Showing posts with label Resensi. Show all posts
Showing posts with label Resensi. Show all posts

Saturday, August 29, 2020

Santri (Wajib) Mencari Barokah

Judul               : Asmara Anak Asrama

Penulis             : Fandrik Ahmad

Penerbit           : Surya Pustaka Ilmu

Cetakan           : November, 2019

Tebal               : 208 halaman

ISBN               : 978-623-92188-2-9

Peresensi         : Muhtadi ZL   

Ditinjau dari segi historisnya, tujuan santri yaitu untuk mendapatkan ilmu yang barokah. Karena berpatokan pada kalimat yang mashur di kalangan kaum sarungan. “Percuma punya ilmu, tapi tidak barokah. Lebih baik punya ilmu sedikit tapi barokah”. Secara gamblang adagium ini menuntun seseorang (santri khususnya) untuk mencari ilmu yang barokah.

Untuk mengetahui cara mendapat ilmu barokah, tertuang jelas dalam novel religi karya penulis muda dan alumnus pesantren, Fandrik Ahmad, Asmara Anak Asrama. Buku ini menceritakan seorang santri (sebagai pelaku utama) yang nyantri di salah satu pesantren tersohor di Madura. Santri tersebut bernama Haris yang menapaki jalan akhirat sebagai tujuan awal dirinya mondok. Semua kepentingan yang berbau materi tidak ia singgahi sedikit pun.

Dari segi perilaku, Haris sangat mengedepankan etika atau adhap asor, utamanya pada keluarga pesantren. Sebab lumrah kita ketahui bersama, pesantren yang terkenal dengan moral atau aturan yang membuat santri paham konteks, antara boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Apalagi hal tersebut merujuk pada santri putri (non-muhrim). Pesantren mempunyai norma yang sangat ketat (hal. 154). Maksud hal ini adalah bagaimana seseorang memiliki perbedaan antara pesantren dengan yang bukan pesantren.

Seperti banyak kisah-kisah yang beredar di kalangan santri, untuk mendapat barokah, santri harus patuh pada peraturan pesantren. Karena menurut keyakinan kaum sarungan, patuh pada peraturan pesantren adalah modal awal untuk mendapatkan barokah. Makna patuh pada pesantren tidak hanya ditafsiri satu makna, tetapi kata ini mempunyai konotasi yang lain, seperti patuh pada dawuh kiai, serta ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk mendapatkan barokah, yaitu mengabdikan diri pada dalem (rumah kiai).

Hal inilah yang dilakukan Haris selama menjadi santri. Dia menyapu halaman dalem setiap pagi sampai menggantikan lora atau anak kiai yang tidak bisa mengajar sebab menempuh pendidikan yang lebih tinggi di luar pesantrennya. Semua kegiatan yang bersangkut-paut dengan pesantren dilakukan dan dijalaninya dengan ikhlas dan sabar.

Kehadiran novel religi ini bisa menjadi renungan dan memberikan paradigma baru bagi santri yang lahir di 2000-an. Sebab, santri yang terdiskriminasi dalam ruang lingkup generasi Z sangat kontradiktif dengan santri sebelumnya. Santri sekarang seolah hanya mementingkan hal-hal yang berbau sekuler.  Pemahaman baru ini menjadi penghalang untuk mendapatkan barokah di pesantren. Sebab barokah diyakini bisa timbul melalui keridaan kiai atau guru, bisa kita dapat melalui spiritual dan moral yang baik (hal.186).

Padahal, seandainya mereka tahu (santri sekarang) bahwa tujuan prioritas santri adalah mencari ilmu yang barokah—jika ditelisik dari esensi seorang santri mondok—bukan hanya mencari ilmu pengetahuan belaka. Seorang santri yang benar-benar ingin menjadikan dirinya seorang santri, ia akan patuh pada peraturan pesantren meski santri tersebut tergolong zaman now. Hal ini menjadi orientasi inti dari perjuangan santri yang rela jauh dari orangtua. Namun, penuturan berbanding terbalik dengan santri yang masuk dalam lingkaran Gen-Z.

Sebelum benar-benar menyelami hal spiritual atau barokah, perlu kiranya santri membersihkan diri dari segala dosa, yaitu dengan cara pendekatan vertikal kepada Allah swt. Karena kalau sudah mendapat rida dari kiai dan guru, tidaklah boleh lupa meminta syafaat-Nya. Barokah didapat ketika hati dan jiwa santri bersih dari segala dosa (hal.164). Jika hal ini berjalan linear, kaidah santri akan kokoh meski dihantam atau diterjang kemajuan zaman sekalipun.

Buku ini penting dibaca oleh santri zaman sekarang, karena dalam buku 208 halaman ini memberikan pemahaman yang sangat mudah dicerna. Jika buku ini hendak direvisi perbaikan mengenai penulisan kata lebih diperhatikan. Namun yang jelas, kehadiran buku menjadi kebanggaan bagi santri untuk lebih mementingkan tujuan awalnya dan bahan introspeksi diri demi kebaikan di masa yang akan datang.[] 

Tuesday, November 11, 2014

Memaknai Indahnya Berpuasa



Judul               : Tafsir Sastrawi: Menelusuri Makna Puasa dalam Alquran
Penulis             : Wali Ramadhani
Penerbit           : Mizan Pustaka
Terbitan           : Pertama, Mei 2014
Tebal               : 176 halaman

Alquran merupakan kitab sastra Arab terbesar dengan pilihan teks yang memunyai muatan nilai sastra yang sangat tinggi. Terbukti dialog dalam teks-teks Alquran selaras dengan realitas yang terus berkembang dan berubah-ubah.

Muatan nilai-nilai sastra dalam Alquran memunculkan tafsir Alquran dengan metode sastrawi. Salah satu ulama yang mengembangkan tafsir dengan metode ini adalah Amin al-Khuli (1895-1996). Metode sastrawi merupakan usaha untuk memahami ayat-ayat Alquran melalui sastra dan kebahasaan. Sederhananya, metode sastrawi menggunakan pendekatan terhadap teks Alquran melalui kata per kata dalam sebuah kajian tematik (maudu’i).

Kajian tafsir dengan medote sastrawi dilakukan dengan dua metode, yaitu kajian seputar Alquran (dirasah ma hawla Alquran) dan kajian mengenai Alquran itu sendiri (dirasah ma fi Alquran).

Wali Ramadhani, mencoba memahami hakikat perintah berpuasa dalam Alquran melalui metode ini. Ayat yang paling mencolok kaitannya dengan perintah berpuasa adalah surat Albaqarah ayat 183, 184, dan 185, menyerukan kewajiban bagi orang beriman untuk melaksanakan ibadah puasa.

Bagi ummat Islam aktivitas berpuasa sudah tidak asing lagi. Bahkan ibadah puasa menjadi salah satu pilar dari lima rukun Islam. Namun pada tatanan praktiknya, puasa terasa menjadi berat, hambar, hanya sebatas berperang melawan rasa lapar dan haus, apabila tidak memahami makna dan hakikat dari puasa.

Buku ini ingin menelisik konsep puasa dengan mengedepankan aspek keindahan bahasa dan makna simbolik dalam rangka menguak betapa aktivitas berpuasa tidak hanya berlapar-lapar dan menahan dahaga, melainkan sebuah proses pelatihan untuk mencapai ketakwaan dan derajat spiritual yang tinggi.

Puasa bila ditinjau dari kajian seputar Alquran, meletakkan hakikat ibadah puasa sebagai latihan memerangi hawa nafsu. Turunnya perintah puasa tidak lepas dari kondisi sosial-budaya bangsa Arab yang identik dengan kefanatikan antar kabilah, sehingga perilaku dan watak mereka menjadi tempramental dan fatalis. Di sinilah puasa dapat berperan sebagai ajang transformasi moral, baik pada tataran individu maupun sosial.  

Sementara tinjauan ibadah puasa dari kajian mengenai Alquran sendiri menempatkan tiga poin pokok yang harus diperhatikan. Pertama, mengapa di ayat awal disebutkan durasi puasa hanya ‘beberapa hari’ sementara di ayat akhir disebutkan ‘sebulan penuh’. Kedua, mengurai redaksi wajibnya berpuasa yang menggunakan kalimat pasif (diwajibkan) bukan menggunakan kalimat aktif (mewajibkan). Ketiga, keringanan-keringanan dalam berpuasa.

Redaksi pertama surat Albaqarah ayat 184 menggunakan ayyaman ma’dudat (beberapa hari tertentu), lalu dilanjutkan pada ayat berikutnya dengan redaksi syahru ramadhan (bulan ramadan) mengindikasikan strategi untuk memengaruhi asumsi pembaca bahwa satu bulan itu bukanlah waktu yang lama. Kata ma’dudat menunjukkan makna sedikit atau sebentar. Dengan redaksi demikian, Alquran tampak memberikan gambaran bahwa sebulan itu bukan waktu yang lama.

Sementara penggunaan kalimat pasif kutiba (diwajibkan) untuk menunjukkan kepada sesuatu yang sudah melekat. Pada dasarnya manusia sudah memiliki naluri untuk menahan diri sehingga kata kutiba lebih sesuai jika disandingkan dengan ibadah puasa. Penggunaan kalimat pasif juga hendak menunjukkan bahwa sudah jelas subjek yang mewajibkan puasa adalah Allah.

Mengutip pendapat Quraish Shihab bahwa tidak disebutkannya pelaku yang mewajibkan puasa dalam ayat tersebut memberikan isyarat seandainya bukan Allah yang mewajibkan, niscaya manusia sendirilah yang mewajibkan untuk dirinya sendiri. Tentu ibadah puasa menjadi mutlak untuk dilaksanakan. (hal.88)

Pelaksanaan ibadah puasa juga memiliki beberapa keringanan-keringanan, yaitu kepada orang yang sakit, orang dalam perjalanan (musafir), orang yang berat menjalankannya seperti orang yang sudah tua.
Ayat tentang keringanan dalam ibadah puasa disebutkan sesudah kewajiban berpuasa dan sebelum menyerukan waktu pelaksanaannya. Runtutan ini guna menghilangkan kesan betapa menjalankan ibadah puasa itu berat. Apabila paparan awalnya langsung tertuju pada pelaksanaan sebulan penuh maka kesan yang akan muncul adalah puasa itu berat dan lama.

Dengan menggunakan pandangan tafsir sastrawi kita dapat menangkap betapa menjalankan ibadah puasa bukan hanya semata-mata dipandangi sebagai perintah yang harus ditaati, melainkan sebagai bentuk pembelajaran spiritual.

Sayang sosok Amin al-Khuli yang menjadi sandaran atas tafsir sastrawi dalam buku ini kurang mendapatkan perhatian dari penulis. Ketidaksertaan biografi Amin al-Khuli dalam buku ini membuat pembaca kurang memahami corak dan pemikirannya terkait dengan tafsir sastrawi ala Amin al-Khuli.

Puasa seyogyanya mampu membebaskan manusia dari kerendahan jiwa agar sampai pada kesempurnaan akalnya, yakni suatu keadaan fitrah manusia atas ketaatan terhadap Allah. Buku ini baik dalam rangka memaknai indahnya menjalankan ibadah puasa.[]


Monday, September 15, 2014

Dialog Kemanusiaan dalam Alquran

Dimuat di Okezone.com
Judul               : The Wisdom
Editor Ahli      : Prof. Dr. H. Rosihan Anwar, M. Ag
Penerbit          : Al Mizan
Terbitan          : Pertama, Mei 2014
Tebal              : 1.236 halaman
Ukuran           : 18 x 26 cm

Dewasa ini program penanaman nilai-nilai Alquran semakin kuat dan berkembang pesat. Berbagai metode pembelajaran, penghafalan, dan penafsiran Alquran lahir secara beragam. Hal ini tentu menunjukkan betapa semangatnya umat Islam untuk memahami Islam secara kafah.

Alquran merupakan sebuah mukjizat yang luar biasa pentingnya bagi kehidupan. Kitab yang mencakup kitab-kitab sebelumnya, yaitu Taurat (Nabi Musa As) Zabur (Nabi Daud As) Injil (Nabi Isa As), menjadi panutan guna mengarungi kehidupan dunia dan akhirat.

Segala sesuatu yang berkaitan dengan keesaan dan kekuasaan Allah sudah terangkum di dalam satu kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad tersebut. Keesaan dan kekuasaan Allah yang tak terhingga membuat karakter bahasa yang digunakan multi-interpretatif.

Karakter bahasa yang multi-interpretatif membuat Alquran berpeluang ditafsirkan secara beragam. Namun, keberagaman bukan semata-mata persoalan persepsi beberapa orang mengenai suatu obyek yang pasti akan berbeda-beda, tetapi merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan untuk manusia, sebagaimana dalam pengantar mushaf The Wisdom.

Hadirnya The Wisdom, padanan bagi kata al-hikmah dalam bahasa Arab, memberikan warna dan corak tersendiri dalam dunia tafsir. Sebuah iktikad baik untuk memudahkan siapa saja dalam memahami kandungan Alquran, sekalipun dari tingkat pemula.

Di dalam mushaf setebal 1.236 halaman tersebut difasilitasi terjemahan perkata, terjemah bahasa Indonesia dari Kementerian Agama RI, asbabun nuzul, hadits, doa-doa, munasabah (hubungan antar ayat) dan memuat 1.420 artikel dengan tema-tema beragam yang diklasifikasikan ke dalam enam tema, yaitu akhlak, akidah, ibadah, muamalat, ilmu, dan kisah. Pembaca akan sangat mudah masuk pada pembahasan tema-tema tertentu karena, selain difasilitasi daftar isi surat, The Wisdom juga difasilitasi daftar isi ayat sesuai dengan klasifikasi enam tema tersebut.

The Wisdom disarikan dari kitab para mufassir masyhur, diantaranya kitab Fi Dzilali Qur'an, Tafsir Al Maraghi, Ruh al-Ma'ani, Tafsir Ar-Rozi, Tafsir Ibnu Abbas, Aisar Al-Tafasir, Al Munir, Tafsir Jalalain, Tafsir Al Jawahir, Tafsir Al-Sa'di Ibn Munzhir, Tafsir At-Thabari, Al-Jawahir Al-Hisan, Tafsir Al-Manar, Bada'i Al-Tafsir, Al Wasit, Tahrir wa Tanwir, Abu Hafs Sirajudin, Al-Bahr Al-Muhit, dan Al-Jami' Al-Ahkam Al-Qur'an.

Keunikannya adalah uraian tafsir yang menggunakan metode tematik (maudu’i) dan komparasi (muqaran). Tema yang dipilih dalam beberapa ayat sesuai dengan keterwakilan enam tema utama yang diangkat. Selain daripada itu, pemaparan tema pembahasan juga dilengkapi dengan essai dalam rangka mendialogkan Alquran dengan problem etis kemanusiaan dan kealaman dalam konteks kekinian. Dengan gaya tutur yang sederhana, kandungan moralnya sangat mudah dipahami.

Oleh karena menggunakan metode tematik, tentunya pembahasan ayat per ayat tidaklah menyeluruh. Hanya beberapa ayat terpilih yang menduduki porsi tertentu. “Keterbatasan ruang”—yang menjadikan mushaf ini hanya setebal 1236 halaman—membuat pembaca kurang bisa mendalami penggalan ayat yang ingin dipilih dan diketahui kandungannya.

Satu contoh kecilnya adalah muatan nilai keimanan (akidah) yang terkandung dalam surat Al-baqarah ayat 177 yang tidak masuk dalam aspek pembahasan. Salah satu dari 17 kontributor yang masuk dalam tim penulisan mushaf ini lebih memilih membahas muatan nilai ibadah dalam surat Al-Baqarah ayat 178-179 yang membahas tentang qisas. (hal.54)

Tentu keterbatasan tersebut bukanlah sebuah cela karena sebelum membuka mushaf ini pembaca sudah dibenturkan dengan kalimat “Alquran Disertai dengan Tafsir Tematis” yang mengindikasikan bahwa tafsir di dalamnya hanya pada tema-tema tertentu atau tema-tema pilihan.

Pendekatan metode tematik tampaknya ingin memberikan pengertian bahwa kehadiran The Wisdom untuk memudahkan pembaca dalam memahami kandungan isi Alquran. Apalagi pembahasan dalam mushaf ini juga menghindari wacana-wacana yang rumit dan konvensional.

Alangkah lebih baik bila The Wosdom lebih dikembangkan sebagai tafsir yang berdiri secara utuh, kendati membutuhkan banyak tenaga dan pikiran. Paling tidak, harapan ini muncul dikarenakan kehadiran mushaf ini, dengan karakter bahasa yang mudah dipahami, mendorong pembaca untuk memahami dan menyelami lebih dalam kandungan Alquran.

Semoga kehadiran The Wisdom dapat memudahkan pembaca dalam memahami secara sederhana kandungan Alquran, sehingga usaha dan semangat untuk membumikan nilai-nilai qur’ani menjadi lebih kuat di Tanah Air ini.[]

Saturday, May 3, 2014

Ngaji Radikal dari NU


Judul Buku      : Tradisionalisme Radikal; Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara
Editor              : Greg Fealy dan Greg Barton
Penerbit           : LkiS Yogyakarta
Tebal buku      : xvi + 360 hal: 14,5 x 21 cm
No ISBN         : 979-8966-11-2
Cetakan           : III, April 2010

Kontribusi NU terhadap tegaknya NKRI tidak bisa dinafikan. Perjuangan ulama di seluruh nusantara dalam menegakkan kemerdekaan serta membentuk negara berdaulat merupakan sumbangsih yang tak mungkin bisa dikesampingkan. Terlepas dari rasa “egoismesentris” keagamaan, spirit perjuangan ulama NU memainkan peran yang signifikan atas perubahan sosial dan politik di Indonesia.

Buku ini Tradisionalisme Radikal; Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara adalah kumpulan ilmiah yang sebagian besar hasil penelitian dari ragam tema. Di antanya, ideologi dan tingkah laku politik NU, struktur organisasi NU, dan Respon NU terhadap perubahan sosial dan modernitas.

Greg Fealy dan Greg Barton sepakat membagi sejarah perkembangan organisasi berlambang bumi itu menjadi tiga fase: Pertama, NU sebagai organisasi sosial-keagamaan, Kedua, NU sebagai partai politik, Ketiga, kembalinya NU pada khittah yaitu sebagai organisasi sosial-keagamaan.
NU lahir dari rahim pesantren dan untuk pesantren, bukan untuk negara. Ideologi modern yang dibawa oleh para penjajah, baik Belanda maupun Jepang, membuat NU harus  bertindak tegas terhadap teganya agama Islam di Nusantara. Pada tahap ini, dikatakan bahwa NU menerapkan politik internal (sirr).

Pada perkembangannya, percaturan NU di panggung politik semakin terang. Kemelut perpolitikan pada rezim Orde Lama dan Orde Baru menyisakan dilema yang sangat kompleks membuat kalangan elit NU tidak bisa tinggal diam. Pada akhir tahun 1930-an NU menentang regulasi pemerintah kolonial yang dianggap bertolakbelakang dengan Islam.  Keterlibatan NU sagat terbaca ketika turut mendukung GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesi), sampai kemudian membentuk motor politik sendiri yakni Partai Masyumi.

Sebagai Organisasi Islam tertua di Indonesia yang lahir pada 31 Januari 1926, merangkum kontribusi NU terhadap NKRI dalam tulisan yang singkat ini tentu sangat kurang, sebab perjalanan NU sampai saat ini seperti air beriak di sepanjang liku aliran sungai.

Ada gagasan yang sangat menarik dari isi buku yang dimotori oleh Greg Fealy dan Grek Barton (editor) ini. Sebuah buku terjemahan pertama yang—menurut Gus Dur—yang mengulas secara detil soal persinggungan NU dan NKRI. Yaitu kata “Radikal” pada bagian judul buku.

Kenapa ada Radikal? Bukankah empat pilar yang dimiliki NU, yaitu tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazzun (seimbang) dan I’tidal (adil) membuat organisasi yang didirikan oleh K.H Hasyim As’ari terkenal dengan fleksibilitasnya?

Kata ‘Radikal’ disadur oleh Mitsuo Nakamura, yang turut diundang oleh Gus Dur pada Muktamar NU ke-26 di Semarang pada tahun 1979. Peneliti asal Jepang tersebut menilai gerakan politik NU adalah gerakan radikal. Radikal dalam pengertian kritik yang luas dan terbuka (hal, 114). Asumsi tidaklah berlebihan sebab NU pengkritik keras rezim Soeharto.

Dengan sikap seperti itu terjadi sebuah paradoks: radikalisme politik dan tradisionalisme agama. Dua arah yang seakan berlawanan arah tersebut justru memperkokoh eksistensi NU sebagai organisasi massa. Radikalisme politik NU sebagai jalan li maslahatil ummat. Radikalisme politik merupakan langkah memperkokoh tradisionalisme keagamaannya.

Si sisi lain, Radikalisme politik membuat harmonisasi di tubuh NU kerap bertolak belakang. Nilai-nilai adap asor yang menjadi salah satu karakteristik dalam konteks sosial-keagamaan terabaikan oleh legitimasi politik radikal yang berdiri atas jargon li maslahati ummat.

Hadirnya buku ini mengokohkan harmonisasi relasi NU-Negara. Salah satu contoh, yaitu pengambilan keputusan atas Pancasila sebagai asas dasar negara. Sementara Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai asas dasar pemberdayaan ummat.

Buku ini sangat cocok sebagai refleksi atas pola gerak NU dalam konteks kekinian.  Kiranya tidaklah berlebihan mengingat buku yang didominasi cover warna hijau ini secara detail mengulas naik-turun NU di panggung politik.

Saturday, March 3, 2012

Ironi Filsafat Jawa

Buku Filsafat Jawa (Balai Pustaka; 1992), buah tangan Dr. Abdullah Ciptoprawiryo, dosen ilmu filsafat Fakultas Sastra Universitas Indonesia, telah menyelamatkan wajah Indonesia dalam kancah percaturan ilmiah. Sebagaimana dalam pengantar bukunya, ia bermaksud untuk membantah pendapat seorang profesor asing yang mengatakan bahwa filsafat di Indonesia lebih ditekankan pada filsafat barat (Eropa) karena Indonesia tidak memiliki filsafat sendiri.

Melalui pendekatan analitik-holistik, ia membuktikan enam karya sastra Jawa yang mengandung pemikiran filsafat: Mpu Kanwa, Arjunawiwaha, jaman Raja Airlangga (abad XI); Mpu Tantular, Sutasoma dan Arjunawijaya, Jaman Raja Hayam Wuruk (abad XIV); Yasadipura 1, Dewa Ruci (1729-1801); Paku Buwana IV, Wulangreh (1789-1820); Ranggawarsita, Serat Wirid Hidayat Jati (1802-1873); Mangku Negara IV, Wedhatama (1809-1881).

Pada pertengahan tahun 1980, Prof. Dr. Takdir Alisjahbana, sastrawan Indonesia, menerima surat undangan dari Presses Universitaires De France di Paris, yang bermaksud menerbitkan sebuah Dictionnaire Des Philosophes, Kamus para Filsuf. Kamus itu akan memuat filsuf seluruh dunia beserta ringkasan karya mereka. Undangan itu kemudian digarap oleh para pengajar Jurusan Filsafat di tiga perguruan tinggi: Universitas Indonesia, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Universitas Gajah Mada dan IKIP Sanata Dharma.

Mereka mentapkan 15 tokoh filsuf tanah air untuk mengisi Dictionnaire Des Philosophes: Sutan Takdir Alisyahbana, Driyarkara, Ki Hajar Dewantara, HAMKA, Soemantri Hardioprakoso, Mpu Kanwa, Mangkunegara IV, Notonagoro, Mohamad Natsir, Pakubuwana IV, Ranggawarsito, H. Agus Salim, Sockamo, Mpu Tantular, dan Yasadipura I. Pada akhir tahun 1984 Dictionnaire Des Phelosophes terbit dalam dua jilid.

Seni dan Tuhan
Negara Yunani sebagai kiblat dari filsafat barat (Eropa) mencetuskan filsafat sebagai cinta kebijaksanaan. Pradigma semacam ini terwarisi sampai ke belahan negara bagian timur (Asia). Namun, corak religius yang mewarnai literatur pengetahuan di negara timur menjadikan filsafat bukan hanya sekedar pencarian entitas kebenaran ilmu pengetahuan, melainkan sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan (insan kamil).

Filsafat Jawa lebih “beraliran” filsafat ketimuran. Tipologi ini tidak lepas dari religiositas masyarakat Jawa. Hanya, filsafat Jawa menggunakan pendekatan intuisi seni sebagai pencarian dan pengejewantahan dari kearifan tertinggi. Sebagaimana pernyataan Dr. P. Zoetmulder, bahwa filsafat Jawa merupakan sarana mencapai kesempurnaan hidup. Di sinilah kita tidak mendapatkan pertentangan antara filsafat dan pengetahuan tentang Tuhan.

Bila memakai bahasa Jawa sendiri, maka filsafat berarti ngudi kasampurnan, berusaha mencari kesempurnaan. Kesempurnaan hidup yang dilandasi oleh cipta, rasa, dan karsa (ontologi, epistimologi, aksiologi). Sebaliknya philosophia bila dibaca dengan bahasa Jawa menjadi: ngudi kawicaksanan.

Masyarakat Jawa mencari hakikat segala wujud kebenaran yang bersifat mendasar. Semua usaha untuk mengartikan hidup manusia—asal mula dan akhir—serta hubungan dunia-manusia-Tuhan terakomodasi dalam seni budaya mereka. Kehidupan alamiah, menjadi dasar dan memberi isi bahwa kebudayaan Jawa benar-benar didapatkan usaha untuk mencari dasar-awal segala sesuatu, renungan tentang apa yang terdapat di belakang segala wujud lahir dan pencarian sebab-akibat.

Seni pewayangan adalah satu contoh implementasi dari filsafat Jawa. Walaupun ceritera wayang berasal dari India, namun terdapat perbedaan hakiki dalam perwujudannya. Di India, ceritera dianggap benar-benar terjadi dalam jalur mitos, legenda dan sejarah, sedang di Indonesia ceritera itu mengiaskan perilaku watak, manusia dalam mencapai tujuan hidup, baik lahir maupun batin (Filsafat Jawa, hal.18). Selain daripada itu filsafat Jawa juga bisa dilihat pada kesusastraan Suluk Jawa, Serat Wirid Hidayat Jati, dan aksara hanacaraka.

Sepintas, pernyataan Dr. Abdullah Ciptoprawiryo adalah benar, bahwa filsafat Jawa adalah filsafat “asli” Indonesia. Akan tetapi filsafat Jawa tetaplah hanya bagian dari nuansa lokal nusantara. Ia meletakkan filsafat Jawa hanya sebagai bukti sementara atas keterdesakannya untuk “menyelamatkan” Indonesia.

Sebenarnya filsafat Indonesia sudah terangkum dalam tulisan pada tali pita di kaki burung garuda. Bila Rene Descartes meletakkan Cogito Ergo Sum sebagai titik dasar filsafatnya, atau Gnothi se Auton yang menjadi dasar filsafat Sokrates, maka semboyan Bhinneka Tunggal Ika harusnya menjadi fondasi rumusan pemikiran filsafat di Indonesia.

Buku Filsafat Jawa hanya meng-ada-kan bukti keadaannya. Kehidupan masyarakat yang cenderung westernis serta perguruan tinggi di Indonesia yang lebih condong kepada filsafat barat telah menguburkan eksistensi filsafat negeri ini. Oleh karena itu, harus ada langkah awal bagi para insan akademika untuk membangkitkan embrio filsafat di negeri ini.

Friday, August 12, 2011

Mencintailah Karena Allah


Judul buku : Sungguh, Aku Mencintaimu Karena Allah
Penulis : Pipiet Senja, dkk.
Penerbit : Qultum Media, Jakatra
Tebal buku : viii + 232 hal: 14 x 20 cm
No ISBN : 979-017-156-0
Cetakan : I, Maret 2011

Ehm, pernahkah anda jatuh cinta? Saya kira ribuan atau jutaan orang yang pernah menghirup udara di dunia ini merasakan yang namanya cinta. Seseorang tidak akan bisa hidup di dunia ini tanpa cinta. Seperti nyayiannya raja dangdut, Rhoma Irama “hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga“. Cie…

Cinta itu begitu istimewa, anugerah terindah dari Allah yang harus dipelihara dan dijaga oleh hamba-Nya. Sebenarnya, ia begitu damai bersemayam di hati manusia. Tetapi karena ada iblis yang berwujud egoisme selalu menggoda, maka cinta pun menjadi tidak tenang dan selalu resah.

Maka kemudian timbullah problematika hidup manusia yang ditimbulkan oleh cinta; suka, senang, bahagia, gembira, rindu, sedih, marah, hingga benci dan dendam. Karena cinta, Allah menciptakan hawa untuk mengusir kesendirian Adam. Karena cinta Habil mengorbankan kambing terbaiknya demi mendapatkan calon kekasihnya, Iqlima. Karena cinta pula, praktik pembunuhan pertama kali terjadi, yang mengharuskan Qabil membunuh adiknya sendiri Habil. Begitulah, cinta akan terus menghiasi perasaan manusia selama dunia masih memiliki kehidupan.

Lantas apakah cinta itu nikmat atau laknat? Pertannyaan ini sempat menjadi perbincangan utama di rubrik Majalah Infitah pada edisi sebelumnya. Sebenarnya cinta itu adalah rahmat, fitrah atas semua manusia. Eksistensi cinta adalah representasi dari dzat Allah untuk memberikan warna hidup, sebagai jalan untuk berinteraksi, mengenali satu sama lain sebagai jalan menuju rahmatan lil alamin.

Seperti yang diungkapkan oleh Aristoteles manusia adalah Zoon Politicon, makhluk yang membutuhkan kehadiran orang lain di sisinya. Dalam konteks inilah cinta begitu nyata. Seseorang baru akan menyadari kalau kehadiran seseorang itu berharga dalam dirinya jika sudah dinaungi oleh perasaan cinta. Oleh karena itu dalam cinta harus saling mengerti, tetapi tidak harus memiliki.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah memiliki lebih dari 50 istilah tentang pemaknaan cinta, diantaranya: mahabbah (kasih sayang), ash-shabwah (kerinduan), asy-syaghaf (cinta yang mendalam), al-‘isqu (cinta yang meluap-luap) dlsb. Pada persoalan ini, ia mengatakan, “Cinta itu indah, namun lemahnya manusia membuat dirinya sendiri sulit membedakan antara cinta dan nafsu serta banyak manusia yang terjerumus di dalamnya”. Nah, dalam konteks inilah cinta bisa menjadi nikmat atau laknat. Tergantung cara kita menempatkan cinta secara proporsional.

Cintailah orang yang dicintai sekerdarnya saja, hal ini untuk menghindari manusia kepada cinta yang buta. Buta segalanya, termasuk buta pada penciptanya. Tetapi, jika kita sandarkan cinta kita kepada Allah, maka ketentraman untuk saling menyayangi dan saling mengasihi akan menciptakan surga di dunia ini.

Kata Soe Hoek Gie ”…kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta…”. Begitulah kira-kira kesimpulan sementara yang ada di benak penulis ketika membaca kisah cinta dalam buku ini. Cerita-cerita cinta yang disandurkan pada kisah nyata yang amat menggugah hati, memberikan banyak hikmah bagaimana seharusnya seorang manusia bersikap mencintai dan dicintai.

Kisah cinta seorang ibu dan anak menjadi pintu pertama bagi pembaca untuk memahami apa itu cinta. Kisah cinta dalam sebuah perjuangan antara Pipiet Senja dan anaknya Azimatttinur Siregar. Bagi mereka berdua, cinta adalah segalanya untuk menuai cita. Dengan cinta, mereka tetap menuai berkah dari sebuah perjuangan; semangat pantang menyerah demi menumbuhkan bibit-bibit penulis.

Di lain hal, menjalani cinta di dalam rumah tangga bukanlah suatu hal yang mudah, tak seperti ketika proses ijab-qabul dibacakan. Hal inilah yang tergambar dari beberapa kisah cinta yang ada di dalam buku ini. Sebuah penghianatan “samar-samar” mengikis harmonisasi keluarga. Tetapi, jika kita benar-benar memasrahkan diri pada Allah bahwa karunia-Nya begitu besar dalam sebuah rumah tangga, maka tidak akan sulit menuai bunga syakinah mawaddah wa rohmah.

Siti Nurbaya 2011 adalah salah satunya. Kisah nyata dari Ida Yuhana Ulfa, alumni pesantren yang menjadi aktivis kampus, dijodoh paksa oleh orang tuanya dengan Yusuf, Si Culun alumni pesantren. Ia menganggap suaminya “gaptek bin jadul”. Setiap hari ia bersikap acuh-tak acuh pada suaminya. Pada suatu kesempatan, ia memancing suaminya marah, bersikap “liberal” dalam masalah teologi; mempertanyakan eksistensi Tuhan (hal.96). Sebagai kepala rumah tangga yang baik, dengan amat telaten dan tanpa mengedepankan sikap egonya, Yusuf menjawab pertanyaan-pertanyaan Ida yang “mencoba” meniadakan Tuhan. Pada sebuah perbincangan di meja makan itu, barulah Ida sadar bahwa suaminya tidak seburuk yang ia kira. Dan, ia pun bahagia bersamanya.

Buku ini bukan bergenre tips atau motivasi bagaimana caranya manusia harus mencintai dan dicintai. Tetapi, petikan hikmah dari 24 kisah cinta di dalam buku ini akan memberikan kita banyak inspirasi bagaimana seseorang harus mencintai seorang hamba ataupun bersikap sebagai hamba yang patut dicintai.

Cinta itu buta. Jika tidak dilandasi dengan iman maka cinta akan membabi buta. Maka, mulailah mencintai karena Allah.

Monday, June 13, 2011

Menyimak Kemiringan NU

(Majalah Fajar, 2011)

Pelaksanaan muktamar NU ke-32 di Makassar memberikan banyak “catatan mendalam” di benak para nahdliyyin, mengingat kentalnya aroma politik yang menghiasi perjalanan muktamar lima tahunan itu. Waktu itu, syahwat politik menjadikan muktamirin “pecah” dalam beberapa kelompok, mengusung dan menjagokan calon masing-masing. Pada titik ini, muktamar tak jauh beda dengan pemilihan umum yang sarat kepentingan politik.

Euforia mencapak titik klimaks tatkala K.H. Hazim Muzadi yang sebelumnya menjadi ketua Dewan Tanfidziyah NU tak bersedia dicalonkan sebagai Rais Aam. Tentu, K.H Sahal Mahfudz yang menjadi kompetitor utamanya menang secara aklamasi dan menduduki kursi tertinggi tersebut untuk yang ketiga kalinya. Maka lengkaplah, K.H Said Aqil Siradj sebagai ketua Dewan Tanfidz dan K.H Sahal Mahfudz sebagai Rais Aam periode 2010-2015.

Ketika Kang Said—sapaan akrab K.H Said Aqil Siradj—terpilih sebagai nahkoda Dewan Tanfidziyah, berbagai opini dari seluruh penjuru nusantara menguak, akankan NU tetap akan berada pada porosnya? Hal ini dikarenakan selama ini tokoh NU asal Jawa Tengah tersebut dikenal sebagai intelektual muslim yang agak liberal, “satu level” di bawah Gus Dur. Ibarat makanan, bisa jadi, konsep al mukhafadhadatu ‘ala khadimis shalih bagaikan segelas dan al akhdzu bil jadiidil aslah seperti sepiring, sehingga lambat-laun NU akan menjadi ompong dan meninggalkan keempat prinsipnya; tawazun (seimbang), tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan ta’adul (adil).

Namun jargon yang dielu-elukan Kang Said untuk mengembalikan NU ke pesantren memberikan satu titik pencerahan. Pemikirannya yang ulet dan kreatif dipandang mampu membawa kader-kader NU tidak lagi menjadikan problem keumatan sebagai batu laoncatan untuk menggapai kepentingan politik.

Pertanyaannya, mampukah Kang Said dan dan Kiai Sahal berkolaborasi memimpin organisasi terbesar di nusantara ini untuk menjadikan problem keumatan sebagai agenda utama NU?

Menjawab persoalan keumatan adalah agenda besar yang harus selalu menjadi prioritas utama organisasi bintang sembilan itu. Itulah sebabnya mengapa pada tahun 1926, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, dan Ulama lainnya mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Nahdlatoel Oelama (baca: NU). Hal ini dalam rangka untuk melindungi dan merangkul warga nahdliyin dari pemurnian Islam di Timur Tengah, utamanya yang dimotori oleh kelompok Wahabi selain sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari penjajah kolonial Belanda.

Namun, NU saat ini kehilangan telah arah. Visi untuk menjadikan kepentingan agama, masyarakat, dan bangsa sebagai titik pijak perjuangannya mulai kian terkikis. Kepentingan politik lebih diutamakan dari pada kepentingan umat. Nah, di sinilah munculnya adagium NU kultural dan NU struktural. NU kultural tak “mempersoalkan” urusan politik, yang menjadi agenda utama mereka adalah memberdayakan masyarakat dan mengurusi nilai-nilai Islam semacam mengadakan kumpulan-kumpulan (jamiyah) kecil: khataman, manaqibah, sarwaan, atau sabellesen di pelosok-pelosok desa.

Di sanalah kita benar-benar menemukan sikap dan prilaku orang NU: ngopi dan ngerokok bersama. Dengan tegas Acep Zamzam Noor mengatakan, merekalah yang selama ini mempertahankan, menjaga kehormatan serta menjalankan peran NU sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan (hal.16).

Sedangkan NU struktural adalah warga nahdliyyin yang diberi amanah untuk mengorganisir NU dari tingkat lokal sampai nasional. Tentu, NU struktural ini memiliki peran penting memberdayakan umat dalam konteks kenegaraan; memberdayakan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Akan tetapi, amanah yang begitu “mulia” itu dirasa sudah memudar. Kata Binhad Norrahmad, salah satu dari ke-15 penulis dalam buku ini, NU sudah kehilangan gaya, makin terkikis watak dan ekpresinya sebagai tradisi beragama yang estetis (hal. 228).

Persoalan umat alih-alih dicarikan penyelesaiannya, malah dijadikan komoditas politik. Dengan bangga mereka menyatakan dirinya “berjuang demi umat”, memasang baliho di mana-mana dengan mempercantik titel “KH” yang sakralisasinya di kalangan warga nahdlyyin tak diragukan. Karakter berpolitik tak ada bedanya dengan orang yang bukan NU, sama-sama picik.

Kompleksitas persoalan di tubuh NU semakin rumit. Sebagian elite NU terjebak pada pragmatisme kekuasaan. Perebutan kekuasaan di tubuh struktural NU mengandung unsur politis dan meyebabkan perselisihan sesama NU sendiri. Padahal, jelas peran dan fungsi dari NU adalah sebagai gerakan sosial keagamaan (jami’yah al-diniyah al-ijtima’iyah).

Sempat menjadi harapan ketika pada Muktamar ke-27 di Situbondo pada tahun 1984, Muktamirin membuat keputusan NU kembali ke Khittah 1926. Namun, gagasan kembali ke khittah 1926 yang semula diorientasikan untuk memaksimalkan gerakan sosial, ekonomi, dan pendidikan pesantren (agama) tersebut justru berkembang memasuki celah domain politik praktis sehingga kiai dan politisi tak jauh berbeda dalam urusan berpolitik.

Berbagai persoalan atau isu-isu “miring” di tubuh NU serta tantangannya dalam konteks kekinian, telah diulas oleh para nahdliyyin muda dari berbagai nusantara dari posisi “miring” pula. “Miring” bukanlah sinting. Tetapi, lebih untuk menonjolkan identitas NU yang sebenarnya: unik menarik, dan (terkadang) nyentrik. Lebih kongkretnya, cara mereka menyoroti, mengulas dan mencandakan NU sebagaimana ulasan dalam buku ini sama persis seperti yang tergambar pada covernya yang berwarna hijau; sekumpulan orang, memakai sarung dan kopiah, rokok, serta segelas kopi sebagai penghangat obrolan.

Buku yang terdiri dari 15 tulisan esai kader-kader muda NU ini membahas NU dari tiga sisi: ada yang menyoroti, ada yang mengulas, dan ada yang mencandakan NU dari kalangan bawah sampai kalangan elitenya, serta mengurai-tuntas nasib warga nahdlyyin yang merasa telah “dikorbankan” oleh para elitenya sendiri. Pembaca akan diberikan tiga menu sekaligus dalam satu kali membaca. Tentu dari ketiga pembahasan itu ada yang dekat, mendekat, dan sangat dekat, yang akan menggiring pembaca pada persoalan yang serius, tetapi diulas secara santai “sambil” tertawa.

Ulasan-ulasan miring yang disunting oleh penyair asal pedalaman Lampung, Binhad Nurrohmat dalam obrolan imajinernya (untuk tidak menyebut obrolan miring) ini amatlah tajam dan tetap pada pandangan yang rasional yang tentu harus menjadi bahan perenungan dan pertimbangan bagi warga nahdlyyin, termasuk pembaca buku ini. Selamat Membaca!
dimuat di Majalah Fajar edisi XVII 2011

Sunday, February 27, 2011

Liberalisme Dalam Dongeng


Munculnya novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abdidah El-Khalieqy sekaligus difilmkan dengan judul yang sama yang dibintangi oleh artis cantik Revalina S Temat membuat geger masyarakat pesantren. Pasalnya, tema yang diangkat adalah kesetaraan gender.

Mengapa demikian? Diskursus tentang gender dalam novel itu bertentangan dengan konsep yang diajarkan dalam pesantren yang berpaham Ahlussunnah Wal Jamaah. Kesetaraan gender ataupun emansipasi wanita merupakan salah satu “agenda” yang sering dibahas oleh kaum liberalis semacam John Hick, Wilfred, Cantwell Smith, Charles Kimball, sampai pada Ahmad Wahib, Norcholish Madjid, Ulil Absor Abdallah, dan para antek-anteknya. Banyak kalangan pesantren yang merasa kebakaran “jenggot” setelah novel dan film itu diluncurkan. Nah, munculnya Novel KEMI: Cinta Kebebasan yang Tersesat ini, kata Taufik Ismail, sebagai antitesis dari novel Abidah yang telah dianggap mencoreng-moreng wajah pesantren.

Kemi (Ahmad Sukaimi), pemuda pintar dan cerdas santri Kiyai Aminuddin Rois, pengasuh PP Minhajul Abidin. Dia berhenti mondok dan ingin melanjutkan kuliah ke salah satu perguruan tinggi di Jakarta tanpa alasan yang jelas. Ada kejanggalan di mata kiyai dan Rahmat sahabatnya, setelah tahu yang menjemput Kemi adalah Farsa, jebolan pesantren Minhajul Abidin yang bergabung dalam kelompok aktivis liberal. Mungkinkah motif kepergiannya dari pesantren karena Farsa? Itulah yang menjadi kebimbangan sahabatnya.

Jelang setahun, Rahmat, pemuda yang terkenal pintar, cerdan, sekaligus tampan pergi ke Jakarta membawa misi yang diemban dari kiyainya; mencari tahu alasan Kemi sebenarnya. Di tempat Kos Kemi, Rahmat berbincang santai dengan Kemi. Mulanya, permbincangan itu hanya seputar perkembangan pesantren selama ditinggalkannya. Tetapi kemudian merambat pada persoalan aktivitas Kemi: persoalan Kemi bergabung dalam kelompok aktivis leberal, perbincangan nama “liberal” dalam islam, murta’addin, sampai perbincangan serius tentang hakekat agama serta persoalan teologi; menyoalkan eksistensi Tuhan.

Di Institut Damai-Sentosa, kampus Kemi dan kolompok liberal, Rahmat bertemu Siti, feminis liberal berdarah biru yang getol menyuarakan liberalisasi Islam, kesetaraan gender, dan pluralisme agama, hingga tak lagi membedakan dirinya apakah laki-laki atau perempuan serta menentang RUU Antipornografi dan Pornoaksi.

Pada pertemuan kuliah pertama, Rahmat memukul telak dosen sekaligus rektornya Prof. Malikan ketika menerangkan mata kuliah Metodologi Studi Agama-Agama. Rahmat menyanggah pernyataan-pernyataan profesor itu yang menyatakan bahwa melihat agama dari sudut pandang agamanya sendiri adalah subyektif. Keabsahan agama harus dipandang obyektif dan tidak ideologis sehingga melahirkan pandangan yang adil. (hal.162)

Rahmat mencerca dengan beberapa pertanyaan yang menohok yang pada intinya mengkritik pandangan obyektif dan netral pada agama. Tidak obyektif (juga) jika orang yang mengaku islam memandang persoalan agama di luar agama yang dianutnya, tidak eksklusif. Disinilah celah Rahmat membombardir logika-logika Transenden Unity of Religion Prof. Malikan sebagaimana yang pernah dilakukannya pada Kemi.

Selain kasus Siti, persoalan kesetaraan gender dikupas terpisah—diluar kisah Kemi, Rahmat, dan Siti—oleh pria yang lahir pada tanggal 17 Desember 1965 itu. Yakni wawancara ekslusif Bejo Sagolo, wartawan “nakal” dari majalah wanita PAGINASIA dengan Doktor Demiwan Ita, seorang aktivis gender yang getol menyuarakan emansipasi wanita dengan jargon feminisme. (Bab tujuh)

Tidak hanya itu, penulis yang telah menerbitkan puluhan buku tentang pemikiran dan peradaban islam ini secara gamblang menyajikan praktik “abu-abu” dalam dunia liberalisme. Peta percaturan pemikir global dan LSM-LSM barat yang menyerbu islam secara lugas dipaparkan di buku ini. Meskipun novel termasuk karya fiksi, tetapi tidak mempengaruhi gambaran bagaimana kaum liberalis mempraktikkan dan menjajakan produk-produk “isme-ismenya” ke ranah pendidikan islam.

Adian Husaini sangat lihai mengolah logika dalam wacana pemikiran Islam klasik-kontemporer yang merupakan dua poros berbeda, seperti yang tampak pada karakter tokoh Kemi dan Rahmat. Menyelami novel ini tidak jauh berbeda dengan membaca buku ilmiah. Logika yang dibangun dalam dialognya memang terkesan “provokatif” (utamanya mengenai gender) ketika dihadapkan pada khazanah pemikiran kontemporer, akan tetapi disinilah juga letak kelebihan novel ini karena si penulis juga menyetir pemikiran pembaca untuk tetap berada pada keyakinan islam yang sebenarnya.

Banyak kecacatan yang saya temukan dalam buku ini pada aspek kesalahan ketik dan penempatan titik koma. Meskipun tidak banyak akan tetapi sangat mengganggu karena menyangkut nama atau lembaga. Misalkan: Pak Mailkan (hal. 160), Unternet, serta dalam kalimat “Rahmat itu adalah pesantrennya.” tak sempurna (hal.299). Lebih parah lagi nama Kiyai Amin “tertukar” dengan nama Kiyai Rois (hal.295). Kesalahan-kesalahan semacam ini menunjukkan bahwa penulisan novel ini terkesan tergesa-gesa.

Kendati demikian, Novel ini tetap meneguhkan daya tarik luar biasa! dengan gaya tutur yang khas dan alur cerita yang “fantastik” dapat membawa pembaca ke alam ilmiah dan berimajinasi mengenai kondisi yang benar-benar menjadi tantangan umat Islam—dengan setting kota metropolitan, Jakarta. Pembaca akan memperoleh wawasan tentang otentisitas khazanah keilmuan ulama Islam klasik yang terdapat dalam karya-karyanya, dengan “permainan” logika yang rasional. Novel ini bagus untuk dikoleksi muslimin sebagai “acuan ringan” untuk membentengi iman dari pemikiran-pemikiran yang saat ini banyak menggerogoti identitas dan keabsahan Islam kita. Wallahu a’lam.