Showing posts with label Artikel. Show all posts
Showing posts with label Artikel. Show all posts

Thursday, August 9, 2018

Dana Desa dan Jembatan Ekonomi Masyarakat

(Kompasiana.com, 29 November 2017) Lahirnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa) menandakan babak baru dalam perubahan politik pembangunan nasional. UU Desa memberikan paradigma baru tentang berdesa; desa diakui dan dikukuhkan sebagai subjek untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Pembangunan desa sebagaimana yang dikonstruksikan dalam UU Desa menempatkan masyarakat pada posisi strategis, yaitu sebagai subjek pembangunan. Masyarakat memiliki ruang dan peran strategis dalam menata dan mengelola desa sesuai dengan asas rekognisi dan asas subsidiaritas desa, sehingga masyarakat memiliki daya efektif mewujudkan tata kelola dan pembangunan desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kini UU Desa sudah memasuki tahun ketiga. Banyak peranan dan manfaat Dana Desa yang sudah dirasakan oleh masyarakat selama ini, terutama pembangunan di bidang infrastruktur desa. Berpijak pada adagium “dibalik kemajuan ekonomi, terdapat infrastruktur memadai” maka pembangunan infrastruktur desa menjadi titik fokus pembangunan dalam kurun tiga tahun terakhir. Sebagaimana catatan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa dan PDT) bahwa pembangunan infrastruktur yang didanai oleh Dana Desa pada tahun 2015 adalah 89,4 persen dari anggaran Rp. 20,76 Triliun. Sementara tahun 2016 dari anggaran Rp. 46,98 triliun yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur desa sebesar 91 persen. Sedangkan tahun 2017 untuk pembangunan infrastruktur desa sejauh ini sudah mencapai 70 persen. (sumber: kemendesa.go.id)
Desa Lembengan merupakan salah satu dari sepuluh desa di Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember, yang berhasil membangun infrastruktur desa untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat. Salah satu contoh pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan jalan paving dan jembatan di Dusun Oloh yang menghubungkan akses pertanian dan pemukiman warga. Tahun 2017 Desa Lembengan memperoleh anggaran Dana Desa sebesar Rp. 932.302.895. Sebagaimana amanat Permendes No. 4 Tahun 2016 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2017 (perubahan atas Permendes No. 22 Tahun 2016), anggaran tersebut digunakan untuk bidang pembangunan infrastruktur desa sebesar Rp. 731.880.000 yang terbagi ke dalam tujuh titik lokasi pembangunan dan untuk bidang pemberdayaan masyarakat sebesar Rp. 200.442.895, termasuk di dalamnya penyertaan modal Badan Usha Milik Desa (BUMDesa). Pembangunan jalan paving dan jembatan yang menjadi salah satu dari tujuh titik pembangunan infrastruktur desa menghabiskan anggaran Rp. 105.066.000. Pembangunan jembatan dengan panjang 7 meter dan lebar 2,5 meter dan paving dengan panjang 50 meter dan lebar 2,5 meter tersebut dibangun atas inisiasi serta partisipasi masyarakat yang dituangkan dalam dokumen perencanaan desa (RPJMDes, RKP, dan APBdes) melalui musyawarah desa. Sebelum jembatan dan jalan tersebut dapat disentuh oleh Dana Desa, masyarakat membangunnya secara swadaya dan gotong-royong menggunakan gedek bambu sebagai alas penyeberangan dengan lebar tidak sampai 2 meter, sehingga jembatan tersebut hanya dapat dilalui dengan jalan kaki. Bersepeda pun harus hati-hati karena tak ada jerjak pengaman pada tiap tepi jembatan yang mencapai ketinggian 3 meter dari permukaan sungai. Tidak jauh dari jembatan itu, sekitar 150 meter ke arah timur terdapat perumahan warga. Oleh karena itu, jalan dan jembatan tersebut tidak hanya digunakan sebagai akses lahan pertanian melainkan juga sebagai akses masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apabila masyarakat ingin membangun rumah, mereka harus memanggul atau membawa bahan material melewati jalan setapak hingga sampai ke pemukiman. Atau apabila sudah musim panen tiba, mereka juga harus memanggul atau membawanya hingga ke tepi jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan roda empat. Begitu seterusnya. Jika musim hujan, akses jalan dan jembatan tersebut sulit dilalui. Debit air sungai bisa menyentuh permukaan jembatan. Meski tidak pernah menyebabkan banjir, dengan debit air dan intensitas curah hujan yang tinggi, sangat mengganggu aktifitas masyarakat. Apalagi dengan kontur tanah yang gembur menyebabkan kebecekan di sepanjang jalan. Kini, dengan adanya pembangunan yang dibiayai dengan dana desa tersebut, masyarakat tak perlu lagi memanggul hasil panennya ratusan meter untuk dapat diangkut untuk bisa dijual ke pasar. Mereka sudah dapat menggunaan transportasi roda empat semacam pick up dan kendaraan lainnya hingga sampai ke pemukiman warga. Selain daripada itu, mereka juga tak perlu resah apabila memasuki musim hujan dengan intensitas curah hujan yang tinggi—seperti yang terjadi pada bulan-bulan ini. Seperti lagu petikan lagu Anji: semua itu karena dia, eh, karena dana desa.[]

Monday, August 18, 2014

INDONESIAN WOMEN AS REFLECTED IN FANDRIK AHMAD’S “TAMAN KUNANG-KUNANG”



MUHAMMAD ARIEF BUDIMAN
(Lecturer in IKIP PGRI Semarang and teachers English at FPMIPA)


Feminism is a women movement which demands emancipation or equality and justice between women and men. As a philosophy and a movement, feminism is closely connected with Enlightenment Era in Europe which is led by Lady Mary Wortley Montagu and Marquis de Condorcet.

This is different with Indonesian women. In Indonesia, women still have position as second citizen. This can be observed in daily life, as reflected in the story “Taman Kunang-Kunang” by Fandrik Ahmad. The female character in the story is described as a housewife, replacing the previous deceased one. The woman’s responsibility is to take care her husband’s child from the deceased wife. In other words, the woman is only dedicating her life in domestic area.

The writer analyzes this story uses Greimas’ structuralism. By using aktansial scheme, the story can be understood clearly. Beside using Greimas’ structuralism, the writer also analyzes this story based on the characters and characterization, and conflict. With these analyzes, we can find the position of the female character in the modern Indonesia where she tries her best to be a good wife and a good mother who is only active in domestic area.


Keynote: Greimas, character and characterization, conflict.


I.                    INTRODUCTION

Feminism is a thought which is introduced to promote the equal right between men and women in all aspects of life. This school was first introduced by French scholar Simone de Beauvoir in 19th century. At that time Beauvoir actively promoted the equal right between men and women trough literary works. Her writings have big contribution in first-wave feminism. This first-wave feminism focused on the issues of the equal rights for women, especially women of lower class, which in that time they were minority in almost all aspects of life, such as job, education, marriage, and others.

If we had Simone de Beaovoir in there as pioneer in feminism, here we have pioneer in feminism which is very famous up to now, RA Kartini. Even, Kartini’s struggle to promote woman’s rights began long before Beauvoir’s, which was since 18th century. Similar to Beauvoir, Kartini was born in noble family which has a prestigious position in that society. Kartini’s struggle was to promote women’s right which in that time they were considered have no right to have an education. This started when she began her correspondence with a Dutch feminist-socialist, Stella Zeehandaler. In her letters, Kartini starts to open her heart and is moved to give a chance for Indonesian women to get education. This can be understood. Although she is a noble woman, Kartini wasn’t allowed to get higher education in that time. Kartini’s thought is influenced by colonialism, which affects her rejection on feudalism towards poor people. She thought that Javanese which is patriarchy became one of the many factors which detained the progressive of Indonesian women. Kartini’s famous book Habis Gelap Terbitlah Terang contains her letters for her colleagues containing her desires and goals to promote Indonesian women.

Feminism thought is closely related to emancipation. Equality and ending the exploitation towards women are the main spirit of feminism. Since Kartini’s thought and movement on feminism, there has been some women organization in Indonesia. Feminism in Indonesia is strengthened by First National Indonesia-Women Congress which was held in 1928 in Yogyakarta. This congress was attended by some women organizations which were already established. It can be said that this congress becomes main foundation of emergence of women organizations in Indonesia. After this congress, the movement of feminism mostly is against polygyny and polygamy. One of the famous organizations is Istri Sedar, which later became Gerwis (Gerakan Wanita Sosialis), and finally became Gerwani.

One of the organizations which get attention is Sarekat Rakyat. This organization is considered as the most progressive and majority of its members is women of lower class, such as farmers, and laborers. This movement got hard reaction from Indonesian government, because they are regarded has connection with PKI, which in that time was judged as radical movement. The female figures, such as Sukaesih, Munasisah, and some other members were sent to Dutch concentration camp in Digul.

Like in other countries, feminism in Indonesia has also some phases (first wave, second wave, third wave). First wave before independence, feminism promoted equal education between men and women. In old period, feminism promoted women to be involved in politics. In new period, when women have limited contribution in public area, feminism promoted that women get more room, such as in choosing job. In reformation period, feminism promotes non-violence movement against women, and other liberal themes.

Whatever the condition, feminism is a heavy struggle proposed by Kartini and continued by Indonesian women afterward. The spirits which were promoted by feminism are interconnected one to another, they are: equal right between women and men, and erasing discrimination against women both in domestic sphere and public sphere.

II.                  FEMINISM IN INDONESIA

Feminism is a movement which promotes women’s right to be equal with men without any discrimination. Historically, women’s rights were ruled out in almost all aspects including domestic and law. Government does not protect women’s rights legally though women often receive infringement which harms them. Essentially women are weaker than men.

The word ‘feminism’ comes from Latin ‘femina’ which means women. This term started to be used in 1890, referring to theory of equality between men and women, and movement which promotes women’s right. Now international literature defines feminism as distinction of women’s right based on equality of women and men.

In its development, feminist refers to those who consciously try to end subordination against women. Feminism is often connected to emancipation. In Kamus Besar Bahasa Indonesia, feminism means liberation on women’s issues, equality between men and women. RA Kartini who struggled to free the women from traditional norms which oppress them through education was a famous figure in the struggle of women’s emancipation.

Feminism is started at the end of 18 century, and ended at 20 century. Women’s voice in law, especially theory of law, is emerged and meaningful. The law of feminism which is based on sociology of feminism, philosophy of feminism, and history of feminism is the elaboration of women’s attention afterward. In the end of 20 century, feminism is considered as a branch of Critical Legal Studies. Its core criticizes the logic of law which is used all this time; law’s manipulative and dependence towards politics and economy; law’s role in shaping the pattern of social connection; and hierarchy shaping by law’s clause is not fundamental.

Although feminist’s opinions are pluralistic, one thing that unifies them is their belief that society and legal order are patriarchal. Neutral and objective law is often only visor towards political and social consideration which is manipulated by the ideology of decision maker, and this ideology is not for women’s interest. Patriarchal in society and legal order is cause of injustice, domination, and subordination towards women. Consequentially, there is demand on gender equality. Gender equality cannot be reached in institutional structure of ideology which is used today.

Feminists focus their attention on analysis on the role of law towards the survival of patriarchal hegemony. All analyses and theories proposed by feminists hopefully can be applied in real life. This is because feminists’ efforts are not only to beautify the history of human beings, but also to help people survive. The movement of feminism proves that abstract provision cannot solve inequality.

There are some schools in feminism. The first is liberal feminism. This school appears in the early 18 century, along with renaissance era. The demands are equal in education and revision on discriminative law. This thought is based on rationalist and the division between domestic and public sector. Liberal feminists demand the same opportunity for every person, including women.

The second is traditional Marxist feminism, which is based on Marxism. The members fight against the system of social economy which exploits women. Exploitation against women is part of class exploitation in the production system. Along with proletariat revolution which eliminates class system, exploitation against women will also disappear.
The third is radical feminism which refers to the concept of biological essentialism. The approach is that anything concerns with male is negative and exploiting. The members of this school also reject family institution, both theoretically and practically.

The fourth is socialist feminism which is combination between radical feminism and Marxist feminism. They consider that women are exploited by two things, the system of patriarchy and the system of capitalist.

The fifth is co-feminism which focuses its view on the analysis of feminism quality. They sharply criticizes the other schools of modern feminism (liberal, radical, Marxist, and socialist) by saying that gender inequality is not only caused by the construction of culture and social but also by the intrinsic factors.


III.               STORY ANALYSIS

Here the writer chooses American folklore entitled “Taman Kunang-kunang” as object of the study. In analyzing this story, the writer uses Greimas’ structuralism. By using Greimas’ structuralism, the writer organizes the story into diagram. The diagram is made thus the readers can understand the story easily. Through diagram, the readers can quickly recognizes which one is protagonist and which one is antagonist. They will also understand why the character doing what he/she does. Beside they will also understand the main goal of the character doing all his/her actions.



By inserting the story into the above diagram, the story will be understood easily. The main character, father, tries to find a new mom for his daughter. He is sad when he sees her daughter missing his deceased mom. He wants his daughter to be happy. He meets Linda. As his daughter likes Linda, he marries her.    

Subject is the main character. Here the main character is father. As the main character, father appears almost throughout the story, from the beginning till the end. Throughout the story, father tries many ways to realize his goal. All father’s actions are influenced by his surroundings. One of the factors which influences him is the opposition.

Opposition is the opponent party. In this story, opposition is death of his wife. This condition makes her daughter very sad. He is heart broken when he sees his daughter’s condition. He wants to makes her happy. He tries to find the replacement of his late wife.  

Helper is the party who helps the main character to get his goal. In this story the helper is Tante Linda. She is a kind woman. When father introduces Tante Linda to his daughter for the first time, her daughter is afraid of her. Tante Linda positions herself to the daughter’s level. She admits that she also likes fireflies as the daughter does thus she is accepted by the daughter.

Sender is the second party after helper who also helps the main character in the process of getting his final goal. In this story, the sender is the fireflies. The fireflies are the object of the daughter’s affection replacing the lost of her mother. The daughter is depressed after losing her mother. To find comfort, she tries to befriend the fireflies that she meets in her bedroom window. She does this in quiet as her father does not approve with what she does.

Object is the final goal of the main character. In this story object is to find a new mom for the daughter. This is closely related to the happiness of the daughter. Father does not want to see her daughter playing around with fireflies as if the fireflies are her mother. Father introduces Tante Linda to replace fireflies in the daughter’s life.

Receiver is the party who gets the final goal. In this story receiver is the daughter. All actions from the father is done to makes the daughter happy. The only father knows to do it is to replace the late wife with a new mother. He does not know that the daughter can find happiness in fireflies. The father thinks that befriending fireflies will make the daughter miserable.

IV.                FEMINISM ANALYIS

The story tells about an Indonesian family consists of a father, a mother and a daughter. The woman reflected here are in contrast with the condition proposed by feminism. The story describes Indonesian woman as obedient and passive.

Lumrahnya, yang selalu mengetok pintu kamar adalah si pembantu. Ia juga yang menyiapkanmu makanan, seragam, tas, dan sepatu.”

It shows that it is tradition that a woman brings up children. It is the women who always take care all the children’s need. And it is the women’s responsibility to always understand, know, and predict all the children’s need.

“Bukankah kau ingin memiliki ibu? Dia akan menjadi ibumu,’ kata ayahmu.

The quotation illustrates that the father as representation of male determines all the decision of the family. He is the one who decides what the daughter wants. He is the one who decides the solution of the daughter’s problem.

“Kau akan ditinggalkan bersama pembantu dan ibu tirimu.”

Once again, the description tells about the position of a woman in Indonesian family. She is responsible for the domestic area. She has to handle all the problem in the domestic area while the father goes away to work as he is the breadwinner.

“Tante Linda benar-benar menjadi ibu yang sesungguhnya. Ia setia menemanimu tidur, mendongengkan cerita-cerita lucu, meninabobokan, dan mengantarmu pergi ke sekolah esok harinya.”

Here the author explicitly describes a mother’s daily responsibilities. All of these activities concern only in the domestic area. There is no place for woman outside the domestic sphere.

“Apa yang kau lakukan,” bentakan ayahmu di seberang.

Here we can see that the woman is become the object of anger from the male side. The woman passively accepts it. She cannot argue back and defend herself in front of the male dominant.

V.                  CONCLUSION

From the analysis above, it can be concluded that the woman pictured in this story does not reflect the ideal woman according to feminism. It is said in the story that it is a man who becomes a breadwinner. He is the one who goes out there to do some works and collect money for the family. While women are requested to stay at home and conduct all the things connected to domestic affair.

In the story, it is described that the women is being the passive party, while the male is being the dominant party. The male is the one who determines what kind of decision for the family, including for the wife and the children. From the beginning, the male is the one who is actively choosing who will become his wife, who will responsible to take care of the children, who will conduct all the chores in the domestic area.



BIBLIOGRAPHY.


Ahmad, Fandrik. ‘TamanKunang-kunang. Taboid Nova, No 1304, 18-24 Februari 2013, h. 49

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Barnhart, C.L. 1988. A Glossary of Literary. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.

Beasley, Chris. 1999. What is Feminism?: An Introduction to Feminist Theory. New York: Sage

Beasley, Chris. 2005. Gender and Sexuality: Critical Theories, Critical Thinkers. New York: Sage

Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitan Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.

 Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sastra Bandingan: Pengantar Ringkas. Jakarta: Editum Kompleks Dosen UI.

Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.

Donovan, Josephine. 2000. Feminist Theory: The Intellectual Traditions. Maine: Continuum International Publishing Group

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.

Hardjana, Agus. 1994. Konflik di Tempat Kerja. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Hooks, Bell. 2000. Feminist Theory: From Margin to Center. London: Pluto Press

Hughes, Christina. 2002. Key Concepts in Feminist Theory and Research. New York: Sage

Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI Komisariat Jawa Timur.

Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Merambah Matahari: Sastra dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa.

Irwanto. 1994. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.

Jackson, Stevi. Jones, Jackie. 1998. Contemporary feminist theories. Edinburgh: Edinburgh University Press

James L. Potter. 1978. Elements of Literature. New York: Silhouette Books.

Krisnamurti. 1997. Freedom From the Know. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.

Liberatus. 1987. Introduction to Literature - 2nd Edition. Semarang: IKIP Semarang.

Mar’at. 1981. Sikap Manusia, Perubahan Serta Pengukuhannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Meredith dan Fitzgerald, 2002. Dasar-Dasar Teori Sastra. Surabaya: Periplus.

Noor, Redyanto. 2009. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.

Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Segal, Lynne. 1999. Why Femenism?: Gender, Psychology, Politics. Columbia: Columbia University Press

Semi, M. Atar. 1986. Metodologi Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Singgih, Adiyaksa. 1996. Pemulihan Melalui Pengelolaan Pikiran. Yogyakarta: Media Karya.

Tandon, Neeru. 2008. Feminism: a paradigm shift. New York: Atlantic Publishers & Dist

Walters, Margaret. 2005. Feminism: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press

Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1995. Theory of Literature. Florida: Harcourt Brace Javanovich Publisher.

Wellek, Rena dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (diterjemahkan Melani Budianta). Jakarta: PT Gramedia.

Zaidan, Abdul Rozak dkk. 2007. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.



Saturday, August 16, 2014

Spektrum Pendidikan Islam Berbasis Karakter dan Local Wisdom


(Dimuat di Majalah MPA Kemenag Jatim, Edisi 335 Agustus 2014)

Pendidikan merupakan tonggak majunya suatu peradaban. Imannuel Khan, seorang filsuf berkebangsaan Jerman, mengatakan bahwa manusia menjadi manusia karena pendidikan. Bagi Islam sendiri, banyak dalil-dalil yang menyerukan spirit pendidikan. Salah satunya adalah hadits “Uthlubu al-ilma mina al-mahdi ila al-lahdi” (tuntutlah ilmu dari sejak baru lahir sampai mati) yang kemudian menjadi fondasi “long life education”.

Spirit tersebut dapat dibuktikan dari pemakaian kata “Uthlub” yang berasal dari kata thalaba-yathlubu yang dalam etimologi bahasa arab adalah kalimat perintah (fi’il amr). Sejatinya, kata “thalaba” juga bisa berarti mencari. Memang, “mencari” tidak jauh berbeda dengan “menuntut”. Namun, beberapa ahli bahasa mengatakan bahwa nilai jihad “menuntut” lebih tinggi daripada “mencari”. Mencari memiliki makna berusaha mendapatkan, menemukan atau memperoleh, sementara menuntut memiliki makna meminta dengan keras, mengharuskan supaya dipenuhi, berusaha keras mendapat hak atas sesuatu.

Dengan demikian, Islam sangat keras mendorong kaum muslim untuk menuntut ilmu. Apalagi ditambah dengan statement dari sejak lahir sampai pada liang lahat membuat pendidikan mutlah harus dilaksanakan.

Hakikat manusia sebagai wakil Allah (khalifah) di muka bumi, mengharuskan ilmu tidak hanya bisa dituntut saja, melainkan juga harus diamalkan. Sebagai khalifah manusia memiliki tugas menata dan memakmurkan kehidupan sesuai dengan kemampuan nalar pikir dan senantiasa menjalankan kewajiban yang diamanahkan kepadanya. Pada posisi ini, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sangat menentukan sejauh mana amanah tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.

Terkait dengan dua tugas di atas, maka timbullah sebuah transformasi ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan.

Pendidikan Membangun Tradisi

Ada hal yang sangat menarik ketika saya berbincang santai dengan salah satu pengurus Pondok Pesantren Sidogiri, Keraton, Pasuruan, pada 21 April 213. Saya mengajukan pertanyaan bagaiman bisa Sidogiri sampai saat ini bertahan dengan kesalafannya (kajian-kajian keagamaan), sementara globalisasi dan modernisasi terus bergulir. Jawaban pengurus itu sederhana: Sidogiri menggunakan kurikulum salaf, sementara manajemennya menggunakan manajemen modern.

Mendapat jawaban seperti itu, saya kemudian ingat sebuah kalimat yang selalu didengung-dengungkan oleh kaum nadhiyyin tentang memperahankan tradisi lama yang baik dan mengambi tradisi baru yang lebih baik (al-Muhafadzatu ala al-Qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Ashlah).

Lebih jauh lagi, jawaban tersebut menuntun pikiran saya pada sebuah kajian implementasi pendidikan Islam kepada anak didik dengan mengkomparasikan pendidikan berbasis karakter dan pendidikan berbasis kearifan lokal. Sejatinya muatan pendidikan berbasis karakter dan pendidikan berbasis kearifan lokal di dalam pendidikan Islam sudah ada. Tinggal bagaimana berusaha merekonsruksi agar muatan dalam pendidikan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.

Seiring dengan cepatnya gejolak arus globalisasi dan modernisasi, pendidikan tidak hanya sebagai sarana transfer ilmu pengetahun saja. Secara luas pendidikan harus menjadi sebuah pembudayaan dengan membentuk karakter dan watak bangsa guna menyelamatkan anak didik dari dampak buruk globalisasi.

Dewasa ini mulai muncul apa yang disebut dengan kebudayaan global. Kebudayaan global bisa diartikan sebagai modernitas yang merupakan hasil dari proses modernisasi, yaitu pergeseran sikap dan mentalitas manusia untuk dapat hidup dengan tuntutan masa kini. Modernitas mempunyai pengertian masyarakat modern, gaya hidup modern, ekonomi modern, budaya modern, dan pendidikan modern.

Secara langsung ataupun tidak langsung, ide atau gagasan yang berkembang sebagai interaksi gagasan global mengakibatkan terjadinya perubahan sikap, nilai, dan norma seperti halnya perubahan gaya hidup (life style). Yang paling sulit dihindari adalah kenyataan bahwa manusia telah mengamali krisis global yang begitu kompleks dan multidimensional.

Terjadinya krisis global akibat pengaruh gerak globalisasi membuat pendidikan Islam memiliki tanggungjawab besar untuk membangun kesadaran diri pada pembentukan karakter anak didik secara utuh. Pembentukan karakter dimaksudkan agar anak didik dapat beradaptasi dengan baik tanpa harus terjebak dalam pusaran globalisasi.    

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan. Pendidikan karakter membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral yang dibentuk sejak dini agar menjadi karakteristik anak didik. Poin ini sesuai dengan tugas pokok Rasulullah SAW, “Innama buitstu liutammima makarima al-akhlaq” sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.

Aspek utama dari karakter manusia merujuk pada kualitas instrinsik semacam kejujuran, kebaikan hati, dan toleransi. Dengan demikian pendidikan karakter adalah sebuah proses yang dilakukan untuk untuk mencetak prilaku-prilaku tertentu sesuai dengan harapan tujuan pendidikan agar setiap peserta didik memiliki sebuah kebiasaan dan kesesuaian dalam prilaku yang tertanam dalam kehidupannya.

Selain daripada itu, pola pendidikan dalam sejarah penyebaran agama Islam, baik di wilayah Timur Tengah maupun di Indonesia, melalui pendekatan kultural yang bersifat soft power, yaitu menjunjung tinggi keteladanan dan moralitas. Pola pendekatan kutural mengindikasikan betapa Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur suatu bangsa. Komparasi antara spirit moralitas dan nilai kearifan lokal mengantarkan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin yang sanga mudah diterima di seluruh penjuru dunia. Perbedaan karakteristik pada suatu bangsa tertentu tak menyulitkan Islam membingkainya dalam satu rumusan “la ilaha illa Allah”.

Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur dalam kekayaan budaya lokal. Kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan, nilai, pandangan ‘lokal’ yang bersifat bijak dan arif. Pendidikan kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk selalu dekat dengan situasi konkrit yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari, baik itu berhubungan dengan Allah (Hablu mina Allah), dengan manusia (hablu minan an-naas) maupun dengan alam (Hablu mina al-Alam).

Persoalannya adalah bagaimana mengimplementasikan pendidikan berbasis karakter dan local wisdom dalam kerangka Pendidikan Islam di sekolah/madrasah?

Bertolak dari pertanyaan di atas ada dua gagasan pokok yang perlu digarisbawahi: reorientasi nilai dan akulturasi kebudayaan. Keduanya memiliki interaksi “intertekstual” sebagai jalan membangun kesadaran etis dalam konteks kebangsaan dan keberbudayaan. Pertukaran budaya global seperti yang diulas oleh Hasting Donna dalam bukunya Islam, Posmodernisme and Globalization (2007) apabila tidak diimbangin dengan prinsip nilai kearifan lokal akan merongrong budaya itu sendiri. Titik inilah yang menyebabkan terjadinya krisis global.

Kekuatan dari pengembangan Pendidikan Islam Berbasis Karakter dan Local Wisdom, sejatinya tercermin kuat dalam prinsip al-Muhafadzatu ala al-Qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Ashlah. Tinggal bagaimana seorang guru selaku stakehoder dapat mengimplementasikan dengan baik nilai tersebut kepada anak didik. Inovasi, kreativitas, dan progresivitas adalah tiga kata kunci yang perlu diintegrasikan pada proses pendidikan Islam agar bisa menyentuh nilai universal, yakni membentuk ummat yang kaffah.

Disinilah diperlukan adanya dorongan revitalisasi kearifan lokal yang relevan untuk membangun pendidikan berkarakter. Kearifan lokal pada gilirannya akan mampu mengantarkan anak didik untuk membangun sikap jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan.[*]

Tuesday, April 15, 2014

Bapakku bukan Perekayasa Konflik


Oleh: Allisa Wahid 

Senin malam, 25 Pebruari 2012, saya membaca mention di twitter tentang berita Cak Imin yang akan mendirikan monumen GusDur di Singkawang, Kalimantan. Kota yang banyak dihuni saudara sebangsa berdarah Tionghoa, yang tentu saja sangat menghormati Gus Dur. Walau saya mempertanyakan apakah kiranya sebagai orang yang substantif dan tidak suka seremoni, Bapak suka dibuatkan monumen; bukan soal itu yang mengganggu batin saya. Sudah beberapa waktu terakhir ini, saya ingin menulis tentang Bapak dan konflik PKB cak Imin dari kacamata saya sebagai anak. Tulisan ini adalah kegelisahan saya atas narasi yang semakin sering saya dengar dari mulut dan tulisan orang-orang PKB Cak Imin.

Pertama kali, saya mendengarnya langsung dari seorang politisi PKB Cak Imin, saat ia meminta saya untuk menjembatani PKB Cak Imin dengan keluarga Ciganjur. Sebelumnya, saya sudah beberapa kali didekati untuk menjadi jembatan ishlah, tetapi narasi ini belum pernah saya dengar. Sejak itu, saya mulai banyak mendengarnya dari orang-orang lain dari berbagai penjuru, baik langsung dari mulut mereka maupun via social-media, baik dari kawan-kawan Nahdliyin maupun dari aktivis PKB Cak Imin.
Narasinya sederhana: Konflik antara GusDur dan cak Imin adalah konflik yang sengaja didesain oleh Gus Dur, sebagai strategi politik; bukan sebuah konflik sungguhan dan karenanya sejatinya tidak ada persoalan antara Gus Dur dan Cak Imin. Bahkan ada beberapa orang yang menyebutkan dengan gagah berani langsung kepada saya, bahwa Cak Imin sampai saat ini hanya menjalankan perintah Gus Dur.

Karena saya bukan politisi, tentu saja saya tidak bisa menjawabnya secara politis juga. Saya hanya menjadi amat gelisah sebagai seorang anak, yang mendampingi Bapak secara intensif selama tiga tahun terakhir kehidupan Beliau. Hari-hari bersama yang membuat saya memahami beban nurani Bapak soal konflik PKB.

Saya melihat sendiri, bagaimana sikap Bapak ketika Cak Imin datang ke rumah bersama mbak Rustini, istrinya. Bapak hanya menjawab pertanyaan mbak Rustini dan mendiamkan Cak Imin. Ini terulang di banyak ketika lain. Bapak, misalnya, enggan menemui Lukman Eddy yang sudah sampai di Ciganjur. Tidak mau menemui. Sebagai orang yang blak-blakan dan mengingat bagaimana Gus Dur bersikap bahkan kepada “musuh-musuh” politiknya, respons Bapak saat itu, amat sangat jelas: tidak suka bertemu dengan mereka.

Tahun 2008, saat proses hukum PKB Gus Dur versus PKB Cak Imin, Bapak pernah mengalami stroke ringan, entah ke berapa sejak stroke hebat tahun ‘98. Bapak terjatuh saat dituntun ke kamar mandi oleh Sulaiman di kantor Gus Dur di pojok PBNU. Saat saya tanya apa yang terjadi persis sebelumnya, Sulaiman bercerita bahwa Bapak sedang mendengarkan berita di TV tentang sidang di PTUN. Ada beberapa orang PKB Cak Imin yang diinterview oleh media, dan mereka blak-blakan bicara lebih senang Gus Dur tidak di PKB. Mendengar jawabannya, Bapak berkomentar “orang-orang ini saya yang bawa masuk politik. Kok tega ya mereka ngomongnya begitu tentang saya, Man?” Lalu Bapak minta diantar ke kamar mandi, dan jatuh pingsan di depan pintu kamar mandi. Kata dokter, stroke ringan akibat stres.

Puncaknya tentu saja ketika MA memutuskan gugatan PKB GusDur ditolak, dan MA menyatakan PKB yang sah adalah PKB hasil Muktamar Semarang di mana Ketum adalah Cak Imin dan Ketua Dewan Syuro adalah Bapak. Setelah keputusan itu, nyatanya PKB Cak Imin tetap berkantor di Menteng, tidak di kantor asli PKB yaitu di Kalibata tempat Gus Dur selalu datang. Setiap keputusan juga diambil sendiri, tidak melibatkan Gus Dur sebagai Ketua Dewan Syuro. Puncaknya di pendaftaran DCS Pemilu 2009 yang dibuat sendiri oleh cak Imin dan pengurusnya. Drastis menurunnya kesehatan Bapak setelah itu, sangat kami rasakan di Ciganjur. Sehebat apapun fisik Beliau sepanjang hidupnya, seperti kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan tekanan psikologis yang hebat ini. Dokter dari berbagai penjuru dunia memberikan respons yang sama atas catatan medis Bapak, “Ini pasien ajaib: dengan kondisi fungsi tubuh seperti ini, masih bisa bertahan begini.” Kami tahu, hanyalah keajaiban itu yang sanggup menopang tekanan psikis, dan entah berapa lama. Itu sebabnya, Ibu sangat sulit untuk menerima perlakuan PKB Cak Imin kepada Bapak, sampai saat ini.

Mei 2009, Bapak berkunjung ke Jogja. Bapak bilang, “Lis, kamu punya uang yang bisa Bapak pinjam?” Berapa dan untuk apa, tanya saya. “Ya untuk pegangan saja, 5 juta cukup.Bapak nggak punya uang sama sekali.” Bapak saya adalah orang yang mandiri, kalau sampai minta uang kepada saya, berarti sudah berat sekali bagi Bapak. Saya telpon Yenny sambil menangis. Kok bisa, Bapak sampai tak punya uang, bahkan sesedikit itu. Kok bisa, mereka-mereka yang khianat kepada Bapak hidup bergelimang kemewahan sedangkan Bapak tak punya uang di kantungnya.

Bahkan menulis paragraf di atas ini pun, saya tak mampu menahan air mata. Menyakitkan sungguh, walau juga semakin membuat saya sadar betapa Bapak jauh dari godaan harta dan kekuasaan.

Pertengahan 2009 itu kondisi Bapak memburuk. Banyak orang menjenguk Beliau di RS, dan lazimnya orang Indonesia, menitipkan belarasa urunan biaya perawatan. Bapak mengumpulkan amplop-amplop ini di dalam laci kantor di PBNU. Lebaran 2009, saya tanya ke Bapak apakah Beliau akan memberikan THR khusus ke staf Ciganjur. Jawabannya tidak dan agar saya yang memastikan mereka mendapatkan THRnya. “Bapak sedang mengumpulkan uang untuk Muktamar PKB, nak. Imin sudah nggak bisa dibiarkan terus-terusan begini.” Demikian kata Beliau saat itu. Beberapa kali Bapak bercerita soal bagaimana PKB harus diperbaiki dan tidak boleh dipegang oleh cak Imin. Saat itulah definitif saya memahami bahwa Bapak masih berupaya keras untuk memperjuangkan PKB dari cengkeraman orang-orang yang tak amanah, walau secara de facto Beliau sudah tidak berdaya. Ada beberapa orang PKB Cak Imin yang masih diterima saat menjenguk, tetapi tidak dengan kelompok terdekat Imin.

Setelah Bapak wafat pun, ada seorang teman Bapak (sekarang seorang tokoh nasional) yang mengatakan ke saya bahwa ia sedang diminta Gus Dur mencari donasi untuk persiapan Muktamar PKB Gus Dur di tahun 2010. Ia menyerahkan uang yang sudah berhasil dikumpulkannya kepada Ibu. Memang, niat Gus Dur untuk Muktamar sangat kuat, sebagai respons terhadap keputusan MA tentang legalitas PKB yang jatuh ke tangan Cak Imin.

Semua pengalaman inilah yang membuat saya ngenes dengan ‘tawaran narasi’ dari entah siapa di kubu PKB Cak Imin. Menyatakan bahwa konflik antara PKB Cak Imin dengan Gus Dur adalah rekayasa, bagi saya sama saja dengan menghina Bapak dengan amat sangat.

Seorang Gus Dur, sekuat apapun seajaib apapun, tak akan mampu merekayasa kondisi fisiknya. Menyatakan bahwa konflik ini adalah rekayasa Gus Dur, adalah sama dengan menyatakan bahwa Gus Dur gila. Itu berarti menyatakan bahwa Bapak merekayasa konflik untuk strategi politik, lalu terkena sendiri dampak fisik dari permainannya, sehingga bahkan harus tinggal di Rumah Sakit.

Seorang Gus Dur tak mungkin mempermainkan mekanisme hukum sampai di Mahkamah Agung untuk mendapatkan kejelasan hukum mengenai partainya, hanya demi rekayasa. Gus Dur adalah pejuang demokrasi, yang setia dengan prinsip keadilan dan pembebasan. Mereka yang percaya bahwa Bapak merekayasa konflik sampai memanfaatkan proses demokrasi hukum, sama saja percaya bahwa Gus Dur bukan pejuang demokrasi sejati. Ia dianggap sama dengan mereka-mereka yang memanfaatkan hukum untuk kepentingan kekuasaan. Bagi saya, ini adalah penghinaan besar bagi perjuangan dan karakter Gus Dur.

Rekayasa macam mana yang membuat rombongan Cak Imien melakukan sujud syukur di Mahkamah Agung setelah pengumuman keputusan MA itu? Menyelenggarakan tumpengan di kantornya? Sedemikian pentingnya bagi Gus Dur bersama Cak Imin membohongi rakyat dengan melakukan hal-hal itu, agar rakyat percaya ini konflik betulan padahal rekayasa? Sekali lagi, itu sama saja dengan menyatakan Gus Dur bukan pemimpin rakyat.

Bagi saya, Bapak bukan itu semua. Dalam hal konflik dengan PKB Cak Imin, acuan saya hanya apa yang saya lihat dan saya dengar dari Bapak langsung. Bukan apa kata dan analisis orang. Apalagi orang-orang yang punya track-record dan karakter yang tak bisa saya percayai.

Hanya karena ingin mendapatkan dukungan dari pecinta Gus Dur, tega sekali orang-orang ini menyebarkan narasi yang justru menghina karakter Gus Dur, tega sekali menjual nama Gus Dur sedemikian rupa hanya untuk kepentingan kekuasaan sesaat yang tentu saja tak bisa dibawa mati.

Padahal, sejatinya mudah mendapatkan dukungan pecinta Gus Dur. Kalau memang mengaku sebagai penerus Gus Dur, jalani saja apa yang selama ini diteladankan Gus Dur: integritas terhadap nilai-nilai dasar Gus Dur, demi umat. Tunjukkan bahwa mereka berjuang berlandaskan prinsip Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Persaudaraan. Tunjukkan bahwa mereka punya karakter Sederhana, Sikap Ksatrya, dan bertumpu pada Kearifan Tradisi. Tunjukkan saja bahwa mereka memang tidak terlibat korupsi, bertindak demi rakyat. Tunjukkan saja pembelaan kepada semua kaum minoritas yang akhir-akhir ini makin muram nasibnya di Indonesia. Itu cukup untuk mengambil hati rakyat.

Tak perlu klaim ini-itu, apalagi klaim yang justru menghina Bapak saya. Sebagai seorang anak, saya sungguh-sungguh kecewa pada mereka, yang tega melakukannya dan tega untuk percaya bahwa masih banyak rakyat yang masih bodoh dan bisa dibohongi. Sesuatu yang jauh dari apa yang diajarkan Bapak saya sepanjang hidupnya.

*ditulis pada 26 Pebruari 2013*

Sumber:http://alissawahid.wordpress.com/2014/04/06/bapakku-bukan-perekayasa-konflik/

Saturday, June 22, 2013

Urgensi Pendidikan Seks di Sekolah


1.1.  Latar Belakang
Pendidikan adalah salah satu bagian yang terpenting dalam kehidupan manusia. Pembentukan karakter seseorang sangat ditentukan oleh baik buruknya kualitas pendidikan yang didapatkan. Dalam pemberian pendidikan, pihak yang sangat berperan penting adalah orang tua. Betapa tidak, setiap orang tua menginginkan pendidikan yang bermutu untuk setiap buah hatinya. jadi selayaknyalah orang tua sebagai pihak pertama yang bertanggung jawab terhadap keselamatan putra-putrinya dalam menjalani tahapan-tahapan perkembangan, baik dari segi fisik, emosional, intelektual, sosial maupun seksual. Hingga saat ini banyak hal yang telah diupayakan oleh orang tua untuk memenuhi pendidikan anak, mulai dari menyekolahkan mereka ke sekolah-sekolah unggulan yang bertujuan untuk membentuk kepribadian anak yang baik, bermutu, dan berprestasi.
Seiring dengan perkembangan  zaman, pendidikan yang didapatkan oleh seorang anak dari lembaga formal dirasakan kurang, karena tingginya fenomena sosial yang akhir-akhir ini terjadi. Periode yang kita kenal sebagai masa remaja mengalami banyak perubahan ialah masa transisi. yaitu antara masa anak-anak dengan masa dewasa. Karena Pada masa ini berlangsung pertumbuhan dan perkembangan yang kompleks baik dari segi fisik maupun psikis. Salah satu perkembangan yang terjadi pada masa remaja íalah perkembangan seksual. Hal ini terjadi seiring dengan berfungsinya organ reproduksi.
Pada masa transisi, remaja berada dalam potensial seksual yang aktif, sehingga remaja berusaha mencari berbagai informasi  mengenai masalah seksual. Oleh karena itu, sudah selayaknyalah bila orang tua dan kaum pendidik bersikap lebih tanggap dalam menjaga dan mendidik anak dan remaja agar lebih berhati- hati terhadap gejala sosial, terutama yang berkaitan dengan masalah seksual, yang mana masalah tersebut merupakan fenomena yang perlu dicarikan solusinya.
Perkembangan seksual yang terjadi pada remaja seharusnya dibarengi dengan pemenuhan pendidikan seksual yang baik diberikan keluarga, dalam hal ini, orang tua baik di rumah atau melalui lembaga formal yaitu sekolah agar remaja  tidak bingung serta dapat memahami pekembangan yang terjadi di dalam dirinya serta bagaimana menyikapinya. Namun pendidikan seks masíh menjadi polemik saat ini, karena sebagian orang masih menganggap penting atau tidaknya pendidikan seks di berikan. Kenyataannya masíh banyak orang tua yang menganggap tabu ketika memberikan pendidikan seks pada anaknya. Di sisi lain, sekolah Belum bisa berperan secara optimal dalam memberikan pemahaman tentang pendidikan seks pada remaja karena Belum termasuk di dalam kurikulum.
Tingkat sosial ekonomi maupun tingkat pendidikan yang heterogen di indonesia menyebabkan ada orang tua yang mau dan mampu memberikan pengetahuan tentang seks, tetapi lebih banyak yang tidak mampu dan tidak memahami masalah tersebut. Hal yang paling mencolok ádalah kurangnya pengetahuan orang tua tentang seks, apalagi yang berada di daerah-daerah terpencil. Untuk itulah Sangat dibutuhkan pengetahuan orang tua, mengingat orang tua ádalah guru pertama bagi anak.
Kurangnya pengetahuan dari orang tua menimbulkan kekhawatiran banyaknya usaha yang dilakukan oleh remaja untuk mendapatkan informasi tentang seksual melalui media massa yang terkadang membawanya ke arah yang tidak benar, yang berakibat pada penyimpangan seksual, karena disebabkan oleh  informasi yang keliru tentang seks. Sudah seharusnyalah ada dukungan dari beberapa pihak untuk membantu orang tua mengetahui masalah seksual, sehingga mereka dapat lebih aktif dan lebih tanggap dalam memperhatikan tumbuh kembang anak-anak mereka.
Di Daerah Bima, mayoritas orang tua bermatapencaharian sebagai petani. Dan ini memungkinkan orang tua memiliki waktu yang sedikit di rumah, dan untuk mengenali seperti apa anak mereka. Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk membahas peranan orang tua dan sekolah dalam memberikan pendidikan seks, serta kendalanya dan bagaimana cara yang terbaik untuk menanggulanginya.

1.2.   Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang diatas, maka penulis dapat menyimpulkan Rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana peran orang tua dan sekolah dalam  memberi pendidikan seks pada remaja.
2.      Kendala-kendala apa sajakah yang dihadapi oleh orang tua dan sekolah dalam memberikan pendidikan seksual pada remaja.
3.      Bagaimana cara menanggulangi kendala-kendala dalam memberikan pendidikan seks pada remaja


1.3.  Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas, tujuan dari penulisan ini yaitu:
1.      Untuk mengetahui peran orang tua dan sekolah dalam pendidikan seks pada remaja
2.      Untuk mengetahui lebih jauh kendala-kendala yang  dihadapi orang tua dan sekolah ketika akan memberikan pendidikan seksual
3.      Untuk mengetahui bagaimana cara menanggulangi kendala-kendala yang dihadapi oleh orang tua dan sekolah dalam penyampaian pendidikan seks pada remaja

1.4.  Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan dari masalah tulisan ini yaitu:
1.      Dapat digunakan sebagai acuan oleh orang tua dalam memberikan pendidikan seks pada anak.
2.      Memberikan informasi tentang faktor penghambat pemberian pendidikan seks pada anak.
3.      Memberikan solusi kepada orang tua dan sekolah untuk menanggulangi kendala-kendala yang ada.





BAB II
TELAAH PUSTAKA



2.1. Pendidikan Seksual
            Seksual adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungan intim antar laki-laki dan perempuan. Sedangkan pendidikan adalah pengaruh, bimbingan, arahan, yang dilakukan secara sadar dari orang dewasa kepada anak yang belum dewasa agar menjadi dewasa, mandiri dan memiliki kepribadian yang utuh dan matang. Jadi pendidikan seksual adalah cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual (http://www.e-psikologi.com).
Sedangkan pengertian pendidikan seksual menurut Sarlito dalam bukunya psikologis remaja adalah “suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar  yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan, sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual dan aspek-aspek kejiwaan, dan kemasyarakatan”.
Menurut DR. Arief Rahman Hakim dan Drs. Fakhruddin SMU Labscool Jakarta menyatakan bahwa :”Pendidikan seksual adalah perlakuan sadar dan sistematik di sekolah, keluarga dan masyarakat untuk menyampaikan proses perkelamian menurut agama dan yang telah diterapkan oleh masyarakat.
Pengertian pendidikan seksual menurut islam  adalah upaya pengajaran dan penerapan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan pada anak, dalam usaha menjaga anak dari kebiasaan yang tidak islami, serta menutup kemungkinan ke arah hubungan seksual terlarang (zina) (Mursi,M) http://situs.kesrepro.info//krr/referensi.htm.



2.2. Tujuan Pendidikan Seks
Menurut Kartono Muhammad (1991) “tujuan pendidikan seksual yang baik mempunyai tujuan membina keluarga dan menjadi orang tua yang bertanggung jawab. Sedangkan menurut Tirto Husodo (1981) “tujuan pendidikan seksual adalah untuk memberikan pengetahuan dan mendidik anak agar berprilaku yang baik dalam hal seksual, sesuai dengan normal agama, social, dan kesusilaan.
Dari penjabaran yang dikemukakan di atas, maka tujuan pendidikan seks ádalah :
1.      Memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan fisik, mental, dan proses kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah seksual pada remaja.
2.      Mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan perkembangan dan penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggung jawab).
3.      Memberikan pengertian bahwa anatara manusia dapat membawa kepuasan pada kedua individu dan kehidupan keluarga.
4.      Memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral yang esensial untuk memberikan dasar yang rasional dalam membuat keputusan berhubungan dengan perilaku seksual.
5.      Memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu melakukan aktifitas seksual secara efektif dan kreatif dalam berbagai peran, misalnya sebagai istri atau suami, orang tua, anggota masyarakat.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan seksual ádalah untuk membentuk suatu sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan membimbing anak dan ramaja kearah hidup dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya.
 
2.3. Pentingnya Pendidikan Seks Bagi Remaja
Remaja ádalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Menurut WHO (badan PBB untuk kesehatan dunia), usia ramaja ádalah 12 sampai 24 tahun. Namun, jika pada usia remaja seseorang sudah menikah, maka ia tergolong usia dewasa. Sebaliknya, jika usia bukan lagi remaja tetapi masíh tergantung pada orang tua (tidak mandiri), maka dimasukkan ke dalam kelompok remaja.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika berbicara tentang remaja dan pendidkan seks, terutama yang berhubungan dengan perkembangan seks. Ada kesan pada remaja bahwa seks itu menyenangkan, puncak rasa kecintaan, tidak ada kedukaan, tidak menyakitkan bahkan membahagiakan, sehingga tidak ada yang perlu ditakutkan. Seks hanya berkisar pada prilaku seks semata yang disertai birahi, bahkan ada yang beranggapan bahwa gaul atau tidaknya seorang remaja dilihat dari pengalaman seks mereka, sehingga ada opini âœseks ádalah sesuatu yang menarik dan perlu dicoba (dikenal dengan istilah sexpectation).
 Masa remaja ádalah masa yang sangat didominasi dengan masalah-masalah seks dan sangat memperhatikan masalah-malasah seks. Banyak remaja yang mengkonsumsi bacaan-bacaan porno, melihat film-film blue dan semakin bertambah ketika mereka berhadapan dengan rangsangan seks seperti suara, pembicaraan, tulisan, foto, sentuhan, atau film. Bahkan semakin hari semakin berfariatif. Padahal apabila remaja sudah terjerumus dalam kegiatan seks yang haram, maka akan mengakibatkan:
1.      Hilangnya harga diri bagi remaja pria dan kehilangan keperawanan bagi wanita
2.      Perasaan berdosa yang mendalam, terkadang berakibat menjadi lemah dan semakin jauh dari Allah SWT.
3.      Perasaan takut hamil.
4.      Lemahnya kepercayaan antara kedua pihak.
5.      Apabila hubungan ini diteruskan, akan menjadi hubungan yang gagal, terlebih bila dikembalikan dengan hukum syariat.
6.      Penghinaan masyarakat terhadap remaja laki-laki dan perempuan, juga pada keluarga.
Adapun solusi nenurut DR. Akram Ridho Mursi dari permasalahan di atas sebagai berikut :
1.      Dengan meminimalkan hal-hal yang merangsang, mengekang ledakan-ledakan nafsu yang menguasainya. Sebab, sesungguhnya tuntutan untuk memenuhi hasrat biolagis didorong oleh dua sebab: Pertama: Ekstern, dengan jalan rangsangan. Pada awalnya memori seks dibentuk oleh stimulasi eksternal (bukan persepsi). Kedua: Intern, dengan jalan berfikir dan bertindak.
2.      Dengan menjaga diri. Hal ini merupakan bagian dari proses yang (1) memahami diri. Dimana remaja putra dan putri memahami tentang jati dirinya. Menyadari akan tugas dan tanggung jawab hidup, mengerti hubungan dirinya dengan lingkungannya, (Al-Hajj: 77). (2) kualitas akhlak. Menyadari batas-batas nilai, tugas masyarakat kecil dan besar, komitmen dengan tanggung jawab bersama dalam masyarakat. (3) kesadaran beragama. Perasaan taqwa dan muroqabah-Nya (Al-Alaq:14). (4) Perasaan damai dirumah. Terbangun dari keterbukaan, cinta kasih, saling memahami diantara sesama anggota keluarga. (5) pengawasan yang cerdas dari orang tua. (6) komitmen dengan aturan-aturan Allah SWT dalam berpakaian dan dalam bergaul dengan lawan jenis. (7) menghindari pergaulan bebas dan mencengah berduaan tanpa mahram (http://www.e-psikologi.com).  
Masíh Amat sedikit pihak yang mengerti dan memahami betapa pentingnya pendidikan seksualitas bagi remaja. Faktor utama yang membuat pendidikan seksualitas sulit diimplementasikan secara formal ádalah persoalan budaya dan agama.
Selain itu, factor lain yang mempengaruhi ádalah kentalnya budaya patriarki yang mengakar dimasyarakat. Seksualitas masih dianggap sebagai isu perempuan belaka.  
Pornografi merupakan hal yang ramai dibicarakan karena berdampak negatif, dan salah satu upaya membentengi remaja dari pengetahuan seks yang menyesatkan ádalah dengan memberikan pendidikan seksualitas yang benar. WHO menyebutkan, ada dua keunggulan yang dapat diperoleh dari pendidikan seksualitas. Pertama, mengurangi jumlah remaja yang melakukan hubungan seks sebelum menikah . Kedua, bagi remaja yang sudah melakukan hubungan seksual, mereka akan melindungi dirinya dari penularan penyakit seksual dan HIV/AIDS.
Mengingat rasa ingin tahu remaja yang begitu besar, pendidikan seks yang diberikan harus sesuai kebutuhan remaja, serta tidak menyimpang dari prinsip pendidikan seksualitas itu sendiri. Maka, pendidikan seks harus mempertimbangkan:
1.      Pendidikan seks harus didasarkan penghormatan hak reproduksi dan hak seksual remaja untuk mempunyai pilihan.
2.      Berdasarkan pada kesetaraan jender.
3.      Partisipasi remaja secara penuh dalam proses perencanaan
4.      Bukan cuma dilakukan secara formal, tetapi juga nonformal.
(http:/pendidikan sex/remaja,pornografi&pendidikan sex.com)

2.4. Keluarga Sebagai Lembaga Pendidikan Bagi Anak
Keluarga dalam hal ini orang tua merupakan institusi pertama dimana seseorang akan mengenal bermacam-macam nilai sosial yang ada. Keluarga, akan menjadi tempat berlangsungnya proses sosialisasi  dan internalisasi nilai dan beragam keterampilan dasar dalam hidup seseorang. Sehingga jika proses sosialisasi dan internalisasi nilai berlangsung dengan baik maka kepribadian anak akan menjadi mantap.
2.4.1.      Peran Ayah Dalam Keluarga
Perkawinan membawa konsekuensi yang berupa tanggung jawab yang melekat pada peran ganda seorang ayah. B. Simanjuntak dan I.I. Pasanibu menyatakan bahwa peran ayah itu ádalah (1) sumber kekuasaan sebagai dasar identifikasi, (2) penghubung dunia luar, (3) pelindung ancaman dunia luar dan (4) pendidik segi rasional (B.Simanjuntak, II Pasaribu, 1981, p. 110). Sikun Pribadi menbagi peran ayah menjadi (1) pemimpin keluarga, (2) sex poster, (3) pencari nafkah, (4) pendidik anak-anak, (5) tokoh identifikasi anak, (6) pembantu pengurus rumah tangga.
Dari kedua pendapat tersebut ternyata tidak berbeda dan justru melengkapi. Ayah sebagai pemimpin dalam keluarga disebut juga kepala keluarga atau kepala rumah tangga. Oleh karena itu ayah memegang kekuasaan di dalam keluarga. Ayah berperan sebagai pengendali jalannya rumah tangga dalam keluarga. Sebagai pemimpin keluarga orang tua wajib mempunyai pedoman hidup yang mantap, agar jalannya tumah tangga dapat berjalan dengan lancar menuju tujuan yang telah dicita-citakan. Secara psikologis diketahui pedoman hidup yang mantap dan kuat merupakan salah satu ciri masculinitas dalam suatu “Aku” yang kuat, yang mampu melihat dan menghadapi segala jenis kenyataan hidup duniawi. Pedoman hidup juga mengaplikasikan adad dan cita-cita yang luhur, yang dapat membawa keluarga nya lepada kehidupan dunia akhirat. Seorang ayah sebagai warga negara indonesia harus menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur pancasila, serta menanamkan kepada anak-anaknya agar anak menjadi warga yang pancasila (http://peranan keluarga dalam pendidikan seks.com).
   
2.4.2.      Peranan Ibu Dalam Keluarga
Kartini Kartono (1977) menyatakan bahwa dalam keluarga, peranan ibu adalah sebagai berikut (1) sebagi istri dan teman hidup, (2) sebagai partner seksual, (3) sebagai pengatur rumah tangga, (4) sebagai ibu dan pendidik anak-anaknya, (5) sebagai makhluk sosial yang ingin berpartisipasi aktif dalam lingkungan sosial. Sikun Pribadi (1981) menyatakan bahwa peranan wanita dalam keluarga adalah (1) sebagai istri, (2) sebagai pengurus rumah tangga (3) sebagai ibu dari anak-anak, (4) sebagai teman hidup, (5) sebagai makhluk sosial yang ingin mengadakan hubungan sosial yang intim.
Kedua pendapat tersebut ternyata sama, hanya penempatan urutan dan kombinasi peran yang berbeda. Sedangkan menurut nani Suwando (1981) menyatakan bahwa wanita dalam keluarga itu mempunyai panca tugas lain yaitu (1) sebagai istri, (2) sebagai ibu pendidik, (3)sebagai ibu pengatur rumah tangga, (4) sebagai teman kerja, (5) sebagai anggota organisasi masyarakat.
Jika ketiga pendapat tersebut kita bandingkan, maka pendapat Nani Suwondo menambah satu peran wanita sebagi istri. Ibu sebagai istri sekaligus sebagai seks partner bagi suami dan juga teman hidup bagi suami. Ibu sebagai istri merupakan pendamping suami, sebagai sahabat dan kekasih yang bersama-sama membina keluarga sejahtera. Oleh karena itu di lembaga-lembaga pemerintah di mana suami bekerja maka ia akan menjadi anggota organisasi yang ada di tempat suami bekerja (http://peranan keluarga dalam pendidikan seks.com).  

2.5. Sekolah Sebagai Pendidikan Formal
Institusí kedua yang ikut berperan dalam membentuk kepribadian dan perilaku anak ádalah sekolah. Institusi sekolah merupakan tempat terjadinya transformasi ilmu pengetahuan maupun nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Di samping itu, dalam sekolah pula akan terjadi proses pewarisan budaya dan penyebaran budaya secara sistematis dan terprogram.
Oleh karena fungsi sekolah sebagai tempat terjadinya transformasi pengetahuan, teknologi dan nilai maka keberadaannya menjadi sangat penting di tengah masyarakat. Karena proses pewarisan, transformasi maupun proses penyebaran beragam pengetahuan, teknologi, budaya berlangsung secara sistematis dan terprogram maka pengalaman yang akan diperoleh oleh anak juga akan relatif sistematis, terprogram dan terukur.
Dengan demikian, untuk memberikan pemahaman kepada anak tentang seksualitas maupun reproduksi yang sehat itu benar, maka peran sekolah sangat penting dan strategis. Karena pengetahuan yang akan diperoleh anak sudah seragam, sistematis. Namun, masalahnya adalah pada bagaimana tehnik agar pemahaman tentang seksualitas dan reproduksi sehat itu tidak justru menstimulasi siswa untuk coba-coba.
Pada dasarnya bahwa pendidikan seks dan juga reproduksi sehat perlu dipahami oleh semua remaja. Karena melalui sekolah, pemahaman tentang seksualitas dan reproduksi yang sehat akan lebih jelas, sistematis dan terprogram. Pendidikan seks tidak hanya terkait dengan masalah alat kelamin dan hubungan seksual semata, namun juga menyangkut pola hubungan antara lawan jenis,  norma maupun penyakit yang mungkin timbul akibat hubungan seksual yang tidak benar (http://peranan keluarga dalam pendidikan seks.com).
BAB III
METODE PENULISAN



Metode penulisan karya tulis ini menggunakan metode kepustakaan. Di mana penulis membahas masalah-masalah yang sesuai dengan telaah pustaka. Telaah pustaka diperoleh dari buku-buku, koran, majalah, Internet, dan sumber-sumber lain yang mendukung topik yang dibahas.
Analisis permasalahan dilakukan dengan menghubungkan antara informasi atau data yang didapat dengan telaah pustaka. Kesimpulan diperoleh berdasarkan informasi-informasi yang sesuai dengan telaah pustaka, data yang diperoleh, gagasan dari penulis sedangkan saran ditujukan khusus kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan tema yang sedang dibahas.
BAB IV
PEMBAHASAN



4.1. Peranan Orang Tua Dalam Pendidikan seks
Anak adalah karunia. Anak lahir dalam keadaan fitrah, orang tua dan lingkungannyalah yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian, perilaku dan kecenderungan anak sesuai bakat yang ada pada dirinya.
Seks termasuk kebutuhan dasar manusia, sebagaimana kebutuhannya terhadap makan dan minum, pakaian dan tempat tinggal. Setiap anak memiliki potensi, apabila tidak dididik dengan sebaik-baiknya, maka boleh jadi potensi dan dorongan biologis yang dimiliki anak tersebut disalahgunakan pada hal-hal yang dapat merugikan dirinya sendiri. Seperti melakukan hubungan seksual diluar nikah, pemerkosaan dan lain-lain.
Menurut Nurhayati (2007), tanggung jawab orang tua tidak hanya mencakup atau terbatasi pada kebutuhan materi saja, tetapi sesungguhnya mencakup juga kepada seluruh aspek kehidupan anaknya, termasuk di dalamnya aspek pendidikan seksual. Di mana pemahaman dan pemilihan metode pendidikan seksual yang tepat akan mengantarkan anak menjadi insan yang dapat menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan yang terlarang dan sadar akan ancaman dan peringatan dari perbuatan zina serta memiliki pegangan agama yang jelas.
Keluarga adalah madrasah pertama dan utama bagi anak. Karena di sanalah mereka mulai belajar dan mengetahui segala sesuatu, termasuk seks. Di samping itu, orang tua ádalah pihak pertama yang bertanggung jawab dalam membina dan mendidik serta memonitor perkembangan baik fisik, emosional, maupun seksual  putra-putrinya.
Pendidikan seks perlu diberikan kepada setiap orang, termasuk remaja. Sebagaimana halnya pendidikan intelektual, kecakapan, kesenian dan sebagainya. Jika anak perlu diberikan pendidikan intelektual dengan dasar anak memiliki akal pikiran, maka pendidikan sekspun diberikan karena manusia memiliki potensi biologis.
Dengan adanya orang tua sebagai media pendidikan seksual bagi remeja, maka diharapkan dapat menghasilkan manfaat sebagai berikut :
1.      Dapat memberikan pengertian secara benar mengenai masalah seksual.
2.      Dapat membina kedekatan antara anak dan orang tuanya lebih terjalin.
3.      Membuat anak menjadikan orang tuanya sebagai teman yang dapat diajak cerita.
4.      Mengurangi KTD (Kehamilan Tidak Di inginkan).
5.      Mengurangi prostitusi, dan ekplorasi seks yang berlebihan.
6.      Dapat memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan penyimpangan seksual agar individu dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat mengganggu kesehatan fisik dan mental remaja.

4.2. Peranan Sekolah Dalam Pendidikan Seks 
Selain orang tua, pihak yang ikut berperan dalam pembentukan kepribadian dan perilaku anak adalah sekolah. Karena sekolah merupakan wadah yang tepat dalam pemberian informasi mengenai seksual kepada remaja. Di samping itu, sekolah adalah tempat kedua bagi remaja menghabiskan sebagian waktu mereka, lembaga formal ini di dirikan untuk memberikan pendidikan kepada remaja, termasuk masalah seksual.
Lingkungan sekolah juga merupakan tempat untuk kaum remaja mengembangkan persahabatan, menghibur, membuat rencana untuk pergaulan di luar sekolah, dan bergaul dengan lawan jenisnya. Lingkungan sekolah sering memberi kesempatan kepada remaja untuk mulai berpacaran. Selain itu, lingkungan sekolah juga menjadi tempat yang digunakan untuk saling tukar informasi antara teman sebaya.
Di satu sisi, sekolah merupakan lingkungan yang memperkenalkan remaja kepada masalah seks. Namun di sisi lain, lingkungan sekolah mampu melindungi remaja dari  resiko seks bebas sebagai informasi yang disajikan oleh sekolah.
wadah yang mengatur, memperhatikan, dan mengatasi masalah sosial remaja ádalah BK (Bimbingan Konseling). BK berperan mendampingi remaja dalam pelayanan pengembangan diri, masalah karier/belajar, dan masalah sosial.
Selain BK, dalam kurikulum pendidikan pun telah ada mata pelajaran biologi, di mana pada pokok bahasan tertentu ada yang membahas masalah reproduksi, hormon-hormon yang berpengaruh pada tubuh manusia dalam mengontrol seksualitas. Kurikulum ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam upaya memberikan pemahanan pada remaja tentang pendidikan seks.  
Lingkungan sekolah juga mencerminkan norma masyarakat terhadap kejadian kehamilan pra-nikah, dalam hal ini departemen pendidikan nasional (DEPDIKNAS) pun secara tegas mengatakan bahwa remaja yang hamil disaat bersekolah harus dikeluarkan dari sekolah.  Mengingat pentingnya pendidikan seks di sekolah, setiap sekolah memiliki pendekatan yang berbeda mengenai pendidikan seks, ada yang mengundang satu kali dalam setahun pakar psikologis atau reproduksi dalam mensosialisasikan pendidikan seks pada remaja.
Secara terperinci, peranan sekolah dalam pemberian pendidikan seks pada remaja ádalah :
1.      Dapat menjadi wadah untuk para remaja dalam mendapatkan pengetahuan tentang pendidikan seks secara benar dan sistematis.
2.      Dapat memberikan pendekatan secara sosial dan individu (biologi), sehingga diharapkan mengurangi pergaulan bebas di kalangan remaja.
3.      Sebagai tindak lanjut pendidikan seks yang diajarkan orang tua dirumah.

4.3. Kendala yang di Hadapi Orang Tua dalam Memberikan Pendidikan Seks
Di dalam pelaksanaan pendidikan seks, ada beberapa faktor penghambat yang dihadapi oleh orang tua yaitu: pengetahuan, kesadaran, ekonomi serta tingkat pendidikan orang tua yang rata-rata menengah.
Dewasa ini, orang tua belum mampu secara maksimal memberikan pendidikan seks yang layak dan benar kepada anak-anak mereka  disebabkan oleh beratnya beban hidup yang harus dipikul oleh orang tua dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Sehingga mereka mempunyai keterbatasan waktu dengan anak-anak mereka di rumah. Di samping itu mereka pun tidak mengerti kapan dan di mana pendidikan seks mulai diberikan serta bagaimana cara menyampaikannya.
Selain faktor di atas, masih adanya anggapan bahwa mengajak anak  membicarakan seks akan menghilangkan kewibawaan dan membingungkan orang tua yang malu mengungkapkan persoalan-persoalan seksual. Sehingga banyak remaja yang senang membahas masalah seks dengan teman-temannya ketimbang dengan orang tua, karena hal ini dianggap sebagai hal yang tabu.  
Ada beberapa alasan kenapa orang tua merasa tidak nyaman membahas masalah pendidikan seks yaitu:
1.      Kurangnya pengetahuan untuk menjawab pertanyaan mengenai seksual maupun reproduksi.
2.      Tidak efektifnya komunikasi anak dan orang tua.
3.      Tidak terciptanya suasana keterbukaan, kenyamanan antara anak dan orang tua.

4.4. Kendala yang Dihadapi Sekolah Dalam Pemberian Pendidikan Seks
Sampai saat ini, pemerintah Republik Indonesia belum meresmikan  pendidikan seks dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Tapi Cara pengajaran dan materi dipakai untuk mengajar pendidikan seks di sekolah diserahkan sepenuhnya pada  sekolah yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.
Kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi mulai ada pada tahun 1980-an di sekolah dengan tujuan mendidik dan menyadarkan generasi muda tentang kesehatan reproduksi yang bertanggung jawab. Pendidikan seks di sekolah-sekolah indonesia adalah pengetahuan reproduksi seksual secara biologis daripada masalah seks di konteks sosial.
Namun, masalahnya adalah begaimana teknis pelaksanaan. Apakah pendidikan seks dan reproduksi sehat itu dimasukkan dalam pengembangan diri dalam ekstrakurikuler, yang mana sifatnya hanya pilihan atau dikaitkan dalam bidang yang lain. Jika kurikulum mengenai pendidikan seks dan reproduksi dimasukkan dalam intrakurikuler, ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan terlebih dahulu agar program pendidikan seks dan reproduksi sehat ini dapat berjalan dengan lancar. Adapun aspek-aspek yang harus dipersiapkan antara lain ádalah kurikulum yang meliputi
1.      Standar kompetensi dan kompetensi dasarnya
2.      Siapa gurunya
3.      Berapa waktu yang disediakan
4.      Bagaimana media yang digunakan
5.      Bagaimana sistem penilaiannya
6.      Bagaimana sarana dan prasarananya
Di sisi lain, yang perlu juga diketahui adalah apakah anak sudah siap secara psikologis maupun fisiologis, dan apakah mayarakat sudah siap menerima kenyataan bahwa kehidupan pribadi dan dewasa dibicarakan secara terbuka.
Di samping aspek kurikulum, guru, siswa, masyarakat juga perlu dipikirkan terlebih dahulu, karena pada dasarnya tingkat perkembangan psikologis anak remaja berbeda dengan orang dewasa misalnya mahasiswa. Sehingga harus dipertimbangkan dan dipersiapkan secara matang agar program pendidikan ini justru tidak menjadi bumerang bagi kehidupan anak, karena tergesa-gesa karena tuntutan modernisasi kesalahan dalam mendesainnya.

4.5. Cara Menanggulangi Kendala-Kendala yang Dihadapi
Pemberian pendidikan seks merupakan tanggung jawab semua kalangan, baik orang tua, pemerintah maupun masyarakat. Sehingga dalam penyampaiannya tidak salah dan menjerumuskan remaja dalam pergaulan bebas.
Orang tua dan sekolah merupakan mitra dalam pendidikan anak, maka mereka harus berkerja sama dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul dalam diri anak dan remaja. Adapun cara dalam penyampaian pendidikan seks yaitu dengan cara sosialisasi yang memerlukan dukungan dan partisipasi dari semua kalangan yaitu pemerintah pusat, daerah, desa, BKKBN, LSM sebagai mediator penyediaan saran sosialisasi.
         
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN



5.1. Kesimpulan
Dari analisis permasalahan yang telah diuraikan, ada beberapa hal dapat disimpulkan:
1.      Salah satu perkembangan yang terjadi pada remaja ialah perkembangan seksual. Pendidikan seks yang benar sangat dibutuhkan oleh remaja agar dorongan seksual tidak disalahgunakan.
2.      Orang tua adalah madrasah pertama bagi pendidikan anak, termasuk pendidikan seks. Karena orang tua adalah pihak yang paling tahu dan paling mengerti seperti apa anak mereka. Sehingga orang tua adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap semua pendidikan yang didapatkan anaknya, begitu pula pendidikan seks.
3.      Selain orang tua, yang bertanggung jawab dalam pembentukan kepribadian dan perilaku remaja adalah sekolah. Sekolah merupakan tempat terjadinya transformasi ilmu pengetahuan maupun nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Di sekolah, anak  mendapatkan pendidikan seks secara sistematis dan terprogram.
4.      Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan seks bagi orang tua adalah kurangnya pengetahuan, tidak tahunya cara penyampaian, kurangnya keterbukaan, serta keterbatasan intensitas pertemuan antara anak dan orang tua.
5.      Pendidikan seks merupakan tanggung jawab semua pihak, yang memerlukan kerjasama antara pemerintah pusat, daerah, desa, BKKBN, Dinas Kesehatan, serta LSM sebagai mediator sosialisasi pendidikan seks.




5.2. Saran
    Ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan:
1.      Kepada orang tua agar lebih memperhatikan perkembangan anak menginjak usia remaja mengenai perkembangan seksual anak serta memberikan pendidikan seks secara baik dan benar.
2.      Kepada sekolah agar melaksanakan program sosialisasi pendidikan seks kepada remaja dengan memanfaatkan OSIS (Organisasi Intra Sekolah) serta KOMITE sekolah sebagai wakil orang tua.
3.      Kepada pemerintah pusat, daerah, desa, BKKBN, LSM agar lebih intens lagi mengadakan sosialisasi tentang pentingnya pendidikan seks.
DAFTAR PUSTAKA



Anonim. Tanpa Tahun. Pendidikan Seks. http://situs.kesrepro.info//krr/referensi.htm [14 September 2008].
Anonim. Tanpa Tahun. Seksologi, Antara Perlu dan Tabu. http://www.google.com [14 September 2008]
Anonim. Tanpa Tahun. Pentingnya Pendidikan Seks Bagi Keluarga, Remaja dan anak. http://www.google.com [20 Oktober 2008]
Admin. Tanpa Tahun. Pelajaran Seks Bantu Anak Laki-laki Bilang “Not to sek” http://www.f-buzz.com/tag/pesta)
Mu’tadin, Zainun. 2002. Pendidikan Seks Pada Remaja. www.e-psikologi.com.
Athar, Syahid. Tanpa Tahun. Sex Education, Teenaga Pregnacy,Sex in Islam and Marriage. http://www.islamawareness.net. [13 September 2008]
 Lis, 2003. Peranan Keluarga Dalam Pendidikan Seks Anak. http://www.google.com [15 Mei 2008)
Rawis, 2008. Bagainama cara memberipPendidikan sex pada anak sehingga anak tidak terjerumus. http://www.google.com. [15 mei 2008]
Syarifudin, Nurhayati. 2007. Pendidikan Seks pada Keluarga, Remaja dan Anak. Makalah yang disampaikan pada acara seminar perempuan dengan tema Seksologi; Antara Perlu dan Tabu.
Warso, AWDD dkk. Tanpa tahun. Apa perlu pendidikan sex masuk dalam kurikulum sekolah?. http://www.google.com. [10 Juli 2008]
Zurayk, M. 1994. Aku dan Anakku. Bandung: Al Bayan