Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts

Saturday, August 29, 2020

Pembelajaran Online dan Kesiapan Belajar Anak Pendidikan Dasar



https://mediajatim.com/2020/07/28/pembelajaran-online-dan-kesiapan-belajar-anak-pendidikan-dasar/

Coronavirus Diseases 2019 (Covid-19) menyita banyak perhatian. Pandemi global tersebut melumpuhkan multi-sektoral, termasuk sektor pendidikan. Mau tidak mau, kebijakan social distancing dan physical distancing memaksa lembaga pendidikan melakukan harus pembelajaran online.

Tidak semua lembaga pendidikan siap menjadi ‘imigran online’. Banyak faktor yang mempengaruhi, baik dari segi sarana prasarana hingga sumber daya manusia. Dr. H. Mundir, M.Pd, dalam Migrasi Digital di Era New Normal, membaginya menjadi tiga kelas: unggul, menengah, dan rendah. Kelas unggul yaitu mereka yang telah melaksanakan pembelajaran online jauh sebelum adanya Covid-19. Kelas menengah adalah mereka yang melakukan pembelajaran berbasis IT dengan model face to face. Sementara kelas rendah disematkan kepada mereka yang tidak atau belum pernah melaksanakan pembelajaran online.

Apakah pendidikan kita siap melakukan pembelajaran online? Tentu kita harus optimis, tetapi juga harus realistis! Berdasarkan hasil survey Programme for International Student Assesment (PISA) akhir tahun 2019 menunjukkan, kualitas pendidikan di Indonesia menempati peringka ke-72 dari 77 negara. Mengapa bisa demikian?

Kurangnya pemanfaatan teknologi dalam kegiatan pembelajaran menjadi salah satu indikatornya. Meski Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan, jumlah pengguna internet tahun 2019 sebanyak 171,17 juta jiwa atau 64,8 persen dari total penduduk Indonesia, namun hanya 40% dari guru non-TIK yang siap dengan teknologi. Artinya, masih banyak pendidik yang melaksanakan pembelajaran secara konvensional.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim sangat getol mendorong lembaga pendidikan memanfaatkan teknologi sebesar-besarnya guna meningkatkan kompetensi Abad 21. Namun, misi besar yang dibangun belum terkaji secara strategis dan merata. Tidak heran jika kemudian Mas Menteri, sapaan akrabnya, kaget ketika mengetahui ada wilayah di Indonesia belum teraliri listrik. Belum lagi soal ketimpangan kompetensi guru dan sarana prasaranan pendidikan antara di kota dan di desa.

Kesiapan Psikis dan Mental

Musibah pandemi Covid-19 yang datang tak diduga memangkas jarak satu sama lain. Tentu hal ini menuntut lembaga pendidikan harus menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi yang ada. Pembelajaran konvensional sementara bermigrasi ke pembelajaran digital. Pendekatan pedagogi beralih ke pendekatan heutagogi. Pendekatan andragogi bergeser ke pendekatan cybergogi

Pembelajaran online barangkali tidak menjadi kendala serius bagi pendidikan menengah dan pendidikan tinggi senyampang sarana prasaran dan kompetensi guru memadai. Namun, tidak bagi pendidikan dasar, terutama bagi sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah. Permasalahannya menjadi sangat kompleks. Tidak hanya soal sarana prasarana dan kompetensi keahlian, melainkan juga kesiapan psikis dan mental peserta didik dalam belajar

Piaget’s Theory of Cognitive Development menyebutkan, anak pada usia SD/MI, antara 7-11 tahun, berada pada tahapan operasional konkret. Mereka memiliki kecenderungan mulai memandang dunia secara objektif, berpikir operasional, mengklasifikasi benda-benda, dan memahami konsep. Dalam konteks belajar, mereka memiliki kecenderungan kongkret, integratif, dan hierarkis.

Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Mereka membutuhkan banyak interaksi dengan teman maupun lingkungan. Itulah mengapa pembelajaran pada pendidikan dasar menggunakan pembelajaran tematik terpadu, yakni pemaduan mata pelajaran berdasarkan tema-tema tertentu yang kontekstual dengan dunia anak

Ironi Pendidikan

Kehidupan new normal sudah memasuki fase III. Artinya, kegiatan yang melibatkan massa mulai diperbolehkan, seperti kegiatan kebudayaan, pariwisata, olahraga outdoor dan kegiatan massa lainnya dengan tetap memerhatikan protokol kesehatan.

Pada fase ini sekolah seharusnya juga dibuka. Namun ternyata pembelajaran di rumah masih diperpanjang sampai batas waktu belum ditentukan. Tentunya hal ini menjadi semacam ironi. Kawasan wisata dibuka, belajar belum sepenuhnya ‘merdeka’. Boleh berolahraga di ruang terbuka, anak belajar masih terasa ‘di penjara’. Hajatan diperbolehkan, bersekolah masih dalam angan-angan.

Sejatinya, pembelajaran online merampas dunia belajar dan bermain anak-anak. Dunia maya bukanlah taman yang baik bagi seusia mereka. Tak ayal banyak yang bosan dan ingin segera masuk sekolah. Bermain dan bertegur sapa.

Anak-anak tidak bisa belajar mandiri. Harus ada yang bisa mendampingi. Satu-satunya yang sangat memungkinkan menjadi patner belajar dari rumah adalah orangtua. Namun tidak semua orangtua bisa menjadi patner belajar yang baik. Malah potensi stres orangtua bisa lebih meningkat karena masih harus memikirkan ekonomi keluarga.

Lalu, kapan kegiatan pembelajaran tatap muka bisa dilaksanakan kembali? Wallahu ‘alam.

 

Sunday, August 4, 2019

Menyoal Pasal Karet Perbub Pilkades


Oleh: Fandrik Ahmad*
(Radar Jember, 5 Agustus 2019)
Pesta demokrasi rakyat tingkat desa sebentar lagi digelar. Sebanyak 161 desa yang tersebar di 28 kecamatan di Kabupaten Jember akan melaksanakan pemilihan kepala desa (pilkades) serentak pada September nanti. Berbagai manuver politik untuk menarik hati masyarakat demi mendulang suara mulai dilakukan. Mulai dari pemasangan atribut pasangan calon, bagi-bagi sembako, melaksanakan pengajian rutin, serta berbagai strategi lainnya.
Sampai saat ini persiapan pilkades sudah pada tahap pembentukan panitia dan seleksi bakal calon kepala desa (bacakades). Nah, pada tahapan ini mulai timbul persoalan. Terutama menyangkut penarikan sumbangan kepada pihak ketiga, dalam hal ini adalah bacakades, yang dilakukan oleh panitia untuk mencukupi anggaran biaya pilkades.
Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Bupati (Perbub) Jember Nomor 41 tahun 2019 yang telah diubah menjadi Perbub Nomor 61 Tahun 2019 Bab XI pasal 46 tentang biaya pemilihan disebutkan bahwa anggaran pilkades dapat diambil dari tiga sumber yaitu, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes), dan sumbangan dari pihak ketiga yang sah dan tidak mengikat.
Sumbangan dari pihak ketiga dapat dilakukan apabila APBD dan APBDes tidak mencukupi beban anggaran biaya pilkades yang dimaksud. Inilah yang menyebabkan sumbangan dari pihak ketiga menjadi solusi untuk mencukupi anggaran pilkades, sehingga muncullah variasi besaran sumbangan kepada pihak ketiga. Ada yang gratis dan ada yang memungut biaya puluhan sampai ratusan juta rupiah.
Berbagai fenomena kebijakan menarik pun muncul. Ada bacakades yang sudah memenuhi persyaratan tersingkir karena tidak bisa memenuhi besaran sumbangan yang ditetapkan panitia. Ada bacakades yang lolos karena sudah memenuhi persyaratan meski belum bisa memenuhi biaya sumbangan yang ditetapkan panitia. Bahkan ada beberapa desa yang bahkan tidak memungut sumbangan dari pihak ketiga alias gratis.
Pengambilan kebijakan yang beragam ini mendapat respon yang beragam pula. Ada yang bersikap nyinyir dengan mengatakan bahwa masuk ke toilet umum saja berbayar malah mau maju di pilkades minta gratisan. Ada pula yang menempuh jalur hukum karena sumbangan tersebut dianggap sebagai pungutan liar karena sifatnya mengikat atau wajib.
Menarik disimak redaksi ‘…dapat memberikan bantuan pembiayaan…’ pada pasal 46. Kalimat tersebut dapat dimaknai sebagai sumbangan. Sumbangan asal kata dari “sumbang” yang artinya bantuan atau sokongan. Sumbangan dapat melahirkan frasa nonpredikatif  “sumbangan manasuka” dan “sumbangan wajib”. Sumbangan manasuka merupakan sumbangan yang diberikan secara sukarela, sementara sumbangan wajib merupakan sumbangan berupa uang dan sebagainya yang harus dibayar. Pasal 46 tidak menyebutkan apakah itu sumbangan manasuka atau sumbangan wajib. Hanya saja setelah kalimat di atas tertulis ‘…berdasarkan hasil kesepakatan musyawarah desa…”.
Perbub versus UU Desa
Adanya pasal karet tersebut harus dipahami secara cermat dan bijak karena dapat menimbulkan konflik horizontal yang berbuntut jalur hukum. Tentu hal ini akan merugikan banyak pihak, terutama panitia pilkades, karena sumbangan pihak ketiga tidak termasuk sebagai persyaratan calon kepala desa sebagaimana yang sudah diatur pada pasal 18 Perbub Pikades. Bisa jadi sumbangan tersebut dapat dikategorikan sebagai pungutan liar apabila tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Pada kasus ini, pemerintah desa maupun panitia perlu membentengi diri dengan berita acara hasil keputusan musyawarah desa sebagai dasar hukum sebagaimana yang diatur Permendes Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa, apabila sumbangan yang ditentukan memang berdasarkan hasil kesepakatan musyawarah desa.
Perbedaan anggaran pilkades yang beragam dikarenakan penganggaran dari pemerintah desa melalui APBDes tanpa melalui kajian yang matang terkait dengan kondisi geografis, luas wilayah, dan jumlah pemilih. Hal ini menjadi maklum karena memang tidak ada rumusan atau petunjuk yang jelas dari pemerintah daerah (pemda) terkait dengan proses penganggaran tersebut.
Seharusnya pemerintah dapat memberikan rumusan yang jelas terhadap besaran biaya yang harus dianggarkan oleh pemerintah desa dengan melihat topografi desa seperti rumusan pengalokasian Dana Desa (DD) maupun Alokasi Dana Desa (ADD). Sementara itu bantuan dari pemda hanya berupa logistik. Apabila mengacu kepada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa seharusnya biaya pemilihan kepala desa hanya dibebankan kepada APBD Kabupaten/Kota sebagaimana pasal 34 ayat 6.
Apabila sumbangan dari pihak ketiga memang dibutuhkan, maka perlu adanya ketetapan anggaran maksimal dari pemerintah sesuai dengan jumlah pendaftar. Jangan sampai biaya pendaftaran dalam bentuk sumbangan tersebut menjadi lumbung permainan anggaran pilkades yang dapat melahirkan politik transaksi dan kapitalisasi jabatan. Semakin mahal biaya politik, maka semakin terbuka budaya koruptif di tingkat desa. Apalagi bantuan alokasi dana di desa saat ini tergolong sangat besar. Siapa yang tidak tergiur, coba?[]

*Penulis adalah TPP PLD Kab. Jember dan Pengurus LTN NU Kec. Ledokombo

Sunday, November 11, 2018

Hoaks dan Drama Propaganda Ratna Sarumpaet


Dimuat di Majalah Sinergia, 30 Oktober 2018

Ratna Sarumpaet menyita perhatian publik di tengah musibah gempa dan tsunami yang melanda Palu-Donggala. Kepada media, ia mengaku telah dianiaya oleh sejumlah orang tak dikenal. Padahal diketahui baru saja melakukan operasi plastik. Kepada media pula, ia mengaku dan mengungkap segala kebohongannya serta menyatakan diri sebagai pencipta hoaks terbaik. Sebagaimana dikutip di detik.com, atas kejadian itu, Ratna meminta masyarakat untuk belajar tidak memikirkan hal-hal yang tidak penting.
Drama kebohongan tentang penganiayaan itu berhasil menyeret sejumlah elite politisi di negeri ini, sebut saja ketua Partai Gerindra Prabowo Subianto dan dewan kehormatan Partai Amanat Nasional Amien Rais. Bahkan, Hanum Salsabila Rais, anak kedua Amien Rais, menyebut Ratna sebagai Cut Nyak Dien dan RA Kartini masa kini.

Media Sosial dan Ladang Hoaks


Dimuat di Jawa Pos, 20 Oktober 2018
Kabar Ratna Sarumpaet yang merekayasa cerita bahwa dirinya telah dianiaya oleh sejumlah orang tak dikenal betul-betul menggegerkan. Padahal, kenyataannya, dia baru saja melakukan operas plastik.

Kini hoaks menjadi wabah nasional. Rentan menimbulkan konflik sosial, instabilitas di lintas sektor, dan berpotensi menghambat pembangunan nasional. Hasil survey Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) tahun 2017 menunjukkan, hoaks tertinggi terkait dengan isu sosial politik dan SARA. Hoaks yang paling sering diterima berbentuk tulisan (62,10%) dan gambar (37,50%).

Proyeksi Badan Pusat Statistik, pada 2020 Indonesia akan “dikuasai” generasi milenial. Generasi ini, menurut buku “Millenial Nusantara” karya Hasanuddin Ali dan Lilik Purwandi (2017), memiliki ciri utama karakter connected, yakni selalu berupaya diri terhubung ke internet.

Saturday, September 1, 2018

Antara Mahar Politik dan PHP

Oleh: Fandrik Ahmad*
Pemilu 2019 seperti menjadi kontestasi calon wakil presiden (cawapres). Prahara yang melibatkan kedua cawapres, mampu menyedot perhatian rivalitas politik antara Jokowi dan Prabowo sebagai dua tokoh sentral yang memperebutkan kursi R1. Sandiaga Uno (SU) sebagai cawapres Prabowo dilaporkan mempraktikkan mahar politik, sementara Mahfud MD (MMD) yang mencuat sebagai pasangan Jokowi, terjungkal oleh KH. Ma’ruf Amin di detik-detik deklarasi.
Judul tulisan ini sengaja penulis samakan dengan judul talkshow Indonesia Lawyers Club (ILC), salah satu program stasiun televisi swasta (14/08/2018), yang mengundang MMD mengulas kronologi kegagalan dirinya sebagai cawapres Jokowi. Dengan judul tersebut, ILC seakan ingin membandingkan antara isu mahar politik yang dilakukan SU kepada dua elite partai pengusung dengan Pemberi Harapan Palsu (PHP) kepada MMD yang melibatkan sejumlah politisi NU, termasuk KH. Ma’ruf Amin yang terpilih sebagai cawapres Jokowi.
Mahar Politik
Mahar politik bukan hal baru. Belakangan terjadi di Pilkada Jawa Timur. La Nyalla Mattalitti yang ingin maju sebagai calon gubernur Jawa Timur mengaku dimintai mahar 40 miliar oleh Partai Gerindra sebagai timbal-balik dukungan partai. Pernyataan tersebut seketika viral dan menunjukkan bahwa mahar di dalam dunia politik memang nyata adanya, semacam simbiosis mutualisme antara kandidat calon dengan partai politik.
Isu sama kembali mengemuka setelah Andi Arief, wakil sekjen Partai Demokrat, membeberkan adanya praktik sama yang dilakukan oleh SU untuk memuluskan dirinya menjadi cawapres Prabowo. Tidak tanggung-tanggung, mahar yang diberikan kepada PAN dan PKS masing-masing senilai Rp. 500 miliar. Tentu, fenomena tersebut menandakan adanya demokrasi yang sekarat pada bangsa ini. 
Salah satu yang menjadi indikasi praktik mahar politik adalah tingginya dana kampanye yang harus dikeluarkan oleh partai, meliputi atribut, tim pemenangan, sampai biaya saksi di masing-masing TPS. Belum lagi jasa penggunaan media cetak/online dan lembaga survey sebagai bentuk pencitraan diri. Selain itu, mahar politik juga dapat terjadi karena kandidat calon dianggap memiliki elektabilitas rendah di mata publik.
Pemerintah sejatinya sudah berupaya memberikan suntikan dana kampanye yang cukup besar terhadap partai, yaitu melalui revisi PP No. 83 Tahun 2012 menjadi PP No. 1 Tahun 2018 yang menaikkan dana bantuan partai naik 10 kali lipat menjadi Rp. 1000 per suara. Perubahan ini seharusnya menjadi pendorong untuk meningkatkan kaderisasi partai, sebab kader yang dinilai baik oleh publik pasti berimbas pada perolehan suara partai. 
Praktik mahar politik masuk kategori penerimaan imbalan yang dilarang dalam UU Nomor 7 tahun 2017. Namanya juga mahar, tentu ada proses tawar menawar politik. Hasilnya adalah kapitalisasi jabatan. Sejatinya, mahar politik tak akan berlaku bagi kandidat calon yang memiliki elektabilitas tinggi. Mereka tidak akan pernah mau memperjualbelikan demokrasi melalui surat rekomendasi. Bangsa kita terlalu pintar untuk dibodohi dalam urusan praktik semacam ini.
Kader NU atau Baper NU
Pada kasus berbeda, MMD yang terjungkal sebagai cawapres Jokowi di detik-detik deklarasi, mengaku legowo terhadap realitas politik, namun tak bisa diungkiri gelagat kecewa tampak jelas pada raut wajahnya. Pengakuan apakah dirinya NU atau bukan NU menjadi tendensi politik yang ditujukan kepada sejumlah politisi NU yang meragukan ke-NU-annya. Beberapa kali MMD menyebut ketua umum PBNU Said Aqil Siradj, ketua PKB Muhaimin Iskandar, ketua PPP Romahurmuziy, hingga KH. Ma’ruf Amin. Keraguan itu pada intinya dianggap sebagai konspirasi politik untuk menjungkalkan dirinya.
Suara NU selalu menjadi primadona. Tak ayal pada setiap kesempatan, NU kerap menjadi isu-isu politik. Selain menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia, masyarakat NU—jika tidak dikatakan fanatik—sangat takzim terhadap ulama sehingga apapun yang menjadi keputusan, ulama tetap menjadi pilihan.
Dalam pandangan dunia santri, ilmu dan barokah didapat apabila sepenuhnya takzim dan tawaduk terhadap segala keputusan kiai. Kendati pilihan atau keputusan yang diambil tidak sesuai dengan hati nurani, santri akan tetap melaksanakan sebagai bagian dari rasa takzim kepada seorang guru atau kiai.
Melihat fenomena yang ada, paradigma semacam inilah yang coba dimainkan oleh sejumlah elite partai; mengukur sejauh mana kekuatan karismatik calon pemimpin berlabel NU untuk menarik suara di tingkat bawah yang mayoritas adalah nahdliyyin. Pada konteks ini muncullah isu kader NU dan bukan kader NU.           
NU memang bukan partai politik. Secara organisasi juga tidak terikat dengan partai manapun. Namun, sebagai ormas yang menjadi bagian dari tubuh bangsa, NU tetap memiliki tugas dan tanggungjawab secara moral mengawal perjalanan demokrasi dengan menyuarakan aspirasinya.
Mahar politik dan PHP dalam konteks kenegaraan memiliki imbas yang berbeda. Mahar politik jelas mencederai konstitusional negara, sementara PHP imbasnya lebih kepada aspek personality. Blak-blakan ala MMD menunjukkan karakteristik orang Madura yang menjunjung tinggi harga diri. Sebagai intelektual Madura, tentu talkshow menjadi panggung sempurna melaksanakan ‘carok’ tanpa harus menghunus celurit untuk menumbangkan lawan.
Apa yang terjadi terhadap MMD merupakan dinamika dan realitas politik yang wajar. Hanya saja dramatisasi di akhir laga menjadi topik yang viral di media. Lain hal dengan mahar politik. Praktik masif dan sistematis tersebut mesti ditindak tegas karena masuk kategori kampanye gelap (black campaign) serta memicu adanya kapitalisasi demokrasi. Mahar politik hanya akan melahirkan perilaku pemimpin koruptif di negeri ini.[]

*) Penulis adalah jurnalis, cerpenis, dan mahasiswa pascasarjana IAIN Jember
Sumber: Mediajatim.com

Jokowi-Ma’ruf Amin, Interpretasi Umara dan Ulama?

Oleh Fandrik Ahmad*
Teka-teki seputar siapa sosok calon wakil presiden (cawapres) yang akan mendampingi presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2019 kini sudah terjawab. Kamis, 9 Agustus 2019, di Restoran Plataran, Menteng, Jakarta Pusat, Jokowi bersama sembilan partai koalisi sepakat untuk mengusung KH Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden pada pemilu 2019.
Sebelumnya, mencuat kabar bahwa sosok cawapres yang akan mendampingi calon petahana tersebut adalah berinisial M. Maka, muncul nama Mahfud MD di garis terdepan. Ia menjadi kandidat terkuat sebelum terjadi dinamika politik di akhir laga. Ya, sembilan petinggi partai yang tergabung dalam koalisi Indonesia Kerja saat itu sepakat memilih Ma’ruf Amin daripada Mahfud MD. Kenapa mesti Ma’ruf Amin?
Ma'ruf Amin bukan pemain baru dalam kancah politik tanah air. Banyak yang menilai bahwa Ma’ruf Amin merupakan sosok paling ideal mendampingi Jokowi. Ma’ruf Amin merupakan sosok utuh sebagai tokoh agama sekaligus tokoh politik. Tentu segudang pengalaman menjadi bahan pertimbangan. Sebagai tokoh agama, ia menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Rais Aam PBNU. Sebagai tokoh politik, ia pernah duduk di DPR dan MPR serta menjadi dewan pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Sebagai tokoh agama, Ma’ruf Amin diharap mampu mengakomodir suara di tingkat bawah yang mayoritas adalah warga nahdliyyin. Bagaimanapun juga, di panggung politik, suara NU tetaplah memiliki daya tarik tersendiri dan menjadi rebutan. Selain menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia, masyarakat NU—jika tidak dikatakan fanatik—sangat takzim terhadap ulama sehingga apapun yang menjadi keputusan, ulama tetap dinomorsatukan. Sementara Mahfud MD dinilai kurang tepat sebagai interpretasi dari sosok nahdliyyin. Sebagaimana pernyataan KH Said Aqil Siradj, ketua umum PBNU bahwa lelaki yang lahir di Madura itu hanya dekat dengan NU, bukan kader NU.
Terpilihnya Ma’ruf Amin juga bagian dari strategi politik. Sebagaimana diketahui, kursi calon wakil presiden menjadi primadona dan diperebutkan oleh para elite partai, yang sejatinya berburu kekuasaan pada pemilu 2024. Asumsinya, jika pada pemilu 2019 kembali terpilih, maka pada pemilu 2024 Jokowi tidak bisa mencalonkan kembali karena sudah dua periode. Oleh karena itu, kursi wakil presiden dinilai sangat kuat sebagai batu loncatan menggalang kekuatan maju sebagai calon presiden.
Apabila melihat usia yang sudah menginjak 75 tahun, tentu peluang untuk maju pada pemilu 2024 sebagai calon presiden sangat kecil. Hal ini tentu menjaga peluang partai politik mengusung kekuatan sehingga merasa lebih legowo menerima Ma’ruf Amin daripada Mahfud MD.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai platform utama pengusung Jokowi sangat hati-hati menjaga harmonisasi keluarga di kabinet Indonesia Kerja. Mereka tahu bahwa para elite partai yang berkoalisi sama-sama mengincar kursi nomor dua RI, sebut saja Muhaimin Iskandar (PKB), Airlangga Hartarto (Golkar), Muhammad Romahurmuziy (PPP), Osman Sapta Odang (Hanura) dan Hary Tanoesodibjo (Perindo). Dengan mengambil tokoh di luar non-partai pengusung, tetapi dapat merepresentasikan calon ideal yang diinginkan para elite partai, maka kemungkinan terjadinya poros ketiga sangat kecil. Apalagi deklarasi pencalonan dilakukan pada masa-masa injury time yang tentunya juga akan sangat sulit membuat poros baru.
Pasangan Umara-Ulama
Belakangan ini kursi kepresidenan kerap digembar-gembor dengan isu-isu miring seperti Jokowi komunis, Jokowi antek asing, hingga Jokowi yang anti ulama. Isu-isu SARA semakin santer berkembang, terutama menyangkut isu-isu keagamaan. Dengan menggandeng Ma’ruf Amin, Jokowi seakan ingin menjawab bahwa tuduhan itu tidak benar. Umara dan ulama harus bersinergi, beriringan memajukan bangsa dan negara. Indonesia merdeka atas jasa ulama. Keputusan-keputusan penting pasca kemerdekaan juga atas andil ulama. Maka, seyogianya antara ulama dan umara bahu-membahu dan saling melengkapi dalam mengambil kebijakan strategis.
Dengan memilih Ma’ruf, dukungan suara kepada Jokowi akan lebih variatif daripada jokowi menggandeng Mahfud. Ma’ruf dan Mahfud adalah tokoh muslim berbeda corak dan pemikiran. Ma’ruf adalah ulama NU yang dipandang konservatif-toleran, sementara Mahfud adalah seorang akadmisi dan tokoh moderat. Ma’ruf dapat menjadi strategi untuk meredam kelompok kanan yang tidak simpatik kepada Jokowi.
Terlepas dari hal di atas, bukan berarti Ma’ruf menjadi sosok ideal pendamping Jokowi. Corak pemikiran yang dinilai lebih konservatif bisa menjadi celah untuk menurunkan dukungan suara kepada siapa pun yang tidak simpatik kepada tokoh konservatif. Namun dukungan dari kalangan moderat, secara politis tetap kuat, karena Ma’ruf masih representasi dari tokoh NU.
Sebagai background  umara dan ulama, setidaknya isu-isu SARA khususnya keagamaan bisa diredam sehingga pertarungan nanti benar-benar menjadi sebuah pertarungan konsep dan gagasan menuju Indonesia berdaulat. Semoga.    
*) Mahasiswa pascasarjana IAIN Jember
Sumber: Mediajatim.com

Tuesday, December 5, 2017

Menakar Kontestasi Politik NU di Pilgub Jatim

(Dimuat di http://mediajatim.com/2017/11/05/menakar-kontestasi-politik-nu-di-pilgub-jatim/)

Pemilihan gubernur (pilgub) 2018 akan menjadi catatan tersendiri bagi masyarakat Jawa Timur. Pasalnya, dua kader elit Nahdlatul Ulama (NU), yakni Saifullah Yusuf dan Khofifah Indar Parawansa siap bersaing memperebutkan kursi nomor satu di Jawa Timur. Munculnya dua kandidat calon gubernur yang sama-sama berlatar belakang organisasi keagamaan berlambang bintang sembilan tersebut diprediksi menimbulkan dua poros besar di tubuh NU.

Selain berlatar belakang kader ormas yang sama, baik Gus Ipul maupun Khofifah sama-sama memiliki elektabilitas kuat di mata nahdliyyin. Rekam jejak membuktikan bahwa keduanya memiliki akar emosional sangat kuat dengan masyarakat Jawa Timur, baik struktural maupun kultural. Keduanya menjadi bagian pengurus elit NU; Gus Ipul wakil ketua PBNU sedangkan Khofifah ketua umum PP Mulimat NU.

Setelah dua periode menjabat wakil gubernur, Gus Ipul memiliki hasrat untuk menggantikan estafet kepemimpinan Pakde Karwo—sapaan akrab Soekarwo—sebagai gubernur. Setali tiga uang, kepiawaian bergaul dan menjalin komunikasi baik dengan berbagai kalangan membuat PKB jatuh hati dan mengusungnya pada pilgub 2018. Dengan mengantongi 20 kursi di DPRD Jawa Timur, partai berlambang bumi itu berhak mengusung calon sendiri tanpa harus berkoalisi dengan parpol lain.