Sunday, April 12, 2009

Diary Biru

Ketukan dari balik pintu mengagetkanku dari tidur. Mau tidak mau aku harus merelakan mimpi indahku hilang karena suara itu.
“Dani, bangun, dah jam berapa nich!”suara kakak terdengar jelas dari balik pintu.
"ya ! kak" jawabku malas. Aku sedikit jengkel dengan kakak, betapa tidak, disaat aku berdiri tegar di atas kapal TITANIC sebagai Jack. Saat itu aku sedang memeluk Rose dari belakang. Merentangkan tangan dan sama-sama memandang hamparan samudera luas. Membiarkan desauan angin samudera membelai kita ~ aku dan Rose. Menikmati indahnya panorama laut. Merasakan getar cinta yang terus mengalir.
Tiba-tiba kapal yang kami tumpangi menabrak sebuah gunung es. Benturannya sangat keras. Sama kerasnya dengan kakak mengetuk pintu. Di pintu, kakak menatapku sangat tajam. Aku yang belum sepenuhnya menyatu dengan ‘roh’ku menggaruk kepala meski sebenarnya tidak gatal.
“Coba lihat ! dah jam berapa sekarang” celotehnya.
Akau menatap jam dinding di belakang kakak. Astaga! Mataku terbelalak. Mulutku terbuka lebar menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 07.35 WIB. Rasa kantuk yang dari tadi bergelantungan, kini hilang entah kemana. Secepat kilat aku melangkah ke kamar mandi. Tak peduli dengan kakak yang tetap berkacak pinggang menatapku.
Setelah semua siap, aku sempatkan menghampiri kakak di meja makan. Meraih tangannya dan mencium dengan penuh hormat. Tangan dinginnyalah yang sudah membesarkanku tanpa aku merasakan kasih sayang orang tua seperti yang sempat kakak rasakan. Katanya: ibuku meninggal setelah melahirkan aku, sedangkan ayah meninggal pada waktu aku berumur sembilan bulan. Ayahku meninggal dalam tragedi tabrakan.
“ kak, aku berangkat.”pamitku.
“Hati-hati di jalan“ kata kakak
Aku terus melangkah menuju pintu dengan sangat tergesa, sudah terlambat. Saking terburu-burunya, sampai di teras aku hampir terjatuh karena menginjak sesuatu. Sebuah surat. Aku langsung memasukkan kedalam tas tanpa berpikir apa isi di dalamnya.
Matahari terus meninggi. Aku berlari melewati gang perumahan. Jalan pintas yang sering aku pakai bila terdesak. Tiba di sekolah, gerbang utama ditutup. Tak satupun siswa yang lagi berkeliaran. Terkecuali orang memakai topi bertulis “SECURITY”yang menjaga gerbang besi itu.
Aku terpaksa menunggu jam pertama usai. Seperti biasa, nongkrong di kedai bu Tijah.
“kamu tidak masuk, terlambat ya?” tanya Bu Tijah
Aku hanya mengangguk.Ingin bicara, masih sibuk mengatur nafas belum teratur. Kemudian aku ingat pada surat tadi. Masih lengkap dengan bekas kakiku.
@ @ @
Dua bulan berlalu. Kini, hari-hariku disibukkan dengan UAN yang tinggal beberapa hari lagi. Persiapan harus di matangkan, standart nilai kelulusan tahun ini sangat tinggi. Ikut Les, Kursus dan kegiatan lain yang sekiranya mendongkrak nilaiku nanti.
Hari itu, senja kian mendekat, metahari mulai diganti mega merah. Semua orang kembali kperaduan memenuhi panggilan suci. Aku baru pulang dari sekolah usai mengikuti pelajaran Ektra Kurikuler. Tubuhku lelah. Begitupun pikiran dan semangat juangku yang selalu di suruh mengerjakan latihan soal-soal UAN.
Seperti biasa, jika keadaan tidak memungkinkian, aku lewat jalan pintas. Aku takut dimakan kegelapan. Di jalan, aku sempat bertemu dengan seorang gadis berjalan menunduk. Di pundaknya tersandang tas dan beberapa buku di pelukannya. Dia terus berjalan menunduk menapaki jalan yang remang. Setelah dekat, aku tak bisa mencuri parasnya, sebab ia selalu menunduk. Aku merasakan sesuatu bahwa dia seakan dekat sekali denganku. Ada perasaan yang berbeda. Aku terus mencuri pandang, namun aku gagal mendapatkan sketsa wajahnya.
Terlintas dibenak untuk menyapa, namun aku ragu lagipula hari mulai gelap. Takut dia akan berprasangka yang tidak-tidak terhadapku. Akhirnya aku tak mempedulikannya.
Sesaat kemudian telingaku mendengar suara aneh yang disusul dengan suara hantaman. Ya ! itu adalah suara ban mobil yang ngerem mendadak.
Tepat di persimpangan jalan, aku melihat gadis tadi sudah tergolek di tengah jalan. Darahnya nengalir. aku cepat-cepat kesana. Oh…betapa naifnya, dia tertabrak mobil. Darahnya bercucuran kemana-mana. Muka yang cantik, kini dihiasi dengan darah yang terus keluar dari hidung dan pelipis matanya. Aku pegang pergelangan tangannya dan menekan urat nadi, ternyata dia sudah tak bernyawa. Aku bingung, apalagi malam terus membuntuti.
Aku nengambil tasnya dan mengotak-atik isi didalamnya. Berharap mendapatkan titik terang atas identitasnya. Namun aku tak mendapatketerangan apapun tentangnya. Yang aku temukan hanya buku pelajaran dan diary biru.
Aku kaget dan tak percaya. Di dalam diarynya banyak terdapat namaku. catatan harian itu memberi bukti bahwa dia yang selalu menulis surat untukku. Dia mengungkapkan semua isi hatinya di diary itu. DIA MENCINTAIKU. Aku terus berusaha mencari identitasnya, setidaknya tahu namanya. Namun sia-sia belaka, aku tak mendapatinya.
Perasaan cinta meledak di hatiku. Ada penyesalan yang mendalam. Ternyata dialah selama ini yang memujaku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Air mataku berjatuhan memandikan tubuh si gadis pemujaku. Aku rangkul dia dan ku peluk erat-erat yang hanya sebujur bangkai. Setidaknya dia bisa merasakan kehangatan cintaku di alam sana. Aku peduli meski tubuhku harus bersimbah darah. Di malam yang sunyi aku bersama kepedihan. Hanya kepedihan.

0 comments: