Sunday, May 27, 2012

Guru Budiman

(Dimuat di Suara Pembaruan, 27 Mei 2012)

Dua jarum jam dinding tak bergerak. Yang satu berhenti di angka sembilan sedangkan satunya lagi, sedikit lebih panjang berhenti di angka sebelas. Detiknya berdetak tapi tak beranjak. Sesosok tubuh senja meringkih di atas lincak, tepat di bawah detak jam itu. Desir angin melengkungkan tubuhnya. Nyamuk-nyamuk menjadi galak di musim hujan. Menusuk-sunuk bak jarum suntik. Gemeretak gigi berpacu dengan denyit lincak yang menyangga tubuhnya. Segerombolan nyamuk meraung-raung serupa omelan istrinya yang terus berdenyut di kepala.

Jatah kasur empuk dan pelukan sang istri dipastikan raib sebelum maaf terucapkan. Maaf? Ah, ia menggelengkan kepala. Lebih baik tidur di atas lincak ketimbang minta maaf, pikirnya. Beberapa bulan terakhir, istrinya kerap naik pitam bila sedikit saja ada kesalahan sebagai kepala rumah tangga. Aku manusia biasa, bukan malaikat yang tak pernah berbuat salah, umpat hatinya.

Angin berdesir. Sebuah krocok jatuh. Keras membentur genting dapur. Dengan sigap ia bangun. Menuruni tiga buah anak tangga di depan rumah seraya bergegas menuju kandang sapi. Keamanan Kampung Pangsenok tak terjamin. Kalau tidak mawas diri, manusia-manusia belang akan leluasa menyatroni rumah mereka.

Dipastikan sepasang sapinya tak beranjak, lelaki tua berperawakan kurus itu bergegas ke beranda. Sesekali bias cahaya dari dalam rumah jatuh di kakinya. Sudah larut benar, pikirnya. Langkahnya sejenak terhenti di depan jendela kamar. Lampu sudah padam. Kisi-kisi jendela kayu berundak ditatapnya lekat. Ia menguatkan napas, tak habis pikir. Setiap kali ada persoalan keluarga, entah urusan dapur, pertanian, perniagaan, keuangan, ujung-ujungnya pasti lari pada satu persoalan: Sekolah. Mengapa harus sekolah? Ini yang membuatnya tak terima.

Keras suara kakinya menaiki anak tangga.

***
Bersama Toni, Agung, dan Bunro, aku memilih MTs Darut Tauhid dijadikan tempat PPL. Sebagai calon guru agama, tentu banyak ragam mata pelajaran yang bisa kami pilih: Bahasa Arab, SKI, Aqidah Ahlak, Fiqih, dan Alquran Hadits. Di sekolah itulah aku, Toni, Agung, dan Bunro mengenali Guru Budiman. Sosok kepala sekolah yang selalu tampil rapi, murah senyum, dan agamis. Guru Budiman yang budiman, begitulah kira-kira.

Kain batik—satu-satunya—selalu dikenakan setiapkali mengajar pada hari senin dan kamis. Guru Budiman meminta—tepatnya memohon—kami untuk selamanya mengajar di situ. Madrasahnya kekurangan tenaga pengajar. Sebagian guru menyatakan berhenti, sebagian yang lain menyatakan ingin pindah mengajar. Tinggallah tersisa hanya empat orang guru dengannya. Ia sendiri merangkap dua jabatan: kepala sekolah dan tata usaha.
Aku mengiyakan. Sedangkan Toni, Agung, dan Bunro tidak bersedia dengan lantaran sibuk kuliah. Aku tahu mereka gengsi mengajar siswa yang hanya segelintir jagung, bangunan berdinding serap dan panuan, serta pertimbangan beberapa guru yang banyak mengundurkan diri.

“Pasti karena gajinya sedikit,” kata Burno ketika tengah pulang dari mengajar.

“Atau paling karena gajinya sering ditunggak,” cetus Agung. Ibaku malah meruap.

***
Sumpah serapah istinya kerap terdengar dari dalam rumah, menghujam Guru Budiman yang tengah duduk lesu. Tatapannya yang teduh mengurungkan niatku membalikkan badan dan bergegas pergi dari rumah itu. Sepertinya kedatanganku kurang tepat.

“Maaf, mengganggu,” selorohku.

“Ndak apa-apa. Apa yang kau dengar tadi adalah kembang keluarga. Kurang sedap bila ndak ada seperti itunya,” senyumnya mengambang jadi tawa. Aku turut mengamini.

“Ini hasil nilai rekap ulangan semester kelas dua untuk pelajaran Aqidah Ahlak. Untuk Alquran Hadits, Insya Allah besok sudah selesai,” kataku menyerahkan berkas hasil ulangan.

Malam itu kami ngobrol banyak hal. Barulah aku benar-benar mengetahui perjuangan Guru Budiman mempertahankan satu-satunya sekolah Islam di Kampung Pangsenok itu. Tiga tahun lalu, ketika ia masih menjadi guru, siswanya mencapai ratusan lebih. Dana yang dikelola yayasan terbilang cukup berkat donatur masyarakat. Jumlah itu kemudian turun drastis ketika pemerintah membuka SMPN Pangsenok. Anak-anak kampung tersedot ke sana. MTs Darut Tauhid kalah pamor.

“Kalau belajar di sini, cuma akan jadi takmir masjid,” serak suaranya meniru sindiran beberapa warga.

Keberadaan SMPN Pangsenok membuat MTs Darut Tauhid terkesan dianaktirikan. Donatur dari masyarakat turut menipis. BOS ala kadarnya bak sunatan dari SMPN itu. Karenanya, keuangan yayasan labil dan honor guru tak lebih dari cukup. Parahnya, gaji bulanan mereka kerapkali ditunggak.

“Istriku sering marah-marah karena persoalan ini. Gaji sebagai kepala sekolah ndak cukup membiaya anakku yang masih SD. Biaya kuliah kakaknya sudah dua tahun aku lepas. Alhamdulillah, meski begitu ia baru saja menyelesaikan kuliahnya,” katanya. Sempat ada segaris senyum di bibirnya.

“Kenapa bapak tetap bertahan?” Senyumnya semakin melebar.

“Harapan para tokoh masyarakat sangat tinggi. Mereka rela mengeluarkan banyak uang hanya untuk mempertahankan madrasah ini agar tetap ada; satu-satunya pelajaran agama yang bukan hanya sebagai pelengkap kurikulum.” Aku diam. Sungging senyum Guru Budiman semakin mengembang. Tak ada setitik kesedihan di wajahnya.

“Anak bapak tidak ditarik mengajar di sini?”

“Sudah kubujuk. Katanya masih betah tinggal di Jakarta,” kulihat sorot mata Guru Budiman nampak memerah.

Larut bergelayut. Kami begadang hingga tengah malam. Meneruput segelas kopi sampai tandas tinggal ampas. Jika tak ada suara burung hantu atau kelepak kelelawar yang melintas di halaman, memakan buah jambu biji, sampai subuh aku akan terus tertipu oleh jarum jam dinding yang tak beranjak dari angka sembilan dan sepuluh itu. Tak akan habis cerita ini kalau tidak segera diakhiri.

“Menginap saja,” tawar Guru Budiman.

“Tidak. Terima kasih.” Andai saja keluarganya akur malam itu, baiknya aku memilih tawarannya.

Bulan sabit menggantung di pelepah nyiur. Biasnya tak cukup menerangi jalan setapak. Hujan kemarin sore menyisakan basah. Tak mau ambil resiko, aku meminjam senter sebagai penerang jalan. Terlalu nyeri bila disengat kalajengking, terlalu sakit bila digigit ular.

Ops, aku lupa belum memberikan sesuatu kepadanya. Mumpung masih belum jauh, segera kubalikkan badan. Oh, Alangkah nian ia sudah tidur meringkuk di atas lincak. Hanya berselimut sarung tipis dan berbantal kopyah putih yang tak pernah ia tanggalkan dari kepalanya.

Ada sesak di dadaku.

***
Memasuki awal tahun pelajaran baru, MTs Darut Tauhid mendapat tujuh siswa. Dua orang lebih banyak dari tahun lalu. Kuliahku sudah selesai. Sayang, aku harus meninggalkan mereka sejenak untuk melanjutkan S2 di bidang administrasi pendidikan. Melalui Pak Parno, tetangganya, Guru Budiman menitip pesan kalau mata pelajaran yang kupegang sudah ada yang menggantikan. Alhamdulillah, luar biasa aku ucapkan. Masih ada orang yang benar-benar ingin mengabdi di tengah himpitan ekonomi. Pak Parno tidak tahu siapa penggantiku. Hanya, nanti malam aku disuruh datang ke rumah Guru Budiman.

Triplek yang dibuat menjadi dinding rumahnya sebagian telah mengelupas. Hanya di bagian depan saja berdinding susunan batu bata. Setiap waktu, ada saja yang datang bertamu, membawa bingkisan segala macam. Mungkin itu buah dari sikap seorang budiman. Wajahnya semringah. Ia tengah asyik berbicara dengan seorang pemuda sebayaku. Setelah saling panggil-jawab salam di beranda depan, aku lantas diajak masuk. Diperkenalkan orang itu sebagai penggantiku. Oh, aku lupa kalau Guru Budiman pernah mengatakan telah berhasil membujuk anaknya pulang kampung.

“Rohis, anakku. Ia yang akan menggantikanmu dan meneruskanku sebagai kepala sekolah,” kami berjabat tangan. “Rematik ini telah memperingatiku untuk segera banyak istirahat,” Guru Budiman menepuk-nepuk pinggangnya sendiri.

Aku, Rohis, dan Guru Budiman saling bertukar pikiran sampai larut malam. Kami berbicara banyak hal tentang wacana keislaman. Jiwa akademisku menggeliat. Gagasan dan argumentasi Rohis cerdas, terstruktur, kuat, dan rasional. Namun, sedikit-sedikit aku cukup terganggu dengan buah gagasannya.

“Ini ada sedikit bekal untukmu,” selembar amplop cukup tebal disodorkan ke mukaku.

“Apa ini?”

“Gajimu.”

“Kan masih belum genap sebulan.”

“Ya, itu ada tambahan dari saya. Ambillah!” Aku sungkan menerima sodoran amplopnya. Tapi ia memaksa dan memasukkan sendiri ke dalam sakuku.

“Terima kasih,” aku langsung undur diri.

“Ingat janjimu!” Guru Budiman berteriak ketika gelap telah menyembunyikan pandangannya dariku.

Betapa kepergianku tak terasa terbebani. Aku yakin Rohis bisa menggantikanku dan meneruskan kepemimpinan bapaknya. Berbekal pengalamannya di Jakarta, pasti madrasah reyot itu akan disulap menjadi madrasah yang bermutu dan berkualitas. Dan aku, nanti, hanya tinggal memberikan kontribusi ala kadarnya.

***
Mega sepenuhnya belum hilang saat tukang ojek menumpahkanku di simpang tiga Pancasila. Jarak tempuh setengah jam ke madrasah terasa panjang. Sepanjang rentang dua tahun lebih tak pernah bersua Guru Budiman. Kabar terakhir yang kudapat, kepemimpinannya sudah diserahkan kepada Rohis. Beliau pasti semakin budiman, pikirku. Lamat-lamat suara adzan Maghrib menggema dari seberang jembatan. Seorang lelaki tua berselempang sarung tengah mengantarkan anaknya mengaji.

Oh, tidak! Seharusnya madrasah itu berdiri tegak di situ. Kenapa sekarang…?

“Maaf, pak. Bukankah di sana adalah bagungan itu Madrasah Darut Tauhid?” tanyaku memburu, menunjukkan sisa arang kehitaman.

“Sekolah itu cuma membuat warga kampung resah! Terpaksa kami membakarnya?” Bapak tua itu menjawab sinis.

“Dibakar? Kenapa harus dibakar?”

“Masak solat katanya ndak wajib,” jawabnya ketus. Terang di mataku hampir menghilang. Inginku, segera menemui Guru Budiman.

“Mereka sudah diusir dari kampung ini!” Teriak lelaki itu.

Annuqayah, 14 Januari 2012

Friday, May 25, 2012

Aku, Dia, dan Nya

(Ulasan Cerpen "Mimpi Raja Hujan" di Majalah Muara edisi Mei 2012)
Oleh Fandrik Ahmad

Dalam sebuah lakon cerita pendek, banyak ragam pilihan bagi pengarang memilih menjadi tokoh dalam cerita yang digarapnya. Apakah pengarang ingin memposisikan diri melakoni tokoh utama pelaku utama, atau tokoh sampingan yang hanya terlibat sekilas atau menjadi pelengkap—entah si penulis berposisi sebagai teman, orang tua, saudara, orang jauh, dlsb—tokoh utama. Atau barangkali, penulis lebih memilih “duduk santai” melakonkan para tokoh dari balik layar.

Pelakon pengarang dalam cerpen dikenal dengan istilah point of view (sudut pandang). Cara pengarang menempatkan dirinya dalam cerita merupakan salah satu bagian dari unsur intrinsik cerpen. Melalui point of view ini, pengarang berposisi menjadi yang tunggal, yang satu, yang esa, dan menjadi “tuhan” (huruf t sengaja dikecilkan), mempermainkan emosional pembaca untuk turut serta lebur bersama kisah yang dikarangnya.

Guna mentahbiskan diri sebagai yang tunggal, pengarang mengambil satu peran tokoh, yakni memilih satu dari tiga point of view: Aku, Dia, atau Nya. Hal ini dimaksudkan untuk “menjelaskan” posisi pengarang sebagai pemegang otoritas dalam sebuah karangannya. Akan tetapi, tak sedikit pula belakangan beberapa pengarang membuat dua pelakon tokoh utama, tepatnya pengarang berperan ganda; menempatkan dua tokoh “Aku” dengan gaya tulisan yang mudah dipahami, yakni dengan menggunakan “subbagian” guna memudahkan pembaca memahami pada bagian cerita mana pengarang berganti peran, pada posisi yang mana pengarang menjadi pelakon utama dalam dua tokoh yang diangkat.

Zelfeni Wimra, misalkan, dalam salah satu karyanya, Dua Keping Kisah Pikun (Jawa Pos, 11/11/2007), pernah berperan ganda, yakni menempatkan dua tokoh utama. Guna mencari “aman” atas dua perannya, ia menggunakan “subbagian” yakni Kepingan Mahmud dan Kepingan Zahara. Lan Fang juga sering melakukan hal itu. Gaya penceritaan yang demikian bisa dilihat pada karya Dua Perempuan, (Suara Merdeka, 11/12/2006) yang menggunakan “subbagian” Kamar A5 dan Kamar A6, atau Hujan di Atas Ciuman (Jawa Pos, 12/20/2009) antara Tato dan Lin. Dan yang paling anyar, bisa disimak pada cerpen ketua FLP Lubuklinggau, Benny Arnas, Pelajaran Bercinta (Suara Merdeka, 15 April 2012).

Mendalami tentang point of view, mari kita simak sebuah cerpen Mimpi Raja Hujan buah karya Istianaturrahamah, yang mengangkat tema tentang cinta dan persahabatan. Temanya memang sangat klise dan—biasanya tema seperti itu—sangat mudah untuk diangkat oleh pengarang pemula—maaf, di bagian ini saya lepas tangan untuk menyatakan pengarang cerpen ini pemula atau bukan. Tetapi, gaya tutur komunikatif, renyah, metafor sederhana, serta gaya penceritaan yang tak lazim dipakai membuat karya ini berbeda dari cerita-cerita yang diangkat oleh kebanyakan santri sepantarannya.

Tidak tanggung-tanggung! Pengarang sangat “berani” menggunakan ketiga point of view sekaligus dalam satu cerita. Dengan menggunakan bantuan “subbagian”, ia bertindak sebagai tokoh Aku, Dia, dan Nya. Mari kita simak bersama…

Pada paragraf pembuka sampai paragraf ke empat, anak asuh FLP Latee II ini berperan sebagi narrator, tak terlibat langsung dalam cerita. Di luar “panggung” ia menceritakan karakter kedua tokoh: tetang Ogin yang tak tahu mengaji dan keras kepala, tentang Kez yang tampan serta aktivis organisasi kampus dan guru ngajinya Ogin, sampai pada keterlibatan persahabatan mereka yang sama-sama menyukai hujan.
Pada dua paragraf selanjutnya, lima dan enam, secara bergantian Istianaturrahamah memerankan diri sebagai Ogin dan Kez. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan pendekatan hubungan timbal balik perasaan (konflik batin) kedua sahabat itu: Ogin kepada Kez dan Kez kepada Ogin.

Paragraf berikutnya, Istianaturrahamah kembali berperan sebagai narator. Bagaimana ia membangun celah untuk melukiskan perasaan Ogin yang lambat laun jatuh cinta kepada Kez. Penulis cukup apik membuat dialog antara keduanya, yang pada titik pangkal menunjukkan bahwa Ogin takut kehilangan Kez, tanpa harus membuat cerita menjadi dramatis seperti meletakkan kalimat, “seperti kesambar kilat”, “hati Ogin runtuh mendengar penuturannya”, “ada sakit di hati Ogin”, dlsb, yang akan membuat cerita, di samping dramatis, juga menjadi hiperbolis.

Ia memang cukup berhasil menggunakan ketiga point of view itu. Tetapi, alur cerita yang dibangun tak seberhasil point of view-nya. Simaklah pada paragraf pembuka penulis—narator—mengisahkan persahabatan antara Ogin dan Kez: …kecuali saat ia baru kenal dengan Kez, si Wiro Sableng kampus. Kez bukan hanya memiliki tampang yang menarik, namun tingkahnya yang ramah dan selalu aktif di organisasi kampus membuatnya diburu banyak perempuan… Ogin tiba-tiba terkenal menjadi saingan untuk memperebutkan Kez, sahabatnya.

Lalu bandingkan dengan kalimat di paragraf ke dua: Kedua bocah itu tumbuh di sebuah kompleks kecil pinggiran kota Surabaya, dengan jarak rumah hanya tiga meter…ketika gadis kecil itu sering memperhatikan tetangganya bermain-main…ada rasa yang kuat untuk terjun bebas di bawah hujan bersamanya….

Penulis gagal meyakinkan pembaca, awal mula ikatan persahabatan mereka. Kalimat…saat baru kenal dengan Kez, (persahabatan Ogin dimulai saat masuk kampus). Kalimat berikutnya ...kedua bocah itu tumbuh…dengan jarak rumah hanya tiga meter, (sejak kecil, bukan dari kampus) membuat jalinan persahabatan yang dibangun menjadi kabur. Belum lagi dikuatkan dengan paragraf ke tiga yang kemudian menuturkan mereka sama-sama menyukai hujan. Kekaburan lain adalah sejak kapan Ogin belajar mengaji pada Kez. Apa sejak kecil ketika sama-sama menyukai hujan (paragraf ketiga)? Atau sejak kelas dua SMA sebagaimana diungkapkan langsung oleh pengarang.

Kegagagan mendasar lainnya adalah pembangunan karakter tokoh. Benarkah Wiro Sableng itu tampan dan ramah? Mengapa penulis menganalogikan Kez si Wiro Sableng kampus? Apakah Kez juga Sableng? Ingat, nama aslinya Wiro Sasono, bukan Wiro Sableng. Sableng itu julukan untuk menunjukkan karakter si tokoh. Tahu Sableng? Cek di kamus..! Begitu pula dengan Ogin. Tak ada petunjuk yang mengarahkan pembaca mengapa Ogin begitu sulit untuk tahu (diajarkan) mengaji. Pengarang hanya menjelaskan bahwa Ogin hanya seorang gamer dan keras kepala. Apakah otak Ogin “berpentium 2” atau pemalas, atau apalah sehingga begitu lama belajar mengaji, tak ada penjelasan tentang ini.

Demikian beberapa catatan kecil dari saya. Sebagai sebuah karya, saya mengacungkan jempol dan mengucapkan selamat atas terpilihnya cerpen Istianaturrahamah sebagai cerpen pilihan majalah Muara tahun ini.[]

* Cerpenis, asal Lodokombo Jember

Sunday, May 20, 2012

Lamaran Kerja

(Sumut Pos, Minggu 20 Mei 2012)

Sarip mondar-mandir. Dari kamar ke beranda. Dari beranda ke kamar. Terus berulang. Gemeretak giginya mengatakan kalau perasaannya sedang galau. Cemas. Saat langkahnya sampai di beranda, pastilah sorot matanya menyingkap kerre. Namun, yang ditemukan selalu sama, semak tegalan dan pematang yang petang.

Senyap. Mencemaskan.

“Pada ke mana Munarti,” ucapnya berang.

Anak dan bininya sudah tak ada di rumah ketika ia pulang menyudahi pekerjaan menurunkan la’ang. Kalau Dulla, anaknya, Sarip masih bisa menduga-duga. Bilamana malam begini, bocah itu ngaji di surau Haji Rapik. Tapi Munarti? Ke mana perginya? Ia tak ikut ngaji. Tak ikut kompolan muslimatan. Apalagi semacam arisan. Tak ada pekerjaan lain yang dilakukannya di rumah berdinding sirap itu selain memasak, mencuci, dan ngomongin orang.

Sarip tak tahu menjawab kecemasannya.

Kerre berayun lagi. Sesuatu rebah dipandangan. Tetap sama: petang, sepi, senyap, dan sunyi. Hanya, sesekali suara jangkrik dan kararoe saling pagut. Sarip menghentakkan kaki ke tanah. Gemeretak gigi beradu kuat. Ia memaksakan diri tenang duduk di atas lincak. Apakah Munarti minggat? Ah, tak mungkin. Kapankah berbuat salah atau menyinggung hati Sunarti pernah dilakukannya.

Pelepah nyiur jatuh tersungkur membentur atap seng di dapur. Sarip terjaga dari lamunan. Patek! Umpatnya.

Ada cahaya mendekat. Berpendar dari semak-semak. Remang. Meliuk. Kerre disingkap dengan kasar. Pasti itu Munarti dan Dulla, pikirnya. Barulah Sarip melihat kalau cahaya itu berasal dari obor seseorang yang sedang menuju rumahnya. Cahaya itu semakin dekat. Pemegang obor semakin jelas. Ia berjalan beriringan dengan dua orang anak. Ternyata Ke Lesap, menjemput anaknya pulang ngaji. Dulla bersama lelaki tua itu. Sarip kecewa.

Dulla mencium tangan Sarip.

“Sakalangkong, Ke,” pungkasnya ramah.

Setelah sedikit beramah-tamah di beranda, Ke Lesap melanjutkan perjalanan.
“Ke mana emakmu, Cong?” tanya Sarip.

“Tak tahu, Pak. Mungkin pergi ke rumah Nyae Rajak.”

Angin silir berdesir dari celah dinding sirap. Aroma celatong dari kandang sapi meruap. Lampu teplok yang terpasang pada salah satu dari empat kayu pilar rumah berayun kasar membuat bayangan Sarip dan anaknya seperti bhuta celleng siap menerkam.
Perkataan Munarti beberapa minggu lalu melesat serupa paku yang dipukulkan pada punggung sapi kerapan. Sejarah minggatnya Misnatun empat tahun lalu kembali membekas. Ya, Misnatun bini pertama Sarip yang cintanya telah menghasilkan Dulla. Tetapi, setelah Misnatun berhenti menyusui Dulla. Ia minggat. Hanya sepucuk surat tergeletak di atas lincak menjadi kabar terakhirnya. Dalam surat itu, ia pamit bekerja ke luar negeri diajak Suparni, bibinya sendiri. Sarip terpukul. Kelakiannya terasa dilecehkan.

Munarti adalah janda kembang yang baru dinikahinya dua tahun silam. Laki Munarti meninggal, jatuh dari atas pohon siwalan ketika menurunkan la’ang milik Pak Kalebun. Sarip mempersunting Munarti karena tak kuat mengasuh Dulla sendirian. Tetapi, kebohongan telah ia perbuat dengan mengatakan bahwa bini pertamanya meninggal karena melahirkan Dulla.

Kerre itu kembali tersingkap. Kasar. Munarti datang, berwajah ceria. Ujung jemarinya menjinjing ujung bawah sampir sarung lorek cokelat hingga di atas lutut.

“Kang!” ucapnya berteriak. Sarip membetulkan gulungan sarungnya.

“Pada ke mana sampai tengah malam begini?”

“Main ke rumah Nyae Rajak,” ketusnya

“Hendak apa ke sana?” Sarip menyelidik.

“Ingin tahu kabarnya. Kan ia baru pulang,” ucapnya. Segaris senyum terbentuk manja.
Bayangan empat tahun silam kembali menggantung di bibir Sarip. Persis sama ketika Misnatun membuka celah mengatakan sesuatu yang diinginkan. Mencari pekerjaan. Ia menatap kolong-kolong lincak. Cahaya lampu teplok memotong separuh wajahnya yang keruh.

“Kenapa, Kang? Tak suka, ya?”

“Bukan begitu.”

“Terus?”

“Ah, tak apa.”

“Kang, sejak Nyae Rajak dan Ke Rajak kerja ke luar negeri, mereka punya cincin emas yang bagus. Gelangnya saja ada dua. Apalagi kalung emas yang dipakai. Ada berliannya, Kang. Sampirnya juga bagus!”

Tutur bininya menggores dada Sarip. Harga diri sebagai seorang lelaki seakan-akan diremehkan. Siapa yang tak ingin seorang laki merias bininya? Siapa yang tak ingin laki memanjakan bininya? Ia hanya seorang tenaga panggilan pemanjat siwalan. Mujur rumahnya berdinding sirap, peninggalan orangtuanya yang sudah meninggal.

Jika saja yang bertutur demikian bukanlah bini sendiri, mungkin celurit yang menggantung di pilar sudah diambil untuk dikalungkan pada orang itu. Seperti yang pernah akan dilakukannya kepada Jusup, paman dari keluarga Misnatun, yang lantaran jelas-jelas membela kepergian bininya.

***
Perbukitan di sebelah barat membuat matahari redup sebelum waktunya. Bayangan pohon siwalan memanjang dua kali lipat dari bentuk asal sebelum benar-benar lenyap. Sarip membuat api unggun agar sepasang sapinya tak dikerumuni Nyamuk. Aroma celatong merebak saat angin memaksa masuk dari celah selatan.

Di atas lincak, Munarti sedang tepekur. Sedang merapalkan sesuatu. Ragu-ragu. Sarip menghampirinya.

“Kang, bagaimana kalau kita ikut Nyae Rajak? Pekerjaan banyak sekali di sana katanya,” tawar Munarti polos.

“Pekerjaan? Apa kurang di sini?”

“Di sana cari uang mudah, katanya. Lakinya Cuma ngangkut barang. Kalau perempuan cuma masak dan nyuci. Kita juga bisa makan yang enak-enak. Ketimbang kerja di sini, cuma itu-itu. Kasihan, Dulla sudah hampir besar.”

Sarip pucat, duduk bertekuk lutut berselempang sarung di atas lincak. Bukan tidak mau ia menerima ajakan bininya, tetapi goresan luka yang ditinggalkan bini pertama jelas belum purna.

“Syukuri adanya. Apa beda kerja di sini dengan kerja ke luar negeri? Sama-sama kerja miliknya orang.”

“Kang, aku kehilangan Kang Sunar karena terjatuh saat memanjat siwalan. Aku tak mau kejadian itu terulang pada Kakang.” Sarip mengerti apa yang dirasakan Munarti. Namun, perempuan itu tak mengerti apa yang dirasakannya. Tak ada titik temu yang menyatukan perasaan laki-bini itu. Sementara, petang terus datang, merambat seperti ular.

“Kalau Kakang tak mau, bagaimana kalau aku saja yang ikut?”

“Apa? Mau dikemanakan aku dan Dulla. Siapa yang menanak? Siapa yang nyuci?” Sarip berdiri. Tak kuat.

“Kakang bisa pindah dan tinggal bersama emak.”

“Tompes! Kamu sudah gila, ya?”

“Kang…”

“Aku tak mau. Sana, ambilkan aku air minum. Sekalian juga buatin kopi,” perintahnya. Raut kecewa membungkus wajah Munarti. Apa jadinya jika Munarti benar-benar pergi? Tidak. Sarip tak akan kuat menahan gunjingan orang-orang. Tatapannya kosong pada selembar kertas, kalender yang kusam. Di depan kalender itu menggantung sebuah celurit. Angin berdesir menerpa dirinya.

***
Senja menepi menabur cahaya kekuningan. Seekor tupai melintas di atas pelepah siwalan. Bertelanjang dada dengan dua ember air la’ang yang dipikulnya, Sarip menyusuri jalan sempit dan berkelok. Kulitnya yang hitam legam berlulur peluh.
Sejenak, ia berhenti mengamati rumahnya sendiri yang tampak condong ke utara. Tampak di balik kerre, dua orang sedang bertamu. Sarip mengeryitkan dahi. Kedua alisnya menyatu. Kedua ember itu diletakkan di beranda rumahnya.

“Kang! Cepat kemari,” kata Munarti.

“Oh, ya. Sebentar, aku ke kandang,” katanya sembari melempar senyum pada kedua tamunya. Senyum yang dipaksakan.

Remeh-temeh pembicaraan terdengar mengasyikan. Sesekali tawa menggema. Adzan Maghrib berkumandang tepat saat Sarip keluar dari kamar dan menemui dua tamu itu.

“Kang, sini,” perintah Munarti sambil menggeser duduknya.

“Sudah lama, Ke?” kata Sarip.

“Tidak.”

“Kang, Nyae Rajak mau menawari kita pekerjaan. Kalau mau kita bisa langsung ikut mereka nanti. Benar kan, Nyae?”

Ucapan Munarti seperti sebilah belati mencabik-cabik ulu hati. Sarip tidak bisa lagi menahan ketidaksukaannya. Matanya jalang menatap kedua tamu itu. Bagaimana mungkin ia mau menerima dan mengulangi peristiwa yang bertahun silam telah ingin dikubur habis. Tidak. Lebih baik mati berkalang tanah dari pada menerima hinaan orang.

“Tidak! Aku tak setuju!” tukas Sarip. Berdiri. Berang.

“Kenapa, Kang?”

“Kalau tidak, ya, tidak!” Sarip membentak. Ke Rajak dan Nyae Rajak pucat.

“Kakang tak boleh begitu. Pertimbangkan dulu. Daripada pagi-sore melulu manjat-manjat. Apa dengan begitu sudah cukup keseharian kita?” Munarti ikut meninggi.

“Pergi! Jangan pernah kembali ke rumahku dan membujuk biniku!” Sarip menuding kedua tamunya tak berperasaan. Napasnya menderu dan tersengal-sengal serupa orang yang kesurupan.

“Baik. Baik. Kami akan pergi,” kata Ke Rajak ketakutan menggenggam erat tangan Nyae Rajak. Kedua tamu itu pun segera pergi.

Munarti berteriak memaksa kehendak ikut Nyae Rajak. Sumpah serapah bercecer. Sarip melayangkan tangan kekarnya pada wajah Munarti. Seketika perempuan itu terpelanting ke tanah. Pipinya memerah ditambah amarah. Munarti menangis sesenggukan. Pintu kamar dibanting dengan sangat kasar. Sarip lesu di atas lincak. Dadanya kembang-kempis menahan emosi. Dengan apa ia harus mengatakah bahwa sebenarnya bini pertamanya bukan mati karena melahirkan, melainkan pergi ke luar negeri.

“Besok aku akan tetap ikut!” teriaknya dari dalam kamar. Lantang sekali.
Kalau saja Dulla tidak segera kembali dari mengaji, pasti Sarip akan berlanjut mengajarkan tatakrama. Tapi, ia tak tega melihat Dulla yang turut menangis melihat Munarti menangis.

Malam itu, Sarip pisah ranjang. Ia tiduran di luar, di atas lincak. Pandangannya menebas kerre untuk menembus sesuatu di baliknya. Kebohongan merongrong penyesalan. Apa daya nasi telah berubah bubur. Pilihannya cuma satu, tetap mempertahankan Munarti untuk tidak pergi atau menanggung malu untuk yang kedua kalinya.

Sarip memintal kulit Jagung yang di dalamnya sudah berisikan tembakau. Disulut ujung pintalan itu, asap membubung tinggi. Pandangannya kembali lekat pada celurit yang menggantung di depan kalender.

“Apa aku harus melakukannya? Demi harga diri.” Sarip mendesis seraya menatap potret dirinya di ketajaman celurit itu.***

Annuqayah, 3:46 PM

Keterangan:
Kerre : tirai yang terbuat dari anyaman bambu
La’ang : saripati bahan dasar gula merah
Sakalangkong : terima kasih
Bhuta celleng : raksasa hitam
Celatong : kotoran sapi
Kalebun : kepala desa
Ke dan Nyae : kakek dan nenek, sebutan orang Madura bagi yang sudah tua

Akulah Guru Terkutuk

(Annida Online, 18 Mei 2012)

Langit pagi mendung. Pekat bergelayut. Pukul enam lewat lima menit waktu di pergelangan tangan. Saya memantapkan diri mengajar, tetapi dilarang istri. Tak akan ada orangtua yang mengizinkan anaknya bersekolah, katanya. Saya pandangi langit, menerjemahkan larangan istri saya. Saya mendekat ke gorden jendela. Saya buka. Angin meruak tajam.

Teh panas yang ia seduhkan utuh di atas meja. Udara yang lembab membuat uap meliuk dengan jelas. Merambat seperti binatang melata. Bintik-bintiknya menghablur sebelum raib menjadi lembab. Terlalu panas teh itu untuk dinikmati.

Angin menggarang, memberi kabar kalau hujan akan segera turun. Lebat. Untung, tak ada suara petir atau geledek sehingga cuaca tak terlalu menyeramkan. Mungkinkah saya bisa pergi mengajar tanpa berbasahan karena hujan? Itu yang saya pikirkan. Ada benarnya istri saya, mana mungkin ada orangtua mengizinkan anaknya bersekolah. Saya saja ragu bisa menembus dengan memakai mantel atau jas hujan bila hujan jadi menyambangi. Terlalu deras, begitulah mungkin.

Istri saya sibuk dengan aktifitas alat-alat masak kotor. Anak saya, sudah dilarangnya bersekolah. Ia duduk manis di layar televisi menyaksikan film kartun.
Saya pandangi langit dari kisi-kisi jendela. Saya mengkalkulasi waktu. Jam enam lewat tujuh menit, berjalan kaki ke sekolah membutuhkan waktu normal sekitar dua puluh menit. Apa mungkin waktu, anggaplah setengah jam dari sekarang, mendung tak akan cair? Ah, saya tidak bisa berspekulasi.

maaf, mngkn hr ni sy tdk msuk lg. Keshatn sy sdkt trg3
send to: pak burhan
+628735818xxx
time: 01-Des-2011, 06.24.32


Saya menghela nafas berat. Sadar atas ketidaksadaran. Semoga saya tidak menerima hukuman untuk sebuah kesalahan ini. Saya tatap geram layar ponsel. Seminggu lalu, saya sudah absen mengajar. Saya mohon pamit kepada kepala sekolah karena ada urusan Walimatul Ursy adik perempuan saya. Seandainya minggu lalu saya mengajar, mungkin hari ini saya tidak terlalu kepikiran untuk tidak mengajar.

Saya memegang mata pelajaran Alquran Hadits di lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda. Tujuh belas tahun berjalan saya mengajar di sana. Saya diamanahi menjadi wali murid kelas enam karena ketuaan saya mengajar. Tentu, sebagai palang pintu terakhir, tugas sebagai wali kelas enam lebih berat.

Selain saya, ada tujuh guru lagi. Dan, hanya saya dan kepala sekolah yang berstatus guru PNS. Tentu, bujet yang saya terima lebih dari cukup sekedar menafkahi anak dan istri. Empat tahun lalu saya diangkat jadi PNS setelah melewati masa menyakitkan selama tiga belas tahun: gaji yang hanya bertaraf jam. Hem, kesan yang datang terlambat.

Kegelisahan meraung. Kegalauan berontak. Ada sesuatu yang selalu menuntut saya. Serupa sebuah kutukan. Bagaimana nanti jika ada anak didik saya sudah susah datang jauh-jauh kemudian saya absen?

baik, pk. akn sy smpaikn kpd kpla skolh
sender: pak burhan
+628735818xxx
time: 01-Des-2011, 06.27.32


Garis-garis hujan kelihatan, datang terlalu riang. Kemerisik angin merisaukan daun-daun, mengayunkan bulir air ke kanan dan ke kiri. Meliuk jatuhnya.
Sesal meruak saat membaca sms Pak Burhan, Tata Usaha di tempat di mana saya mengajar. Bukan jawaban itu yang saya sesalkan. Waktu. Ya, waktu yang tertera di bawah jawaban itu. Pukul enam lewat dua puluh tujuh menit tiga puluh dua detik! Sudah dua puluh menit berjalan. Seharusnya jika saya memanfaatkan waktu sebaik mungkin, niscaya saya sudah sampai di madrasah dan bisa mengajar. Saya beringsut mencari celah untuk menghilangkan hantu di otak saya; pada murid saya, pada Pak Burhan, dan pada guru lain yang akan terkena imbas kebohongan saya.

Saya menjauh dari anak-istri saya. Barangkali akan lebih bermanfaat bila mengurung diri di kamar, duduk di depan meja kerja dan menyalakan komputer. Begitu masuk kamar, saya langsung menyorongkan wajah pada kursi di mana saya biasa melakukan aktifitas. Beberapa buku, bundel catatan, dan berkas-berkas bersarakan di bawah lampu duduk. Di atas CPU butut berpentium tiga, ada segelas kopi yang ampasnya sudah mengarat. Sedangkan bantal dan seprei sudah tertata dengan baik. Istri saya barangkali lupa untuk merapikan tempat kerja saya.

Meja kerja saya diapit dua poster cukup besar. Yang satu mengenakan jas, kopyah nasional, kacamata hitam, serta telunjuk yang sedikit dicondongkan ke atas. Ia begitu wibawa di depan bacground burung rajawali. Sebenarnya saya tidak suka gayanya. Dulu, saya tergugah membeli poster itu hanya sebuah kalimat di bawahnya selalu memotivasi saya. Bunyi kalimat itu, “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya aku akan ubah dunia”.

Poster yang satunya benar-benar idola saya. Surban dan gitar merupakan kesatuan jiwanya. Selalu ada titik pencerahan ketika saya mendengar dan ikut mendendangkan syair lagunya. Figur yang selalu menginspirasi jalan hidup saya; sang Raja Dangdut Rhoma Irama!

Karena hujan, kamar kurang pencahayaan. Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan ketika duduk di depan meja kerja. Saya tekan power CPU. Sambil menunggu loading, saya rapikan tempat itu. Pada rak buku paling atas, sebingkai foto meruapkan rindu saya. Kenangan menepi. Bongkahan masa lalu terpatri. Doa-doa melesat tanpa saya sadari; berdoa agar mereka menjadi orang yang berguna. Berguna pada bangsa dan negara? Itu terlalu muluk. Berguna pada diri sendiri, sudah cukup.

Dulu, saya seorang mahasiswa yang sering menyendiri. Mengurung diri dari keramaian. Karena itulah saya dijuluki Si Harry Potter. Namun Harry Potter yang dimaksud adalah si culun yang sering bersemedi memperdalam ilmu spiritual. Atau bila tidak demikian, mereka menjuluki saya dengan si kacamata tebal. Teman saya ketika itu acapkali mengatakan ingin berguna pada bangsa dan negara. Mereka seakan ingin menggegerkan kelas dengan semangat apinya. Padahal di luar itu, kerjanya hanya keluyuran: begadang, menghabiskan waktu di klab, atau bersama doi semalaman. Melihat hal itu, terkadang pertanyaan iseng datang tanpa saya sadari: apakah bisa? Ah, jadi ngelantur ke masa lalu.

Saya mendekat. Memandang lekat wajah-wajah ceria dalam pigura itu. Ayu, gadis yang tingginya kira-kira hanya semeter, terkerdil kedua setelah Mia, katanya ingin menjadi model. Ketika ditanya hobinya, ia mengaku suka jalan-jalan. Sulaiman, bocah dekil berkulit hitam yang ingin jadi pilot. Hobinya makan tempe. Ah, cita-cita dan hobi yang tak nyambung sama sekali! Hem, Andi, bocah tertinggi di antara teman sekelasnya. Ketika saya tanya, katanya ingin menjadi polisi karena hobi menembak. Saya tersenyum atas pernyataannya. Polisi-tembak-menembak. Benarkah Polisi tukang tembak? Ah, tak perlulah terlalu mempermasalahkan yang itu. Saya yakin suatu saat mereka akan bisa memaknai jalan hidup sendiri.

Kemerisik angin menampar-nampar jendela. Percikan hujan saling dorong memaksa masuk. Sesal coba saya sembunyikan pada percikan itu, menutup kebohongan yang baru saja saya lakukan.

Komputer telah menyala. Saya explorer, buka-buka folder, tak tentu apa yang saya cari. Pikiran saya kalut. Dalam telinga, kemerisik terdengar lebih keras membacok-bacok kepala. Pada akhirnya, cursor saya arahkan pada Winamp dan setelah itu tanpa sadar saya membuka microsoft world.

Kertas putih terhampar di depan mata. Mau diapakan, saya juga tidak tahu. Saya coba ketik sembarang kata. Sampai dua kalimat, saya tekan control A dan tulisan itu seketika hilang bersamaan dengan telunjuk saya menekan tombol delete. Saya berpikir untuk menulis. Tapi saya tidak tahu harus menulis apa.

Aha, saya akan menulis sebuah catatan kecil saja. Catatan kecil tentang sebuah hujan.

Duduk saya tegakkan memikirkan kalimat perdana. Saya akan memulai ketika bangun tidur. Ah, rasanya akan terlalu bertele-tele. Tidak ada kesan yang berarti. Bagaimana kalau dimulai dengan perkiraan saya kalau pagi ini akan ada hujan lebat. Hem, sepertinya kurang selaras dengan apa yang ingin saya tuangkan.

Aha, saya telah menemukannya! Menemukan sesuatu yang patut saya tulis. Bahwa saya telah melakukan kebohongan! Ya, kebohongan! Kebohongan! Mengapa saya berbohong? Mengapa saya tidak jujur? Mengapa saya harus melakukannya? Sip, mungkin dengan ini bisa menebus dosa sekaligus menghilangkan beban psikis saya.

Hujan berikut angin menerjang jendela. Daun-daun mengerang kesakitan tidak kuat bergelantungan. Gugur di luar rencana. Bulir hujan kecil melesat bak anak panah. Untung! Untung tak ada petir atau geledek. Pikiran saya tumpahkan pada selembar kertas putih di layar monitor. Segala yang saya rasakan akan saya tulis! Nampaklah kata-kata membludak. Bergerak cepat ditekan emosi. Dalam sekejap saya telah menyelesaikan satu paragraf yang terdiri dari sebelas baris.

Tiba-tiba listrik padam ketika mulai melanjutkan pengaduan kesalahan pada paragraf selanjutnya. Saya marah. Saya kecewa. Lunglai. Sial! Rasanya, saya ingin tiduran saja. Saya rebahkan tubuh di atas kasur. Di sana, di atas langit-langit saya pandang; sesal, kecewa, dan frustasi. Saya tidak tahu di mana akal sehat saya waktu itu.

Dari ponsel, terdengar isyarat pesan masuk.

pk skrng sy brsma susi dlm kls.
ia nangis sndrian. bjux bsh berlmur lmpur.
lututx luka,ktx ia trjtuh. disni tk ad org
sender: pak burhan
+628735818xxx
time: 01-Des-2011, 07.12.20


Nyaris saya tak percaya. Bukan pada informasinya, juga bukan tak percaya kalau Susi kecelakaan. Saya tak menyangka ada murid saya yang masuk hari itu.

Hujan lebat yang ditengarai angin hebat saya tembus. Anak dan istri saya berteriak. Entah, apakah sedang mengomeli saya atau ingin membekali sebuah payung.***

As-Syarqawi; 05.12.11; 08.30 PM.

Tuesday, May 8, 2012

Catatan dari Anak yang Terbuang

Sengaja saya menulis catatan ini, karena memang saya rasa sudah sepantasnya menulis catatan tentang kebersamaan saya dengan Komunitas Cinta Nulis (KCN). Catatan ini saya buat dalam rangka memberikan klarifikasi, bukan sebagai pemicu keharmonisan diantara kita.

Kenapa saya terdorong menulis catatan ini? Karena (maaf) sudah ada sentimen tentang saya yang tidak mengenakkan, bahwa saya sudah dirasa (maaf, bukan saya yang merasa) HEBAT karena—mungin—tulisan saya sering menembus media baik lokal maupun nasional sehingga saya dirasa egois dan melupakan KCN—hanya karena tidak memposting tulisan di group fb—sebagai awal berproses saya di dunia fiksi (cerpen).

Kepada cak Zaiturrrahiem RB, selaku founding father KCN, mohon simaklah catatan kecil dari saya agar cak Zaitur dan semua anggota KCN mengerti terhadap apa yang saya rasakan kepada KCN saat ini, bahwa saya pernah (dan sampai saat ini) merasa TERBUANG dari KCN.

Masih cukup lekat tentang perjalanan saya dengan KCN. Saya masuk di KCN pada akhir Tahun 2007. Saat itu, timbul kesadaran bahwa (saat itu) saya sudah menginjak kelas tiga Madrasah Aliyah dan setelah itu akan kuliah. Bagaimana nanti bila saya tidak tahu menulis? Bagaimana nanti bila ada tugas makalah dari dosen? Apakah saya harus menyuruh atau menyewa orang untuk membuatnya karena saya tidak bisa menulis? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang mendorong saya untuk belajar menulis. Lalu, siapakah yang akan mengajarkan saya menulis? Itu yang saya pikirkan kemudian.

Saya berusaha mencari tutor atau komunitas yang bisa menampung dan mengajari saya merangkai kata. Sampai akhirnya, saya membaca sebuah pamflet yang tak lain adalah pamflet KCN yang ingin merekrut anggota baru.

Kesempatan itu tak saya lewatkan. Meskipun tempat KCN di Lubangsa Selatan, berbekal tekad dan niat yang bulat untuk tahu menulis, tak apalah meski cukup jauh, yang penting saya memiliki komunitas dulu untuk menjaga niat saya agar tidak luntur.

Singkat cerita, saya mendaftarkan diri. Awalnya, saya tidak tahu bahwa KCN concern-nya adalah dunia fiksi (cerpen). Dugaan saya, karena namanya KOMUNITAS CINTA NULIS, jadi akan diajari nulis apa saja sehingga bisa membuat cinta menulis. Realitanya, hanya diajari cerpen. Saya agak kecewa karena yang saya inginkan bukan ingin tahu membuat cerpen, tapi ingin tahu membuat makalah, itu saja. Tetapi, saya tidak lantas berhenti atau keluar dari KCN karena “salah tujuan”. Saya tetap bertahan. Paling tidak, sudah ada komunitas yang menampung saya untuk menjaga kesinambungan saya belajar menulis. Saya sadar, kalau belajar secara otodidak prosesnya akan sangat lambat, tidak seperti berorganisasi. Jika berorganisasi, paling tidak ada sebuah tuntutan—organisasi—untuk selalu menulis. Disamping itu, siapa yang akan menilai tulisan saya bila saya tak memiliki organisasi? Itu yang saya pikirkan juga.

Waktu itu, saya masih sangat ingat kalau saya hanya sebentar (kacapok sakejjhe’) dibimbing cak Zaitur sebelum beliau berhenti mondok. Setelah cak Zaitur berhenti, cocoklah pribahasa “bagai anak ayam yang kehilangan induknya” disematkan pada kami. Kami merasa kelimpungan dan hampir putus asa. Suasana yang saya rasakan sudah tak seseru ketika ada cak Zaitur. Lambat laun, setelah Muktir Rahman Syaf dan Fahrurrazi tidak aktif lagi, Badrus sebagai ketua KCN terus memompa semangat kami untuk tetap terus berproses. Tapi, setelah dia berhenti, ceritanya sudah lain: anggota KCN kocar-kacir. Dan, kebersamaan saya dengan KCN diakhiri dengan penerbitan antologi buku cerpen ke dua “Lembaran yang Hilang”. Antologi itu, sampai saat ini tetap saya museumkan sebagai kenang-kenangan saya dengan KCN. Terhitung, kalau tidak salah, hanya setahun dua bulan kebersamaan saya dengan KCN.

Lalu, karena KCN masih terlelap sambil menunggu kapan bangunnya, saya berusaha mencari komunitas lain untuk membantu saya agar tetap terus menulis.

Sampai, akhir 2008, saya mengikuti karantina menulis yang diadakan oleh Ahmad khotib selama setengah bulan di aula As-Syarqaqi. Dialah yang menggembleng saya serta memeras otak saya mengeluarkan ide sebanyak banyaknya untuk ditulis. Waktu itu, saya mengumpat bahwa apa yang telah beliau lakukan pada saya—juga pada teman-teman saya—sangat otoriter. Tetapi, saya cukup tahu diri, semangat, baik otak maupun otot yang ia berikan masih tak sebanding dengan kesusahan saya sebagai “pekerjanya”.

Usai karantina, tak lama setelah itu, saya menjadi kru majalah Muara dan bergabung dengan Pusat Data (Pusdat) PP Annuqayah, yang dibimbing oleh K.M Mushthafa. Di Muara saya belajar menjadi penggiat pers. Di Pusdat, saya dibimbing untuk menulis tulisan yang benar dan efektif—meski waktu itu yang ditulis hanyalah berita, tetapi bimbingannya sangat ampuh membuat tulisan saya berkembang pesat. Ditambah dengan dibuatnya Milis Annuqayah, yang di dalamnya ada K.M Naqib Hasan, K.M Zammiel El-Muttaqien, K. Mushthafa, K.M Faizi, dan K.M Salahuddin Wahid yang siap dan akan memberikan masukan atau perbaikan terhadap tulisan teman-teman Pusdat, saya merasakan, kreatifitas menulis saya berkembang sangat cepat, yang kemudian setahun setelah itu saya diangkat menjadi Pengurus LPM.

Sampai saat ini, saya aktif di keduanya (Pusdat dan LPM). Dan, meski saya banyak belajar karya ilmiah dan jurnalistik, saya tetap menulis cerpen. Bahkan, produktifitas saya menulis cerpen lebih banyak ketimbang karya ilmiah. Yah, mungkin karena KCN telah terlebih dahulu menempa saya untuk melajar menulis cerpen sehingga kreatifitas menulis cerpen terus mengalir dalam diri saya. Sampai saat ini.

Tahun 2010, setelah lebih dari setahun vakum, saya mendengar KCN sudah hidup lagi, merekrut anggota baru, dan rutinitasnya sudah berjalan kembali. Dari serangkaian itu, saya tak pernah dilibatkan atau setidaknya ada pemberitahuan—dari orang yang menghidupkan lagi—bahwa KCN telah aktif. Saya tak dilibatkan lagi! Padahal, sama sekali saya tak pernah menyatakan berhenti atau keluar dari KCN. Nah, sampai disini saya merasa kecewa. Saya merasa menjadi anak yang TERBUANG. Tetapi, saya cukup tahu diri; saya hanya orang luar (non-Lubsel) yang hanya berpartisipasi atau hanya dianggap sebagai pelengkap KCN, bukan merupakan bagian di dalamnya. Wajarlah bila saya tak diajak lagi.

Oleh karena itu, tahun itu pula, saya dan Faruqi Munif merintis sebuah komunitas yang diberi nama Komunitas Sastra Serambi (Kosambhi) yang orientasinya tidak hanya kepada cerpen, tetapi juga puisi. Rasa kecewa saya tuangkan dalam komunitas itu, menempa mereka—berbekal di KCN, Karantina, dan Pusdat—menjadi penulis handal. Saya akan membuktikan bahwa saya tetap ada dan berkarya tanpa KCN. Maaf, lahirnya komunitas ini bukan dalam rangka sebagai tandingan, melaihkan hanya sebagai pelepas rindu saya akan suasana sebuah komunitas sastra.

Dan, Alhamdulillah, meski hanya 3 dari 8 orang hasil didikan saya yang sukses, saya patut merasa bangga. Bahkan salah satu diantara ketiga itu mengaku Kosambhi telah mengantarkannya meraih beasiswa kuliah di jurusan sastra Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Sampai saat ini ketiga orang tersebut tetap produktif menulis dari koran lokal hingga tembus koran nasional.

Sejak awal tahun 2010 tersebut, saya tak lagi berurusan dengan KCN dalam hal apa pun. Apalah yang dibutuhkan dari seorang yang merasa terbuang. Tetapi, kecewa itu cukup melejitkan semangat saya untuk terus berkarya sampai saat ini.

Sampai awal 2012, saya diminta oleh cak Zaiturrahiem RB selaku founding father KCN untuk turut bergabung dalam group KCN di fb, dan meminta karya-karya saya, baik yang dimuat atau yang tidak dimuat, untuk diposting di group itu. Berat awalnya bagi saya untuk tidak bergabung dengan group ini. Tetapi, demi menyembunyikan rasa kecewa saya pada Cak Zaitur dan demi menjaga “keharmonisan” antara saya dan KCN di mata cak Zaitur, saya berani menyembunyian rasa kecewa saya dan bergabung di goup ini.

Bulan Maret 2012, kebetulan saya bersua kembali dengan beliau ketika beliau hendak menjadi juri di MA 1 Putri. Pertemuan itu, meski sangat singkat, terjadi tepat di depan pintu gerbang SMA 3 Annuqayah sebelah timur. Beliau bertanya, “bagaimana KCN, drik?”. Saya menjawab seadanya, meski saya sudah tak aktif lagi di sana, “KCN masih berjalan aktif. Baik-baik saja”. Lalu beliau berpesan, “senga’ ya, saya matoro’ah KCN ke kamu”.

Saat beliau berpesan demikian, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan, bahwa saya terlah tidak aktif lagi di sana. Tetapi, demi menjaga perasaan beliau agar tidak kecewa, saya mengatakan kalau saya masih aktif di sana. Sungguh, saya telah munafik. Bahkan, agar terkesan baik-baik saja dalam diri saya, saya sempat memposting satu tulisan saya di group ini.

Demikian pengakuan dari saya. Silakan kalian semua yang tergabung di group ini menganggap saya sebagai apa, terserah. Yang penting, saat ini saya telah melakukan sebuah kejujuran. Dan, saya sangat bersyukur karena tulisan ini telah menyelamatkan saya dari kemunafikan.

Kepada cak Zaitur: terima kasih telah membukakan pintu bagi saya untuk mengatakan yang sebenarnya apa yang saya rasakan. Maafkan saya bila saya terlanjur blak-blakan. Sungguh, saya tak bermaksud untuk menyakiti hati cacak. Sekian. Terima kasih.