Saturday, November 10, 2012

Cakar Istri

Cerpen Fandrik Ahmad
(Tabloid Nova, November 2012 )
 Ia mencakarku. Lagi. Dan, lagi. Begitulah cara ia mengungkapkan perasaannya. Aku menikmati. Hanya dengan seperti itu aku merasa betapa cinta itu masih ada, untukku.
Sakit memang. Menderita memang. Kalau kau menyibak bulu-bulu yang menutupi sebagian wajahku, kau akan mendapati beberapa bekas coretan hasil maha karyanya. Ia mencakarku sebab gagal dan kesal tak bisa mencerabut bulu-bulu itu dari akarnya. Bukan segelas kopi atau teh sebagai penghangat pagi yang disodorkan ketika aku bangun, atau bergelayut manja memintaku mendaratkan kecupan hangat di keningnya. Bukan. Ia langsung menjambak dan mencakar mukaku sembari berteriak histeris; pekerjaannya setiap kali bangun pagi.
Sebenarnya, aku tak suka bertampang brewokan. Ketika masih muda, menikah, sampai memunyai anak semata wayang dengannya, aku tak pernah memelihara bulu-bulu itu. Tetapi kemudian semua berubah ketika aku merasakan sebuah siksaan batin di lapangan pemasyarakatan. Ya, di dalam jeruji besi itu, aku tak sempat memikirkan untuk memotong bulu-bulu wajahku. Jangankan memotong, seberapa panjang pun aku tak peduli.
Aku pernah memotong kumis dan janggutku agar tak ada lagi bulu-bulu yang bisa dijambaknya. Upayaku berhasil. Setelah kupotong, ia tak pernah menjambak dan mencakar mukaku lagi. Namun, ia berganti ketakutan melihatku serta berusaha keras menghindar. Mirip orang kesurupan.
''Siapa, kau? Pergi! Jangan mendekati,'' katanya suatu pagi ketika baru terjaga. Ia menjauh hingga terjerembab dan ngesot di lantai kamar.
''Aku suamimu.''
''Bukan. Bukan suamiku!'' histerisnya. 
Aku merasa tidak hanya kehilangan bulu-buluku, tetapi juga kehilangan istriku. Pernah aku berpikir bahwa ia bukan mengenaliku, tetapi mengenali kumis dan janggutku. Aku merasa total kehilangan segalanya. Tak memiliki apa-apa. Ia tak mau kursi rodanya kudorong, tak mau kusuapi bubur, dan tak terdengar pula umpatannya ketika baru bangun yang kemudian dilanjutkan dengan sebuah cakaran.
''Bapak jahat. Bapak kejam. Kembalikan anakku,'' betapa umpatan itu kurindukan.
Demi mendengar umpatan itu lagi, terpaksa aku menaruh kumis dan jenggot palsu di mukaku. Kehidupan kembali normal.
Dua tahun sudah istriku seperti itu. Dua tahun pula aku merasa telah berkelamin ganda; sebagai kepala dan ibu rumah tangga. Ia tak bisa beraktifitas kecuali duduk manis di atas kursi roda dan senang berbicara sendiri di bawah pohon kakau dengan beragam mimik: bercanda, bersedih, menagis, dan tertawa. Memang, pohon kakau yang tumbuh di halaman itu adalah tempat bermain istri dan anakku.
Saat menemaninya, kerap kali aku mengungkapkan permintaan maaf kendati responnya selalu sama, diam sejenak lantas tertawa. Kalau bukan diam-diam karena aku tak lari ke pelukan perempuan lain, tak mungkin ia bernasib malang seperti ini. Tujuh tahun menikah, aku cuma tetap tinggal berdua saja. Kukira ia tak bisa memberiku tangis seorang bayi. Di balik kebohongan atas rasa keberpuraan sabar menantikan ia berkata AKU HAMIL, kulampiaskan kepada perempuan lain.
Setahun berjalan dalam lingkar skandal perselingkuhan, ia mengabarkan kalau sedang jatuh hamil. Matanya menatap teduh. Penantian panjang akhirnya tercipta. Jelas aku bahagia. Jiwa yang kering bertahun-tahun akhirnya basah juga. Hanya waktu itu aku bisa melupakan sosok perempuan yang berdiri di balik punggungnya. Untuk menandai kabar gembira ini, aku ke kebun kakau tempat kerjaku. Kuceritakan kepada kepala mandor kalau istriku sedang hamil muda.
''Kalau boleh aku mau minta satu pohon kakau kepada bapak,'' pintaku.
''Untuk apa?''
''Mau di tanam di halaman, Pak. Sebagai tanda kalau pohon itu ditanam saat istriku sedang hamil muda. Biar kalau sudah besar, anakku juga bisa bermain di bawahnya.''
Kepala mandor memberikan satu bibit pohon kakau yang kupinta. Bibit itu merupakan yang terbaik dari bibit pohon kakau yang lain. Sebagai hadiah, katanya.
Hari tak cukup sore ketika aku keluar dari pintu gudang. Namun, awan hitam sudah merenggut matahari yang seharusnya sebentar lagi akan menjadi sunset. Langit menggelap. Angin bertiup menggugurkan dedaunan. Mobil dan motor terlihat berjalan tergesa-gesa. Takut dimakan gerimis atau hujan di perjalanan, aku menghampiri sebuah rumah yang kental dengan arsitektur rumah adat kolonial belanda, tak jauh dari tempatku bekerja.
Seorang perempuan dengan senyum berlesung, yang tak asing lagi bagiku, membukakan pintu. Rambutnya ikal tergerai di atas balutan kaos u can see, yang membuat dadanya terlihat mengeras. Aroma parfum merebak di sekujur tubuhnya. Aku menyambarnya dan mendaratkan satu kecupan manis.
Ia menuntunku. Duduk di sofa. Seekor kucing belang tidur melingkar. Perempuan itu hendak membuatkanku secangkir kopi, tapi aku melarangnya.
''Istriku hamil,'' kataku.
''Aku juga hamil,'' katanya.
''Kau hamil?'' tanyaku bercampur kaget.
''Kau tak akan mengingkari janjimu, bukan?''
Aku diam. Tatapannya tajam, siap menerkam. Sedangkan tatapanku telah menjadikan perempuan itu seperti seekor ular raksasa yang tengah melilit mangsanya. Tak bergerak. Senyumnya tak lebih dari sebuah desis dengan lidah yang menjulur-julur. Kenapa aku jatuh ke pelukannya? Tangannya yang lembut terasa kasar dalam belaian.
''Bukankah kau menyatakan siap meninggalkan istrimu bila aku bisa memberiku seorang anak? Bukankah kau akan membawaku pergi sejauh mungkin? Sejauh dari pandangan istrimu. Masih ingatkah?''
Aku terduduk lesu. Bukan tak ingat pada janji itu. Kupandang lekat bibit pohon kakau yang kusandarkan di depan pintu. Gorden biru langit pada jendela yang terbuka, sedikit meliuk ditiup angin. Dadaku seketika berat. Kupandangi perempuan itu. Tangannya mendekap. Tenang bersandar di lemari. Senyum bergincu itu tak lagi menarik.
''Aku tak bisa...'' kataku lirih.
''Berarti kau memilih keluargamu hancur? Pilihlah! Memberikan kesan meninggalkan istrimu tanpa sebab atau hancur karena perselingkuhanmu terbongkar? Yah, sama-menyedihkan, sih. Tapi paling tidak, salah satunya ada yang terbaik.''
''Jangan kau paksa aku untuk memilih.''
''Hidup itu pilihan, sayang. Tak usahlah kau bermain api jika takut terbakar.''
''Jangan sampai kau menyakiti istriku,'' nadaku kini tak lebih dari sebuah ancaman keras.
''Owh, kau memilih istrimu? Justru kau sendiri yang akan menyakiti istrimu, bukan aku,'' perempuan itu membentak.
Seberkas sinar memantul dari jendela. Hujan urung untuk turun. Aku dan perempuan itu saling menyulutkan emosi. Sebagaimana dalam film-film, si perempuan berakhir dengan tangis, sedangkan si lelaki berakhir setelah memecahkan suatu benda. Dan, benda yang kupecahkan adalah kaca meja. Kucing belang kaget dan melonjak terbirit-birit.
''Beri aku waktu tiga hari bersama istriku. Setelah itu, kau bebas memilikiku.''
Perjalan sore itu sungguh berat.
Di halaman, aku dan istriku bersama-sama menanam pohon kakau. Kubilang, kelak, di bawahnya akan kujadikan taman bermain anak kita. Matanya yang bening berkilau-kilau. Ia tersenyum. Oh, betapa aku tak kuat meninggalkan senyum itu. Senyum yang tulus, tak dibuat-buat. Seharusnya aku bisa berbahagia berlindung di bawah senyuman yang tulus, bukan senyuman yang dibuat-buat. Ia menginginkan seorang anak laki-laki. Katanya, kalau sudah dewasa bisa sesempurna diriku sebagai suami. Ah, apa sempurnanya? Tak tahulah di belakangnya aku menyimpan bangkai. Tak tahulah kalau cintanya kubandol-bandolkan kepada orang lain.
Sungguh, melewati waktu sampai mencapai tiga hari merupakan perjalanan yang sangat sulit. Seperti menunggu kedatangan seekor siput. Aku memiliki hasrat kuat membuat keinginannya menjadi sempurna dan terkabulkan. Sejak itu, aku menemukan diriku menjadi sosok dari bayang-bayang anakku. Ah, apa sempurnanya bila anakku seperti diriku.
Menginjak hari kedua, keputusan sudah kuambil. Aku harus memotong sebagian hidupku. Layaknya sebuah pohon, aku ingin hidup cuma bercabang satu, membesar, dan menjulur ke atas dalam satu pucuk tujuan. Oh, bayang-bayang ketakutan, kecemasan, kegundahan, dan perasaan dag-dig-dug lainnya menyerangku secara bergantian, semacam bom molotov yang jatuh di medan pertempuran.
Pada hari ketiga, malam rebah tanpa sepotong bulan. Aku menemui perempuan itu. Mengabarkan kalau malam ini aku ingin menghabiskan malam sebelum benar-benar pergi dengannya, meninggalkan istri dan rumah bekas kolonial itu. Tetapi, esoknya, aku tak jadi pergi. Perempuan itu pergi sendiri. Kendati demikian, akulah yang mengantarnya pergi. Ke neraka! Kututup mulutnya dengan bantal dan kucekek sedikit sebelum kucongkel sedikit pula sebagian isi perutnya dengan gunting. Bayang-bayang ketakutan telah menuntunku untuk berani melakukan perbuatan senekat itu.
Drama cinta segitiga terendus setelah itu. Istriku shock berat. Ia mengamuk. Histeris. Mencakar-cakar mukaku. Cakaran yang pertama dalam perjalanan rumah tangga. Lalu, aku membusuk di penjara. Mendekap 20 tahun. Selama itu, kesetiaan menitikkan airmata; setiap Sabtu dan Rabu ia tak pernah absen datang membesuk. Sampai anak yang dikandungnya lahir, tak sendirian lagi ia datang. Betapa menderitanya membesarkan anak seorang diri. Kesalahan masa lalu semakin membusukkanku di penjara.
Sepanjang waktu. Mendekap. Membusuk.
Jam menunjukkan pukul 9.47 pagi. Seorang polisi jaga menuntunku sampai di depan pintu gerbang. Aku tak percaya telah melewati massa sepanjang 20 tahun. Betapa tak terbilang bahagia. Jeruji-jeruji besi yang memisahkan aku, istri, dan anakku seperti ambruk seketika.
Seorang anak muda datang menghampiri seraya memelukku erat. Menyambut kebebasanku.
''Anakku.'' sekali dalam seumur hidup, aku menangis.
Kami pulang dengan wajah semringah. Ia memboncengiku dengan sepeda motor miliknya. Kehidupan kembali bergerak. Udara segar melabrak. Kencang. Kencang sekali. Sampai, tanpa sadar aku telah terkapar di tanah lembab. Jantungku berdegup kuat dan merasakan pusing yang berlipat-lipat. Lengan sebelah kiri terasa sangat ngilu. Banyak bercak darah di sekujur tubuhku. Kukira itu darahku. Namun ternyata, darah itu adalah darah anakku yang terkapar kaku. Tak jauh. Tak bernyawa.
Kehilangan anak semata wayang tak bisa diterima oleh istriku. Kondisinya menjadi labil, kian tak waras memahami situasi. Apalagi sejatinya ia belum bisa berdamai dengan masa lalu. Aku dijadikan kambing hitam sebagai orang yang telah merenggut nyawa anakku sendiri. Orang yang menyebabkannya kecelakaan. Oleh karena itu, setiap kali bangun tidur, ia berteriak dan mencakar-cakar mukaku.
Kupandangi istriku di bawah pohon kakau yang tengah asyik berbicara dengan pohon itu. Bila sudah begitu, jangan diganggu. Ia akan marah. Marah sekali. Ia bisa menghardik dan mencakarmu. Menyangkamu sebagai orang yang akan memisahkannya dengan pohon kakau yang telah ditahbisnya sebagai anak. Betapa menderita memang hidup dengan keadaan keluarga seperti ini. Tetapi aku tak punya alasan lain untuk tak meninggalkannya karena perempuan itu satu-satunya cinta yang tersisa. Tempat untuk berpulang.
Bubur yang tadinya terasa hangat sudah menjadi dingin. Aku masih menunggunya selesai bercakap-cakap.***

Jember, 28 September 2012


Bau Busuk Dalam Sumur

Cerpen Fandrik Ahmad
(Dimuat di Lampung Post, 11 November 2012)
Di matanya, nasi putih yang tersaji di atas lincak, kosong tanpa rasa. Nyeri yang timbul dari salah satu bagian otot pahanya yang terputus membuat selera makannya tak kunjung datang. Hanya duduk miring-miring di sisi lincak. Sedikit-sedikit meringis sakit bila sebagian tubuhnya digerakkan. Maka sebenarnya, kendati hanya paha kaki bagian kiri yang bengkak, perasaan sakit akan menjalar, terpusat di situ. Geliatnya tak ubahnya sebuah ekspresi manusia yang sudah bosan menjalani hidup.
Namanya Salim. Ia acapkali mengutuk kecerobohan Parjo, patner kerjanya. Mengatai tak becus bekerja sampai mengatai memang sengaja ingin mencelakainya. Suatu hari, saat hendak menyudahi pekerjaan menggali sumur milik Nyai Tomang, lelaki dekil 20 tahun itu tak cekat meraih ember dan parang ketika diarit sehingga ember yang digunakan untuk mengarit tanah ke permukaan dan parang yang sudah tumpul ujungnya untuk merapikan sisi bundaran sumur, nyemplung kembali mengenai dirinya yang masih berada di dalam sumur itu.
Si istri menghampiri. Menyodorkan sambal sisa kemarin pagi yang sudah digoreng lagi. Salim tetap tak berselera meski di atas lincak itu tersedia terong rebuskesukaannyamenggoda. Ikan asin pun juga gagal memancing selera makannya.
“Dimakan, Pak. Mumpung masih hangat. Kapan mau cepat sembuh kalau terus begitu,” tukas istrinya.
“Bentar saja. Belum lapar,” Salim meninggalkannya sendirian di lincak. Seperti menyeret beban hidup, ia bergegas ke beranda sembari menyeret kakinya yang tak pernah berhenti ngilu dan kesemutan, seakan ada tumpukan ulat berpesta dalam bengkak luka yang tak kunjung tertutup dan kering. Di luar, matahari menghanguskan halaman. Sesekali pandangan dikacaukan angin yang menghempaskan debu.
Tangannya mengepal bersandarkan tiang bambu. Kedua alisnya mengerut hampir bersatu membentuk kepak sayap elang yang tengah menukik menemui mangsa. Angin tenggara membarakan amarahnya. Sudah diputuskan kalau Parjo akan di-PHK dari daftar patner kerja. Toh, kehilangan Parjo bukan perkara memusingkan. Masih ada Dulla, Saini, Ropil, atau yang lain yang bisa diajak. Intinya tidak dengan Parjo!
Warga kampung dan yang setetanggaan dengan kampungnya merasa berbela sungkawa berselimut cemas atas musibah itu. Pasalnya, kala mereka bergantian menjenguk Salim, kerapkali ia membuat pernyataan untuk berhenti menggali sumur. Tentu akan menjadi mimpi buruk apabila Salim berhenti. Siapa yang akan memberikan kehidupan di kampung itu selain dirinya? Siapa yang akan memberikan sumber mata air selain dirinya? Hanya ia yang bersedia menjadi tukang gali sumur, semua merasa gengsi. Lebih baik tak memiliki pekerjaan ketimbang menggali sumur. Lebih baik kerja di luar negeri ketimbang menggali sumur. Begitulah, segelintir pernyataan dari mereka.
Tak terhitung sudah seberapa banyak jasanya bagi keberlangsungan hidup kampung itu. Lebih banyak dari pundu-pundi uang hasil dari timbal jasanya. Satu sumur bisa dikerjakan dalam waktu tujuh sampai delapan hari, tergantung dalamnya sumur. Upah yang bisa didapat dua ratus ribu sampai tiga ratus ribu rupiah, tergantung kedalaman sumur dan tergantung pada keikhlasan yang memberi. Itu pun seperempat persennya diberikan kepada si tukang arit tanah galian.
Salim adalah aset berharga. Satu-satunya orang yang mau mengambil pekerjaan itu. Berkat dirinya warga kampung tak cukup kesulitan mencari air. Berkat dirinya penduduk kampung terhindar dari derita musim penceklik berkepanjangan. Tangannya adalah sumber mata air yang membasahi kulit, kerongkongan, sawah, dan ladang saat kemarau tengah mencekik kampung. Baginya, musim kemarai merupakan berkah karena warga banyak yang membutuhkan jasanya. Pada musim inilah ia berkesempatan menyisakan uang untuk ditabung untuk biaya kehidupan keluarga, termasuk anak semata wayang yang sudah menginjak kelas dua Madarasah Tsanawiyah.
Keberhargaan warga terhadap Salim baru terasa saat ia mengalami musibah. Maka, apabila salah satu dari mereka tengah lewat di lokasi sumur Nyai Tomang, tempat di mana awal perkara terjadi, mereka tak pernah absen menggaungkan umpatan serta kutukan kepada Parjo ke dalam sumur yang kedalamannya sudah mendekati enam meter itu. Bahkan sampai ada yang berani menggaungkan sebuah ancaman membunuhnya apabila Salim benar-benar tidak mau lagi menggali sumur.
“Ini tanggungjawab Parjo,” kata Lessap kepada kawannya ketika tengah melewati sumur itu.
“Bertanggungjawab bagaimana? Ya, nama sudah kecelakaan, ya, memang sudah apes,” Jawabnya mencoba bersikap bijak.
“Kamu mau menggantikannya jadi tukang gali sumur?”
Lelaki itu tak bisa menjawab. Akan tetapi, dari raut muka yang ditampakkan, tidak bisa memerankan posisi Salim. Diam adalah pilihan yang tepat menengahi kebingungan.
“Makanya,” ia menaikkan suaranya. “Pikirkan bila kang Salim benar-benar berhenti. Tak ada sumur. Tak ada air. Kampung kita akan mati!”
Terbayang kemudian di kelopak matanya sebuah kampung yang dilindas sejarah. Cerita yang diabadikan sebagai kampung yang hilang hanya karena gara-gara tukang gali sumur. Air mukanya menjadi keruh. Kekeringan dan kelaparan menyelimuti ketakutan; kampung mati. Tak ada ternak. Tak ada hijau tanaman. Hanya dua usaha yang terbesit, menekan perut sembari saling sikut antar kerabat serta tetangga. Seperti sebuah sakratul maut, mereka merintih dan menjerit sebelum benar-benar larung dalam tidur panjang.
“Kamu benar. Parjo pantas bertanggungjawab,” lelaki itu pun turut mengamini.
Kebencian warga kepada Parjo bertumpuk di dalam sumur menggantikan air yang gagal menggenang. Kasak-kusuk warga yang menyalahkan Parjo seperti sebuah gaung; di manapun, kapanpun, dan dari manapun asalnya gaung itu akan ditangkap oleh gendang telingan Parjo. Sadar keselamatan dirinya terancam, Parjo tak bisa tinggal diam. Ia membutuhkan keadilan untuk membela. Siapa tahu gaung itu akan berbuah nyata. Toh, musibah tersebut bukan kehendaknya. Harus ada kuasa hukum yang bisa memberikan keadilan untuk dirinya.     
Pada suatu kesempatan, Parjo bertamu ke rumah kepala RT. Pemahamannya, kepala RT memiliki payung hukum kenegaraan, bisa memberikan keadilan. Kepala RT kan termasuk aparat pemerintah meski hanya selevel kepala kampung, pikirnya.
Kepala RT menyambut Parjo dengan wajah sinis. Bibirnya ditarik separuh. Mungkinkah juga tersebab peristiwa itu? Ah, ia dipilih untuk menegurus kampung dan harus bijak menyelesaikan sebuah permasalahan.
“Pak, tolong saya. Ancaman kepada saya semakin banyak,” jelas Parjo.  
“Ancaman yang bagaimana? Persoalan apa?”
“Bapak pasti sudah tahu mengapa mereka mengancam saya. Mereka semakin banyak, Pak. Ancamannya macam-macam. Katanya mereka ingin mengusir saya dari kampung ini. Bila tidak mau, mereka akan memaksa dengan membakar rumah saya. Ada juga yang ingin membuat kaki saya bengkak seperti kang Salim. Ada yang lebih nekat lagi, Pak. Mereka ingin membunuh saya!” Jelasnya dengan nada yang sangat kuat. Kepala RT diam hambar.
“Begitu, ya. Hem…”
“Ya, Pak,” tegasnya.
“Lalu, kenapa kamu ke sini?”
“Saya ingin meminta perlindungan kepada bapak.”
“Kepada saya? Memang saya hansip kampung? Memang saya polisi? Saya kepala RT.”
“Justru itu, Pak. Saya ingin meminta perlindungan hukum dari bapak.”
“Owh, tunggu dulu. Tidak bisa begitu,” kata kepala RT. Tenang. Tenang sekali.
“Kenapa, Pak? Di kampung ini bapak kepala RT.”
“Kalau urusan kampung, baru ke saya. Ini kan urusan pribadimu.”
“Semua penduduk kampung mengancam saya. Bukankah ini sudah menjadi persoalan kampung? Persoalan keamanan karena mau main hakim sendiri? Bapak harus melindungi saya. Saya tidak bersalah, Pak,” urat di lehernya hampir menyumbul.
“Terus?”
“Apanya yang terus, Pak?”
Kepala RT diam. Sesekali pula lelaki tambun itu melirik Parjo. Sementara Parjo semakin tidak tenang menunggu keputusan lelaki tambun di depannnya. Betapa ia merasa kesulitan mendapatkan keadilan di kampung sendiri, apalagi di luar.
“Kamu kabur saja dari sini. Beres.” Parjo tersentak.  
“Kabur? Bapak ngawur! Bapak mau mengusir saya?” Nadanya meninggi.
“Tidak.”
“Siapa yang akan mengurus emak dan adik saya?”
“Bawa kabur saja sekalian. Beres.”
Parjo naik pitam, tak mampu menekan amarah. Ia berdiri. Mendorong cepat kursi duduknya ke belakang sembari menatap tajam kepada kepala RT yang tetap begitu tenang. Ingin rasanya mencekik leher kepala RT tersebab kegagalan mendapatkan keadilan. Namun ia lebih memilih menyegerakan langkah menjauhi rumah itu.
“Ketimbang digerebek massa, lebih baik pergi jauh-jauh!” Teriakan kepala RT semakin mengukuhkan kesimpulan bahwa orang tersebut juga tidak menghendakinya.
Hampir sebulan Salim melawan luka bengkaknya. Warga semakin cemas. Satu per satu sumur tak bisa terpakai. Kosong tak berisi. Sementara mereka tetap tak memunyai solusi apa pun untuk bertahan memenuhi kebutuhan air. Mereka tetap tak menemukan pengganti Salim. Tak ada yang mau. Alasannya beragam, namun di balik keragaman itu tersirat betapa upah tak sebanding dengan pekerjaan. Lebih baik merantau ketimbang memilih pekerjaan itu.
Pada suatu malam yang tak lagi hening, penduduk kampung menyemut menuju rumah Parjo. Ada yang membawa parang, golok, celurit, pentungan, pikulan, gentong, dan apa saja yang bisa menggebuk Parjo. Di tangan kiri mereka memegang benda yang sama, obor.
“Celaka, Pak. Penduduk kampung mendatangi rumah Parjo,” pungkas istrinya ketika melihat pendar cahaya yang membesar. Aduan istrinya menyentakkan adrenalin. Salim ternganga. Bagaimanapun ia tahu kemarahan warga tersebab dirinya. Tak pernah dibayangkan betapa pekerjaan yang oleh warga dipandang sebelah mata kini berbuah petaka. Satu sisi ia merasakan sebuah kebanggaan akan keberhargaan dirinya. Ya, hatinya berseru betapa perannya sangat vital. Namun, secuil kebanggaan itu tidak lebih besar dari rasa bersalah yang ia rasakan: Parjo adalah orang yang pernah sama-sama mengusap peluh, makan, menyeruput kopi, dan merokok bersama sehabis bekerja. Oh, betapa tiada yang lebih indah daripada kenangan itu.
“Kita ke sana, bu!”
“Terlambat, Pak,” kata istrinya. Parjo tak memedulikan. Ia terus berjalan secepat mungkin meski jalannya tak beraturan. Cemas akan keadaan suami, istrinya turut menyusul.
Api begitu nyata di mata Salim. Percikan itu melumat perasaannya. Umpatan-umpatan para warga seperti turut pula membabat habis rumah beratap anyaman jerami padi itu. Semua yang menyaksikan bersuka cita, tontonan menarik, kecuali Parjo, istrinya, dan perempuan tua yang bersimpuh di tanah meratapi nasib. Dadanya sesak. Matanya sembab. Seorang perempuan kecil menjerit-jerit di sampingnya. Menyeracau tak jelas. Ya, perempuan tua dan perempuan kecil itu adalah emak dan adik Parjo.
Salim memeluk istrinya sekuat mungkin. Bibirnya berguncang. Benar-benar tidak terduga sikap warga bisa senekat ini. Darah tak lebih panas dari api di hadapannya. Namun apa dikata ia tidak mungkin bisa melawan orang sebanyak itu. Matanya terus menjalar di antara kobaran api mencari keberadaan Parjo. Kemanakah orang itu? Hanguskah di dalam sana?
Hingga sudah tak ada yang bisa dilahap oleh kobaran api, hingga panas sudah menjauh dari rumah itu, dan hingga tinggal serakan arang abu di sana-sini, Salim belum menemukan lelaki dekil itu. Namun ia cukup merasa lega. Pasalnya, Parjo selamat dan berhasil melarikan diri dari amukan massa.
Kecemasan belum berlalu. Warga terus memburu Parjo. Di samping itu, beberapa orang berusaha membujuk Salim untuk kembali bekerja. Mereka bersedia menaikkan gaji yang biasa ia dapat menjadi dua kali lipat. Namun ternyata Parjo sudah terlanjur kecewa oleh peristiwa pembakaran itu. Akhirnya, melalui kesepakataan bersama, warga bersedia bergotong-royong membuat sumur. Demi membuktikan komitmen, mereka akan meneruskan sumur milik Nyai Tomang yang belum selesai. Setiap hari akan dipilih setidaknya lima orang untuk bekerja menggali sumur. Herannya, di sumur itu mereka merasakan suatu keanehan; bau busuk yang sangat menyengat.Ternyata bau busuk itu dari seonggok mayat. Parjo!
Ditemukannya mayat Parjo justru kian membuat penduduk kampung semakin cemas dan ketakutan. Kematian Parjo seperti menjadi sebuah kutukan. Orang-orang yang mencoba membuat sumur hanya mentok pada kedalaman tak lebih dari sembilan meter. Macam-macam alasan yang mencuat: tak ada tanda-tanda air akan muncrat, takut ketinggian, takut gelap, sampai ada yang mengemukakan mencium bau busuk yang diduga sebagai kutukan dari kematian Parjo.
Semakin hari, sumur-sumur semakin tandas air. Dedaunan meranggas. Bebatuan di dasar kali teronggok lesu. Kering. Reta-retak tanah memilukan. Bila ada ingin mendapatkan air haruslah berjalan menuju kampung sebelah sejauh dua kilo menuruni sekaligus menaiki bebukitan.
Warga tergerak kembali mendesak Salim bersedia menggali Sumur, dengan cara apa pun. Ini adalah tugasnya.***
Jember-Sumenep, 8 September 2012


Di Balik Kekerasan Orang Madura dalam Cerpen Kerabhan Sape Karya Mahwi Air Tawar dan Lotrengan Karya Fandrik Ahmad

Oleh: Mawaidi, Imron Wafdurrahman, Muhammad Suharji, Nur Muhammad*

Abstrak

Makalah ini mengkaji cerpen “Kerabhan Sape”, dan “Lotrengan” melalui pendekatan sosiologi sastra. Kajian sosiologi sastra dalam cerpen ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Pendekatan tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat terlepas dari realitas sosial yang terjadi di dalam masyarakat (Wiyatmi, 2009:97).

Metode pendekatan sosiologi sastra ini dilakukan dengan cara mengkaji fenomena dibalik kekerasan orang Madura dalam cerpen “Kerabhan Sape” karya Mahwi Air Tawar dan “Lotrengan” karya Fandrik Ahmad. Dalam hal ini, wujud karya sastra agar menjadi cermin yang dapat menghidupi pandangan orang-orang terhadap orang Madura terkait dengan predikat kekerasan. 

Kata Kunci: Dibalik kekerasan orang Madura

A. Pengantar

Tahun 2010, di bulan Maret terbit buku Antologi Cerpen Mata Blater karya Mahwi Air Tawar. Corak cerpen dalam Antologi tersebut adalah menggunakan latar Madura dan budayanya. Dalam Antologi tersebut memuat 12 cerpen—yang 10 cerpen sudah dimuat di media (“Bulan Selaksa Celurit”, “Eppak”, “Nyanyian Perempuan Sunyi”, “Barana”, “Kerabhan Sape”, “Mata Blater”, “Tandak”, “Kasur Pasir” dan “Cerita Penandak”) dan 2 cerpen belum dipublikasikan (“Durama” dan “ Sapi Sonok”).

Lahirnya Antologi Cerpen tersebut mendapat apresiasi dari banyak kalangan, termasuk Kiai yang juga penyair Madura, D. Zawawi Imron mengatakan, Mahwi Air Tawar adalah cerpenis Madura yang berhasil mengangkat tema lokal Madura. Lewat cerpen-cerpennya, Mahwi menunjukkan kecintaannya terhadap tanah kelahirannya[1]. Sampai saat ini, nama Mahwi Air Tawar bukan nama asing lagi dalam kancah kesusastraan.

Adalah Kerabhan Sape, cerpen yang dimuat di Kedaulatan Rakyat, Minggu 30 Oktober 2006. Pada dasarnya, cerpen ini berjudul (asli) Lotreng. Kemudian, oleh penulisnya diubah menjadi Kerabhan Sape ketika dalam perampungan Antologi tunggalnya dengan tujuan judul dan isinya mempunyai satu kesatuan makna. Sebab, Lotreng mempunyai arti Sapi Sonok (nama lain Lotreng/Lotrengan). Sementara, jika tetap terpaku pada judul awal, tidak etis kemudian dalam pemaknaannya.

Enam tahun berikutnya (dari cerpen Mahwi Air Tawar yang dimuat di Kedaulatan Rakyat), Koran Radar Surabaya, Minggu 08 April 2012, melahirkan Lotrengan di rubrik “CERPEN” karya Fandrik Ahmad. Salah satu cerpenis yang tinggal di Sumenep Guluk-Guluk ini merupakan lelaki kelahiran Ledokombo Jember. Seiring lamanya ia berada di Madura, ketertarikannya menulis cerpen berlatar Madura menjadi gila setelah cerpennya berjudul “Anak Celurit” tayang di Koran Sumatera Ekspres (01 April 2012).

Radar Surabaya mengawali tahun 2012 dengan menghadirkan cerpen bertema budaya lokal Madura. Sejak sebelumnya, cerpen yang dimuat di rubrik tersebut rata-rata menonjolkan tema sosial dan romantisme. Meskipun pada akhir tahun 2011 (Minggu 04 Desember 2011) Suhairi Rachmad sempat menyuguhkan karyanya berjudul Pacek. Suhairi mengangkat budaya Madura seputar dinamika perempuan pacek dan ruang kehidupannya. Sebagai tokoh utama perempuan (Suminah), terdapat konstruksi gender juga sedikit demi sedikit saling bergesekan dalam cerpen Pacek.

B. Kekerasan Orang Madura

Mendengar kata “Orang Madura”, maka pertama kali yang tergambar adalah paradoks dari keluguan dan kecerdasan, kesombongan dan kekonyolan, serta kekerasan sekaligus kelucuan. Ungkap Joni Ariadinata dalam kata pengantar Mata Blater karya Mahwi Air Tawar. Setidaknya, paragraf awal ini menjadi pembuka pada bahasan berikutnya mengenai Kekerasan Orang Madura yang ditakuti, disegani, dikagumi, dibenci, oleh banyak orang.

Pada Februari 2001, terjadinya perang antar suku Madura dan Dayak menghabiskan ratusan korban jiwa yang mati sia-sia. Dalam perang tersebut, Madura terkenal dengan kekerasannya. Sehingga banyak orang berimplikasi bahwa Madura kejam dan tidak punya perikemanusiaan.

Tahun 2011, koran Radar Madura memberitakan di Kecamatan Ambunten, bahwa seorang lelaki berinisial dan mempunyai istri berinisial. Suatu waktu, istrinya pergi ke pasar dalam rangka belanja. Ternyata, si istri pergi ke pasar juga bertujuan lain yaitu bertemu dengan seorang lelaki selingkuhannya. Suami dari istri itu yang mulai sejak awal mencurigai sikap istrinya, langsung membuntuti istrinya ke pasar dengan meminjam motor milik tetangga. Pendeknya, istrinya yang diketahui benar-benar bertemu dengan seorang lelaki itu diketahui. Suaminya itu langsung mendatangi lelaki itu waktu itu juga dengan celurit yang disebetkan ke tubuh lelaki itu hingga tak berdaya.

Simbol bagi orang Madura yang menjadi ciri khas tidak hanya dapat dilihat dari sikap kerasnya saja. Anggapan orang-orang yang demikian dan tidak mengenal benar siapa orang Madura selalu mempunyai perspektif “keras” dan lain-lain. Kenyataannya, dari sekian pengalaman para wisatawan dan berbagai survei yang dilakukan, justru mendapatkan hal yang unik dari orang Madura sendiri ketika berinteraksi langsung, lebih-lebih terjun langsung ke dalam masyarakat. Orang Madura yang dikenal arogan, ternyata mempunyai watak yang lembut, sopan, santun dan menghargai terhadap orang lain.

Sepakat dengan pernyataan Dr. A. Latief Wiyata dalam makalahnya berjudul Benarkah Orang Madura Keras? yang dipresentasikan dalam Kongres Kebudayaan Madura, di hotel Utami Sumekar Sumenep, pada tanggal 09 November Maret 2007. Di sana, ungkapan yang harus diperhatikan terhadap orang Madura antara sikap “ketegasan” dan “kekerasan”. Kedua kata ini mempunyai makna yang sangat tipis sekaligus tebal dalam pemahamannya. Barangkali, perlu adanya pemahaman yang selalu muncul dari pikiran, sikap, dan tindakan orang Madura dari dua kata tersebut. Dua kata benda—yang berasal dari kata sifat ”tegas” dan ”keras” yang dikaitkan dengan sikap dan perilaku ini harus dibedakan secara konseptual maupun praksis. “Keras” menunjukkan sifat perilaku berkebalikan dengan perilaku ”lembut”, sehingga segala sesuatu harus dihadapi dengan penuh emosi, mengabaikan akal budi dan etika sopan santun (asal kemauannya dituruti).

Dalam konteks yang sama ”tegas” mengandung makna perilaku memegang prinsip yang diyakini sehingga tidak dengan mudah terombang-ambing oleh kondisi dan situasi sekelilingnya.

Tidak salah jika orang Madura mempunyai prinsip, “Katembheng pote mata, bhengok pote tolang[2]”. Peribahasa ini adalah sebuah ketegasan pada diri orang Madura ketika menghadapi persoalan terkait dengan harga diri atau martabat. Dapat dikatakan, emosi orang Madura ada pada “harga diri” orangnya. Sebab, orang Madura mempunyai pedoman “Ia tidak akan mengganggu orang lain, selagi orang lain tidak mengganggu dirinya”. Istilah ini sama halnya dengan sifat lebah. Orang Madura tersebar di berbagai tempat di Indonesia dengan tujuan mencari kehidupan, menabur kedamaian dan kebaikan. Maka lebah juga demikian, selalu menabur kebaikan dan ketenteraman. Namun, jika lebah diganggu atau kawannya diganggu, ketegasan adalah jalan utama dalam menegakkan kebijakan.

Di situlah pintu-pintu orang luar yang ingin berinteraksi dengan orang Madura. Dapat dilihat bahwa orang Madura tipe orang yang fleksibel dalam hal apapun.

C. Cerita Dibalik Kekerasan Orang Madura

Karya sastra dalam hal ini berperan aktif terutama dalam karya cerpen oleh sastrawan generasi Madura khususnya. Sebab, menulis karya sastra, khususnya cerpen tidaklah gampang bagi orang yang tidak tahu “wajah” ranah tujuannya. Cerpen meskipun merupakan bentuk karya fiksi, tetap digarap sesuai dengan warna-warna realitas di dalam masyarakat. Karya yang ditulis sesuai dengan keadaan masyarakatnya berikut kebudayaan yang ada termasuk moment kaya akan sebuah karya. Itu sebabnya, cerpen juga membutuhkan data referensi sebagai media transformasi bahan mentah menjadi bahan matang.

Cerpen Kerabhan Sape dan Lotrengan, juga tidak lepas dari romantisme cerita yang menjadi bumbu-bumbu untuk menghindari dari kejenuhan cerita. Selebihnya, Kerabhan Sape dan Lotrengan fokus pada budaya yang disajikan secara estetik. Di sini, dalam narasi yang disajikan, terdapat hiruk pikuk “kekerasan” orang Madura dalam menyikapi suatu hal.

Terlebih dahulu, kita maknai apa itu Kerabhan Sape? Kerabhan Sape adalah kontes sepasang sapi jantan yang diadu kecepatan larinya dengan ditunggangi oleh seorang lelaki di atas kaleles yang disebut joki. Sedangkan, Lotrengan adalah kontes sepasang sapi betina yang dihiasi seperti pengantin yang dipertontonkan dengan berbagai gaya yang dimilikinya dan ketika berjalan diiringi oleh musik saronen. Kedua pergelaran kontes ini merupakan salah satu kebudayaan khas Madura.

Kerabhan Sape hadir dengan sudut pandang orang ketiga. Dalam cerpen khususnya, sudut pandang atau pusat pengisahan (point of view) dipergunakan untuk menentukan arah pandang pengarang terhadap peristiwa-peristiwa di dalam cerita sehingga tercipta satu kesatuan cerita yang utuh (Sayuti, 2000:158). Cerpen ini mengisahkan Matlar sebagai tokoh utama yang menjadi joki Kerabhan Sape milik ayahnya sendiri. Menjadi joki Kerabhan Sape membutuhkan waktu yang relatif lama. Sehingga tidak mengherankan jika Matlar belajar menjadi joki sejak kecil dan menguasai beberapa teknik menunggang sapi.

Akibat Matlar menjadi seorang joki, ia menjadi seorang pengangguran. Berbeda dengan Jumira yang pada saat itu sudah menjadi seorang cameramen. Padahal Jumira adalah teman masa kenangannya sewaktu kecil bersama Matlar. Alangkah nasibnya, bila cita-cita Matlar ingin sekolah yang tidak didukung orang tua, lalu menjadi joki kerabhan sape.

Sayuti (2000:158) mengatakan bahwa, sudut pandang jika ditelisik lebih mendasar merupakan visi seorang pengarang dengan mengambil pandangan untuk melihat suatu peristiwa atau suatu kejadian dalam cerita. Karenanya, cerpen Lotrengan menggunakan sudut pandang orang kedua dengan “akuan”. Sebab itu pula, karya fiksi sesungguhnya merupakan pandangan pengarang terhadap kehidupan ceritanya. Sebuah karya, dilihat dari sudut pandang yang dipakai pengarangnya juga bisa menjadi barometer keestetikaan sebuah cerpen.

Tokoh utama dalam cerpen Lotrengan adalah Dullah, orang terdekat si pencerita (akuan). Dullah adalah anak Slamet yang sering memenangkan kontes Lotrengan tiap kali bertanding. Dibalik itu, Durham yang masih mempunyai hubungan darah dengan Slamet merasa rendah diri ketika sepasang sapi lotrengannya kalah atas sapi anak Slamet, Dullah.

Beberapa cara oleh Durham untuk menang dilakukan. Pada pertandingan di lapangan Trunojoyo yang menjadi taruhan adalah Marhani, anak Durham, perempuan yang saling sama suka dengan Dullah. Kesepakatan itu, jika Durham kalah atas sapi Dullah, Marhani boleh kawin dengan Dullah. Apabila Dullah kalah, maka Marhani akan dikawinkan dengan dukun sapi milik Durham.

“Kekerasan” di Madura tidak bisa dipungkiri keberadaannya yang bersumber dari berbagai cerita-cerita dalam bentuk tulisan (karya) maupun lisan (visual). Itu sebabnya, kata “Madura”, “Celurit”, “Carok”, “Darah” menjadi hal yang menakutkan dan mengerikan. Predikat “keras” yang diperuntukkan orang Madura menjadi hal yang ekstrem di telinga kebanyakan orang luar. Alih-alih berkunjung ke pulau garam itu, berinteraksi dengan orang Madura saja bagi orang-orang menjadi sesuatu yang harus disegani atau dihindari.

Kerabhan Sape dan Lotrengan mencoba hadir di tengah ancaman Madura sebagai media pencetak manusia keras. Gelar kekerasan sejatinya memang tidak jauh dari realitas yang ada. Namun, tindakan keras yang demikian terjadi sebab adanya akibat yang melatarbelakangi kejadian seperti itu.

“Saya kasihan. Usiamu masih muda. Ini kesempatan, Matlar. Kamu tahu Jumira? Temanmu dulu? Sebentar lagi ia akan jadi tukang poto seperti di tipi,” ujar Madrusin.

Matlar terasa terbakar mendengar nama Jumira disebutkan (Tawar, 2010:18).

Tokoh Matlar selalu teringat dengan kata-kata Madrusin yang menyuruh sapinya dibuat nyasar ketika pertandingan kerapan sapi. Jaminan Madrusin (Bapak Jumira) jika sapi Matlar dibuat nyasar maka ia akan membiayai Matlar sekolah seperti laiknya Jumira.

Itulah sebentuk dilema etis yang terjadi pada tokoh Matlar. Di samping ia harus setia menjadi penunggang sapi milik Ayahnya, di sisi lain pula ia ingin sekolah dan menjadi anak pintar.

Matlar terhenyak ketika bayangan sebilah celurit tampak di samping kandang. Terdengar langkah kaki seseorang. Sapi-sapi meraung, tambah lama tambah pilu. Bersamaan dengan suara langkah kaki itu, dari sela reranting terdengar cericit kelelawar. Sapi-sapi meraung kian pilu, panjang dan berulang-ulang.

Matlar tergegap ketika bapaknya sudah berdiri tegap di samping kandang dengan sebilah celurit di tangan.

Matlar terbayang Madrusin memberinya uang. Terbayang pula bayangan ia berangkat ke kota bersama Jumira dan teman-temannya untuk melanjutkan sekolah.

“Pergi!” bentak Lubanjir.

Matlar terperanjat, sementara sepasang sapi kerapan-nya terus menghentak-hentakkan kaki ke tanah seolah tak rela ditinggalkan Matlar. Sebelum Matlar sempat beranjak, Lubanjir terlebih dulu mengibaskan celuritnya pada leher sepasang sapi itu. Dan menyemburlah darah (Tawar, 2010:22).

Wujud kekerasan dalam cerpen Lotrengan mulai muncul ketika kontes akan dimulai. Sementara tokoh “akuan” pada waktu itu sedang menunggu Dullah yang tiba-tiba menghilang.

“Besar juga nyalimu, cah bagus. Keras kepala seperti bapakmu,” kata Durham angkuh. Aku terpancing amarah. Hampir saja celurit kutarik dari dalam berengka, tapi tangan Dullah menenangkan (Radar Surabaya, 08/04/2012).

Perkataan tokoh Durham kepada tokoh Dullah adalah sebuah pelecehan martabat. Sebab itulah, tokoh “akuan” yang berada di sampingnya akan mengeluarkan celurit dari barengkanya. Jika tidak ada sebab musabab pelecehan martabat maka emosi tokoh “akuan” tidak meledak.

“Cukuplah paman mengambil tanah yang sudah jelas-jelas menjadi bagian warisan bapakku.”

“Oh, begitu? Bagian bapakmu? Cuih, cah bagus, bagaimana dengan bagianmu? Apa kau masih mau memiliki anakku?” Ucapnya enteng. Kali ini Dullah mematung nanar.

Marah menggumpal di urat-urat tubuhnya. “Menikahlah dengan sapi-sapimu, cah bagus,” ucap Durham yang berlalu dengan mata jalang. Dullah menggumpalkan tangan kuat-kuat (Radar Surabaya, 08/04/2012).

Pelecehan selanjutnya adalah tokoh Durham yang mengatai tokoh Dullah untuk menikah dengan sapinya. Tokoh Durham mengatakan seperti itu atas dasar tokoh Dullah tidak mau mengalah dalam pertandingan. Dampaknya, tokoh Dullah mengalami emosi tingkat tinggi atas pelecehan sosial itu.

“Aku harus bisa menyadarkan bapakmu.”

“Jangan! Aku saja tak berdaya saat bapak mengalungkan celuritnya ke leherku,” suara Marhani lirih. Ada sesuatu yang disembunyikan.

“Jika bapakmu bisa mengalungkan celurit ke lehermu, mengapa aku tak bisa mengalungkan kepadanya?” (Radar Surabaya, 08/04/2012).

 Dialog di atas adalah percakapan Dullah dan Marhani yang bertemu di bawah pohon siwalan dekat dengan kandang. Wujud kekerasan muncul pada percakapan terakhir dalam kutipan di atas. Dullah berkata demikian, sebab ada musabab bahwa Durham akan mengalungkan celurit di leher anaknya, Marhani.

Kata “mengalungkan celurit” merupakan majas ironi yang disampaikan oleh penulis melalui percakapan tokoh Marhani dengan tokoh Dullah.

D. Penutup

Membicarakan masyarakat tidak akan terlepas dari kebudayaan. Konsep masyarakat dan kebudayaan batas-batasnya tidak begitu tegas. Masyarakat merupakan organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Sementara, kebudayaan bisa juga diartikan sebagai suatu sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut (www.anneahira.com/masyarakat-dan-kebudayaan.htm). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat tanpa kebudayaan akan statis atau mati.

Kerabhan Sape dan Lotrengan ternyata tidak hanya sekadar ritual kebudayaan belaka yang tidak ada maknanya. Justru, dua kebudayaan ini mempunyai falsafah hidup warga masyarakat Madura.

Di Madura, Kerabhan Sape (Kerapan Sapi) merupakan simbol bagi laki-laki Madura. Simbol tersebut adalah pertanda bahwa manusia memiliki nilai-nilai potensi kebudayaan. Sebagaimana sapi kerapan, adalah sapi laki-laki yang jantan dan pemberani ketika menghadapi lawan. Sifat-sifat yang dimiliki sapi kerapan seperti ketundukan pada yang kuasa (maksudnya yang memiliki) menjadi ukuran kesopanan dan kekhasan dalam bersikap.

Perilaku lelaki Madura dalam perbandingannya dengan sapi kerapan dapat dilihat dari penggambaran cerpen Kerabhan Sape. Sapi-sapinya tak berani mengusik jika ia tertidur di sana. Bila ada orang usil mengganggu tidurnya, maka sapi-sapi itu akan meronta, mengibas-ngibaskan ekor dan melenguh hingga orang yang ingin mengganggu Matlar akan ketakutan dan lari. Suatu ketika, saat Matlar tengah mengambilkan air minum untuk ibunya yang sakit, pada waktu bersamaan Bapaknya menyuruh Matlar membeli telur. Namun, Matlar tak mengacuhkan perintah Lubanjir. Seketika Lubanjir menampar Matlar. Seketika itu juga sapi-sapi itu menyeruduk Lubanjir hingga Bapak Matlar itu terhuyung dan jatuh (Tawar, 2010:19-20).

 Demikian perempuan Madura. Lotrengan juga dapat disimbolkan sebagai perempuan Madura yang cantik dan bisa menjaga dirinya dari kecacatan zhahir dan batin. Sebab, jika sapi lotrengan mengalami gangguan kejiwaan hal itu akan berpengaruh pada mental dan psikis sapi. Tidak salah jika sapi Lotrengan dirawat secara khusus dan dipelihara dengan kasih sayang. Terlebih itu pula, terlihat keistimewaan sapi lotrengan pada saat pergelaran Sapi Sonok, sapi-sapi dipercantik, didandani, disolek, dan diberi aksesoris yang indah.

Sepuluh pasang sapi, lengkap dengan segala atributnya siap unjuk kebolehan. Kalung kuningan dan kilauan pernak pernik berpendar menghiasi paras sepasang sapi yang sebelumnya diluluri kunyit dan aneka kembang agar tubuhnya sintal, mengkilap, dan wangi. Seandainya mereka manusia, akan sangat cantik bermahkota permata dan kilauan manik-manik melingkar di leher.

Tidak! Sapi-sapi itu memang benar-benar cantik. Lihatlah! sepasang sapi Kusen lebih cantik daripada istri yang setia menemaninya di arena pertandingan. Bibirnya saja lebih sensual. Lebih basah ketimbang bibir istrinya. Lihatlah! Sapi gacoan Durham lebih molek dari paras istri pertama dan keduanya. Begitu juga dengan sepasang sapi Kang Slamet, kesaksiannya tak bisa dibandingkan dengan istri dan anaknya yang sudah dewasa (Radar Surabaya, 08/04/2012).

 Sekalipun, meski tidak semua lelaki Madura berwatak seperti yang disimbolkan Kerabhan Sape dan perempuan Madura seperti yang disimbolkan Lotrengan, setidaknya hal itu menjadi ukuran bahwa manusia mempunyai potensi kebudayaan.

Fàdh Äldrîch, dalam catatan akun facebook-nya yang berjudul Mengenal bangsa Madura: Watak, Tradisi budaya dan Keislamannya, menuliskan bahwa, selain berwatak “keras” dalam arti tegas, orang Madura juga memiliki jiwa persaudaraan yang tinggi terutama ketika berada di daerah perantauan. Orang Madura sangat mencintai sesamanya. Berdasarkan filosofi yang melekat pada masyarakat Madura adalah kata “Madura” yang berarti Madu dan Darah. “Madu”, Orang Madura bisa berbuat manis dalam arti sopan, dan berbudi kepada siapapun jika orang lain juga bersifat demikian serta menghormati harkat dan martabatnya. Sedangkan, “Darah”, Orang Madura akan berbuat keras jika orang lain melanggar dan menginjak adat, harga diri dan martabatnya, baik orang lain maupun sesama orang Madura sendiri, sekalipun sangat rentan kekerasan yang muncul dalam bentuk carok. (https://www.facebook.com/note.php?note_id=162280593872255).

Daftar Pustaka

Sayuti, Suminto A, Drs. 2000. Berkenalan dengan Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.

Soelaeman, M. Munandar, Dr. 2007. Ilmu Budaya Dasar, Bandung: PT Refika Aditama.

Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Tawar, Mahwi Air. 2010. Mata Blater, Yogyakarta: Matapena. *Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Fiksi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY dengan dosen pengampu Wiyatmi, M. Hum


Saturday, July 28, 2012

Maling

(Dimuat di Tribun Jabar, 29 Juli 2012)

Hampir setengah hari air muka Majid terlihat keruh. Tak berubah. Pesan kiai sebelum berhenti dari pesantren, sungguh berat dijalani. Tetapi, pembenaran tetap bercokol di atas keraguan; tak mungkin dawuh seorang ulama menyesatkan, benarnya.

Selama 20 tahun menjadi abdi dalem kiai Khazin, tak sedikit pun terselip niat cela dari dawuh-dawuh beliau. Apalagi sampai bertentangan dengan nilai-norma agama. Tapi, Pernyataan emak atas pertanyaannya tempo pagi tak dinyana meletakkan sangsi pada pesan itu.

Angin meruak dari celah-celah dinding sirap. Suara krik-krik Jangkrik berpagut gembira menyaksikan senja surup. Melintas seorang lelaki tua berselempang sarung mengantarkan anaknya mangkat ngaji.

Pesan kiai Khazin menghitamkan selera. Berat tetap menjadi jawaban. Majid menyorongkan mata pada emak yang tengah beringsut ke bawah dop lima watt. Benar dirasa, penglihatan emak sudah tak lebih redup ketimbang pijar itu. Namun, jemarinya tetap cekatan merajut benang, menambal sarung yang lepas jahitan. Keterampilan menjahit masih ada. Dan, tusukan terakhir mengembangkan senyum perempuan itu.

“Cong, sini. Coba pakai,” Lekas Majid memenuhi panggilan itu.

“Sudah, Mak?”

“Coba pakai,” ia memberikan sarung itu.

“Mak.”

“Apa, Cong?”

“Benarkah kata Emak kemarin pagi?” Pertanyaan meragukan.

Sarung yang disorongkan melorot. Jatuh di atas kedua pahanya. Berat nafas setelah itu. Selama ini ia lakukan semata ingin membesarkan Majid tanpa bayang-bayang kecelaan seorang Epak. Apa jadinya bila semua sudah diketahui? Apakah tak akan membuat minder anaknya merajut kehidupan? Itu yang dipikirkannya. Tetapi, kran masa lalu terlanjur dibuka. Setetes air jatuh dan menandakan kalau masih ada tetesan air lagi yang akan mengalir.

“Ya, Cong. Dulu Epakmu maling,” berat nada itu.

“Benar, maling?” lagi. Majid meyakinkan. Kepala emak tegak menatap atap bubungan.

“Epakmu apes meninggal digrebek warga. Itulah kenapa sejak kecil kamu kutitipkan ke pesantren biar tak mendengar gunjingan orang-orang tentang Epakmu.”

Serasa hari itu Majid baru mengenal epak. Memang, emak tak banyak cerita perihal itu. Apalagi, menghabiskan waktu banyak di pesantren, hanya setahun sekali pulang libur Ramadhan, membuat Majid tak cukup waktu mendikte sosok kekar di balik emaknya.

“Sudah, Cong. Tak usah sedih. Epakmu punya mimpi yang terbaik untukmu. Epakmu tak ingin kau turut menjadi maling. Ia selalu mengingatkan emak untuk membawamu ke pesantren.”

“Ah, tidak, Mak. Aku tidak sedih,” masai raut muka Majid. Anak dan ibu saling pagut. Bagaimanapun ibu tetaplah ibu, bahwa kesangsian lagi sedang melilit hati anaknya.

Buah jatuh tak akan jauh dari pohon, begitulah pesan kiai Khazin perihal menyuruh menjejaki pekerjaan orang tua, sebelum berhenti mondok. Jika jadi petani, ya, petani. Pedangang jadi pedangan. Buruh, ya, jadi buruh. Lantas, bila ternyata maling, apa harus jadi maling? Ah, apa gunanya berpuluh tahun belajar agama. Apa gunanya beliau menyuruh menjadikan kitab Fathul Mu’in sebagai prinsip langkahnya. Kualatkah bila amanah itu tidak dilakukan?

Berhari-hari, kata maling, M.A.L.I.N.G, berseliwer di pikiran. Benar-benar mengganggu. Pikirnya, masa harus maling. Adakah jadi maling yang dibenarkan? Alasan itulah yang sedang dicari agar nanti bila ada yang bertanya bisa membenarkan. Pembenaran menjadi maling!

Pada saat semacam itulah muncul riwayat Sunan Kalijaga di benaknya. Ya, masa muda salah seorang Wali Songo itu maling totok, bahkan jadi perampok. Tak salah bila aku seperti Sunan Kalijaga, pikirnya. Kanjeng Sunan—nama populernya—tak hanya sebatas mencuri atau merampok. Tujuannya baik, membantu dan menafkahi orang-orang melarat. Mengambil hak fakir miskin, yang ada pada harta orang kaya, yang enggan mengeluarkan Zakat.

Diam-diam, tanpa sepengetahuan emak, Majid melaksanakan pesan itu. Berat mulanya tanpa dampingan restu orangtua. Tetapi kemantapan hati untuk melaksanakan pesan itu tertanam kuat. Sarung yang baru dijahit diselempangkan ke bahu. Tiba langkah pertama diayunkan, ingatlah lagi, seharusnya yang bercokol di situ bukan sarung, tapi sorban biru pemberian kiai untuk selalu dibawa setiapkali pergi—sebagaimana saran kiainya.

Majid akan belajar merampok dengan yang kecil-kecil dulu. Jatuhlah pilihan menyatroni sebuah rumah yang terlihat seperti gubuk hampir reot, tak berpalang pintu, dan palang-palang dinding sirap yang sudah berpanuan dan sebagain di bawahnya lembab mengelupas. Memasuki pekarangan, aroma celatong (kotoran sapi) menguap.

Sesampai di beranda, terdengar keluh yang sangat panjang. Seorang emak tengah menenangkan anaknya terbaring sakit.

“Besok ke rumah sakit, Bhing. Emak sudah dapat uang pinjaman,” kata emak mengelus dahinya.

“Mak, Rattin kerrong (kangen) Epak,” jawabnya lemas.

Majid kaku cukup lama. Ia seperti menyaksikan lakon dirinya sendiri. Nasib yang tak jauh beda tak memiliki orangtua lelaki. Haram memakan harta anak yatim apalagi merampasnya; begitulah Fathul Mu’in berbicara, berontak batinnya. Mampuslah niat menyatroni rumah itu.

Hari pertama gagal, hari kedua dicoba lagi. Gagal lagi.

Kali ini ia benar-benar akan menyatroni rumah orang kaya. Jauh sampai langkah mencari rumah yang diinginkan, berjalan dari desa ke desa, ia menemukan sebuah rumah cukup megah milik juragan tembakau yang—sebagaimana kekabar tetangga—pelit minta ampun. Santapan empuk sudah ditemukan!

Peralatan seadanya, yakni senter dan paku sekrup yang ujungnya sudah ditempa dan sedikit dibengkokkan. Kopyah putih digencet ke kepala. Sorban biru dililitkan ke leher agar tak jatuh. Majid mengangkat kedua tangan meminta perlindungan.

Rumah berlantai dua dan pilar berlapis marmer sudah terang. Kisi-kisi jendela dan pintu berwarna kuning emas. Berkilap-kilap oleh Lampu-lampu neon di setiap setiap pojok. Hanya satu yang cukup gelap, gudang kecil di samping rumah.

Majid mengendap-endap ke arah pintu gerbang. Dua anak muda asyik mansyuk bermain catur. Nyali sedikit ciut. Ya, Gusti Pangeran tuntunlah jejak hambaMu, doanya. Tak mungkin bisa menyusup dari depan, seketika berputar arah ke samping rumah, tepat di bawah pohon rambutan. Berlindung di bawah banyangan itu.

Ampun, ternyata di samping rumah berpagar tembok berduri. Ragu memanjat, meniti tembok yang di atasnya bersarakan beling-beling. Untung sandal yang dikenakan terbuat dari ban mobil yang biasa dijual di pasaran.

Kerapkali Majid berucap syukur. Merasa doanya terkabulkan. Sama ketika mencungkil jendela—tanpa kesulitan berarti—hingga ia sampai pada sebuah ruang kerja dan menggeledahnya. Mencari dokumen yang bisa menunjukkan daftar kekayaan. Lembar per lembar beterbangan.

Sampai pada sepertiga malam, petunjuk yang dicari belum diketemukan. Bagaimana mungkin mengambil zakat tanpa perhitungan yang jelas. Lalu, pada sebuah laci paling bawah, ia menemukan note keuangan. Dihitung-hitung jumlah pemasukan dan pengeluaran dalam catatan tulisan tangan itu.

“Kalau segini, jumlahnya segini. Ditambah ini, jadi…” hitungnya. Lirih sekali.

Setelah hasil pengkalkulasian dirasa sudah tepat, ia mencari barang—apa saja—yang bisa dijual sampai menembus jumlah nominal yang hitung. Alangkah kaget ketika sebuah jam dinding berdetak tiga kali. Sepertiga malam hampir habis. Dalam kitab Fathul Mu’in dijelaskan, waktu istijabah melaksanakan solat Tahajjud adalah sepertiga malam terakhir, ingatnya. Maka, terpanggilah sejenak meluangkan waktu melaksanakan solat Tahajjud.

Bersegeralah ia menghampar sorban biru seraya menegakkan takbir. Khusyuk. Saking khusyuk, saat menyudahi sujud dan berucap salam, Majid terperangah telah mendapati dua orang telah berdiri menyaksikannya. Ya, dua orang itu, pemilik rumah itu sudah bangun!

“Si..siapa kau?” tanya si lelaki. Si bini bergelayut takut.

“Saporanah (maaf), Pak. Aku maling,” jelasnya.

“Maling?” Lelaki itu mengernyitkan dahi. Majid membalas dengan anggukan bercampur rasa takut.

Si lelaki toleh kanan toleh kiri, memastikan dari mana maling di depannya datang menyusup. Semua puntu tertutup. Semua jendela tak ada yang terbuka. Bahkan, gorden tak bergeser sedikit pun. Hanya kertas-kertas yang berserakan. Benarkah maling? Mengapa harus melaksanakan solat segala? Maling Islami? Ah, ngaco! Jangan-jangan Nabi Khidir? Lelaki itu bergemetar. Bininya tetap diam. Erat dipelukan.

“Bu, Nabi Khidir, Bu,” bisik lelaki itu. Pelan sekali.

“Mungkin, Pak,” timpalnya. Majid sudah memasrahkan nasib kepada sejoli itu. Istighfar. Istighfar. Istighfar. Selalu, diucapkan.

“Hai, pemuda. Mau apa kau datang malam-malam ke rumahku,” si bini memberanikan diri menghardik. Lelakinya menegur dengan isyarat.

“Sudah kukatakan kalau aku ini maling. Aku ingin mencuri harta yang sepantasnya kalian harus bagikan kepada fakir miskin. Kata orang kampung, kalian juragan tembakau yang pelit, jarang mengeluarkan zakat. Malam ini aku datang untuk mengambil sebagian harta kalian,” jelasnya lantang bernada takut. Ia harus menyuarakan kalau dirinya di jalan yang benar.

“Nabi Khidir, Bu,” ujar lakinya. Tubuhnya mulai gemetar. “Benar mungkin lelaki itu Nabi Khidir.” Bininya lantas mengeluarkan keringat pucat.

Cecericit serangga malam melahap waktu senggang ketiganya. Majid sudah pasrah pada kehendak hukum. Pasrah bila kasusnya akan diseret kepada pihak berwenang. Tapi, ia tetap yakin kalau jalan adalah benar. Sementara, sepasang laki-bini itu takjub dan tak percaya kalau yang dilihat benar-benar-maling.

“Benar mungkin katamu, Pak. Ia benar-benar Nabi Khidir,” si bini mengamini. Lakinya memandang lekat. Membenarkan. “Mungkin ini teguran kepada kita,” tambahnya seraya langsung mendekap erat. Sayup-sayup dari luar rumah, adzan subuh menggema.

“Silakan. Sialakan ambil barang-barang di rumah ini semaumu. Ambillah. Zakati semua tidak apa-apa. Kami tobat. Tobat,” ucap lakinya. Majid tercenung. Kiranya, riwayatnya akan habis dan berakhir di penjara. Tapi….

“Alhamdulillah. Ya, sudah kita solat subuh berjamaah dulu, Pak. Urusan zakat belakangan. Nanti, kita hitung bersama-sama,” ajaknya. Keduanya manut.[]

Annuqayah, 17 April 2012

Catatan:

Fathul Mu’in : Salah satu kitab fikih
Istijabah : utama

Sunday, July 22, 2012

Bakso Pak Oles

(Dimuat Di Koran Merapi, 15 Juli 2012)

Makan dengan lauk tempe saja, sudah makan seperti di istana kaisar Paus. Apalagi makanan semacam daging; daging ikan, sapi, gulai kambing, opor ayam, dan yang lain. Mengimpikan harapan seperti itu, butuh kesabaran super gede agar bisa terwujud. Hanya bisa berharap pada orang yang bertamu dan membawa makanan lezat. Beli sendiri? Harus berpikir dua kali, bahkan berpikir berkali-kali mengubah selara makan sambal terasi.

Namanya juga masyarakat sampah. Ya! Sampah memang harus dibuang. Saya lalu teringat kalimat dalam sebuah Novel Marabunta, Aku lahir dari golongan sampah, tapi bukan orang yang berhati sampah. Terbuang di keramaian mobil yang bunyi klaksonnya bertalu-talu. Tut…tut…tut…

Malam itu, Ada seorang bertannya pada Saya.

“Apakah mas tahu dimana bar atau diskotik di kota ini?”

Saya menjawab. “Tahu.”

“Yang mana tempat paling menyenangkan, Mas?”

Orang itu kekar, lengannya bertato. Kali ini saya tak bisa menjawab pertanyaannya. Meski saya banyak kenal beberapa tempat hiburan, tak satupun yang pernah saya masuki. Saya hanya sering duduk di depan, menunggu orderan, itu saja. Mana mungkin bisa berjejel dengan para Pejabat, Birokrat, Saudagar, Bisnismen, atau yang lain, wong saya cuma orang rendahan. Tak mungkin mencari kenikmatan, duduk santai, diiringi alunan melodi-melodi surgawi—kata yang berduit—dan para bidadari yang selalu mengepakkan sayap indahnya. Jika bersama, mereka di atas, sedang aku di bawah, memegang dan mengelap sepatu mereka berulangkali sampai mengkilap. Itu pekerjaanku!

Dulu, dengan pekerjaan seperti itu, penghasilan yang saya peroleh lebih dari cukup. Bisa makan yang dirasa enak bagi orang-orang sampah, seperti saya. Kali ini, hukum yang demikian tak berlaku lagi. Seiring harga sembako yang semakin melonjak, ditambah menjadi seorang kepala keluarga, penghasilan yang hanya segelintir itu, tak cukup. Apalagi persaingan semakin ketat. Banyak para penyemir sepatu bermunculan, bak jamur musim hujan. Bocah-bocah yang seharusnya duduk di kelas, mendegar penyampaian guru, kini, harus mondar-mandir menawarkan pekerjaan yang sama. Tas sekolah berganti kotak kayu. Saya jadi tak tega melihat mereka. Saya putuskan untuk gantung semir dan mencari pekerjaan lain. Agak berat sih, mengganti profesi yang telah dijalani sekian tahun.

Apabila anda berkenan berkunjung ke rumah saya, caranya amat mudah. Anda cukup turun di terminal Joyoboyo. Selanjutnya naik becak turun di dekat pintu gerbang tol Waru. Tepat di samping kolong jembatan tol Waru, anda akan mendapatkan perumahan kumuh yang menjijikkan. Itu rumah saya.

Setelah sampai di sana, yang akan anda dapatkan bukan orang-orang yang memakai dasi dan sepatu kulit, melainkan disambut oleh binantang-binatang kotor, menjijikkan; kucing, tikus, kecoa, lalat, dan nyamuk. Seisi rumah bakal meriah jika mereka beratraksi. Apalagi, ketika musuh abadi, tom dan jerry bertemu. Piring, Panci, Wajan, dan perabotan lain akan amburadul. Ditambah istri dan tetangga yang menyumpah serapahi binatang menjijikkan itu.

Jangan Anda memberi kesimpulan, saya tak pernah berusaha mencegah. Memberi aturan bagaimana cara bertamu yang baik. Tamu-tamu tak diundang itu berseliweran seenaknya saja. Sulitnya, saya harus membongkar istana—karena rumah harta yang sangat berarti—agar binatang menjijikkan itu tak lagi bertamu, setiap waktu.

Begitulah, kondisi rumahku, sangat memperihatinkan. Apabila musim kemarau, rumah itu tak bisa melindungi penghuninya dari terik matahari dan polusi. Selalu ada celah bagi sinar matahari untuk menerobos dan menggeledah isinya. Begitu pula dengan musin hujan, sama saja, hampir tak ada hambatan sama sekali menahan air masuk ke rumah. Atap terus menangis.

“Mas, kapan kita bisa memperbaiki rumah kita? Ya! Paling tidak, nyaman untuk dihuni,” ungkap istriku. Ada impian besar di matanya yang bening.

“Pak, kapan kita kita punya rumah mewah? aku bosan di rumah yang seperti ini,” kata anakku.

Tak dapat saya pungkiri, kata itu menyinggung perasaanku. Namun, melihat kepolosannya dalam bertutur. Saya tahu, dalam benaknya, tak ada maksud untuk melecehkan saya sebagai seorang ayah yang baik. Saya tahu, memang semua ini adalah tanggungjawab seorang kepala keluarga. Mereka tidak salah. Bahkan mereka berhak untuk menuntut kenyamanan padaku. Semua salahku.

Malam ini, malam minggu. Saya mengajak anak dan istri saya berjalan-jalan di taman kota. Hanya berjalan-jalan. Itu saja. Tidak lebih. Lama tak jalan-jalan, menghirup udara kota di malam hari, seperti yang biasa kami lakukan ketika belum dikaruniai anak.

Sekitar tujuh tahun lalu, si buah hati belum dalam pangkuan. Masih ingat di benak, ketika menikmati hangatnya sajian bakso Pak Oles, di pojok utara alun-alun kota. Saat itu, musim dingin. jadi, sangat terasa betapa nikmat makan bakso panas pak Oles.
Saya dan istri saya membanyangkan, bunga indah di masa lalu. Saat aku bertemu dengannya di sini, di warung bakso Pak Oles.

Kala itu, ada orang kaya makan bakso dengan istrinya. Istrinya bunting—kira-kira hamil lebih dari hamil tujuh bulan. Menurut pengakuannya, sang istri ngidam makan bakso. Sebenarnya, ia tidak begitu suka dengan tempat itu. Demi si buah hati pertama yang masih dalam jabang bayi, ia rela berada di tempat yang tidak disukainya.

Saya mendapat orderan di malam yang dingin itu. Ia meminta saya membersihkan sepatunya yang tak sengaja menginjak genangan air kotor. Saya langsung sigap, tak menyia-nyiakankan kesempatan. Malam sudah larut, kira-kira sudah jam sebelas lebih, saya hendak pulang, tetapi saya tidak ingin membuang rezeki pemberian Tuhan. Aku layani permintaannya.

Dia bertanya banyak tentang saya. Mulai pekerjaan, profesi, keluarga, sampai pada lika-liku kehidupan saya. Sebaliknya, ia juga berbicara banyak tentang kehidupnnya. Pembicaraan kami semakin mencair dan mengalir tanpa bendungan. Ia bercerita, mengapa ia bisa sampai berada di tempat ini.

Berat rasa ia bercerita pada saya. Ada sedikit keraguan pada dirinya, pada diri saya. Mata itu berkaca-kaca. Seolah, akan menceritakan beberapa hal yang belum pernah dimuntahkan dari mulutnya.

”Istriku sedang hamil lebih tujuh bulan. Aku menunggu kehadiran buah hati pertamaku,” katanya dengan nada lirih. Mengapa seakan tak ada kebahagiaan dari cara bicaranya? Apa ia tidak suka?

“Bapak bahagia?” Entah kenapa, setelah saya memandang kacamata minus yang melekat di atas hidung mancungnya, pertanyaan itu muncul sendiri.

“Jelas, bahagia sekali.” Kata lelaki tambun itu.

“Kalau begitu mengapa murung?”

“Ah masak.”

“Ya!”

“Mungkin, aku kelelahan menuruti segala permintaannya. Akhir-akhir ini, ia selalu minta yang aneh-aneh. Katanya, bukan dia yang minta, tapi bayi yang ada dalam kandungannya.”

Ia mengatur nafas sebelum melanjutkan.

“Yang paling aku heran lagi…” beberapa saat, ia memotong pembicaraan. Beberapa detik, jadi menit. “Ia minta tambahan belanja. Tahukah kau berapa yang dia minta? Sepuluh juta perminggu.”

Gila! Saya belum pernah melihat orang hamil ngidam sampai segila itu. Sepuluh juta? Bagi saya, sudah bisa tidur dengan nyenyak. Buat perbaikan rumah yang hampir condong ke barat. Pikiran saya sulit menerima ceritanya. Saya membayangkan, belum lahir saja sudah minta sepuluh juta. Apalagi sudah lahir, pasti banyak korupsinya, atau jadi perampok.

“Bapak menuruti?” Ada rasa takut di wajahnya.

“Demi keselamatan anak pertama. Aku rela menuruti semua yang diminta,” katanya mantap. Katanya, ia sudah lama berkeluarga, lima tahun. Tetapi baru kali ini, Tuhan mengkaruniai anak.

“Bapak kerja di mana?” Aku tak harus bertanya seperti itu. Aku sudah menduga kalau pekerjaannya bukan pekerjaan biasa. Pakai jas, dasi, dan sepatu yang masih aku semir. Pasti ia baru pulang dari kantor.

“Kamu punya istri?” ia mengalihkan pembicaraan. Saya tak menduga orang itu bertanya demikian. Memang, orang seusia saya mestinya sudah menikah dan punya anak.

“Belum.”

“Mengapa?”

“Saya takut akan seperti istri bapak. Nanti istri saya meminta macam-macam,” aku sengaja menghiasi ucapan saya dengan tawa, agar terlihat seperti guyonan. Saya takut jika tidak demikian, ia akan tersinggung oleh ucapan saya.

Ia tertawa.

Sunyi.

Kemudian, istrinya memanggil penjual mainan. Yang dipanggil datang. Istrinya subuk memilih-milih boneka Barbie. Untuk anaknya saat lahir nanti, begitulah kata istrinya. Ia pasti menginginkan anak perempuan.

”Penjual itu cantik, cocok untukmu. Pasti ia belum menikah,” orang itu berbisik pada saya. Saya cuma tersenyum. Lalu, ia menyuruh saya untuk berhenti menyemir sepatu dan menyilakan saya makan bersama. Saya menolak meski mau di traktir. Tapi, melihat kemauannya yang sangat besar, tak kuasa juga saya menolak.

Benar kata dia. Penjual mainan itu memang cantik.

Entah apa maunya lelaki itu. Ia juga menyuruh penjual mainan itu duduk, lalu makan bersama kami. Penjual mainan itu ditraktir juga. Ada senyum yang mengembang di bibir laki-laki itu ketika saya dan penjual mainan saling tatap. Kemudian ia pamit. Sebelum lelaki itu pergi.

“Bakso sudah saya bayar. Saya merasa rugi mentraktir kamu jika kamu gagal menggaet hatinya,” aku tersedak. “Ongkos semir akan saya hutang. Kalau kau mendapat hati penjual mainan itu, saya akan bayar dua kali lipat. Ini kartu nama saya,” Begitulah katanya, sebelum pergi.

Tinggallah hanya saya dan wanita penjual mainan itu. Saya agak gugup pertama. Namun, lama-lama rasa gugup itu hilang. Dan, dari bakso pak Oles, mengantarkan saya dan wanita penjual mainan itu ke pelaminan.

Sumenep, 2010-2012


Monday, July 9, 2012

Narasi Hujan

(Dimuat di Lampung Pos, 8 Juli 2012)

Musim hujan memasuki awal tahun. Aku mengintip. Langkahku ringan mendekati gorden jendela. Kusibak kain tipis itu cukup kasar serupa anak muda memberikan surprize kepada kekasihnya. kamar yang kurang pencahayaan membuat cahaya melesat kilat. Sementara di luar, hujan tak tentu arah menghindari tatapanku.

Bulir-bulir hujan tempias di lantai. Kaca jendela buram berembun. Apakah kau juga menikmati hujan? Batinku. Bila anganku berwujud di sini, di tempatku berdiri, aku yakin, kau akan mengatakan, “di mana pun, aku suka hujan.”

Jendela kusibak. Kisinya berderet. Angin meruap menghempas bulu kuduk. Instingku begerak cepat ingin menutup kembali jendela. Dingin. Tetapi tekad dan perlawananku untuk mengetahui hujan di pagi ini, menahan kedua tangan menarik gagang jendela serta menutupnya rapat-rapat.

Ya, aku ingin memastikan hujan apa ini! Seperti yang telah kau ajarkan!

Serasa kau mengajakku, menjulurkan kedua tangan ke depan, merasakan bulir air jatuh di tangan. Persis yang pernah kau ajarkan. Aku cukup hati-hati karena hanya, cukuplah hujan menjamah tangangku. Tidak untuk bagian lain dari tubuhku. Seperti kau pernah menjamah bibirku di bawah ciuman hujan . Kupejamkan mata. Hujan apa ini? Curahnya begitu lembut namun deras.

Rinduku cair, serupa bisik air yang berjatuhan di bibir genting. Januari tiada indah tanpa hujan. Hujan tiada indah tanpamu. Hujan adalah kau. Kau adalah hujan. Kau hadir! Aku mencium aroma hujan seperti yang kau katakan. Mencium aromamu.

Apakah kau juga sedang menikmati hujan?

***
Sepulang dari kantor, aku terjebak hujan di sebuah halte. Kau juga. Selain kau dan aku, tiga orang tengah duduk di sana. Kau menatapku sehingga aku terpaksa menatapmu. Begitulah, keterpaksaan menatapmu membuatku tahu bahwa pakaianmu lebih basah ketimbang pakaianku. Bibirmu lebih lembab ketimbang bibirku. Kau memperkenalkan diri dan aku menyebut itu hanya basa-basi.

Hujan akan segera usai. Hanya menyisakan rintik kecil. Angkutan Lin yang aku—atau juga kau—tunggu, sembari mendekapkan tangan pada dada, belum tiba. Mendadak kulitku terasa mengerut. Aku tak meduga. Tiba-tiba kau menarik tanganku, menembus rajutan basah itu.

“Kos-ku dekat dari sini,” tanganku kau seret paksa, memasuki gang cukup sempit sebelum tiba di kos-mu.

Segelas cappucino—yang kau buat sendiri—menemani perdebatan kita tentang hujan. Kataku hujan bikin becek, banjir, dan macet. Hujan hanya merisaukan awak kapal. Hujan hanya membuat burung-burung bosan bertengger. Dan hujan hanya membuatku kedinginan. Bikin pusing dan sakit kepala. Kau tersenyum mendengar kataku—yang mungkin bila orang lain turut mendengarkan pembicaraan kita, penyampaianku ini dibilang ocehan. Katamu hujan itu indah, hujan itu romantis, hujan itu menyegarkan, hujan itu beraroma, hujan itu anugerah.

Aku bisa mengamini pendapatmu yang terakhir kalau hujan itu anugerah. Selain alasan daripada itu, aku tak bisa menerimanya. Hujan kok dibilang indah, hujan kok dibilang romantis, hujan kok dibilang menyegarkan, apalagi hujan beraroma. Aku benar-benar tidak bisa menerima pendapatmu.

Lalu, aku memberikanmu kesempatan untuk merasionalisasikan pendapatmu.

“Apakah kau tahu kalau serakan hujan tampak berkilau di ujung lancipnya rerumputan?”

Aku menggeleng. Kau tersenyum. Yang jelas, kau bukan menarasikan hujan atau mendeskripsikan hujan sebagimana pendapatmu. Berpuisikah? Absurd.

“Deskripsikan tentang hujanmu!”

Kupandang lekat parasmu yang putih kekuningan. Bibirmu yang basah mulai melafalkan kata hujan diulang sampai tiga kali sebelum memojokkanku pada tatapanmu. Selalu begitu kau memenjaraiku.

“Banyak ragam tentang hujan,” kau tercekat cukup lama. “Kau benar-benar ingin tahu?”

“Tentu.”

“Kenalilah hujan maka kau akan mengenali kehidupan. Hujan hampir memiliki sifat yang sama dengan manusia, denganmu dan denganku. Ada hujan jahat dan baik, ada hujan yang tergesa-gesa, ada hujan yang romantis, ada hujan yang pemalu…”

“Cukuplah kau mendeskripsikan apa yang kau sebutkan tadi,” potongku. Aku rasa kau tak lebih dari orang yang mengulur-ulur waktu. Aku mulai bosan.

“Hujan yang jahat adalah hujan yang kau sebutkan tadi: bikin becek, banjir, dan macet. Curah hujan sangat deras disertai kilat. Maka, bila hujan seperti itu turun, bersegeralah tidur. Hilangkan ketakutanmu di hari itu. Bila kau tak tidur, kau hanya akan mengutuk-ngutuk hujan dan perbuatan itu akan nampak seram sendiri kepadamu. Namun percayalah, bahwa sebenarnya kau hanya dibayangi oleh ketakutan. Tidakkah kau lupa bahwa dalam ilmu astronomi kilat sebagai penebal lapisan ozone?”

“Kau menyalahkanku?”

Kau tak menjawab. Suatu kesempatan untuk mengalihkan topik lain. Apa pun. Tapi jangan hujan. Bagaimana kalau tentang negara? Ya! Negara dan politik. Aku suka itu. Namun mulutmu lincah meliuk, seakan tak suka kalau topik kita dialihkan ke situ.

“Apabila kau mendapati sebentar hujan dan sebentar panas, itulah hujan yang tergesa-gesa. Itulah hujan lebih membahayakan ketimbang banjir bandang. Badan bisa panas dingin karenanya,” kau tertawa kecil. Deskripsimu berhasil. Sayang, aku tak tertarik.

“Hujan yang pemalu. Hem, ya, bagaimana bila kau melihat tingkah orang yang pemalu?”
Tak penting untuk kujawab. Kini, aku rasa kau hanya seorang pembual. Tak lebih dari sebuah pertunjukan sirkus yang menakjubkan tetapi pias sampai di luar.

“Hujan yang pemalu adalah hujan yang selalu datang diam-diam serta datang dengan lembut. Apabila ditatap, hujan itu akan menghindar. Dan…”

“Cukupkan ceritamu. Aku mau pulang saja. Aku tak mau kena hujan lagi. Aku bukan manusia hujan sepertimu. Tubuhku tak sekuat tubuhmu.”

“Aku belum menuturkan kalau hujan beraroma tanah, rerumputan, bunga, dan juga beraroma tubuhmu.”

“Aku sudah bosan!”

“Selalulah bersamaku. Akan aku tunjukkan kalau hujan itu indah. Akan aku tunjukkan kalau hujan itu romantis. Akan aku tunjukkan kalau hujan itu sepertimu…” nadamu tenang. Aku kembali duduk. Kita kembali sehadapan.

Aku tidak mengerti kenapa kau begitu tergila-gila pada sebuah musim yang hanya bisa menjanjikan basah. Hanya aku tahu, mengajakku berlama di ruangan yang berukuran 5 x 8 meter karena sedang menunggu hujan, bukan?

***
Tiadakah ada yang lebih romantis daripada hujan? Aku mulai bosan berhubungan denganmu, manusia hujan, karena aku selalu merasa tubuhku selalu basah dan menggigil. Aku ingin jalan-jalan, berbelanja pakaian atau mendaki gunung.

Hujan datang. Hujan menyambangi. Aku menghela nafas. Berat. Kau tersenyum. Kau mendekatkan diri pada video playermu. Dalam sekejap “Winter Sonata” From The Beginning Until Now menyesaki ruang hati kita. Lagu itu sungguh romantis, Lagu itu sungguh indah, katamu. Lagu yang paling kau suka. Nyalang matamu menembus dinding kaca …

“Aku ingin bersamamu. Hujan selalu mengingatkanku padamu!” Oh, ada mendung di matamu. Tanganmu mulai nakal meremas tanganku. Aku diam. Aku beku. Aku kaku. Semoga kata-katamu selanjutnya sama dengan yang kupikirkan.

Tapi kau memindahkan matamu kepada hujan. Kau berlari. Terpaksa aku menyusul, berusaha menghentikan tubuhmu yang meluncur deras serupa burung dadali yang berbasahan. Berkejaran.

“Apa yang kau inginkan di hujan ini?”

“Aku ingin kita segera kembali. Aku tak ingin hujan-hujanan begini.”

“Ayolah…”

“Aku bukan manusia hujan sepertimu. Aku manusia rapuh. Kurus dan pesakitan.”

"Aku tak ingin kau lebih sakit lagi." Matamu sayup. Suaramu surup...

“Apa?”

“Bersamalah denganku.”

“Kau.”

“Pejamkan matamu! biarkan air hujan mencium dan menyentuh hatimu,” katamu setengah berteriak.

Kau menuntunku. Di bawah hujan, satu kecupan mendarat. Aku merasakan basah namun hangat. Dingin tapi indah. Romantis! Kekuatan hujan telah memengaruhiku. Ini cinta. Sumpah, ini cinta. Aku melayang. Aku terbang. Dan, aku serasa menjadi hujan!
Siapa yang tidak tahu kalau bulir air hujan mengandung sifat asam? Kita tolol sendiri. Gemeretak gigimu sangat kuat. Hem, ternyata manusia hujan juga rapuh, sanggah batinku. Kau menggigil dengan hidung dan kepala udang rebus. Suatu kesempatan bagiku menertawaimu karena hujan. Suatu kesempatan untuk mengejekmu karena hujan. Suatu kesempatan mengomelimu karena hujan. Hujan yang sangat kau gandrungi mempersempit pembuluh darah dan mengurangi kekebalan tubuhmu. Tetapi kau benar-benar manusia hujan! Sampai, When I Need You mengalun dari suara Julio Iglesias, aku menghangatkanmu.

“Aku ingin menikahimu saat hujan beraroma tubuhmu,” nadamu tak lebih dari memohon. Tapi cukup membuatku beku.

***
Pagiku terasa bising melenting denting di dalam hening. Hujan. Telapak kaki terasa dingin. Sedingin ketika kita usai menendang buih di tepi pantai. Atau sedingin mata dan tanganmu ketika menelanjangi air mataku. Ah, rasanya tubuhku kian letih. Kulurut selimutku hingga dingin tak lagi menjamahi kaki. Entah, sudah keberapa kalinya hujan kunikmati sendiri. Entah pula, keberapa kalinya hujan menyembunyikan air mataku. Aku merinduimu.

Aku mulai menyukai hujan. Kenapa aku tolol? Apakah karena rindu atau karena hujan? Berapa kali hujan menjamahku? Aku tak tahu persis. Yang jelas, hatiku basah dan berusahan menyembunyikan air mataku pada hujan. Aku mendekap dalam selimut. Aku tahu, cappucino atau teh sepat hangat tak akan lagi terhidangkan di atas meja. Kali ini, aku tak ingin hujan melihat air mataku. Aku tak ingin hujan merampas air mataku. Maka, kubuat sendiri hujan itu di bawah selimutku.

“Hidup bukan perjuangan menghadapi badai. Tetapi bagaimana agar tetap bisa menari di tengah hujan, ” suaramu yang seperti daun kering diremukkan angin, kembali melenting. Lebur bersama rintihan sakitmu yang kini menjadi sakitku.

Kenapa kau tak pernah bercerita kalau kau manusia rapuh seperti hujan? Kenapa kau tak pernah memberitahuku kalau rekam jejak hidupmu lebih cepat dari hujan? Kau tahu, kebohonganmu selalu menghadirkan hujan di wajahku.

Tapi, aku tetap ingin menikahi hujan, sebagai gantimu.***
Annuqayah, 2012

Terkenang seorang guru; Lan Fang)

Sunday, May 27, 2012

Guru Budiman

(Dimuat di Suara Pembaruan, 27 Mei 2012)

Dua jarum jam dinding tak bergerak. Yang satu berhenti di angka sembilan sedangkan satunya lagi, sedikit lebih panjang berhenti di angka sebelas. Detiknya berdetak tapi tak beranjak. Sesosok tubuh senja meringkih di atas lincak, tepat di bawah detak jam itu. Desir angin melengkungkan tubuhnya. Nyamuk-nyamuk menjadi galak di musim hujan. Menusuk-sunuk bak jarum suntik. Gemeretak gigi berpacu dengan denyit lincak yang menyangga tubuhnya. Segerombolan nyamuk meraung-raung serupa omelan istrinya yang terus berdenyut di kepala.

Jatah kasur empuk dan pelukan sang istri dipastikan raib sebelum maaf terucapkan. Maaf? Ah, ia menggelengkan kepala. Lebih baik tidur di atas lincak ketimbang minta maaf, pikirnya. Beberapa bulan terakhir, istrinya kerap naik pitam bila sedikit saja ada kesalahan sebagai kepala rumah tangga. Aku manusia biasa, bukan malaikat yang tak pernah berbuat salah, umpat hatinya.

Angin berdesir. Sebuah krocok jatuh. Keras membentur genting dapur. Dengan sigap ia bangun. Menuruni tiga buah anak tangga di depan rumah seraya bergegas menuju kandang sapi. Keamanan Kampung Pangsenok tak terjamin. Kalau tidak mawas diri, manusia-manusia belang akan leluasa menyatroni rumah mereka.

Dipastikan sepasang sapinya tak beranjak, lelaki tua berperawakan kurus itu bergegas ke beranda. Sesekali bias cahaya dari dalam rumah jatuh di kakinya. Sudah larut benar, pikirnya. Langkahnya sejenak terhenti di depan jendela kamar. Lampu sudah padam. Kisi-kisi jendela kayu berundak ditatapnya lekat. Ia menguatkan napas, tak habis pikir. Setiap kali ada persoalan keluarga, entah urusan dapur, pertanian, perniagaan, keuangan, ujung-ujungnya pasti lari pada satu persoalan: Sekolah. Mengapa harus sekolah? Ini yang membuatnya tak terima.

Keras suara kakinya menaiki anak tangga.

***
Bersama Toni, Agung, dan Bunro, aku memilih MTs Darut Tauhid dijadikan tempat PPL. Sebagai calon guru agama, tentu banyak ragam mata pelajaran yang bisa kami pilih: Bahasa Arab, SKI, Aqidah Ahlak, Fiqih, dan Alquran Hadits. Di sekolah itulah aku, Toni, Agung, dan Bunro mengenali Guru Budiman. Sosok kepala sekolah yang selalu tampil rapi, murah senyum, dan agamis. Guru Budiman yang budiman, begitulah kira-kira.

Kain batik—satu-satunya—selalu dikenakan setiapkali mengajar pada hari senin dan kamis. Guru Budiman meminta—tepatnya memohon—kami untuk selamanya mengajar di situ. Madrasahnya kekurangan tenaga pengajar. Sebagian guru menyatakan berhenti, sebagian yang lain menyatakan ingin pindah mengajar. Tinggallah tersisa hanya empat orang guru dengannya. Ia sendiri merangkap dua jabatan: kepala sekolah dan tata usaha.
Aku mengiyakan. Sedangkan Toni, Agung, dan Bunro tidak bersedia dengan lantaran sibuk kuliah. Aku tahu mereka gengsi mengajar siswa yang hanya segelintir jagung, bangunan berdinding serap dan panuan, serta pertimbangan beberapa guru yang banyak mengundurkan diri.

“Pasti karena gajinya sedikit,” kata Burno ketika tengah pulang dari mengajar.

“Atau paling karena gajinya sering ditunggak,” cetus Agung. Ibaku malah meruap.

***
Sumpah serapah istinya kerap terdengar dari dalam rumah, menghujam Guru Budiman yang tengah duduk lesu. Tatapannya yang teduh mengurungkan niatku membalikkan badan dan bergegas pergi dari rumah itu. Sepertinya kedatanganku kurang tepat.

“Maaf, mengganggu,” selorohku.

“Ndak apa-apa. Apa yang kau dengar tadi adalah kembang keluarga. Kurang sedap bila ndak ada seperti itunya,” senyumnya mengambang jadi tawa. Aku turut mengamini.

“Ini hasil nilai rekap ulangan semester kelas dua untuk pelajaran Aqidah Ahlak. Untuk Alquran Hadits, Insya Allah besok sudah selesai,” kataku menyerahkan berkas hasil ulangan.

Malam itu kami ngobrol banyak hal. Barulah aku benar-benar mengetahui perjuangan Guru Budiman mempertahankan satu-satunya sekolah Islam di Kampung Pangsenok itu. Tiga tahun lalu, ketika ia masih menjadi guru, siswanya mencapai ratusan lebih. Dana yang dikelola yayasan terbilang cukup berkat donatur masyarakat. Jumlah itu kemudian turun drastis ketika pemerintah membuka SMPN Pangsenok. Anak-anak kampung tersedot ke sana. MTs Darut Tauhid kalah pamor.

“Kalau belajar di sini, cuma akan jadi takmir masjid,” serak suaranya meniru sindiran beberapa warga.

Keberadaan SMPN Pangsenok membuat MTs Darut Tauhid terkesan dianaktirikan. Donatur dari masyarakat turut menipis. BOS ala kadarnya bak sunatan dari SMPN itu. Karenanya, keuangan yayasan labil dan honor guru tak lebih dari cukup. Parahnya, gaji bulanan mereka kerapkali ditunggak.

“Istriku sering marah-marah karena persoalan ini. Gaji sebagai kepala sekolah ndak cukup membiaya anakku yang masih SD. Biaya kuliah kakaknya sudah dua tahun aku lepas. Alhamdulillah, meski begitu ia baru saja menyelesaikan kuliahnya,” katanya. Sempat ada segaris senyum di bibirnya.

“Kenapa bapak tetap bertahan?” Senyumnya semakin melebar.

“Harapan para tokoh masyarakat sangat tinggi. Mereka rela mengeluarkan banyak uang hanya untuk mempertahankan madrasah ini agar tetap ada; satu-satunya pelajaran agama yang bukan hanya sebagai pelengkap kurikulum.” Aku diam. Sungging senyum Guru Budiman semakin mengembang. Tak ada setitik kesedihan di wajahnya.

“Anak bapak tidak ditarik mengajar di sini?”

“Sudah kubujuk. Katanya masih betah tinggal di Jakarta,” kulihat sorot mata Guru Budiman nampak memerah.

Larut bergelayut. Kami begadang hingga tengah malam. Meneruput segelas kopi sampai tandas tinggal ampas. Jika tak ada suara burung hantu atau kelepak kelelawar yang melintas di halaman, memakan buah jambu biji, sampai subuh aku akan terus tertipu oleh jarum jam dinding yang tak beranjak dari angka sembilan dan sepuluh itu. Tak akan habis cerita ini kalau tidak segera diakhiri.

“Menginap saja,” tawar Guru Budiman.

“Tidak. Terima kasih.” Andai saja keluarganya akur malam itu, baiknya aku memilih tawarannya.

Bulan sabit menggantung di pelepah nyiur. Biasnya tak cukup menerangi jalan setapak. Hujan kemarin sore menyisakan basah. Tak mau ambil resiko, aku meminjam senter sebagai penerang jalan. Terlalu nyeri bila disengat kalajengking, terlalu sakit bila digigit ular.

Ops, aku lupa belum memberikan sesuatu kepadanya. Mumpung masih belum jauh, segera kubalikkan badan. Oh, Alangkah nian ia sudah tidur meringkuk di atas lincak. Hanya berselimut sarung tipis dan berbantal kopyah putih yang tak pernah ia tanggalkan dari kepalanya.

Ada sesak di dadaku.

***
Memasuki awal tahun pelajaran baru, MTs Darut Tauhid mendapat tujuh siswa. Dua orang lebih banyak dari tahun lalu. Kuliahku sudah selesai. Sayang, aku harus meninggalkan mereka sejenak untuk melanjutkan S2 di bidang administrasi pendidikan. Melalui Pak Parno, tetangganya, Guru Budiman menitip pesan kalau mata pelajaran yang kupegang sudah ada yang menggantikan. Alhamdulillah, luar biasa aku ucapkan. Masih ada orang yang benar-benar ingin mengabdi di tengah himpitan ekonomi. Pak Parno tidak tahu siapa penggantiku. Hanya, nanti malam aku disuruh datang ke rumah Guru Budiman.

Triplek yang dibuat menjadi dinding rumahnya sebagian telah mengelupas. Hanya di bagian depan saja berdinding susunan batu bata. Setiap waktu, ada saja yang datang bertamu, membawa bingkisan segala macam. Mungkin itu buah dari sikap seorang budiman. Wajahnya semringah. Ia tengah asyik berbicara dengan seorang pemuda sebayaku. Setelah saling panggil-jawab salam di beranda depan, aku lantas diajak masuk. Diperkenalkan orang itu sebagai penggantiku. Oh, aku lupa kalau Guru Budiman pernah mengatakan telah berhasil membujuk anaknya pulang kampung.

“Rohis, anakku. Ia yang akan menggantikanmu dan meneruskanku sebagai kepala sekolah,” kami berjabat tangan. “Rematik ini telah memperingatiku untuk segera banyak istirahat,” Guru Budiman menepuk-nepuk pinggangnya sendiri.

Aku, Rohis, dan Guru Budiman saling bertukar pikiran sampai larut malam. Kami berbicara banyak hal tentang wacana keislaman. Jiwa akademisku menggeliat. Gagasan dan argumentasi Rohis cerdas, terstruktur, kuat, dan rasional. Namun, sedikit-sedikit aku cukup terganggu dengan buah gagasannya.

“Ini ada sedikit bekal untukmu,” selembar amplop cukup tebal disodorkan ke mukaku.

“Apa ini?”

“Gajimu.”

“Kan masih belum genap sebulan.”

“Ya, itu ada tambahan dari saya. Ambillah!” Aku sungkan menerima sodoran amplopnya. Tapi ia memaksa dan memasukkan sendiri ke dalam sakuku.

“Terima kasih,” aku langsung undur diri.

“Ingat janjimu!” Guru Budiman berteriak ketika gelap telah menyembunyikan pandangannya dariku.

Betapa kepergianku tak terasa terbebani. Aku yakin Rohis bisa menggantikanku dan meneruskan kepemimpinan bapaknya. Berbekal pengalamannya di Jakarta, pasti madrasah reyot itu akan disulap menjadi madrasah yang bermutu dan berkualitas. Dan aku, nanti, hanya tinggal memberikan kontribusi ala kadarnya.

***
Mega sepenuhnya belum hilang saat tukang ojek menumpahkanku di simpang tiga Pancasila. Jarak tempuh setengah jam ke madrasah terasa panjang. Sepanjang rentang dua tahun lebih tak pernah bersua Guru Budiman. Kabar terakhir yang kudapat, kepemimpinannya sudah diserahkan kepada Rohis. Beliau pasti semakin budiman, pikirku. Lamat-lamat suara adzan Maghrib menggema dari seberang jembatan. Seorang lelaki tua berselempang sarung tengah mengantarkan anaknya mengaji.

Oh, tidak! Seharusnya madrasah itu berdiri tegak di situ. Kenapa sekarang…?

“Maaf, pak. Bukankah di sana adalah bagungan itu Madrasah Darut Tauhid?” tanyaku memburu, menunjukkan sisa arang kehitaman.

“Sekolah itu cuma membuat warga kampung resah! Terpaksa kami membakarnya?” Bapak tua itu menjawab sinis.

“Dibakar? Kenapa harus dibakar?”

“Masak solat katanya ndak wajib,” jawabnya ketus. Terang di mataku hampir menghilang. Inginku, segera menemui Guru Budiman.

“Mereka sudah diusir dari kampung ini!” Teriak lelaki itu.

Annuqayah, 14 Januari 2012

Friday, May 25, 2012

Aku, Dia, dan Nya

(Ulasan Cerpen "Mimpi Raja Hujan" di Majalah Muara edisi Mei 2012)
Oleh Fandrik Ahmad

Dalam sebuah lakon cerita pendek, banyak ragam pilihan bagi pengarang memilih menjadi tokoh dalam cerita yang digarapnya. Apakah pengarang ingin memposisikan diri melakoni tokoh utama pelaku utama, atau tokoh sampingan yang hanya terlibat sekilas atau menjadi pelengkap—entah si penulis berposisi sebagai teman, orang tua, saudara, orang jauh, dlsb—tokoh utama. Atau barangkali, penulis lebih memilih “duduk santai” melakonkan para tokoh dari balik layar.

Pelakon pengarang dalam cerpen dikenal dengan istilah point of view (sudut pandang). Cara pengarang menempatkan dirinya dalam cerita merupakan salah satu bagian dari unsur intrinsik cerpen. Melalui point of view ini, pengarang berposisi menjadi yang tunggal, yang satu, yang esa, dan menjadi “tuhan” (huruf t sengaja dikecilkan), mempermainkan emosional pembaca untuk turut serta lebur bersama kisah yang dikarangnya.

Guna mentahbiskan diri sebagai yang tunggal, pengarang mengambil satu peran tokoh, yakni memilih satu dari tiga point of view: Aku, Dia, atau Nya. Hal ini dimaksudkan untuk “menjelaskan” posisi pengarang sebagai pemegang otoritas dalam sebuah karangannya. Akan tetapi, tak sedikit pula belakangan beberapa pengarang membuat dua pelakon tokoh utama, tepatnya pengarang berperan ganda; menempatkan dua tokoh “Aku” dengan gaya tulisan yang mudah dipahami, yakni dengan menggunakan “subbagian” guna memudahkan pembaca memahami pada bagian cerita mana pengarang berganti peran, pada posisi yang mana pengarang menjadi pelakon utama dalam dua tokoh yang diangkat.

Zelfeni Wimra, misalkan, dalam salah satu karyanya, Dua Keping Kisah Pikun (Jawa Pos, 11/11/2007), pernah berperan ganda, yakni menempatkan dua tokoh utama. Guna mencari “aman” atas dua perannya, ia menggunakan “subbagian” yakni Kepingan Mahmud dan Kepingan Zahara. Lan Fang juga sering melakukan hal itu. Gaya penceritaan yang demikian bisa dilihat pada karya Dua Perempuan, (Suara Merdeka, 11/12/2006) yang menggunakan “subbagian” Kamar A5 dan Kamar A6, atau Hujan di Atas Ciuman (Jawa Pos, 12/20/2009) antara Tato dan Lin. Dan yang paling anyar, bisa disimak pada cerpen ketua FLP Lubuklinggau, Benny Arnas, Pelajaran Bercinta (Suara Merdeka, 15 April 2012).

Mendalami tentang point of view, mari kita simak sebuah cerpen Mimpi Raja Hujan buah karya Istianaturrahamah, yang mengangkat tema tentang cinta dan persahabatan. Temanya memang sangat klise dan—biasanya tema seperti itu—sangat mudah untuk diangkat oleh pengarang pemula—maaf, di bagian ini saya lepas tangan untuk menyatakan pengarang cerpen ini pemula atau bukan. Tetapi, gaya tutur komunikatif, renyah, metafor sederhana, serta gaya penceritaan yang tak lazim dipakai membuat karya ini berbeda dari cerita-cerita yang diangkat oleh kebanyakan santri sepantarannya.

Tidak tanggung-tanggung! Pengarang sangat “berani” menggunakan ketiga point of view sekaligus dalam satu cerita. Dengan menggunakan bantuan “subbagian”, ia bertindak sebagai tokoh Aku, Dia, dan Nya. Mari kita simak bersama…

Pada paragraf pembuka sampai paragraf ke empat, anak asuh FLP Latee II ini berperan sebagi narrator, tak terlibat langsung dalam cerita. Di luar “panggung” ia menceritakan karakter kedua tokoh: tetang Ogin yang tak tahu mengaji dan keras kepala, tentang Kez yang tampan serta aktivis organisasi kampus dan guru ngajinya Ogin, sampai pada keterlibatan persahabatan mereka yang sama-sama menyukai hujan.
Pada dua paragraf selanjutnya, lima dan enam, secara bergantian Istianaturrahamah memerankan diri sebagai Ogin dan Kez. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan pendekatan hubungan timbal balik perasaan (konflik batin) kedua sahabat itu: Ogin kepada Kez dan Kez kepada Ogin.

Paragraf berikutnya, Istianaturrahamah kembali berperan sebagai narator. Bagaimana ia membangun celah untuk melukiskan perasaan Ogin yang lambat laun jatuh cinta kepada Kez. Penulis cukup apik membuat dialog antara keduanya, yang pada titik pangkal menunjukkan bahwa Ogin takut kehilangan Kez, tanpa harus membuat cerita menjadi dramatis seperti meletakkan kalimat, “seperti kesambar kilat”, “hati Ogin runtuh mendengar penuturannya”, “ada sakit di hati Ogin”, dlsb, yang akan membuat cerita, di samping dramatis, juga menjadi hiperbolis.

Ia memang cukup berhasil menggunakan ketiga point of view itu. Tetapi, alur cerita yang dibangun tak seberhasil point of view-nya. Simaklah pada paragraf pembuka penulis—narator—mengisahkan persahabatan antara Ogin dan Kez: …kecuali saat ia baru kenal dengan Kez, si Wiro Sableng kampus. Kez bukan hanya memiliki tampang yang menarik, namun tingkahnya yang ramah dan selalu aktif di organisasi kampus membuatnya diburu banyak perempuan… Ogin tiba-tiba terkenal menjadi saingan untuk memperebutkan Kez, sahabatnya.

Lalu bandingkan dengan kalimat di paragraf ke dua: Kedua bocah itu tumbuh di sebuah kompleks kecil pinggiran kota Surabaya, dengan jarak rumah hanya tiga meter…ketika gadis kecil itu sering memperhatikan tetangganya bermain-main…ada rasa yang kuat untuk terjun bebas di bawah hujan bersamanya….

Penulis gagal meyakinkan pembaca, awal mula ikatan persahabatan mereka. Kalimat…saat baru kenal dengan Kez, (persahabatan Ogin dimulai saat masuk kampus). Kalimat berikutnya ...kedua bocah itu tumbuh…dengan jarak rumah hanya tiga meter, (sejak kecil, bukan dari kampus) membuat jalinan persahabatan yang dibangun menjadi kabur. Belum lagi dikuatkan dengan paragraf ke tiga yang kemudian menuturkan mereka sama-sama menyukai hujan. Kekaburan lain adalah sejak kapan Ogin belajar mengaji pada Kez. Apa sejak kecil ketika sama-sama menyukai hujan (paragraf ketiga)? Atau sejak kelas dua SMA sebagaimana diungkapkan langsung oleh pengarang.

Kegagagan mendasar lainnya adalah pembangunan karakter tokoh. Benarkah Wiro Sableng itu tampan dan ramah? Mengapa penulis menganalogikan Kez si Wiro Sableng kampus? Apakah Kez juga Sableng? Ingat, nama aslinya Wiro Sasono, bukan Wiro Sableng. Sableng itu julukan untuk menunjukkan karakter si tokoh. Tahu Sableng? Cek di kamus..! Begitu pula dengan Ogin. Tak ada petunjuk yang mengarahkan pembaca mengapa Ogin begitu sulit untuk tahu (diajarkan) mengaji. Pengarang hanya menjelaskan bahwa Ogin hanya seorang gamer dan keras kepala. Apakah otak Ogin “berpentium 2” atau pemalas, atau apalah sehingga begitu lama belajar mengaji, tak ada penjelasan tentang ini.

Demikian beberapa catatan kecil dari saya. Sebagai sebuah karya, saya mengacungkan jempol dan mengucapkan selamat atas terpilihnya cerpen Istianaturrahamah sebagai cerpen pilihan majalah Muara tahun ini.[]

* Cerpenis, asal Lodokombo Jember