Friday, March 6, 2009

Iwak

Cerpen; Fandrik HS Putra*

Ayahku seorang kepala suku yang amat bijak. Setiap kata yang diucapkan mengandung nilai-nilai yang sangat berarti. Pribadi sederhana berwujud dalam diri seorang pemimpin. Yang seluruh cintanya selalu mengalir untuk keluarga dan para rakyatnya. Pahlawan di masa kanak-kanakku. Mengajarkan aku menggenggam busur dan menenteng panah. Menjelajah hutan, berburu iwak1 dan membawanya untuk ibu. Tentu saja, untuk di makan bersama, sambil nengelilingi api unggun. Ayah selalu memberiku kesempatan pertama kali untuk membidik buruannya. Tak lupa ia mengintruksiku dari belakang, bagaimana cara membidik dan melesatkan anak panah pada binatang yang terbidik di mataku.
Wus…s… Anak panah itu lepas dari busur. Sorot mataku terus membuntuti kemana anak panah itu melesat, sambil menggenggam busur yang selesai terenggang. Orang-orang yang ikut berburu bersorak. Anak panahku tepat mengenai bidikan. Seekor Rusa yang tambun!
Kami menggotong Rusa itu. Ayah selalu tersenyum padaku. Ada rasa bangga di hatinya. Tentu saja kepada aku. Lalu, Rusa itu diserahkan pada ibu. Ibuku pandai sekali memasak. Lihai dalam mengolah rempah-rempah yang diambil dari hutan, sebagai bumbu masak. Lezat sekali.
Ibuku juga sosok orang yang lembut luar-dalam. Konon, ia bukan asli keturunan suku kami. Ibu adalah orang Meru2. Ayah menemukan ibu ketika berburu di hutan, mendapatkan ibu bersandar di sebuah pohon beringin besar. Terkapar dengan bekas patukan ular di kakinya. Ayah membawa ibu ke kampung. Awalnya, penduduk kampung tak sudi menerima kedatangannya. Mereka tidak suka orang Meru, yang sering merusak hutan. Namun, setelah mendengar penjelasan panjang-lebar dari ayah, penduduk kampung akhirnya menerima.
Ayah mengeluarkan racun berbahaya itu dari tubuh ibu. Sadar. Ibu sembuh. Ia ketakutan ketika pertama kali membuka mata. Mungkin, karena ayah berkulit hitam. Mayoritas suku kami berkulit hitam: ibu sendiri berkulit putih.
Ibu tak tenang bersama ayah, serta dengan suku kami. Tapi, ibu selalu mencoba bersikap sadar. Ibu tak punya siapa-siapa lagi. Tak ingat apa-apa. Sedikit demi sedikit ibu mulai bisa beradaptasi. Mulai mampu menerima ayah apa adanya. Kebijaksanaan ayah mampu memengaruhi sikap ibu.
Suatu hari, ayah meminang ibu kepada para sesepuh kampung. Kontan semua warga suku banyak yang menolak. Bagaimana tidak, ayah sebagai satu-satunya pewaris kepala suku, harus menikah dengan orang Meru. Itu tidak boleh terjadi, begitulah kata mereka. Ayah harus menikah dengan asli keturunan kami, kata mereka. Tentu, mereka tidak mau nanti pada generasi berikutnya ada campuran dari suku lain.
Setelah berdebat panjang-lebar dengan sesepuh, akhirnya, para sesepuh lunak dan merestui pernikahan ayah. Beberapa perlengkapan adat, seperti: kemenyan, kembang dan beberapa bacaan mantera, pernikahan dilangsungkan. Melalui penyembahan kepada ruh Nenek Moyang. Ibu resmi milik ayah seutuhnya. Ibu bahagia, begitu pula dengan ayah.
Jika ayah mendidik dari luar: menenteng busur dan berburu. Maka, ibu mendidik dari dalam. Kelembutan kasih sayangnya membuat hatiku lembut pula. Mengajariku untuk tidak sombong, angkuh dan manindas kaum lemah. Ia selalu mencontohkan sikap ayah. Banyak hal yang masih aku belum ketahui dari sosok ibu. Semakin aku mendalami kebaikannya, semakin pula aku bingung terhadap diriku sendiri. Sebab kebaikan hidupku terlalu jauh dengan kebaikan ibu.
Pagi itu, masih buta. Namun, kicauan burung di hutan sudah saling bertaluan. Bahkan tidur di pagi hari pun, rasanya seperti kehilangan panorama hutan yang sesungguhnya.
Hari itu musim kemarau. Kabut tebal memenuhi seisi hutan. Pandangan kelabu. Perlahan kabut tebal itu hilang dianulir sinar matahari yang mulai menitipkan cahayanya pada kening bumi. Aku, ayah, dan pemburu lain sudah siap dengan busur di tangan, panah di punggung. Kami akan berburu sebanyak-banyaknya. Apa saja. Rusa, Kancil, Babi, bahkan Ular sekalipun. Malam nanti adalah malam bulan purnama kesepuluh kalinya. Suku kami menganggap purnama kesepuluh adalah sebagai penutup dari purnama sebelumnya. Dalam tradisi suku kami, purnama kesepuluh selalu disambut dengan meriah dan pesta besar-besaran. Di hibur dengan tari-tarian adat sebagai bentuk rasa syukur kami kepada hutan yang telah melindungi dan menghidupi kami. Sebagai ibu dari kepala suku, ibulah yang selalu menyanyikan tembang-tembang itu. Pada saat sempurnanya bulan purnama.
Hari itu, nampak beda. Hutan sepi. Tak ada seekor binatang yang berkeliaran. Hingga matahari di atas kepala, kami hanya dapat seekor babi hutan. Ayah mulai cemas. Padahal, kebutuhan kami hari ini sangat banyak. Ya! Minimal dapat empat atau lima ekor. Tidak biasanya, kami berburu sampai siang hari hanya mendapat satu ekor. Apakah karena hari ini musim kemarau? Rasanya tidak.
Kami terus berburu. Setidaknya, ayah yang memberi motivasi kepada kami yang mulai tak bernafsu untuk berburu. Kami terus menyusuri hutan, melewati lembah, mengarungi sungai, dan rawa-rawa. Ketika sampai di pinggir sungai, aku melihat seekor burung Elang di dahan pohon besar. Aku ragu memanahnya. Hanya seekor burung, gumamku. Tapi tak apa, dari pada tidak sama sekali. Aku ambil anak panah. Sekali bidik, wus…s… anak panahku tepat mengenai jantung. Burung Elang itu jatuh. Sayang, jatuh ke sungai. Dengan tangkas buaya penghuni sungai itu melahapnya. Aku kecewa.
Hingga menjelang sore, yang kami dapat hanya seekor babi hutan dan seekor anak Rusa. Kami terus menyusuri hutan, hingga sampai pada perbatasan yang membatasi wilayah suku kami dengan penduduk Meru. Sebenarnya, batas itu adalah buatan kami yang tidak ingin berdekatan dengan mereka, apalagi bersentuhan. Hutan semakin habis di tebang mereka. Kehidupan orang rimba semakin terhimpit. Digunduli dan disulap menjadi kebun karet dan kelapa sawit maha luas.
Demi melestarikan hutan yang telah dititipkan Nenek Moyang kami secara turun temurun, maka perlu kami bertindak cepat agar hutan tetap hidup. Seperti memberi batas dan mengusir orang Meru yang mencoba merusak hutan. Mereka tak tahu, kami membuat batasan dengan mereka. Jika mereka melanggar, kami akan menyerang habis-habisan tanpa ampun.
Kami kembali lagi ke dalam hutan. Ada rasa kecewa di mata ayah. Sebagai kepala suku, ia harus bertanggung jawab. Nanti malam adalah perayaan bulan purnam yang ke sepuluh, sebagai bulan penutup pada bulan-bulan lalu. Bagaiman mungkin, perayaan yang sangat besar itu hanya dihias dengan seekor babi hutan dan anak Rusa. Mereka pasti kecewa.
“Paduka, lihat..lihat,” salah satu pengikut yang paling muda melihat sesuatu dari semak belukar. Ada dua ekor bintang. Saling menyalurkan nafsu. Yang betina sedang nungging dan yang jantan setengah berdiri di belakang betina itu.
“Itu iwak,” katanya kemudian.
Ayah dan yang lainnya merasa sangat senang. Dua sekaligus, pikirnya. Seandainya dapat, hasil buruan sudah lebih dari cukup. Upacara akan berlangsung meriah. Ayah menyuruhku membidik yang betina, sementara ia mengarhkan bidikannya pada yang jantan. Aku ragu, baru kali ini aku melihat binatang bentuknya seperti itu. Apakah itu binatang dari hutan seberang? Ataukah orang Meru?
“Ayah, apa benar itu iwak? Mirip kita dan orang Meru,” aku mengungkapkan keraguanku.
“Ya! Itu iwak.”
“Mirip manusia, sepeti orang Meru.”
“Bukan, itu iwak, bukan orang Meru.”
Aku masih ragu. sekali lagi, baru kali ini aku melihat binatang seperti itu. Mirip manusia, berkulit putih. Namun, pandangan ayah tetap berbeda. Ia sangat yakin jika itu iwak. Ayah menjelaskan, tak mungkin itu orang Meru atau pun suku kami. Orang Meru tak mungkin bertelanjang di tempat terbuka. Begitu pula dengan suku kami. Meski hanya nenggunakan koteka3 sebagai penutup dari alat kemaluannya. Sementara binatang itu tak memakai apa-apa. Tak ada balutan sedikit pun yang menutupi. Seperti iwak. Memang itu iwak, kata ayah
Aku meyakinkan diri—tepatnya memaksa untuk yakin. Ayah menepuk pundakku pertanda aku harus siap. Aku mengangguk. Aku dan ayah mendekatinya, menyelinap di antara semak belukar. Iwak itu asyik mengumbar nafsunya, sehingga aku dan ayah lebih leluasa semakin mendekat.
Kedua orang itu—aku tetap ragu menyebutnya binatang—sedang asyik bermain-main dengan kemaluannya. Yang jantan mengeluar-masukkan alat kelaminnya, sedang yang betina tetap nungging dan terus mendesah nikmat.
Jarak, aku rasa sudah dekat. Aku menarik anak panah dan mulai membidik. Anak panah lepas. Busur merenggang. Dua anak panah itu––punyaku dan punya ayah––melaju cepat. Seperti di arena balap. Mengenai sasaran. Kedua binatang itu mencoba kabur. Berjalan dengan dua kaki—aku heran. Namun, panah yang tertancap terlalu menghabiskan tenaga mereka dan akhirnya terkapar.
Para pemburu berlarian, menangkap, dan menggotong bersama-sama. Kami pulang. Empat ekor sudah cukup untuk upacara nanti. Aku tidak bisa membayangkan seperi apa nantinya upacara purnama kesepuluh itu. Pasti sangat meriah. Apalagi kami di hadiahkan binatang aneh. Semoga saja iwak ini nantinya enak, gumamku.
Malam itu, purnama kembali datang. Cahaya yang sempurna menerobos dari celah-celah pohon. Para suku berpesta pora. Ada yang terus minum, ada pula yang menari sampai teler. Semuanya menyambut datangnya bulan kesepuluh itu. Ayah dan ibu merasa gembira dan bangga karena telah memenuhi tugasnya sebagai seorang pemimpin, membahagiakan rakyatnya. Di bawah terpaan cahaya purnama, ayah dan ibu tersenyum puas melihat para penduduknya bahagia.
Bulan sudah di atas kepala. Saatnya memulai. Para sesepuh memberi aba-aba untuk memulai upacara. Dengan mengacungkan kedua tangannya. Kami lalu melingkar dan mengelilingi api unggun. Membaca beberapa mantra yang biasa kami ucap. Dipimpin oleh sesepuh suku.
Setelah selesai upacara, saatnya berpesta lagi. Makan sepuasnya. Kedua binatang itu di panggang secara utuh. Aku mengambil dua buah benjolan besar di dada betina itu. Empuk, kenyal, dan lezat. Aku tak percaya, belum pernah aku makan danging binatang seenak ini. Begitu pula para suku kami merasa heran, enak sekali. Mereka dengan rakus mengambil daging-dagingnya. Mencomot telinga, mencabik tangan dan paha. Begitu pula aku yang tak kalah rakusnya memakan kemaluan si jantan. Upacara kali ini begitu berbeda dengan upacara-upacara sebelumnya. Aku berharap saat berburu lagi, akan bertemu dengan binatang yang seperti ini. Enak sekali
Aku sangat bersyukur pada hutan.

Keterangan
1. binatang yang dapat di makan
2. panggilan bagi suku anak dalam (SAD) kepada orang luar yang berinteraksi dengan mereka
3. buah labu yang di keringkan sebagai penutup kemaluan

Prasasti luka

Cerpen;Fandrik Hs Putra
Aku tak tahu hari ini apakah yang terjadi pada jiwa ini. Selayaknya hal itu menjadikanku terbelenggu dalam dekapan kegelisahan. Awalnya aku rasa hanya sebuah luka yang berkubanga sekian tahun. Namun, kali ini menjadi sebuah penyakit, ya! Penyakit yang bersarang di batok kepalaku. Seperti benalu, menempel dan menghisap darah, hingga diriku takut pada waktu dan masa lalu.
Sepertinya kau menyisakan sesuatu di hidupku. Entehlah, masih cukup tabu untuk aku pahami. Dalam iringan malam, di sunyi yang mencekam, aku tak pernah bisa bersikap selayaknya seperti manusia normal. Aku berpikir, sudah stadim berapa aku ini?. Mengapa hari-hariku sulit aku gerakkan, padahal aku adalah motor ragaku. Penggerak dari apa yang harus digerakkan.
Aku hanya bisa diam di saat purnama membelah malam. Keindahan tak dapat lagi aku rasakan sebagai penyejuk hari yang lelah selepas mengindahkan hidup yang berlalu. Seperti bunga yang merundukan kumbang, hingga larut dalam kelayuannya sendiri. Tanpa ada satupun yang menyala dalam secerhah harapannya. Layu. Beku.
Secarik dalam kertas putih itu bisa aku baca meski sebagian telah lusuh. Namun mata ini terus mencoba memahami kata demi kata yang tertulis sebagai prasasti cintaku. Mencoba menafsirkan bekas luapan dari bibir mungilmu. Dari tuluisan itu, bayangan wajahmu kini nampak buram, tidak seperti pertama kalinya aku mendapati surat itu darimu.
Aku bingung, mengapa penafsiranku kini berubah terhadap surat itu. Padahal, dulu tidak demikian. Apakah dulu aku menafsirkannya dalam kubangan emosi yang menengelamkanku pada ketidak percayaan. Aku terkurung di dunia dimensi. Dunia yang cenderung selalu berubah–ubah. Sungguh setan sangat lihai sekali memanfaatkan perasaan manusia.
Aku paham dalam ketidak normalanku; angan aku lemparkan sejauh mungkin sampai aku mendapatkan sketsa kepedihan itu. Aku sebenarnya menolak memasuki lagi lorong yang sudah aku anggap tetutup itu. Bagiku itu hanya sebatas angin di musim cinta Namun, lagi-lagi gemuruh cinta ini memberontak dan menghardikku agar menelusuri pemaknaanmu lebih jauh.
Surat itu masih aku pegang. Yang sebagian sudutnya sudah termakan waktu. Maksudku, termakan rayap, namun tak seberapa parah. Tidak sampai menghilangkan keutuhan pesan yang tertuang dalam prasasti cinta itu.
Surat itu masih aku pegang. Mataku meliuk-liuk mengikuti arah dari setiap pena yang membentuk kata. Aku bukan hanya mengeja huruf demi huruf itu. Bahkan aku mengikuti setiap jalannya tinta yang membentuk huruf itu tanpa putus-putus. Ya! Aku ingin memahami pesanmu melalui tinta itu. Aku takut jika hanya memahami tulisan itu dari luarnya saja, aku semakin tak terarah berjalan di atas normalku.
Surat itu tetap ada di tanganku. aku gemetar, seluruh saluran darah ambrul dan tak terkendali seperti banjir yang terjadi akhir-akhir ini. Jiwaku tak dapat memahami, degupan jantungku tak lagi berirama dengan indah. Aku tak bisa memahami pesan kalimat terakhir dan juga sebagai penutup yang tertulis di prasasti cinta kita. Kalimat itu berbunyi ”pahamilah dengan hatimu”.
“sebelum aku menunggu?”ucapku datar.
Guluk-guluk 2009

Monday, March 2, 2009

Sejengkal waktu bersama Laila


Malam dan kesunyian telah menyelimuti sudut-sudut kota metropolitan. Lampu-lampu yang mentereng, satu persatu mulai padam. Pendar cahaya rembulan menghias gedung-gedung pencakar langit diiringi suara binatang malam. Dingin begitu menggigil menusuk pori-pori. Rembulan begitu indah dengan kesempurnaan cahayanya menyelinap diantara pepohonan yang kini tiada indah lagi. Jam raksasa yang menjulang di atas menara di tengah-tengah taman kota berdetak sekali menunjukkan pukul satu malam.
Pada saat jiwa-jiwa menyerah pada kesunyian malam, si Boy anak seorang Birokrasi dengan langkah gemetar menyandang sajadah, membawa tasbih, dan Al-Qur’an di pelukannya menuju Masjid Agung. Setelah itu ia khusyuk dengan sholatnya dan berdo’a. Dengan tangan gemetar dan bercucuran air mata, si Boy menengadahkan kepala.
Ya tuhanku, …. Limpahkanlah kemarahanmu pada hambamu ini. Jangan Kau tumpahkan kemarahanmu pada Laila. Tuhanku… bermurah hatilah dan tahanlah tangan-tangan kematian dari kekasihku. Jangan kau renggut nyawanya dariku. Ia begitu berarti. Karena dia asap ganja tak pernah aku hisap lagi. Karena ia tenggorokanku tak pernah lagi teraliri alkohol. Karena ia pula jarum suntik tak pernah lagi menyentuh kulitku.
Dia adalah malaikat penyelamat yang Kau utus padaku. Tapi, kini setelah aku sembuh dan berusaha untuk kembali kejalanmu, kau ingi mengambilnya kembali. Mengapa kau ingin ambil nyawanya ?……
@ @ @
“Boy,. Aku ingin tidur di pangkuanmu’’ kata laila pada Boy.
“ ya! Aku selalu di sampingmu, kamu tenang saja, ntar juga sembuh”.
Tidak Boy kamu jangan memberiku angan-angan semu yang hanya akan membuatku melayang di dunia khayal, juga akan membuatmu semakin tak tenang menghadapi kenyataan. Tak seorangpun yang bisa menyembuhkan peyakit ini, kecuali kehendak-Nya. Kangker di kepalaku sudah mencapai taraf tinggi. Sulit untuk di obati.
Kau jangan berucap demikian, nanti jika kau sudah sembuh, aku akan mengajakmu jalan-jalan kemana saja yang kau suka.
Jangan Boy, biarlah, biar tuhan yang menentukan segalanya. Aku akan tenang menghadapinya. Cuma satu harapanku padamu. Jika kita benar-benar ditakdirkan berpisah, aku ingin tetap melihatmu seperti sekarang: periang dan murah senyum. Aku sangat sedih kembali bila kamu kembali pada buaian SS, Ciaming, Ganja dan segala tetek bengek yang akan membuatku tidak tenang di alam sana.
Boy pandanglah aku sepuas hatimu, karena sebentar lagi kami nggak akan pernah lihat aku lagi di dunia ini. Maafkan aku boy jika selama ini aku mengenalmu selalu membatasi dan sok ngatur tingkah laku kamu. Tapi percayalah semua itu aku lakukan hanya saja aku sangat cinta dan sayang padamu. Dan demi masa depan kamu pula aku lakukan semua itu padamu.
Aku mengerti dengan sikap kamu dan hal itu tak pernah aku permasalahkan. Malah aku bersyukur karena sikap dan kelembutan sosok Laila Bisa merubah jalan hidupku. Aku tidak tahu seandainya aku tak pernah mengenalmu. Mungkin saja ganja dan semacamnya akan selalu menjadi garis hidupku jika Tuhan tidak pernah memperkenalkanmu padaku. Karena kamu aku bisa sadar.
Boy aku sudah lelah. Aku ingin istirahat dan aku berharap padamu jangan sekali-kali kau sentuh barang-barang yang menjijikkan itu. Aku tidak sudi melihat kamu menyentuh barang-barang haram itu lagi. Demi aku…. Demi aku…..
Sudah Boy aku sudah sangat lelah selamat tinggal. Ashadu allailaha illa Allah wa ashadu anna Muhammadu rasul Allaha…..……
Malam itu sungguh sunyi bagi si Boy. Tanggal 10 maret menjelang fajar Laila, seorang muslimah penyelamat bagi si Boy benar-benar terlelap dalam tidur panjangnya. Dan tak akan pernah lagi membuka mata lentiknya. Kini Laila pergi menghadap ilahi dengan senyum terkembang di bibir mungilnya. Dan bias-bias ketenangan terpancar dari paras wajkahnya yang cantik. Gema suara adhan dari masjid agung mengiringi kepergiannya.