan. Sambil bersenyum manis, ia meletakkan dengan cepat dan tangkas. Ia menyilakan. Sebagai pelanggan yang baik segera saya respon dengan ucapan terima kasih.

“Oh, ya. Maaf, hampir lupa. Mohon untuk mengisi daftar pengunjung.”

“Untuk apa?”

“Kami menyediakan kopi gratis bagi pelanggan yang beruntung. Setiap bulan. Barangkali nanti Anda yang beruntung.”

Saya harus menulis nama lengkap, bukan nama panggilan, nama pena, apalagi nama samaran. Begitulah petunjuk di dalam daftar pengunjung itu. Saya lakukan saja. Kupikir setelah menulis ‘daftar hadir’ saya akan mendapat kupon atau sejenisnya. Tidak. Pelayan itu langsung menjauh. Pikiran saya mereka-reka seperti apa nanti konsep pengundiannya.

Hujan masih mericis perlahan. Dalam kondisi seperti itu pikiran dengan sangat mudah dikuasai kenangan, mendadak di depan mata. Ah, kenangan. Terbuat dari apakah kenangan? Saya melihat bayangan kakek tengah menulis. Bara ujung rokok dan uap kopi mengembang kenangan betapa penyair yang tergila-gila dengan kopi itu kini tengah menulis puisi.

***
Semasa hidup, kakek penyuka puisi: menulis puisi, membaca puisi dan menerbitkannya. Dilihat dari beberapa komentar penyair di bukunya, puisi kakek adalah puisi nyentrik. Puisinya ladang dari segala perasaaan yang dimiliki manusia. Satu hal dari kenyentrikan puisinya selalu memandang dunia dengan tawa.

Buku-buku sastra tersusun rapi di salah satu ruangan rumah. Di situlah kakek bermeditasi melahirkan puisi. Diantara silsilah keluarga, hanya saya yang paling akrab. Tetapi saya tak pernah membaca buku-buku sastra, apalagi menulis puisi, sehingga tumpukan buku itu hanya menjadi dinding berdebu. Saya akrab dengan kakek bukan karena puisi-puisinya.

Anak kakek tiga. Satu perempuan, dua laki-laki. Saya cucu dari anak perempuan. Tak ada dintara ketiga anak kakek yang mewarisi—ibu menyebutnya—hobi gila itu, nongkrong sepanjang malam. Ibu cukuplah menjadi ibu rumah tangga yang baik: sumur, dapur, dan kasur. Paman Ben menjadi pegawai yang rajin. Sementara paman Ari sukses dengan usahanya.

Beberapa kali ibu mengingatkan saya, jangan terlalu dekat dengan kakek. Ibu takut saya tertular hobi gilanya. Apakah menulis puisi itu gila? Apakah penyair itu gila? Ah, seperti apa nikmatnya menulis puisi? Bukan. Bukan. Maksud ibu kegilaan tongkrongnya.

Saya terperangkap dengan puisi-puisi nyentrik itu seperti lalat yang mengambang di atas permukaan kopi. Bepuluh tahun kakek melarung malam demi membuat mahakarya bernama puisi. Kakek berbicara dengan puisi-puisinya betapa menjadi penyair itu pekerjaan mulia. Tak pernah ada seorang penyair yang berbicara bohong dengan puisinya—kecuali penyair-penyairan. Sastra selalu berbicara kebenaran, nurani manusia dan suara Tuhan, tulis kakek di salah satu pengantar bukunya.

***
Hujan hampir mericis setiap malam. Dingin udara tampak membanyol betapa titik air yang menyentuh tanah sungguh nikmat apabila ditingkahi aroma kopi yang menguap. Pada malam-malam berikutnya, setelah terkurung seorang diri di kamar kakek, saya tak ingin melewati malam dengan secangkir kopi di kedai ini.

Jika keluar hanya sebuah alasan secangkir kopi, istri saya siap setiap waktu memanjakan saya dengan aroma kopi buatannya. Tetapi, menikmati kopi di ruang tertutup dengan ruang terbuka sungguhlah berbeda. Itulah yang membuatnya mencurigai saya bermain asmara dengan perempuan lain. Ia kerap marah-marah dan mengumpat seenaknya.

“Jangan pulang sekalian!” umpatnya.

Pssst... ia hanya cemburu pada secangkir kopi.

Beberapa hari kemudian, istri saya berdamai dengan amarahnya. Ia lebih memilih diam dalam tangis. Lalu, pergi entah kemana. Saya jadi punya banyak waktu mematut bayangan saya di atas permukaan air kopi yang tenang. Saya sudah tak memiliki alasan untuk pulang meninggalkan kedai ini.

Desir angin pelan-pelan menggesek atap kedai. Seorang pemuda memainkan harmonika. Di depan semua pengunjung, ia menyatakan cinta pada kekasihnya.

***
Setiapkali pelayan—yang saya tahu pada perkenalan suatu malam bernama Taris—menuliskan nama saya pada selembar kertas, manik matanya rebah cukup lama. Mungkinkah pemilik tahi lalat tipis di pipinya itu tengah menaruh hati?

Ia mempertanyakan nama Rahardjo di akhir nama saya. Saya terakan nama Rahardjo susur galur keluarga saya.

“Anda kenal dengan Jafar Rahardjo?” pertanyaannya yang datar sedikit membuat perasaan terhenyak.

“Dia kakek saya.”

“Oh, jadi Anda titisan penyair.”

“Saya memang cucunya, tapi saya tidak suka menulis, termasuk puisi. Saya tidak akrab dengan puisi.”

“Apapun itu, Anda orang yang beruntung.”

“Beruntung?”

“Ya, beruntung. Karena puisi-puisi kakek Anda, kedai ini kami tak pernah alpa melahirkan para penyair.”

Saya terjebak bingung. Matanya berkilauan. Setiap rona di wajah Taris coba saya artikan dalam-dalam. Sebagian pengunjung mencuri pandang pada percakapan kami.

“Baiklah... baiklah. Anda sekarang boleh bingung, tapi nanti paham sendiri. Salam kenal titisan penyair,” tukasnya sembari pergi melayani pengunjung lain.

Titisan penyair? Saya menggeleng-geleng kepala. Tertawa sendiri.

Beberapa hari kemudian, Taris meminta waktu khusus, lebih dari sekedar waktu untuk seorang pelayan kepada pelanggan. Ia membawa tumpukan manuskrip puisi dan menyerahkan kepada saya.

“Ini milik Anda. Puisi-puisi yang ditulis oleh kakek Anda. Barangkali sebagian belum sempat diterbitkan.”

“Saya tidak suka puisi. Saya cuma suka aroma kopi.”

“Kopi? Hahaha...” Taris tertawa keras. “Begini, biji kopi terbaik tetap saja tak akan enak bila tangan penyaji kopi itu tak mengenali jiwa kopi.[1] Begitu juga dengan puisi.” Ia tersenyum dan mendekatkan bibirnya yang seksi,” banyak penyair yang lahir dari puisi ini. Anda pun bisa menjadi penyair.”

Perempuan itu meninggalkan manuskrip bersama kesunyian yang larut bersama ampas kopi.

***

Kakek adalah orang pertama yang memperkenalkan saya dengan aroma kopi. Saya tidak tahu tepatnya berapa usia saya saat itu, terjadi pada suatu malam. Sekarang, aroma kopi memperkenalkan saya dengan puisi. Mungkinkah perkenalan kakek dengan puisi juga disebabkan oleh aroma kopi? Ah, sudahlah. Jika ingin menjadi penyair, datanglah kemari. Setiap malam saya menunggu anda. Mari sama-sama menulis puisi dan menyeruput secangkir kopi. Pahit atau manis, terserah anda.

Jember 10 November 2014
[bersama ampas kopi di bibir cangkir]

[1]. Agus Noor, Kopi dan Cinta yang Tak Pernah Mati 

Monday, January 26, 2015

TENUNG

(Dimuat di Kompas, 25 Januari 2015)
Kabar kematiannya menyebar sangat cepat, seperti angin yang berbuah badai dan merontokkan dedaunan. Barangkali kabar kematian tak secepat itu jika yang meninggal bukan si tukang tenung.
”Siapa yang meninggal?”
”Murtaep.”
”Murtaep tukang tenung itu?”
”Ya, betul.”
Di mana kabar itu singgah, dari muka segala arah, pembicaraan kerap bermuara pada perkara kesaktiannya. Tenung dan Murtaep bak gembok dan kunci. Tenung, ya, Murtaep. Murtaep, ya, tenung.
Malam masuk waktu Isya ketika tubuh Murtaep tak lagi hangat. Sebagian kerabat berdatangan sebelum mata lelaki dekil itu benar-benar terpejam. Murtaep meninggal secara wajar dan normal, tidak mendadak, apalagi misterius. Kematiannya tak seperti yang selalu ia koarkan pada penduduk.
Ramalan yang meleset itu, kematian Murtaep, semakin menjadi buah bibir.
Jauh hari Murtaep sudah mengabarkan perihal tanda kematiannya sendiri. Ia akan mati ketika pohon beringin di depan rumahnya tersambar petir. Tulangnya akan hangus bersama akar serabut beringin. Bagaimanapun Murtaep juga manusia. Bisa meramal, bukan penentu nasib.
Lebih tiga bulan lelaki itu tak bisa melakukan apa-apa kecuali tergolek kaku. Ia sudah tak lihai memainkan persendian. Makan dan minum harus disuap. Buang hajat sudah di ranjang. Buang air tak pernah membilang.
Murtaep tidak sakit, hanya terlalu tua untuk hidup. Usianya seratus tahun lebih. Melihat usia yang terlalu senja untuk ukuran manusia sekarang, sebagian orang percaya betapa ia tak bisa mati kecuali ada petir menyambar beringin itu.
”Yang jelas usianya lebih seratus tahun. Seratus berapa, tidak ada yang tahu,” cerita Dulla pada Taris, cucunya.
Istri Murtaep seorang dukun beranak. Sapinah namanya.
”Perempuan itu yang memandikan anak kakek yang paling tua. Pamanmu, Aji,” kata Dulla.
”Dulu orang melahirkan tak secanggih sekarang. Bukan perkara gampang. Sakit harus benar-benar dilawan, bertaruh nyawa. Sekarang enak pakai operasi. Tinggal suntik, tak sadar, selesai,” sambung ibunya yang tiba-tiba sudah berdiri dengan sekantong beras.
Taris memiliki sambung keturunan dengan Murtaep dari keluarga garis laki-laki. Dulla adalah adik sepupu Murtaep.
Ayah Taris belum pulang. Ia memiliki jadwal piket di palang pintu kereta dan baru tiba di rumah jam sembilan. Dulla mengajak Taris melayat duluan. Ibunya sudah berada di teras dengan sekantong beras untuk disedekahkan kepada keluarga duka.
Para pelayat berdatangan ke rumah duka membawa gula, rempah-rempah, mie instan atau beras. Mereka datang untuk menghibur dan mengurangi beban keluarga dan menjadi saksi atas kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan almarhum.
”Siapa yang bakal gantikan Murtaep, ya?”
”Kamu saja, bagaimana?”
”Hus, ngawur!”
”Lha, ‘kan cuma mutar kendi, lalu bertanya, siapa kamu, apa yang kamu minta. Mudah bukan?”
”Iya, ada benarnya juga tuh,” sindir yang lain.
”Kendinya bisa menjawab pertanyaan itu?”
”Tentu tidak. Kendi itu cuma berputar-putar.”
”Lalu, bagaimana bisa ketahuan bila mahluk gaib itu minta nasi kuning, serabi, tajin...?”
”Ya, kamu harus buat sendiri jawabannya dan tawarkan pada kendi itu.”
”Maksudnya?”
”Kalau jawabanmu benar, kendi itu akan berhenti berputar.”
”Oalaaah, kalau saya yang pegang kendi itu, saya tak akan menawarkan nasi kuning, sumpil, lemper, serabi, atau tajin.”
”Lalu apa?”
”Bisa yang lain yang lebih keren dan enak. Bisa panggang ayam, sate, soto babat atau makanan yang enak-enak lainnya... hahahahaha.” Orang-orang melempar pandang di bawah terang bohlam yang menggantung, redup oleh asap cerutu.
Jenazah Murtaep jadi dikubur besok pagi, hasil musyawarah keluarga duka dengan tokoh masyarakat. Gerimis yang kembali turun menjadi pertimbangan. Taris dan Dulla pulang. Di rumah tidak ada orang. Sementara ibunya masih membantu urusan di dapur. Dalam perjalanan pulang, berlindung daun pisang, cerita renyah mengalir dengan narasi tak begitu rapi.
”Tak banyak yang memiliki kemampuan seperti dia,” mulainya.
Sudah lama Murtaep jadi tukang tenung; sejak menikah dengan Sapinah dan memiliki sebuah kendi. Tenung ala Murtaep berbeda dengan tenung yang biasa atau yang lebih dititikberatkan pada ilmu hitam untuk mencelakai orang. Tidak. Tenung Murtaep menjadi juru selamat di kampung itu. Banyak penduduk yang berobat kepadanya.
Murtaep hanya seorang pendatang biasa. Kelebihan membaca perkara gaib diketahui ketika seorang anak tetangga mendadak kejang-kejang. Tubuhnya menghitam. Matanya membelalak. Tangannya mencakar-cakar. Murtaep yang kala itu baru tiba dari sawah melihat keganjilan itu. Ia mendekati orangtua anak yang mukanya kacau panik, lalu mendekat pada anak yang—kata orang—ayan. Anak itu menyerangnya. Murtaep gesit menghindar. Pada kondisi yang sangat sigap dan cepat, tangannya menepok jidad anak itu dan roboh seketika.
Perkara gaib yang terjadi sangat cepat itu membelalakkan pasang mata. Anak itu tak lagi mengamuk. Murtaep berusaha menetralisir suasana. Berkoar betapa yang dilakukannya tadi sebuah usaha mengusir makhluk halus yang terperangkap di tubuh anak itu. Tak lupa ia membumbui aksinya dengan usaha campur tangan Tuhan.
”Apa yang terjadi setelah itu, Kek?”
”Kau tak sabaran, Nak,” tukasnya tersenyum. ”Sejak saat itu Murtaep menjadi kepercayaan orang kampung. Banyak yang berdatangan kepadanya. Bertanya soal penyakit yang tak sembuh-sembuh sampai bertanya soal jodoh.”
Hal lain yang membuat Murtaep menjadi terpandang adalah kendi yang dipakai untuk tenung. Tempat air bercerat yang terbuat dari tanah liat itu bukanlah sembarang kendi. Orang menyebutnya kendi tasoddul, milik perempuan hamil yang meninggal sebelum melahirkan. Konon, ruang dalam kendi itu berpenghunikan arwah bocah yang mati sebelum lahir.
”Arwah bocah yang mati sebelum lahir dipercaya dapat membaca perkara gaib. Arwah bocah itu diibaratkan sehelai kapas putih tanpa noda.”
”Kapas putih?”
”Ya, bayi yang baru lahir ibarat kapas putih, Nak. Bersih tanpa noda dosa.”
Selain sebagai wadah minuman, kendi juga dipakai sebagai pelengkap kuburan. Benda itu diletakkan di bagian kepala nisan. Isinya air yang dipakai peziarah untuk menyiram aneka kembang yang ditabur di atas jarak kedua nisan.
Murtaep memiliki penyakit semacam orang yang susah tidur. Malam-malam kerjanya melek seperti burung hantu. Kalau tidak punya jadwal ronda, kerjanya main domino. Kalaupun sudah merasa lapar, ia dan teman sepermainannya tinggal membuat api unggun, menyeduh air, membuat kopi, atau memanggang singkong.
Suatu malam, di pos ronda, sangat kebetulan sekali, hanya Murtaep semalaman duduk sangkil. Tak ada teman ternyata kantuk bisa juga datang ke pelupuk matanya. Atau barangkali saja lelaki itu kecapaian karena seharian mencangkul tegal.
Ia tidur sebentar dan bermimpi samar-samar: perempuan, bayi, tangis, nisan, kemboja, dan kendi. Ia tak tahu harus ditafsirkan macam apa mimpinya. Satu hal yang ada di pikirannya, bila ada perempuan hamil meninggal dengan anak masih dalam kandungan, akan ada banyak orang yang menginginkannya. Semua orang tahu betapa kematian semacam itu, anak dalam kandungan bisa dibuat jimat kekebalan atau ritual menjadi kaya. Cerita ini memang sudah melegenda, tidak hanya Murtaep yang tahu.
Mimpi itu tak menunggu lama untuk menjadi nyata. Sebelum matahari menyumbul, penduduk dihebohkan kematian Sumiati. Perempuan yang ditinggal suaminya menjadi TKI itu meninggal dengan perut membuncit tujuh bulan. Murtaep dan kawan seronda lainnya sadar, urusan berjaga-jaga bertambah berat, apalagi kalau bukan kematian tasoddul itu. Banyak yang akan menginginkan kuburan Sumiati, sebelum kuburan itu genap 41 hari.
Hal yang tak diinginkan terjadi sebelum kuburan Sumiati genap 41 hari. Ada yang membongkar kuburan itu. Jenazahnya hilang! Peronda kecolongan. Sepasang tatapan saling menaruh curiga. Siapa yang tak ingin kaya?
”Bagaimana Murtaep memiliki kendi itu, Kek?” tanya Taris.
”Entahlah, katanya kendi itu datang sendiri kepadanya.”
Tujuh hari pemakaman Murtaep tuntas, sanak saudara sudah pulang dari rumah duka, termasuk Taris dan keluarganya. Rumah kembali sepi. Pada posisi seperti ini, sangat baik bagi kenangan datang bertandang.
Setiap keluarga pasti setidaknya mempunyai satu buah benda keramat yang menjadi pusaka dan diwariskan turun-temurun. Pikiran seperti itu merangsang Silus merasa paling berhak mewarisi kendi itu. Ia lelaki tunggal dari tiga bersaudara. Bukankah dalam proposisi tertentu lelaki lebih diunggulkan daripada perempuan?
Ayam baru berkokok sekali. Silus melihat kendi itu menggantung di langit-langit kamar tempat terapi Murtaep. Leher kendi terlilit kawat. Ia mengambil kendi itu dan memutarnya sebagaimana yang dilakukan oleh ayahnya. Poros atas dan poros bawah kendi diseimbangkan dengan kedua jari telunjuk. Sementara telunjuk yang lain memutar kendi itu.
Dicobanya, tidak bisa.
Dicoba lagi, tidak bisa.
Dicoba lagi, tetap.
Sisa kesabaran berdengus. Silus membanting kendi yang tak mau berputar. Prang! Kendi hancur berkeping berserak di lantai. Silus keluar dari kamar yang gelap. Tangannya menutup daun pintu cukup keras.
Sulastri yang lelap di kamar, seketika terbelalak mendengar suara itu. Ia hendak mengadu, namun Silus sudah tak ada di sampingnya. Ia yakin suara yang didengar tadi bukanlah kembang tidur, tapi entahlah, dari mana suara itu datang.
Langkahnya bersigegas ke dapur. Pikirannya awas pada seekor kucing milik tetangga yang sangat blenger.Sekali mencium aroma daging, pasti selalu mengintip. Sulastri was-was kucing belang itu memakan sisa ikan sapi hari ketujuh wafat Murtaep. Sulastri tak menemukan apa-apa. Ia mengecek ruangan yang lain, tak ada tanda-tanda barang pecah. Di kamar yang digunakan mertuanya, ia juga tak melihat tanda kegaduhan ataupun barang yang berserak. Hanya saja wajahnya tampak heran melihat kendi berada di lantai.
Sulastri mengembalikan kendi itu ke tempat semula, menggantungkannya di langit-langit kamar. Bila suaminya ketemu, ia ingin bertanya beberapa hal: tentang suara itu dan siapa yang meletakkan kendi di lantai. []