Monday, May 12, 2014

Merindu


(Dimuat di Tribun Jabar, 11 Mei 2014)
Perkenalkan, namaku Rustini. Janda dua anak yang terobsesi dengan cinta yang tak biasa, jika tidak kukatakan luar biasa. Sebagian menganggapku sudah gila karena porsi ‘ketidakbiasaan’ itu. Tentu yang menganggapku demikian tidak salah. Secara matematis dan nalar pikir, persepsi gila memang pantas disematkan kepadaku.

Selalu kukatakan pada mereka, justru cinta yang tak biasa itu yang menegakkan langkahku sampai hari ini. Memberikan semangat hidup,  semacam pelita di gelapnya malam.

Ia lelaki terpercaya. Lelaki paling istimewa. Keistimewaannya melebihi kedua anakku, Siti dan Ahmad. Melebihi suami, yang sejak tujuh tahun rutin kukirimi Yasin dan simpul-simpul tawasul. Aku punya porsi cinta tersendiri untuk orang-orang yang kuanggap berharga dalam hidupku. Termasuk memilah porsi cinta antara lelaki itu dengan keluargaku.

Sebagai perempuan yang telah memiliki keluarga, tak sekalipun terbesit bahwa aku telah melakukan perselingkuhan, lebih-lebih menerobos hukum keluarga. Tak ada kata hianat. Tak ada. Malah aku yakin, anak dan suami merestui serta menerima dengan sangat ikhlas aku mencintainya, sebagaimana keyakinan bahwa lelaki itu juga mencintai anak dan suamiku.

Ia yang mengajari menjadi orang baik. Mengajari bagaimana menjaga kehormatan perempuan. Menunjukkan kepada yang hak dan yang batil. Tanpa kusebut namanya, semua orang sudah tahu. Hanya saja tidak semua orang punya cinta yang sama, sehingga mereka hanya sebatas tahu dengan sikap tak mau tahu.

Maka, pagi-pagi sekali langkahku sudah tegak berayun. Aku harus mendapatkan banyak uang agar segera bisa menemuinya. Tubuh lelah karena setiap pagi dan sore harus naik turun bukit akan terobati hanya cukup membayanginya dalam setiap ayunan langkah.

“Ibu, nasinya belum matang. Ibu sudah mau pergi?” Tanya Siti, si sulung.

“Tidak apa-apa. Tanpa sarapan, Ibu pasti kuat.” Jawabku. Siti mematung memerhatikanku.

“Sudahlah, Bu. Ibu jangan lagi bermimpi ke Mekah. Mana cukup uang yang Ibu kumpulkan,” Ahmad, anak bungsu tiba-tiba berdiri di samping Siti. Nadanya selalu datar. Tetapi kutahu, ada rasa iba pada nada itu.

Aku diam. Menatap kosong. Tak kupedulikan komentar Ahmad. Suatu saat nanti mereka pasti mengerti, semua bisa melakukan perubahan sekalipun tampak muskil. Mereka masih perlu banyak belajar bagaimana tangan Tuhan sungguhlah lebar bagi orang yang bersungguh-sungguh. Mereka juga akan mengerti betapa lelaki yang ingin kutemui memiliki kasih sayang melebihi kasih sayang kepada dirinya sendiri. Suatu saat. Ya, suatu saat.

Semua orang, termasuk anakku, menganggap mimpiku tak mungkin berbuah nyata. Mereka seakan menganggapku sudah gila. Memimpikan sesuatu yang mustahil terwujud di saat sekarang; kehidupan yang serba rasional dan penuh perhitungan.

Setiap kali ada kesempatan, aku selalu bercerita tentang kesempurnaan mimpiku. Berharap anakku menaruh mimpi yang sama. Namun justru malah ungkapan seperti pungguk merindukan bulan yang kudapat. Siti yang kuanggap paling mengerti, menjadi orang pertama yang menyebutku seorang pemimpi.

“Seharusnya Ibu tidak seperti ini. Pergi Subuh, pulang Magrib. Kami semua membutuhkan Ibu. Kalau bukan Ibu siapa lagi,” kata itu meluncur dari mulut Ahmad, bocah yang tak kebagian kasih sayang seorang ayah. Ia sudah ditinggalkan saat masih mendekam dalam rahim. Bocah yang dibaiat zaman sebagai anak yatim itu menatap tanpa ekspresi.

“Ibu tidak gila, Nak. Ibu masih waras. Ibu masih ingat kalian. Jangan pernah berpikir Ibu sudah gila dan telah melupakan kalian. Kalian tetap anakku. Tak akan menjadi orang lain,” tukasku.

“Siapa yang mengatakan Ibu gila. Aku hanya ingin Ibu tidak lagi berpikir tentang sesuatu yang sulit diwujudkan. Penghasilan Ibu tak seberapa. Ketika Ibu bilang bahwa mimpi yang paling indah adalah mengunjungi makamnya, ada rasa sakit yang tak tertahankan tersebab Ibu tampak diburu risau.”

“Kurang bijak rasanya bila Ibu menghapus mimpi itu. Mimpi yang sejak kecil sudah ditanam oleh kakekmu kuat-kuat ke ulu hati Ibu.”

“Tidakkah ada banyak cara untuk menemuinya? Ibu bisa bertemu tanpa harus jauh-jauh mengarungi jalan panjang. Tanpa harus menguras keringat naik turun bukit. Bukankah Ibu pernah mengatakan, cinta adalah kekuatan dan rindu adalah sarana komunikasi. Ibu bisa menemuinya di dalam mimpi. Itu tidak mustahil. Bukankah Ibu seorang pemimpi? Ibu juga pernah mengatakan bahwa setan tidak bisa menyerupainya. Guru ngajiku pernah pula memberitahu, jika ingin menemuinya, perbanyaklah membaca salawat,” tukasnya. Ia sudah menusukku dengan kata-kataku sendiri.

Siti bergegas. Menumbuhkan kesendirian yang senyap. Meninggalkan semua mimpiku.

Waktu memasuki sepertiga malam. Aku terbangun. Ada suatu bisikan yang membuatku terjaga. Entah, kurasa aku tak sedang bermimpi menerima bisikan itu. Sadar sesadar-sadarnya bisikan itu terdengar sangat jelas sampai membangunkan tidurku.

Jika kamu mengharapkan pertemuan dengannya, perbanyak membaca salawat sebelum tidur, dan janganlah sampai kamu membatal wudu sampai terlelap. Aku ingat bisikan itu. Sangat jelas.

Tangis pecah. Hadir tanpa kusadari. Tak bisa kupungkiri, rindu yang mencairkannya. Barangkali Tuhan punya rencana yang sangat indah dengan kemiskinanku. Rencana indah atas ketidakmampuan mengumpulkan uang untuk mengunjungi rumah Tuhan dan menemui kekasih-Nya. Selama ini aku berusaha untuk tetap suci lahir dan batin. Baik semasa gadis, sebagai istri, sampai kini seorang janda. Segalanya akan tembus pandang apabila benar-benar menjadi bening.

Aku lelah. Tangisku masih menitik. Tak ada upaya melupakan mimpi itu. Mimpi yang ada sejak aku mendengar cerita-cerita keteladanannya semasa masih kecil, semasa masih suka tiduran di surau. Mimpi itu tampak sempurna. Sampai sekarang.
Setiap kali akan tidur aku selalu membaca salawat sebanyak mungkin. Aku sangat merindukannya.

Ajaib. Aku berada di sebuah majlis taklim. Ornamen-ornamen masjid sangat tak kukenali. Suasana yang sangat asing. Tidak hanya aku yang berada di situ. Orang-orang bersila membentuk lingkaran. Di tengah lingkaran, berdiri sesosok yang begitu sempurna. Penyampaiannya bagus dan santun. Semua orang berdecak kagum.

Wajahnya memancarkan cahaya. Belum pernah kulihat cahaya seterang itu, kalau bukan sekarang. Tak jelas lekuk di wajahnya, tetapi pancaran itu menghilangkan pikiran seperti apa rupa di balik cahaya itu.

“Bagaimana seharusnya aku bisa menemuinya?” seorang jamaah pengajian bertanya. Kendati tak disebut, aku paham dan seperti ada dorongan bahwa ‘nya’ yang dimaksud adalah lelaki yang selama ini kurindukan.

“Fakir miskin. Kasihilah fakir miskin di sekitar kalian,” jawabnya.

“Bagaimana bisa mengasihi, sementara kami termasuk salah satu dari golongan mereka,” ucapku tanpa sadar.

“Anak yatim. Santunilah anak-anak yatim.” Jawabnya.

Mendengar jawaban itu, hatiku berkesimpulan betapa orang yang berdiri di depanku adalah lelaki yang selama ini kurindukan. Ini bukan mimpi. Tak menyangka aku akan berkumpul dengannya dalam satu majlis. Aku merasa hidup ini begitu sempurna. Bukankah hidup akan terasa sempurna apabila suatu keinginan terkabulkan?

Perlahan aku beranjak. Aku ingin selalu berada di dekatnya. Aku ingin memasrahkan segala hidupku untuknya. Tetapi, entah hendak berarah maju ataukah bergerak mundur, langkah menjadi limbung. Tubuhku terguncang.

“Ibu. Ibu. Sudah azan,” samar kudengar suara Siti. Aku mengerjap. Mataku terawang. Hampir saja marah.

“Siti membangunkan Ibu. Pertemuan Ibu belum selesai.” ucapku tak bisa menyembunyikan kekesalan dan kegembiraanku.

“Maaf, Siti tidak bermaksud begitu. Azan Subuh sudah sejak tadi, tapi Ibu belum juga bangun.” Jelasnya parau.

Aku diam. Tetap di ranjang. Menekuri kesalahan. Masih sulit untuk kuterima bahwa aku bermimpi bertemu dengan lelaki yang kurindukan.

“Semoga suatu saat nanti Ibu bisa mengunjungi makamnya,” katanya pelan dengan nada yang lebih serupa permohonan untuk berhenti bermimpi. Matanya berkabut. menyiratkan cemas pada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.

Secercah cahaya membuka langit. Astaga! Belum solat.

Aku bergegas ke perigi. Membasuh muka, tangan, rambut, telinga, dan kaki. Aku ingin menceritakan semuanya pada pemilik langit. Tentang kerinduan seorang perindu. Tak ada yang bisa mendengar pengaduanku selain kepada-Nya.

Terimakasih, Engkau telah mengijinkanku melihatnya meski hanya di alam mimpi. Aku yakin, Engkau akan memberiku kesempatan mengunjunginya di alam nyata. Aku yakin Engkau akan memberiku kesempatan menyempurnakan rukun Islam yang kelima. Amien.

Kedua tanganku mengatup. Lelaki yang kurindukan pasti merindukanku melebihi kerinduanku. Mengasihiku melebihi kasihku. Sebagaimana keyakinan doaku akan terkabulkan. Aku percaya, tangan yang satu tidak mungkin bertepuk tanpa tangan yang lain.

Dan itu terbukti sekarang!

Bagaimana kulukis perasaan ini? Setelah melalui perjalanan panjang nan berliku, akhirnya sampai juga pada puncak yang ingin kutuju. Sejak awal perjalanan, aku sudah yakin bisa menemui lelaki itu. Tidak mungkin ia tidak merindukanku. Hanya saja ia masih menunggu waktu yang tepat untuk menemuiku.

Fakir miskin? Ya, fakir miskin. Ia menyuruh mengasihi fakir miskin, bahkan mengatakan selalu bersama mereka. Tetapi, tunggu dulu. Bukankah aku termasuk dari golongan itu? Berarti ia selalu bersamaku. Ah, betapa bodohnya diriku tak pernah menyadari.

Anak yatim? Ya, anak yatim. Ia menyuruhku menyantuni anak yatim. Kuyakin itu adalah petunjuk untuk betemu dengannya tanpa harus jauh melangkahkan kaki berziarah ke makamnya.

Pagi ini juga aku akan mengajak kedua anakku. Mencari tahu kebenaran alamat mimpi itu. Di luar, Siti dan Ahmad menatap semringah. Kutahu mata mereka menatap bangga. Sesosok yang ingin kutemui berada diantara Siti dan Ahmad. Kedua tangannya memegangi pundak anakku.

Rupanya, lelaki yang kurindukan selalu bersamaku dan kedua anakku.

Jember, 20 Januari 2014

Saturday, May 3, 2014

Ngaji Radikal dari NU


Judul Buku      : Tradisionalisme Radikal; Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara
Editor              : Greg Fealy dan Greg Barton
Penerbit           : LkiS Yogyakarta
Tebal buku      : xvi + 360 hal: 14,5 x 21 cm
No ISBN         : 979-8966-11-2
Cetakan           : III, April 2010

Kontribusi NU terhadap tegaknya NKRI tidak bisa dinafikan. Perjuangan ulama di seluruh nusantara dalam menegakkan kemerdekaan serta membentuk negara berdaulat merupakan sumbangsih yang tak mungkin bisa dikesampingkan. Terlepas dari rasa “egoismesentris” keagamaan, spirit perjuangan ulama NU memainkan peran yang signifikan atas perubahan sosial dan politik di Indonesia.

Buku ini Tradisionalisme Radikal; Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara adalah kumpulan ilmiah yang sebagian besar hasil penelitian dari ragam tema. Di antanya, ideologi dan tingkah laku politik NU, struktur organisasi NU, dan Respon NU terhadap perubahan sosial dan modernitas.

Greg Fealy dan Greg Barton sepakat membagi sejarah perkembangan organisasi berlambang bumi itu menjadi tiga fase: Pertama, NU sebagai organisasi sosial-keagamaan, Kedua, NU sebagai partai politik, Ketiga, kembalinya NU pada khittah yaitu sebagai organisasi sosial-keagamaan.
NU lahir dari rahim pesantren dan untuk pesantren, bukan untuk negara. Ideologi modern yang dibawa oleh para penjajah, baik Belanda maupun Jepang, membuat NU harus  bertindak tegas terhadap teganya agama Islam di Nusantara. Pada tahap ini, dikatakan bahwa NU menerapkan politik internal (sirr).

Pada perkembangannya, percaturan NU di panggung politik semakin terang. Kemelut perpolitikan pada rezim Orde Lama dan Orde Baru menyisakan dilema yang sangat kompleks membuat kalangan elit NU tidak bisa tinggal diam. Pada akhir tahun 1930-an NU menentang regulasi pemerintah kolonial yang dianggap bertolakbelakang dengan Islam.  Keterlibatan NU sagat terbaca ketika turut mendukung GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesi), sampai kemudian membentuk motor politik sendiri yakni Partai Masyumi.

Sebagai Organisasi Islam tertua di Indonesia yang lahir pada 31 Januari 1926, merangkum kontribusi NU terhadap NKRI dalam tulisan yang singkat ini tentu sangat kurang, sebab perjalanan NU sampai saat ini seperti air beriak di sepanjang liku aliran sungai.

Ada gagasan yang sangat menarik dari isi buku yang dimotori oleh Greg Fealy dan Grek Barton (editor) ini. Sebuah buku terjemahan pertama yang—menurut Gus Dur—yang mengulas secara detil soal persinggungan NU dan NKRI. Yaitu kata “Radikal” pada bagian judul buku.

Kenapa ada Radikal? Bukankah empat pilar yang dimiliki NU, yaitu tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazzun (seimbang) dan I’tidal (adil) membuat organisasi yang didirikan oleh K.H Hasyim As’ari terkenal dengan fleksibilitasnya?

Kata ‘Radikal’ disadur oleh Mitsuo Nakamura, yang turut diundang oleh Gus Dur pada Muktamar NU ke-26 di Semarang pada tahun 1979. Peneliti asal Jepang tersebut menilai gerakan politik NU adalah gerakan radikal. Radikal dalam pengertian kritik yang luas dan terbuka (hal, 114). Asumsi tidaklah berlebihan sebab NU pengkritik keras rezim Soeharto.

Dengan sikap seperti itu terjadi sebuah paradoks: radikalisme politik dan tradisionalisme agama. Dua arah yang seakan berlawanan arah tersebut justru memperkokoh eksistensi NU sebagai organisasi massa. Radikalisme politik NU sebagai jalan li maslahatil ummat. Radikalisme politik merupakan langkah memperkokoh tradisionalisme keagamaannya.

Si sisi lain, Radikalisme politik membuat harmonisasi di tubuh NU kerap bertolak belakang. Nilai-nilai adap asor yang menjadi salah satu karakteristik dalam konteks sosial-keagamaan terabaikan oleh legitimasi politik radikal yang berdiri atas jargon li maslahati ummat.

Hadirnya buku ini mengokohkan harmonisasi relasi NU-Negara. Salah satu contoh, yaitu pengambilan keputusan atas Pancasila sebagai asas dasar negara. Sementara Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai asas dasar pemberdayaan ummat.

Buku ini sangat cocok sebagai refleksi atas pola gerak NU dalam konteks kekinian.  Kiranya tidaklah berlebihan mengingat buku yang didominasi cover warna hijau ini secara detail mengulas naik-turun NU di panggung politik.