Friday, February 10, 2017

Faida dan Faidah untuk Masyarakat Jember


Oleh: Fandrik Ahmad*

(Dimuat di Radar Jember, 10 Februari 2017)

Kondisi perpolitikan di kabupaten Jember saat ini sangat memprihatinkan. Ketegangan antara lembaga legislatif dan eksekutif menandakan bahwa ada ketimpangan komunikasi politik antar pemangku kebijakan di tingkat elit. Imbasnya, kebijakan-kebijakan strategis 22 janji kerja bupati hanya menjadi ekspektasi yang bikin sakit hati. Ketimpangan komunikasi politik ini menjadi “kado” pahit Faida-Muqit atas setahun kepemimpinan di kabupaten “Tapal Kuda” ini.

Awal tahun 2017 menjadi titik klimaks ketegangan antara bupati dan DPRD yang ditengarai oleh pemutasian besar-besaran yang dilakukan oleh bupati Faida, termasuk pemutasian Sekretaris Dewan menjadi Kepala Satpol PP Pemkab Jember. Keputusan tersebut dianggap sepihak karena tidak melalui pertimbangan atau persetujuan DPRD. Beberapa dewan melakukan hak interpelasi dengan meminta kembali posisi Sekretaris Dewan seperti semula. Faida dituding melabrak Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2016 tentang perangkat daerah.

Konflik antar dua lembaga bagian dari trias politika Kabupaten Jember itu berimbas pada ranah yang lebih luas, yaitu keterlambatan pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah 2017 yang sudah dievaluasi oleh gubernur. Apabila APBD 2017 tidak segera disahkan, maka kegiatan pembangunan di kabupaten Jember otomatis juga terhambat dan sangat merugikan masyarakat.

Setahun kepemimpinan bupati Faida memang masih menyisakan persoalan di mana-mana. Fungsionalisasi birokrasi dan penatausahaan ruang sampai saat ini belum jelas. 22 janji kerja yang menjadi harapan masyarakat Jember dalam 5 tahun ke depan belum terealisasi dan terkesan sangat lamban. Belum lagi konflik antara bupati dan DPRD terkait dengan pemutasian jabatan.

Tak bisa dipungkiri bahwa komunikasi yang buruk antara lembaga legislatif dan eksekutif membuat luka yang mendalam bagi masyarakat luas, terutama pendukung dan relawan yang telah mengusung Faida-Mukit tahun lalu. Alih-alih dapat memperbaiki kondisi birokrasi, malah semakin memperkeruh situasi yang ada. Bahkan mereka mengancam akan mencabut dukungannya apabila komunikasi yang buruk tersebut tidak segera diperbaiki.

Komunikasi politik yang buruk antar pemangku kebijakan elit menjadi penyebab utama dari akar masalah. Padahal, komunikasi politik, sebagaimana diungkapkan oleh Clifford Geertz, merupakan bagian integral dan harus dilakukan untuk menyelaraskan arah kebijakan pembangunan. Pada titik inilah perlu adanya penyamaan persepsi dari perbedaan perspektif.

Dalam ilmu komunikasi, persepsi disebut inti komunikasi. Jika persepsi tidak akurat, maka tidak mungkin berkomunikasi dengan efektif. Persepsi menentukan kita memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi antarindividu, semakin mudah dan semakin sering mereka berkomunikasi. Konsekuensi dari sebuah komunikasi adalah penyamaan persepsi.

Pada konteks ini bupati seharusnya dapat membuka ruang dialog seluas mungkin, baik formal maupun informal, dengan beberapa pihak terkait untuk menyemakan persepsi. Mekanisme dialog akan memperlancar setiap pengambilan keputusan dan kebijakan terkait program kerja yang telah dicanangkan ke depan. Sebagaimana yang dikatakan Dan Nimmo bahwa politik adalah pembicaraan dan kegiatan politik adalah bicara (dialog).

Namun kenyataannya tampak berbeda. Dengan power sebagai orang nomor satu di Kabupaten Jember, Faida seakan dapat melakukan apa saja tanpa harus melakukan dialog dan pengambilan kebijakan strategis dengan pihak lain. Akibatnya, berbagai aturan dilabrak tanpa mempertimbangkan prosedur undang-undang yang berlaku.

Setidaknya dari carut-marut polemik yang terjadi antara elit legislatif dan eksekutif telah memberikan kita beberapa pelajaran betapa komunikasi politik sangat diperlukan guna menuju pemerintahan yang berdaulat, tak peduli entah itu koalisi maupun oposisi. Kedua, ekspektasi tinggi dari sebuah janji-janji politik sangat rentan menimbulkan kekecewaan publik dan kemerosotan popularitas. Kedua pelajaran tersebut yang tampak pada kebijakan mutasi jabatan serta janji-janji kerja bupati kita.

Akhirnya, mari kita berbaik sangka (positive thinking) saja atas ‘parodi’ yang dilakukan oleh kedua elit lembaga kita betapa segala sesuatu memiliki faidah (faedah, bk). Dan, kita saat ini dapat memetik faidah dari sebuah buruknya komunikasi politik di Kabupaten Jember.[]