Monday, July 27, 2009

MOS dan Anarkisme Pendidikan

oleh:Fandrik HS Putra
Masa Orientasi Siswa atau yang lebih populer dengan istilah MOS adalah masa dimana seluruh siswa baru diperkenalkan dengan lingkungan pendidikan mereka yang baru. Agar proses yang mereka jalani selama menempuh jenjang pendidikan di sekolah terkait tidak kaku.
Momentum itu juga digunakan sebagai pengenalan lebih jauh mengenai seluk-beluk sekolah yang akan mereka tempuh ke depan hingga lulus. Mulai dari tinjauan historis, visi dan misi, kurikulum pendidikan, materi ajar dan lain sebagainya.
Namun MOS yang sejatinya dijadikan ajang pengenalan awal terhadap lingkungan pendidikan baru masih harus dinodai dengan tindak-tanduk kekerasan yang dilakukan panitia penyelenggara MOS itu sendiri. Surat idzin dari kepala sekolah untuk menghukum peserta MOS yang melakukan pelanggaran dijadikan legitimasi sehingga tindak kekerasan tidak bisa dihindari.
Selain itu ancaman-ancaman tidak lulus MOS yang di terorkan oleh panitia jika tidak mematuhi aturan mereka (baca; panitia) menjadi batu sandungan untuk melawan meski tindakan panitia di luar batas kewajaran. Akibatnya, MOS tidak akan berjalan efektif dan efisien. Materi-materi yang diajarkan hanya akan menjadi formalitas belaka sebab psikis mereka down karena dihantu oleh ketakutan.
Studi kasus telah kita simak pada harian jawa pos (edisi, 17 juli 2009) alm Roy Aditya Perkasa, siswa bari SMA Negeri 16 Surabaya, anak mandiri yang jago computer itu harus mengakhiri hidupnya saat menjalani MOS di sekolahnya. Memang, peristiwa itu terjadi di Surabaya. Namun berita kematiannya telah menggegerkan sekolah yang ada di Jawa Timur. Kemudian, apa hubungannya dengan pendidikan yang ada di Madura? Mengapa bisa terjadi kekerasan?
Sebuah koreksi bagi kita. Tak dapat dipungkiri, lembaga yang ada di Madura sering kita jumpai masih menggunakan metode di atas, yakni kekerasan. Kesalahan-kesalahan kecil seringkali dibesar-besarkan dengan alasan jika kesalahan yang sepele dilakukan, bagaimana dengan kesalahan yang besar?.
Yang lebih ironis lagi, panitia sengaja mencari-cari kesalahan peserta MOS untuk dihukum dan diteror tidak lulus. Tak jarang banyak penyimpangan, mulai tugas dari panitia MOS yang terlalu banyak hingga menyebabkan siswa baru terkena hukuman pantia. Bahkan dijadikan ajang balas dendam atas kekesalan panitia yang dahulu juga siswa baru.
Bagaimana menyikapi MOS dengan baik? Ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk pelajaran awal kepada kepada peserta MOS yang masih ”kosong” pengetahuan. Pertama, panitia memberikan pelayanan fasilitas yang baik agak tercipta suasana pembelajaran yang kondusif. Kedua, panitia atau sekolah terkait lebih selektif dalam memberikan arahan dan materi ajar kepada peserta MOS selama kegiatan itu berlangsung karena MOS adalah cermin belajar-mengajar selama menempuh jenjang pendidikan di sekolah itu.
MOS pada dasarnya memiliki tiga tujuan, yaitu pengenalan, pengakraban, dan sosialisasi. Karena itu, jangan sampai kegiatan MOS keluar dari tujuan awal, apalagi berpotensi mempermalukan dan menakutkan siswa. Perlu adanya kesadaran diri dari panitia MOS sendiri bahwa kegiatan MOS bukan sebagai ajang balas dendam, tapi sebagai pengenalan siswa baru terhadap lingkungan sekolah yang baru juga, agar kekerasan itu tidak jadi warisan turun temurun. Tindakan tegas dari pihak sekolah juga dibutuhkan jika terjadi pelanggaran yang dilakukan panitia, juga pemantauan orang tua siswa terhadap kinerja MOS sendiri sehingga diharapkan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan