HUJAN kembali tumpah. Monas itu kembali basah. Jakarta menggigil.. Air bah menutupi jalan-jalan akses kota. Meluber. Meluap. Matahari tak punya waktu luang untuk bercengkrama dengan alam. Tak sempat mengucapkan "selamat pagi", atau dekedar mengecup kening bumi. Mungkinkah sibuk? hingga ia melupakan tugasnya, menerangi alam. Atau awan telah membekukan cahayanya? Semua bungkam. Diam. Kota yang mati.
Jerit gedung pencakar langit meyesakkan dada. Pilu. Deras hujan menyakitkan. Begitu pula suara rintik yang jatuh di atas atap perumahan, pertokoan dan perkantoran mengundang gelisah. Seperti tak akan nampak lagi kehidupan di kota itu. Seakan hanya tinggal sejarah. Sejarah kota mati. Ringisan menjadi neraka sunyi. Petir menyambut dengan senang. Kilat mencekam. Genangan air memalung dari lembah-lembah jalan beraspal yang rusak.
Air itu muntah, meluber dari gorong-gorong. Sampah-sampah semakin menutup tenggorokan kota. Menumpuk. Sesak, terbawa arus deras. Kebiasaan yang tak semestinya dilakukan. Harus menjadi korban. Tangan-tangan syetan. Budak-budak mesin. Membuang sampah sembarangan. Ulah manusia sendiri.
Aku duduk mnyendiri didepan toko bercat kuning. Toko Barokah, namanya. Sepi, seperti berada di penjara pengasingan. Sangat sepi.
Toko itu tutup. Sebagian besar pusat jual-beli di kota itu semuanya tutup. Tak ada yang berani buka. Pemiliknya merasa jenuh, enggan membuka toko, mengingat derasnya hujan, menebarkan kesunyian dan kegelisahan. Seringkali terjadi banjir akibat luapan dari sungai Kali Unggas. Mustahil ada pengunjung datang, begitulah anggapan mereka. Paling tidak, pasti hanya bocah-bocah jalanan yang selalu ramai dan senang bermain, bermandikan air kotor. Itulah lingkungan mereka. Saling mengejar, bermain petak umpet di emperan pertokoan. Hanya bocah itu yang tawanya pecah, melawan deras hujan dan gelegar petir. Sungguh hujan yang membosankan..
Aku duduk beralas sandal jepit kumal. Ya! Satu-satunya alat yang aku miliki untuk melindungi kaki bajaku dari perjalanan yang terjal ketika menjelajah sudut-sudut kota. Mencari sisa rejeki Tuhan. Di antara tempat bertuliskan ‘TEMPAT SAMPAH’.
”Jika bermalasan, tidak cakatan, maka bersiaplah mati diujung tangan sendiri. Siapa yang cepat, dia yang dapat.” Kalimat yang pernah dilontarkan ibu padaku. Kalimat itu menjadi prinsip yang di hamburkan oleh segolongan kami. Segolongan cacing tanah yang meliuk-liuk seperti penari ronggeng.
"Sudah untung lelaki sepertimu tidak jadi preman, pencopet atau pekerjaan lain yang menjijikkan menurut ajaran agama kita." Kata paman ketika meleraiku datang ketempat ini.
Hari ini, hujan menjadi saksi. Benar, apabila Jakarta disebut dengan kota surga oleh bapak saat mendukung kepergianku, karena di sana, segala kebutuhan akan terpenuhi. Namun, ada yang melenceng dari yang dikatakannya. Yang disebut kota surga itu bukan untuk semuanya. Hanya orang ‘beruang’—aku tak tahu arti kata beruang, aku tahu hanya nama binatang—yang bisa memiliki segalanya. bahkan membeli harga diri.
Dan, tidak salah juga jika kota itu disebut kota neraka, seperti dikatakan ibuku yang berusaha melerai untuk pergi. Karena di sana menjadi kuburan bagi yang kalah dalam persaingan, terutama seperti orang-orang yang tak jelas, hanya niat mengadu nasib, tanpa ijazah menjanjikan. Hingga terjerumus pada pekerjaan hina-dina.
Berbaju dekil dan celana sebatas diatas mata kaki, bagian tumit itu bolong, serta topi jerami Cowboy, sebagian sudah rusak, bertahta di kepalaku. Semua itu tak mampu menghadirkan kehangatan dan melindungi tubuh kurus berwarna hitam dari dingin. Aku mendekap, menahan dingin yang menusuk tulang-belulang. Sekilas aku pandang keranjang besar itu, yang selalu kupanggul menelusuri pasar Senen. Keranjang yang terbuat dari anyaman bambu, tempat barang bekas yang bisa didaur ulang. Disampingnya bersandar sebatang kawat besi panjang. Ujungnya runcing, seperti Celurit, pusaka orang Madura.
Aku mendesah, melihat keranjang itu hanya berisi lima gelas AQUA, dua kaleng Susu dan satu botol Coca-Cola. Tidak mungkin meneruskan pekerjaan ini. Dingin telah menggerogoti tenagaku, Keranjangku basah, apalagi hujan semakin marah, seperti ingin melemparkan langit.
Sekilas, petir itu menggambarkan wajah tirus ibu.
“Kamu yakin?” Wajah perempuan lanjut usia terbayang jelas. Aku berkaca dari cermin wajahnya yang mulai melepuh. Seorang ibu yang tidakrela melepask buah hatinya pergi merantau.
“Bu, yakinlah. Doa ibu akan menuntunku di sana, “ ucapku lirih. Aku harus mendapatkan restu ibu, agar keberangkatanku tidahk akan menjadi dan tanpa beban.
“Kata, Teteh Rahma, di sana itu kejam,” Ibu belum yakin dengan pendirian dan tekadku waktu dulu.
“Dengan lembaran akhir SMA ini, Aku ingin berjuang di sana. Kota yang disebut kejam itu akan aku taklukkan.”
“Jangan paksa dirimu!”
“Aku tidak ingin ibu menjadi kepala dan ibu rumah tangga sejak bapak terbaring kaku di atas ranjang. Aku tak tega melihat Ibu naik-turun gunung hanya demi mengepulkan dapur.”
“Tak usah pikirkan itu,” air mata ibu hampir tumpah.
“Benar, hanya Aku tak ingin adik-adikku diolok-olok oleh mereka.”
“Nak! Tuhan maha tau terhadap hamba-nya. Dia maha adil. Kita berkumpul seperti ini sudah kenikmatan yang sangat besar, hanya kita tak menyadari. Jangan terlalu rakus terhadap dunia. Dunia ini luas, tidak seperti kandang ayam dibelakang rumah kita.”
“Tapi, apakah kita harus diam? Mematung dengan keadaan seperti ini? Bu aku ingin jadi anak yang baik. Aku ingin membuat Ibu bahagia.”
“Ibu sudah bahagia dengan keadaan seperti ini. Cukup. Hanya ini.”
“Tidak denganku. Aku belum cukup mampu menerima ini semua. Menerima ejekan ki Bandol yang menyebut kita tidak mampu melunasi hutang.”
"Kenyataannya!"
Aku memegang erat kedua tangannya yang sudah rapuh. Tangan itu masih lembut dari tangan Srikandi. Aku berusaha meyakinkan Ibu agar tak ada setitik pun kecemasan di hatinya.
”Juga demi impian ibu. Bukankah Ibu ingin ke tanah suci?”
“Lupakan! Lupakan bila harus kehilanganmu.”
“Bu, yakinlah! Aku 'kan kembali ke pangkuan Ibu.”
”Berat sekali melepasmu! Nak.”
Air mataku tak dapat dibendung lagi. Bendugan itu ambruk oleh perasaan sedih seorang Ibu. Ingin aku meneriakkan kepada semesta tentang kesakitan hati ini. Namun, aku hanya bisa memeluk ibu, seerat mungkin, mengusap mutiara kasih ibu yang mengalir.
Pelukan terakhir Ibu berkelebat di kepala. Pelukan yang aku rasakan selama dua tahun terakhir. Langit masih kelabu. Sedikit kurasa, ada yang menetes dari mata saat rumput ilalang melambaikan kerinduan. Butiran padi kuning menghampar, anak gembala sapi yang ceria, bersama pagi dan seruling kecilnya.
Aku tak ingin jauh dari pangkuan Ibu. Tapi, karena tuntutan ekonomi dan impian Ibu, terpaksa aku melakukannya, meskipun ibuku tak pernah menuntut. Aku hanya ingin memberi yang terbaik untuk ibu.
Kilatan petir terus memotret kota. Ganas. Menakutkan. Aku beringsut sedikit, air mulai merembes tempat yang aku duduki. Samar-samar telingku mendengar suara bisingan pintu. Pemilik Toko keluar, membawa tempat sampah. Tanpa beban apapun, ia melemparkan sampah itu seenaknya. Hingga berhamburan tanpa arah.
Ada seberkas harapan tumbuh. Berharap ada pertolongan darinya, untukku. setidaknya memberi sedikit pengganjal perut. Sejak pagi itu, aku hanya makan satu buah pisang dan segelas air putih. Sekarang, perutku mulai berdemonstrasi kembali, meminta subsidi untuk siang ini. Senyum merekah dari kedua bibirku, mencoba menarik simpati si empu toko. Ia hanya tersenyum sinis, kecut, dan kembali menutup pintu. Tanpa beban, menghiraukan aku dan sampah yang bertebaran dihadapanku.
“Ingat! Di sana hidup Nafsi-nafsi Kamu harus bisa seperti ikan di laut. Meski airnya asin, ikannya tetap tidak asin. Satu lagi paling utama, peliharalah shalatmu, jagalah imanmu,” Aku ingat petuah ustadz Abdul Karim saat aku minta restu darinya. Sosok guru Alif yang begitu aku hormati.
Aku dilahirkan dari golongan sampah. Namun, aku bukanlah orang yang berhati sampah
PANGGILAN suci mengakhiri bergulirnya mega merah yang membias langit sebelum dihempaskan pekat malam. Aku telah bersuci memenuhi panggilan itu. Menunaikan solat maghrib.
Selesai shalat isya’ berjama’ah di Masjid Ar-Rahman bersama temanku, aku memilih berdiam diri di rumah. Hanya berukuran 2 X 4 M. Malam itu sungguh dingin. Di luar, angin berhembus kencang sekali, ditambah gerimis, membuat dingin semakin berpetualang. Aku menghidupkan Radio, satu-satunya penghibur di istana kecilku. Sementara, gerimis masih mengundang tanda tanya.
Di luar, para sesepuh dan tetangga asik menikmati segelas kopi. Mereka sedang membicarakan sesuatu. Entah! apa yang dibicarakan, aku tak tahu. Biasanya aku juga ikut nimbrung di sana. Tapi, kali ini aku merasa sangat lelah. Dingin di pagi itu tak hilang juga dari tubuh ceking ini.
Baisanya, mereka hanya sering membicarakan topik yang tak jauh beda dari yang biasa mereka obroli setiap malam. Apalagi kalau bukan soal bermain kucing-kucingan dengan Satpol PP. Atau berbagi cerita mengenai rejeki yang diperoleh. Tapi, hari itu kelihatannya mereka sangat serius!
PAGI itu, langit menjanjikan akan meurunkan rejeki sebanyak-banyaknya. Tidak akan ada hujan. Alat pekerjaanku telah dipersiapkan. Matahari mulai mengecup kening bumi. Dengan lembut ia menaburkan cahaya pada hingar-bingar aktifitas manusia.
Matahari sudah membentuk sudut 60 Derajat. Keranjangku sudah hampir penuh. Aku berencana mengakhiri pekerjaanku sejenak. Sudak lelah kakiku berpijak. Ditengah perjalanan pulang, segerombolan yang aku kenal lari pontang-panting, seperti prajurit-prajurit dalam perang badar.
“Bang…ada apa? Apa yang terjadi?” Tanyaku pada kang Pardi. Tangannya aku pengang erat-erat. Ia ingin cepat kabur dari tempat itu.
“Gawat…Hancur…Hancur.” Nafasnya tersegal-segal, ingin segera pergi. Kang pardi seperti orang kesurupan.
“Tenang… tenang. Sekarang ceritakan apa yang terjadi,” aku bersikap lebih tenang.
“Ada penggusuran, tempat kita telah musnah!”
Aku tak percaya, pasti ini salah duga. Kang Pardi! Aku tak bisa menerima keyataan ini. Benarkah demikian? Aku tak tahu apa yang harus lakukan. Kang Pardi berlalu seketika. Kaki kecilku berlari tak tentu arah. Sementara di sana, dua buah Hotmix besar dengan tenang melahap kompleks perumahan mereka, termasuk istana kecilku. Semua telah berakhir, menyatu dengan tanah yang masih lembab itu. Tatapanku kosong. Yang terlihat hanya wajah tirus perempuan tua yang sedang menangis. Ibu.
*) Cerpenis, tinggal di Madura
Hp : 087866125023
Sunday, April 12, 2009
Rumah kardus
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment