Saturday, September 1, 2018

Patas Versus Bumel, Mana yang Lebih Nyaman?

(Catatan Perjalanan Jember-Malang)

Jika ada orang menawarkan anda untuk naik bis pada suatu perjalanan, bis apa yang akan anda pilih. Patas atau bumel? Jika anda berorientasi pada kenyamanan, tentu pilihan anda jatuh pada patas. Namun jika anda berorientasi pada nilai ekonomi, tentu jawaban anda adalah bumel. Ya, patas dinilai lebih ‘berkelas’ daripada bumel, seperti pembagian antara penumpang kelas menengah ke atas dengan penumpang kelas menengah ke bawah.
Patas memiliki makna cepat dan terbatas. Cepat karena hanya terminal besar yang menjadi persinggahan. Terbatas karena jumlah kursi lebih sedikit daripada bumel. Jika penumpang sudah penuh, tidak akan ada kursi ‘siluman’ sebagaimana bumel. Fasilitas juga lebih oke, meski saat ini banyak bumel yang sudah memasang iklan “AC, Tarif Biasa”.
Lalu, apakah benar patas lebih memberikan kenyamanan dalam berkendaraan daripada bumel? Secara logika barangkali sih iya, tetapi fakta di lapangan belum tentu. Anda harus mencoba dulu, seperti pengalaman yang akan saya ceritakan di catatan perjalanan ini:  
Menunda Jadwal Keberangkatan
Sejatinya, rencana saya ke Malang berangkat via Kereta Api. H-3 tiket kereta api Tawang Alun Kalisat-Malang Kota Lama sudah di tangan. Namun apa lacur, perkuliahan matrikulasi harus menunda rencana saya; yang awalnya berangkat pagi, terpaksa berangkat bakda Magrib. Tentu, tiket kereta harus saya relakan hangus dalam pelukan.
Tepat adzan Magrib berkumandang, dosen pengampu menyudahi perkuliahan. Saya langsung tancap gas. Meminta antar kepada teman ke terminal Tawang Alun. Saya memintanya menepi di pintu keluar terminal. Berharap langsung ada patas yang datang. Benar! Tak lama kemudian kernet patas Mila Sejahtera melambaikan tangan.
“Surabaya, Surabaya, Surabaya.”
Saya langsung naik ke kabin. Saya mencari tempat duduk. Kursi deret kanan nomor dua dari belakang menjadi pilihan. Dalam pikiran, ketika bis berjalan, mata akan langsung saya pejamkan. Tidur dalam buaian malam.
Patas berjalan pelan menyusuri sepanjang jalan Rambipuji. Volume kendaraan cukup padat hingga membuat patas merayap seperti hilang kekuatan. Saya mulai memejamkan mata, kendati tidak sepenuhnya berhasil tidur dengan nyaman. Rasa capai sehabis kuliah sungguh terasa.
Melewati lampu merah Kaliputih (pertigaan –Rambipuji-Balung-Bangsalsari) sopir bis menaikkan tempo kecepatan. Beberapa mobil kecil dilahap pelan. Hampir memasuki desa Tisnogambar, laju patas kembali melambat. Saya penasaran gerangan apa yang terjadi. Alamak! Tampaknya macet.
Saya mulai cemas. Beberapa kali meninjau jarum arloji. Taksiran antara jam 10 dan 11 malam sampai di Malang mulai berbuah pesimis. Apalagi saya mesti transit dulu di Probolinggo untuk ganti bis. Saya pasang headset. Mencoba mengusir kecemasan yang menggantung. Suara Raisa, Love You Longer, mengalun lembut.
Entah, berapa kali Love You Longer saya putar ulang, patas seakan tak beranjak dari tempatnya. 30 menit sudah berlalu. Tak ada tanda-tanda kemacetan segera terurai. Saya coba memejamkan mata, tetapi tidak bisa. Entahlah, karena kecemasan atau karena kecapaian. Saya pikir kemacetan ini disebabkan laka lantas. Setahu saya, jalan di Tisnogambar kerap terjadi kecelakaan.
Ternyata prediksi saya salah. Setelah hampir memasuki sejam, patas yang merangkak seperti bayi, saya baru tahu jika kemacetan tersebut akibat buka-tutup jalan karena ada perbaikan jembatan. Volume kendaraan di malam hari memang kerap dihuni oleh kendaraan-kendaraan besar. Mereka seperti binatang buas yang beraksi di malam hari.
Lolos dari jalan buka-tutup, bis melaju pelan dan seakan mulai menemukan ritme permainan. Saya cek arloji, alamak, hampir jam 8 masih belum memasuki Lumajang. Kapan sampai di Malang?
Selepas dari kemacetan, Mila Sejahtera seperti menggila. Pedal gas naik-turun secara tak terduga. Sodok ke depan suka-suka. Ngerem mendadak dan tiba-tiba. Saya pun tidak bisa memejamkan mata. Perjalanan jadi tak berselera karena isi perut seakan dikocok secara membabi buta. Dalam hati mengumpat, patas macam apa kalau begini. Tak ada kenyamanan sama sekali.
Saya pun tak bisa terlelap. Sebotol minuman suplemen tidak bisa menahan isi perut yang hampir tumpah. Saya sempat mengedar pandangan ke luar kaca. Mengukur jarak dengan melihat nama tempat di sisi jalan, Ranuyoso, Klakah. Hem, masih di kota pisang. Dalam hati membual, ada apa dengan sopir Mila ini? Kejar setoran atau baru bertengkar dengan istrinya? Entahlah, yang jelas perjalanan ini sungguh tidak menyenangkan. Perut selalu mual-mual; ingin segera sampai di Probolinggo dan ganti bis.
Satu jam terdampar di Terminal Banyuangga, Probolinggo
Kurang lima menit dari pukul 10 malam, saya tiba di terminal Banyuangga, Probolinggo. Lepas kaki berpijak, saya langsung menuju ruang tunggu. Bersandar di peron, melepas penat sambil mengutuk Patas Mila Sejahtera yang membuat perut terasa dikocok-kocok. Kepala terasa pusing, karena di samping isi perut yang keluar, saya baru sadar jika hanya makan pagi setengah siang. Itu pun bakwan!
Lama menunggu di peron. Bis berlabel patas jurusan Malang tak ada yang datang. Hanya Jember-Surabaya atau sebaliknya yang silih berganti. Lepas dari setengah jam menunggu, bis bumel Harapan Baru masuk jalur. Hampir semua penumpang yang menunggu di peron menyerbu bis yang baru parkir itu. Ternyata mereka semua satu jurusan, batin saya. Saya pun tak kalah gesit. Daripada menunggu patas yang tak jelas kedatangannya, lebih baik naik bumel dan segera tiba di tempat tujuan.
Sayang, bis sudah penuh. Di luar kaca, sebagian penumpang berdiri. Ah, saya tak mau ambil resiko. Mana mungkin berdiri sepanjang lintasan Probolinggo-Malang yang saya taksir membutuhkan waktu tempuh lebih dari 2 jam. Terpaksa saya bersama sebagian penumpang lain kembali lagi ke peron dengan raut muka kecewa.
Waktu sudah hampir pukul sebelas. Tak ada satu pun bis yang kembali muncul. Saya harap-harap cemas dan mulai mengatur rencana dadakan bila sudah sampai di Malang. Setidaknya, saya taksir masuk terminal Arjosari pukul satu lebih. Ojek tentu ada, tapi saya malas untuk bernegosiasi menentukan patokan harga. Saya mencoba menghubungi seorang teman yang sudah sampai tadi pagi. Berharap rasa dermawannya bersedia menjemput saya dengan Panther miliknya. Dia menyanggupi, tetapi dari nadanya seperti hanya basa-basi. Hatipun membatin, mau patas atau bumel terserah, yang penting segera sampai tujuan.
Tak lama kemudian, bis bumel Harapan Baru kembali tiba. Saya langsung sigap menghampiri. Aduhai, tampaknya penumpang juga penuh. Sebagian besar penumpang masuk melalui pintu depan. Saya masuk melalui pintu belakang. Rasanya tidak mungkin mengincar tempat duduk di depan dengan penumpang yang berdesakan. Yang penting dapat tempat duduk meski di belakang.
Saya pun naik. Hampir semua kursi berpenghuni. Saya terus bergeser ke depan. Mencari kursi yang tidak berkepala. Ketika incaran terlihat, ternyata ada penghuninya juga: anak-anak. Jelas kepalanya tidak terlihat dari belakang. Saya terus bergeser ke depan, tetap tidak ada. Langkah pun berhenti tepat di belakang sopir. Mau keluar melalui pintu depan tidak bisa. Ada sekumpulan ibu-ibu yang duduk di samping kiri sopir. Alamak, alamat berdiri sampai di Malang, nih!
Hati menjadi risau. Turun, tidak, turun, tidak, turun, tidak. Akhirnya saya putuskan untuk bertahan dengan segala kekuatan yang ada. Ya, Allah, kuatkanlah hamba berdiri lebih dari dua jam perjalanan ini. Amin.    
Harapan Baru pemberi harapan baru
Bis berjalan pelan meninggalkan terminal. Saya tetap membayangkan ‘sengatan listrik’ yang akan menjalar dari telapak kaki. Ini bumel, bukan patas. Tak ada AC dan tentu juga penumpangnya berjubel dan berdesakan. Lepas pertigaan patung karapan di Probolinggo, bis ini masih menaiki tiga penumpang lain. Ya, ampun, sudah penuh masih disesaki lagi. Saya taksir perjalanan ini tak akan menyenangkan!
Tiga orang tadi adalah penumpang terakhir. Jika masih harus menaiki penumpang lagi, sungguh ini keterlaluan. Saya mencoba memupuk kesabaran. Menoleh ke belakang kepada penumpang yang juga berdiri seperti dihukum kepala sekolah karena terlambat mengikuti upacara bendera. Setidaknya, tidak hanya saya bernasib demikian. Masih ada penumpang seperjuangan di belakang bernasib sama. Hanya cukup bertahan lebih dua jam, masak tidak kuat, pasti bisa, batin saya.
Sungguh, yang saya khawatirkan dari bis ini adalah ketidaknyamanan dalam berkendaraan: ngegas tanpa tedeng aling-aling atau ngerem tanpa perasaan. Patas Mila Sejahtera yang mungkin kejar setoran menjadi momok menakutkan di malam itu. Semoga tidak terulang pada bis ini. Situasi saat ini berbeda. Saya berdiri, bukan duduk!
Keluar terminal dan masuk Rejoso, Pasuruan, tak ada hentakan berarti. Bis berjalan penuh kelembutan. Pergantian gigi persneling tak dirasakan. Bila harus menurunkan gas dan ngerem, hal itu tidak terjadi secara dadakan. Nah, sopir ini baru mengerti bagaimana cara memanjakan juragan! Sempat saya membatin betapa sopir ini seorang penyabar, ramah, dan mengerti arti kemanusiaan. Rumah tangganya juga pasti harmonis dan tidak berantakan. Meski alasan terakhir ini tak ada kaitannya sama sekali.
Saya menikmati setiap pendar lampu jalanan. Sesekali bis ini melahap kendaraan besar yang menghadang. Saya tetap berdiri, tetapi saya mulai menikmati perjalanan ini. Ternyata, kenyamanan penumpang bukan disebabkan oleh fasilitas mewah yang ditawarkan, tetapi lebih kepada bagaimana sopir memanjakan penumpang dengan bersikap lembut dan tidak ugal-ugalan.
Memasuki Purwosari, Lawang dan Singosari, rasa capai seakan seketika hilang. Malang, saya datang! Saya lirik arloji, pukul 01.05 WIB. Dua jam sudah saya berdiri. Setengah jam kemudian, saya pun sampai di terminal Arjosari. Terima kasih Harapan Baru. Berdiri lebih dua jam memang perkara yang melelahkan, tetapi setidaknya seorang sopir harus tahu diri bagaimana cara memberikan kenyamanan dan memanjakan penumpang.[]
Malang, 25 Agustus 2018


                                                                                                    

Antara Mahar Politik dan PHP

Oleh: Fandrik Ahmad*
Pemilu 2019 seperti menjadi kontestasi calon wakil presiden (cawapres). Prahara yang melibatkan kedua cawapres, mampu menyedot perhatian rivalitas politik antara Jokowi dan Prabowo sebagai dua tokoh sentral yang memperebutkan kursi R1. Sandiaga Uno (SU) sebagai cawapres Prabowo dilaporkan mempraktikkan mahar politik, sementara Mahfud MD (MMD) yang mencuat sebagai pasangan Jokowi, terjungkal oleh KH. Ma’ruf Amin di detik-detik deklarasi.
Judul tulisan ini sengaja penulis samakan dengan judul talkshow Indonesia Lawyers Club (ILC), salah satu program stasiun televisi swasta (14/08/2018), yang mengundang MMD mengulas kronologi kegagalan dirinya sebagai cawapres Jokowi. Dengan judul tersebut, ILC seakan ingin membandingkan antara isu mahar politik yang dilakukan SU kepada dua elite partai pengusung dengan Pemberi Harapan Palsu (PHP) kepada MMD yang melibatkan sejumlah politisi NU, termasuk KH. Ma’ruf Amin yang terpilih sebagai cawapres Jokowi.
Mahar Politik
Mahar politik bukan hal baru. Belakangan terjadi di Pilkada Jawa Timur. La Nyalla Mattalitti yang ingin maju sebagai calon gubernur Jawa Timur mengaku dimintai mahar 40 miliar oleh Partai Gerindra sebagai timbal-balik dukungan partai. Pernyataan tersebut seketika viral dan menunjukkan bahwa mahar di dalam dunia politik memang nyata adanya, semacam simbiosis mutualisme antara kandidat calon dengan partai politik.
Isu sama kembali mengemuka setelah Andi Arief, wakil sekjen Partai Demokrat, membeberkan adanya praktik sama yang dilakukan oleh SU untuk memuluskan dirinya menjadi cawapres Prabowo. Tidak tanggung-tanggung, mahar yang diberikan kepada PAN dan PKS masing-masing senilai Rp. 500 miliar. Tentu, fenomena tersebut menandakan adanya demokrasi yang sekarat pada bangsa ini. 
Salah satu yang menjadi indikasi praktik mahar politik adalah tingginya dana kampanye yang harus dikeluarkan oleh partai, meliputi atribut, tim pemenangan, sampai biaya saksi di masing-masing TPS. Belum lagi jasa penggunaan media cetak/online dan lembaga survey sebagai bentuk pencitraan diri. Selain itu, mahar politik juga dapat terjadi karena kandidat calon dianggap memiliki elektabilitas rendah di mata publik.
Pemerintah sejatinya sudah berupaya memberikan suntikan dana kampanye yang cukup besar terhadap partai, yaitu melalui revisi PP No. 83 Tahun 2012 menjadi PP No. 1 Tahun 2018 yang menaikkan dana bantuan partai naik 10 kali lipat menjadi Rp. 1000 per suara. Perubahan ini seharusnya menjadi pendorong untuk meningkatkan kaderisasi partai, sebab kader yang dinilai baik oleh publik pasti berimbas pada perolehan suara partai. 
Praktik mahar politik masuk kategori penerimaan imbalan yang dilarang dalam UU Nomor 7 tahun 2017. Namanya juga mahar, tentu ada proses tawar menawar politik. Hasilnya adalah kapitalisasi jabatan. Sejatinya, mahar politik tak akan berlaku bagi kandidat calon yang memiliki elektabilitas tinggi. Mereka tidak akan pernah mau memperjualbelikan demokrasi melalui surat rekomendasi. Bangsa kita terlalu pintar untuk dibodohi dalam urusan praktik semacam ini.
Kader NU atau Baper NU
Pada kasus berbeda, MMD yang terjungkal sebagai cawapres Jokowi di detik-detik deklarasi, mengaku legowo terhadap realitas politik, namun tak bisa diungkiri gelagat kecewa tampak jelas pada raut wajahnya. Pengakuan apakah dirinya NU atau bukan NU menjadi tendensi politik yang ditujukan kepada sejumlah politisi NU yang meragukan ke-NU-annya. Beberapa kali MMD menyebut ketua umum PBNU Said Aqil Siradj, ketua PKB Muhaimin Iskandar, ketua PPP Romahurmuziy, hingga KH. Ma’ruf Amin. Keraguan itu pada intinya dianggap sebagai konspirasi politik untuk menjungkalkan dirinya.
Suara NU selalu menjadi primadona. Tak ayal pada setiap kesempatan, NU kerap menjadi isu-isu politik. Selain menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia, masyarakat NU—jika tidak dikatakan fanatik—sangat takzim terhadap ulama sehingga apapun yang menjadi keputusan, ulama tetap menjadi pilihan.
Dalam pandangan dunia santri, ilmu dan barokah didapat apabila sepenuhnya takzim dan tawaduk terhadap segala keputusan kiai. Kendati pilihan atau keputusan yang diambil tidak sesuai dengan hati nurani, santri akan tetap melaksanakan sebagai bagian dari rasa takzim kepada seorang guru atau kiai.
Melihat fenomena yang ada, paradigma semacam inilah yang coba dimainkan oleh sejumlah elite partai; mengukur sejauh mana kekuatan karismatik calon pemimpin berlabel NU untuk menarik suara di tingkat bawah yang mayoritas adalah nahdliyyin. Pada konteks ini muncullah isu kader NU dan bukan kader NU.           
NU memang bukan partai politik. Secara organisasi juga tidak terikat dengan partai manapun. Namun, sebagai ormas yang menjadi bagian dari tubuh bangsa, NU tetap memiliki tugas dan tanggungjawab secara moral mengawal perjalanan demokrasi dengan menyuarakan aspirasinya.
Mahar politik dan PHP dalam konteks kenegaraan memiliki imbas yang berbeda. Mahar politik jelas mencederai konstitusional negara, sementara PHP imbasnya lebih kepada aspek personality. Blak-blakan ala MMD menunjukkan karakteristik orang Madura yang menjunjung tinggi harga diri. Sebagai intelektual Madura, tentu talkshow menjadi panggung sempurna melaksanakan ‘carok’ tanpa harus menghunus celurit untuk menumbangkan lawan.
Apa yang terjadi terhadap MMD merupakan dinamika dan realitas politik yang wajar. Hanya saja dramatisasi di akhir laga menjadi topik yang viral di media. Lain hal dengan mahar politik. Praktik masif dan sistematis tersebut mesti ditindak tegas karena masuk kategori kampanye gelap (black campaign) serta memicu adanya kapitalisasi demokrasi. Mahar politik hanya akan melahirkan perilaku pemimpin koruptif di negeri ini.[]

*) Penulis adalah jurnalis, cerpenis, dan mahasiswa pascasarjana IAIN Jember
Sumber: Mediajatim.com

Jokowi-Ma’ruf Amin, Interpretasi Umara dan Ulama?

Oleh Fandrik Ahmad*
Teka-teki seputar siapa sosok calon wakil presiden (cawapres) yang akan mendampingi presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2019 kini sudah terjawab. Kamis, 9 Agustus 2019, di Restoran Plataran, Menteng, Jakarta Pusat, Jokowi bersama sembilan partai koalisi sepakat untuk mengusung KH Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden pada pemilu 2019.
Sebelumnya, mencuat kabar bahwa sosok cawapres yang akan mendampingi calon petahana tersebut adalah berinisial M. Maka, muncul nama Mahfud MD di garis terdepan. Ia menjadi kandidat terkuat sebelum terjadi dinamika politik di akhir laga. Ya, sembilan petinggi partai yang tergabung dalam koalisi Indonesia Kerja saat itu sepakat memilih Ma’ruf Amin daripada Mahfud MD. Kenapa mesti Ma’ruf Amin?
Ma'ruf Amin bukan pemain baru dalam kancah politik tanah air. Banyak yang menilai bahwa Ma’ruf Amin merupakan sosok paling ideal mendampingi Jokowi. Ma’ruf Amin merupakan sosok utuh sebagai tokoh agama sekaligus tokoh politik. Tentu segudang pengalaman menjadi bahan pertimbangan. Sebagai tokoh agama, ia menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Rais Aam PBNU. Sebagai tokoh politik, ia pernah duduk di DPR dan MPR serta menjadi dewan pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Sebagai tokoh agama, Ma’ruf Amin diharap mampu mengakomodir suara di tingkat bawah yang mayoritas adalah warga nahdliyyin. Bagaimanapun juga, di panggung politik, suara NU tetaplah memiliki daya tarik tersendiri dan menjadi rebutan. Selain menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia, masyarakat NU—jika tidak dikatakan fanatik—sangat takzim terhadap ulama sehingga apapun yang menjadi keputusan, ulama tetap dinomorsatukan. Sementara Mahfud MD dinilai kurang tepat sebagai interpretasi dari sosok nahdliyyin. Sebagaimana pernyataan KH Said Aqil Siradj, ketua umum PBNU bahwa lelaki yang lahir di Madura itu hanya dekat dengan NU, bukan kader NU.
Terpilihnya Ma’ruf Amin juga bagian dari strategi politik. Sebagaimana diketahui, kursi calon wakil presiden menjadi primadona dan diperebutkan oleh para elite partai, yang sejatinya berburu kekuasaan pada pemilu 2024. Asumsinya, jika pada pemilu 2019 kembali terpilih, maka pada pemilu 2024 Jokowi tidak bisa mencalonkan kembali karena sudah dua periode. Oleh karena itu, kursi wakil presiden dinilai sangat kuat sebagai batu loncatan menggalang kekuatan maju sebagai calon presiden.
Apabila melihat usia yang sudah menginjak 75 tahun, tentu peluang untuk maju pada pemilu 2024 sebagai calon presiden sangat kecil. Hal ini tentu menjaga peluang partai politik mengusung kekuatan sehingga merasa lebih legowo menerima Ma’ruf Amin daripada Mahfud MD.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai platform utama pengusung Jokowi sangat hati-hati menjaga harmonisasi keluarga di kabinet Indonesia Kerja. Mereka tahu bahwa para elite partai yang berkoalisi sama-sama mengincar kursi nomor dua RI, sebut saja Muhaimin Iskandar (PKB), Airlangga Hartarto (Golkar), Muhammad Romahurmuziy (PPP), Osman Sapta Odang (Hanura) dan Hary Tanoesodibjo (Perindo). Dengan mengambil tokoh di luar non-partai pengusung, tetapi dapat merepresentasikan calon ideal yang diinginkan para elite partai, maka kemungkinan terjadinya poros ketiga sangat kecil. Apalagi deklarasi pencalonan dilakukan pada masa-masa injury time yang tentunya juga akan sangat sulit membuat poros baru.
Pasangan Umara-Ulama
Belakangan ini kursi kepresidenan kerap digembar-gembor dengan isu-isu miring seperti Jokowi komunis, Jokowi antek asing, hingga Jokowi yang anti ulama. Isu-isu SARA semakin santer berkembang, terutama menyangkut isu-isu keagamaan. Dengan menggandeng Ma’ruf Amin, Jokowi seakan ingin menjawab bahwa tuduhan itu tidak benar. Umara dan ulama harus bersinergi, beriringan memajukan bangsa dan negara. Indonesia merdeka atas jasa ulama. Keputusan-keputusan penting pasca kemerdekaan juga atas andil ulama. Maka, seyogianya antara ulama dan umara bahu-membahu dan saling melengkapi dalam mengambil kebijakan strategis.
Dengan memilih Ma’ruf, dukungan suara kepada Jokowi akan lebih variatif daripada jokowi menggandeng Mahfud. Ma’ruf dan Mahfud adalah tokoh muslim berbeda corak dan pemikiran. Ma’ruf adalah ulama NU yang dipandang konservatif-toleran, sementara Mahfud adalah seorang akadmisi dan tokoh moderat. Ma’ruf dapat menjadi strategi untuk meredam kelompok kanan yang tidak simpatik kepada Jokowi.
Terlepas dari hal di atas, bukan berarti Ma’ruf menjadi sosok ideal pendamping Jokowi. Corak pemikiran yang dinilai lebih konservatif bisa menjadi celah untuk menurunkan dukungan suara kepada siapa pun yang tidak simpatik kepada tokoh konservatif. Namun dukungan dari kalangan moderat, secara politis tetap kuat, karena Ma’ruf masih representasi dari tokoh NU.
Sebagai background  umara dan ulama, setidaknya isu-isu SARA khususnya keagamaan bisa diredam sehingga pertarungan nanti benar-benar menjadi sebuah pertarungan konsep dan gagasan menuju Indonesia berdaulat. Semoga.    
*) Mahasiswa pascasarjana IAIN Jember
Sumber: Mediajatim.com

Slerok

(dimuat di Kompas, 15 Juli 2018)

Ia berpesan, jangan dikubur di tanah wakaf. Sebagaimana kata wakaf, siapa pun boleh dikubur di sana. Tak perlu merogoh kocek sekedar penebus sekotak lubang kematian. Tidak. Ia ingin berbaring di tanah sendiri.

“Tak ada yang lebih merdeka selain mati di atas tanah sendiri,” tukasnya.

Namanya Pak Mat. Tinggal di Slerok1. Sebuah perkampungan di kaki Gunung Raung. Bagian dari Pegunungan Ijen. Pemisah dua kabupaten di ujung timur tanah Jawa: Jember dan Banyuwangi. Lelaki berkulit besi tua itu seorang petani rajin dan ulet.

Mengembala ternak menjadi selingan pekerjaan. Saya sering mengambil bagian dari pekerjaan ini. Hampir pasti semua petani memiliki ternak. Terutama sapi.

“Aku selalu berdoa semoga anak cucuku dapat menggarap ladang dengan baik. Tetapi takdir berkehendak lain. Harapanku hanya ada pada Wulan. Dan Tuhan sudah mengambilnya,tukasnya mengenang kepergian anak semata wayang.

Penyuka semur keong besusul dan oseng pakis itu harus mengakhiri hayat di ujung jarum infus. Keranjingan semur keong besusul membuat tubuhnya digerogot kolesterol. Menjelang sekarat, yang bercokol di batok kepala kami hanya sekotak ladang untuk dijual. Biaya pengobatan sangat tinggi untuk ukuran kelas teri. Sekotak ladang paling masuk akal sebagai penebus kesehatan.

“Pantang petani menjual tanah. Tanah adalah warisan. Menjual berarti menghianati leluhur. Tanah adalah titipan. Karena tanah ini banyak darah bercipratan. Mati di ujung laras,“ tukasnya berkaca masa lalu.

Kami pun tak punya nyali menjual tanah. Ia sudah membuat pilihan sekarat di ujung ajal. Ada kebanggaan bersinar di kelopak matanya. Seolah ia melakukan mati dengan cara yang sangat mulia.  

Sejatinya saya hanya pendatang. Seorang relawan. Pak Mat menyilakan saya tinggal bersama keluarganya. Saya berbagi kamar dengan Wulan, salah satu murid saya. Sayang, detak nadinya berhenti di tahun kesembilan dari hitungan napas pertama. Wulan menyerah di ujung penyakit lupus. Seorang murid cerdas dan periang. Pembara semangat luar-dalam.

Saya hampir jatuh. Pertahanan terbang. Harapan menjadi abu. Sampai terbesit di pikiran untuk jauh meninggalkan Slerok. Apa yang perlu dipertahankan bila mimpi-mimpi sudah lari?

Namun senyum cerlang Wulan dengan segala keterbatasannya, membuat perasaan meningalkan anak-anak Slerok seperti tamparan keras. Sakit sampai ke palung paling hitam. Bayangan Wulan kerap bercokol di pucuk Raung. Melambai-lambai. Sebentuk sapaan saat mentari sorong mengecup kening bumi atau saat senja menutup hari.

Jika saya tak empati pada sekolah dasar, tempat Wulan dan anak kampung Slerok merajut asa, barangkali kaki ini sudah jauh berpijak. Meninggalkan kesiur angin beraroma dingin. Meninggalkan kemilau embun di ujung ilalang. Meninggalkan malam yang selalu basah. 

Sekolah itu saya temukan mati suri. Dua tahun lamanya. Sekolah yang diabaikan pemerintah. Bangunannya serba sirap. Hanya ada dua ruang. Satu ruang diisi tiga rombel: kelas satu, dua, dan tiga. Satu ruang lagi untuk kelas empat, lima, dan enam.

Tak ada yang mau mengajar di sana. Jalan terjal, akses yang sulit. Hanya petugas perhutani yang kerap terdengar di ruang kelas yang sering kosong itu. Itupun seminggu sekali. Seorang teman, salah satu anak petugas perhutani, meminta saya bersamanya mengajar di sana. Menghidupkan kembali sekolah itu.

Namun suatu hari, yang sejatinya tak sanggup dan tak ingin saya ingat, ia menghilang dan tiba-tiba muncul dengan seorang lelaki yang sudah enam tahun mengikat janji dengan saya. Ia datang hanya berpamitan. Selebihnya saya anggap hanya penghianatan.

Saya mesti banyak belajar cara berdamai dengan masa lalu. Toh, masa lalu bukan untuk dihukumi, melainkan sebagai cermin langkah selanjutnya. Saya memilih tetap bertahan. Melupakan segala hal yang terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga.

Ada dua hal yang tak ingin saya lewati, yaitu ketika mentari mengintip dari balik gunung dan ketika perlahan merangkak menjauhi kampung. Gunung Raung, dengan segala misteri yang tersimpan, tampak menjadi permata berkilau. Air jernih mengalir menggoda mata. Ikan-ikan berkecipuk manja. Pepohonan pinus berjejal rapi. Gugusan awan menari di atas kaldera.

Saban pagi sepasang kerbau harus saya tambat di pematang sebelum mengajar. Menyaksikan hingar-bingar kampung Slerok.

Perempuan kok mengembala kerbau. Harusnya memasak di dapur. Daya tarikmu akan berkurang, Duk,tukas Pak Mat, suatu ketika.

“Apakah ada larangan dalam adat perempuan mengembala kerbau?”

“Pantasnya perempuan itu di dapur. Istri yang jago masak adalah dambaan suami.

“Ibu jago masak, ya, Pak?”

“Ibumu cantik karena jago masak,” kami berdua tertawa.

“Jadi, kalau tidak jago masak, ibu jelek, begitu?”

Tiba-tiba tawa kembali lepas sendirinya. Memberi isyarat tak perlu jawaban.

Pak Mat dan istrinya menganggap saya sebagai anak sendiri. Begitu sebaliknya. Di sini, di keluarga ini, banyak kenyamanan yang lebih saya dapatkan daripada keluarga sendiri. Tak ada pertengkaran, kebohongan, kesibukan, dan rasa egois yang kerap saya temukan di meja keluarga di kota. Tak ada kamuflase. Tak ada.    

Saya sering membantu mereka berladang. Kontur tanah yang subur membuat kampung Slerok cocok ditanami aneka jenis tanaman. Penduduk kampung suka menanam padi, tembakau, dan cabai. Saat letih menghampiri, kami istirahat di pondok bambu, menikmati secangkir kopi dan rebusan singkong yang digali dari kebun sendiri.

Pada mulanya saya tak sepaham dengan jalan pikirannya. Sempat berpikir bahwa lelaki cungkring ini tipikal petani yang tak mengerti perubahan. Ketika sebagian petani beralih pada pupuk olahan dan traktor sebagai alat membajak, pupuk kandang dan sepasang kerbau tetap menjadi andalan.

“Seandainya tanah layaknya manusia, pasti merasa kesakitan oleh pupuk berbahan kimia. Seandainya tanah layaknya manusia, pasti merasa kesakitan dibajak kasar dengan baja,” tukasnya.

“Bukankah teknologi mempermudah segalanya? Tanah yang seharusnya dibajak tiga hari menjadi hanya sehari. Sungguh, saya sama sekali tak tertarik dengan cara bertani seperti itu. Sekarang ini kita hidup di dunia yang serba instan.

“Bertani itu tak jauh berbeda dengan bercinta.

“Maksudnya?”

“Tidakkah berpikir betapa mesin itu telah merampas pekerjaan petani? Lihatlah! Pak Murtaep sering menganggur karena tak ada yang mau menggunakan jasa sepasang kerbaunya.”

Sepertinya ada ilmu baru yang saya dapatkan. Sebuah filosofi bertani yang tak pernah diajarkan di sekolah maupun di perguruan tinggi. Rasanya belajar bertani kepadanya juga belajar bagaimana mencintai tanah air.

“Setiap keringat yang jatuh saat bekerja adalah kenikmatan. Sesuatu yang istimewa itu tidak lahir secara instan,” tukasnya.

***
Benih-benih tembakau menghijau sambut kemarau. Nicotiana tabacum itu dikenal sebagai komuditas utama sektor pertanian. Ikon kualitas tembakau daerah Jember. Daunnya bercorak macan tutul bila sudah kering. Aromanya khas. Tak sulit membedakan dengan tembakau lain.

Sesuai permintaan, Pak Mat dikubur di sudut bagian barat ladang miliknya. Saya dan ibu selalu menyempatkan diri mengirim simpul-simpul tawasul untuknya sebelum menggarap sebidang tanah peninggalan.

Perempuan uzur itu bercerita. Betapa suaminya sama sekali tak pernah menanam tembakau. Saya terhenyak. Heran.

Hasil panen seharusnya dinikmati sendiri, bukan dijual kepada orang luar,” tukas ibu menyadurkan cerita pada riwayat bapak.

“Bukankah bertani merupakan ladang penghasilan utama, sebagaimana pedagang dengan ladang usahanya?”

“Tembakau bukan makanan. Tentu semuanya langsung dijual. Tak mungkin menyisakan sebagian untuk dimakan sendiri atau dan berbagi dengan tetangga.”

Menjual untuk membeli. Rasanya sah-sah saja. Sekarang harga sayuran murah. Modal pasti sulit kembali. Bagaimana mungkin bertani dengan cara yang sudah bisa dipastikan merugi?”

Mukanya yang keriput menarik senyum yang masih tersisa. Matanya yang hampir mengabur berkaca-kaca pada sebuah gundukan tanah di mana suaminya disemayamkan.

Siapa yang bilang merugi? Hal paling membahagiakan bagi kami ketika bisa berbagi hasil panen dengan petani lain. Lumbung tak pernah kering. Tak punya uang, kita masih bisa makan. Hampir semua yang tumbuh bisa kita makan. Tuhan sudah terlalu murah untuk kita.

Seperti inikah bentuk patriotisme petani?

Duk, ini wasiat Bapakmu. Dengarkan! Jika kau sudah menemukan jodohmu dan tak pernah memiliki niat meninggalkan kampung ini, maka semua tanah ini kami serahkan kepadamu.”

Mata itu tampak memberi keyakinan. Sorong penuh harap. Lalu ibu menatap lekat pada nisan. Pada gundukan tanah yang mulai ditumbuhi rumput kecil. Mata itu sudah tak sejernih asalnya, tetapi masih seperti gravitasi yang dapat menyerap segala keraguan.

Saya belum siap.

“Alam senantiasa setia mengajari kita.

Sekawanan burung bangau terbang ke peraduan. Angin berdesir pelan. Senja merangkak semakin jauh. Matahari membulat serupa kuning telur gosong.

Kami menuruni jalan setapak. Sampir lorek dijinjing setinggi lutut. Tanaman pakis di sepanjang tebing menguning oleh sapuan senja. Setenteng singkong dalam genggaman. Lepas pandangan ke arah Timur, pohon pinus berderet kokoh seurut bidang tanah yang memiring.

Semua berjalan alami tanpa polesan. Hijau daun, tanah subur, air jernih, udara sejuk dan kicau merdu. Pandangan itu mengingatkan saya pada sebuah bait puisi. Inikah cipratan surga yang bocor itu?2  

Ah, saya jatuh cinta dengan kampung ini. Tak ingin pulang ke masa lalu. Apa pun itu.

Saya ingin jago masak agar tampil cantik seperti Ibu. Maukah Ibu mengajari saya cara memasak yang baik dan benar?”

“Siapa yang bilang ibu cantik?”

Ada simpul senyum terkembang. Saya yakin senyum itu bukan karena pujian. Senyum itu ingin menebak kebenaran dari sebuah jawaban. Ia sudah tahu jawabannya. Sementara saya tetap menjawab sekedar untuk menggodanya.

“Bapak.”

Hem, tumben. Kau tidak sedang jatuh cinta, bukan?”

Saya tersipu. Semoga ia tidak menangkap rona merah muda, karena membayangkan seorang lelaki muncul dari balik senja, suatu ketika, yang entah kapan lelaki itu benar-benar datang menemui saya.[]
Jember, Januari 2018
(Dedikasi untuk keluarga alm. Ribut Sri Wulandari)
Catatan:
1.       Potongan kisah lain tentang Slerok sudah dipublikasikan di Republika, 6 Juli 2014.

2.      Emha Ainun Najib dalam syair Ilir-Ilir.