Sunday, April 12, 2009

Putri Birokrat

Namanya Putri Megawati. Lahir dari keluarga yang kaya dan terhormat. Ayah menjadi salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat. Dengan memberikan nama itu, orang tuanya berharap, kelak Putri akan menjadi orang besar. Ya! Seperti Megawati. Presiden perempuan pertama di Negeri ini. Maka, nama belakang Putri diberi embel-embel MEGAWATI!
Putri sangat bangga dengan jabatan yang baru disandang ayahnya. Meski Putri berkulit hitam dan selalu menjadi objek olok-olokan temannya. Namun, tak bisa dipungkiri lagi bahwa sekarang Putri adalah anak seorang Birokrat. Tak ada lagi yang mengolok-olok Putri di sekolah. Seperti saat sebelumnya.
Putri semakin bangga. Baru sebulan ayahnya duduk di kursi Legislatif, Putri sudah mampu dihadiahi sebuah mobil Mercedez Benz terbaru. Ketika dibawa ke sekolah, semua pasang mata tertuju pada mobil hitam mengkilat itu. Baik guru maupun temannya, menyoroti kedatangan mobil buatan Jerman tersebut. Tak ada yang lebih bagus dari mobil Putri. Meski milik gurunya sekalipun.
Perubahan yang dialami Putri juga berdampak pada teman-temannya. Putri yang dulu dikucilkan–dengan alasan Putri berkulit hitam dan jelek—kini, satu persatu terpikat menjadi temannya. Putri juga rajin datang ke Mall, Spa, Salon dan lainnya. Ya! Tentu saja untuk mengubah penampilan. Merias wajah. Namun, Putri tetaplah Putri yang dulu. Meski kehidupannya berubah setelah sang ayah duduk di kursi Legislatif, tak menjamin sikap dan pribadinya juga berubah. Putri tetap lembut, baik hati, sopan dan tidak milih-milah teman.
Pernah sebelum ayah duduk di kursi Legislatif. Tepatnya ketika masih menjadi Caleg (Calon Legislatif), Putri dimarahi habis-habisan, bahkan tanpa ragu ayahnya melayangkan tangan gempalnya ke wajah Putri. Menjabrik rambut. Menyeret putri ke dalam kamar. Putri disekap selama tiga hari. Memang, semua itu murni kesalahan Putri: Ia membakar tumpukan sampah didekat gudang. Tanpa di duga, api itu merambat ke gudang. Melahap habis semua isinya. Di gudang itu banyak tumpukan stiker dan baliho. Ukuran kecil maupun besar yang seharusnya disebarkan dan ditempel di tempat-tempat umum.
Putri hanya menangis. Ya! Hanya itu yang bisa dilakukan.

***
Putri melanjutkan kuliah di salah satu Universitas terkemuka di Jakarta. Ia mengambil jurusan Sosial dan Politik. Ayahnya menekankan Putri untuk melanjutkan study keluar Negeri. “Lebih baik study keluar negeri dari pada di negeri sendiri. Negeri kita pendidikannya kalah berkualitas,” kata ayahnya.
Ia tidak mau jauh dari orang tua. Juga lingkungannya. Menurut Putri, belajar di negeri sendiri tidak jauh beda dengan belajar di negeri orang. Sebagai jaminan, Putri berjanji akan terus meningkatkan nilai IP-nya dan mewujutkan cita-cita sesuai dengan apa yang diinginkan ayah; Menjadi orang besar.
Putri juga tidak mau berpisah dengan Adit. Belahan jiwanya sejak masih duduk di bangku SMA. Putri selalu ingin terus bersamanya. Itulah salah satu alasan mengapa Putri memilih kuliah di sana, karena ada Adit. Seorang pemuda tampan, pemalu, polos, lugu dan anak mami—karena ia rajin menelpon mamimya. Meski lugu dan pemalu, Adit sangat pintar. Orang tua Putri tak ragu ketika Adit diperkenalkan kepada mereka. Bahkan, orang tua Putri beranggapan, Adit adalah sosok Birokrat masa depan. Pikirannya selalu kreatif dan inovatif. Satu lagi kelebihan Adit adalah dia bisa paham; Putri lebih suka diperhatikan dari pada memperhatikan.

***
Putri kini semester empat. Begitu pula Adit. Dalam dua tahun terakhir, Putri menepati janjinya; nilai IP Putri selalu masuk nominasi tiga besar semua jurusan di Kampusnya. Putri bangga, begitu pula dengan kekasihnya, Adit. Kegembiraan Putri semakin lengkap dengan adanya sedikit perubahan pada diri Adit. Adit tidak pemalu, Adit bukan anak mami lagi yang selalu mengadukan hidupnya pada mami. Ia berani tampil di mimbar bebas. Menjadi sosok Mahasiswa yang betul-betul terbakar dengan idealisnya. Agen of change. Agen of social Control. armada masa depan yang akan memperjuangkan nasib rakyat jelata.
Adit mulai suka baca banyak buku; tentang Sosial, Politik, Ekonomi, bahkan buku tentang Sastra. Semua dilahapnya. Ia selalu aktif di forum-forum diskusi. Kini ia memunyai kelompok diskusi. Mula-mula kelompok diskusinya hanya mendiskusikan tentang materi-materi kampus. Namun, seiring waktu bejalan, anggota kelompok diskusi Adit semakin bertambah. Tidak hanya mendiskusikan tentang materi-materi kampus. Semakin merambat kepada permasalahan-permasalahan Negara; Sosial, Ekonomi, Politik dan lain sebagainya.
Menurut kelompok diskusi itu, ada yang harus diluruskan dalam sistem pemerintahan sekarang. Para wakil rakyat semakin banyak yang tertular penyakit korupsi, sehingga keadilan harus betul-betul ditegakkan. Tak pandang bulu. Gedung Dewan perlu dibersihkan dari penyakit yang menjijikkan itu.
Adit benar-benar berubah, ia dan kelompok diskusinya sering berdiskusi, hingga larut malam. Hal itu sangat disayangkan oleh Putri. Sebab, Adit tak memiliki banyak waktu lagi dengan putri. Putri merasa terbuang. Terpinggirkan. Putri kesepian.
Adit juga sering melakukan demontrasi. Dengan lantang ia berdiri di mimbar bebas. Menamakan diri; Aliansi Mahasiswa Peduli Rakyat yang disingkat AMPR. Yang memperjuangkan nasib rakyat kecil. Menyuarakan jeritan nurani mereka. Melindungi kaum tertindas dari penguasa otoriter.
“Adit, kau sudah berubah.”
“Sayang, aku tak pernah berubah padamu. Hanya saja aku sangat sibuk. Ada yang lebih membutuhkan pertolonganku. Aku harus menolongnya. Harus!”
“Maksudmu?”
“Sayang, aku tak punya banyak waktu.”
Adit melepaskan genggaman tangan Putri. Dengan sekejap Adit tenggelam di tengah kerumunan para demonstran yang terus mengular di jalan menuju gedung DPR-MPR. Putri terus mengikuti demonstran. Berharap akan bertemu dengan Adit kembali. Putri bingung, ia seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Adit berdiri di mimbar bebas. Berkoar-koar sekuat tenaga. Menuntut Dewan untuk keluar dan melepaskan jabatannya. Sebagai koordinator lapangan, tanpa lelah Adit terus berteriak.
“Bersihkan gedung kami. Bersihkan!”
Putri jelas sekali melihat Adit di sana. Ada kobaran api di matanya. Putri menghampiri Adit. Dengan berlinang air mata, Putri menyuruh Adit segera turun. Ia tidak peduli dengan berjuta-juta wartawan yang mengekspos dirinya. Maklum, Putri punya daya tarik tersendiri bagi wartawan. Putri adalah anak dari salah satu Dewan yang duduk di gedung itu. Yang sekarang lagi didemo. Seharusnya, Putri berseberangan dengan para demonstran, pikir wartawan itu.
“Turun Adit. Turun!”
“Tidak!”
”Kita masih muda, tidak usah terlalu larut dalam urusan negara.”
“Kau salah.”
“Aku benar. Kembalilah. Kau sudah lama tak masuk kuliah.”
“Sebaiknya kau saja yang pergi dari sini. Nanti IP-mu melorot.”
Usai kata itu muntah, beberapa teman Adit sudah menariknya. Adit kembali masuk dalam kerumunan massa. Meninggalkan Putri yang sembab dengan air mata. Adit seperti terbawa arus yang sangat deras. Deras sekali.

***
Di rumah, Putri dimarahi ayahnya. Disamping ayah tahu dari Koran, juga ia melihat sendiri pada saat demontrasi. Umpatan-umpatan kotor mengalir deras tanpa henti. Putri dicerca, ditampar, disiksa, dan disekap di kamarnya lagi.
Namun, Putri kali ini berbeda dengan Putri tujuh tahun lalu. Yang pernah disekap gara-gara tidak sengaja membakar gudang. Putri sadar, banyak penderitaan rakyat kecil selama krisis ini. Selama ini, mereka hanya terkurung dalam satu opini. Seperti tanaman yang bertahun-tahun dibonsai. Putri malu. Ia hanya mengejar IP dan IP. Tidak menghiraukan jeritan rakyat yang butuh pertolongan. Apa gunanya label Mahasiswa baginya kalau tidak memperjuangkan nasib mereka. Sebagai orang idealis, seharusnya aku memberikan yang terbaik bagi mereka, sesalnya.

***
Di Negeri permai ini
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah
Pemuda desa tak kerja
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Tuk membebaskan negeri
(Lagu Slank “Darah Juang”)
Adit berbaring. Komputernya tetap hidup. Mata cokelat itu menerawang ke langit-langit. Merenungi lagu itu. Lagu yang menggambarkan berjuta kemelut di negeri ini. Menggambarkan berbagai kesengsaraan rakyat. Hingga mereka tetap terkurung dalam lingkar garis kemiskinan.
“Bunda relakan darah juang kami, tuk membebaskan negeri,” Ia mengikuti lirik lagu itu. Suaranya begitu serak. Ada rasa iba di balik suara kerasnya.
Tiba-tiba, Putri berdiri di depan pintu kamarnya. Adit termangu. Sunyi. Apakah kedatangan putri ingin menghalangi? Atau ada sebab lain? Beribu pertanyaan terkatung di benak Adit. Putri tetap diam. Mata itu semakin sembab. Akhirnya buliran Kristal suci jatuh tanpa hambatan. Mengalir deras membelah pipi mulus putri.

***
Pagi itu, seluruh mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi bergabung. Berkumpul di alun-alun kota. Mereka telah siap membersihkan sendiri gedung milik mereka, setelah suara mereka tak dihiraukan. Gedung yang dikotori oleh para wakilnya sendiri. Demonstran sudah menyusun rencana rute perjalanan. Setelah ke gedung DPR-MPR, mereka akan ke gedung Presiden. Beberapa alat atau senjata sederhana Seperti batu-batu dan sejenisnya mereka siapkan untuk mengamankan diri dari para aparat keamanan.
Semakin matahari meninggi, semakin banyak mahasiswa berkumpul. Pukul 10.00 WIB. Ribuan demonstran itu bergerak ke gedung DPR-MPR. Mereka mengular di sepanjang jalan kota. Adit sebagai korlap (koordinator lapangan) tak lagi sendiri. Ada Putri disisinya. Yang selalu menemani setiap langkah perjuangannya. Berjuang sampai tumpah darah penghabisan. Berjuang bersama-sama, meski melawan ayahnya sendiri. Beberapa spanduk dan tulisan-tulisan anti korupsi diangkat itnggi-tinggi.
Adit kembali di mimbar bebas. Berorasi. Berkoar-koar sekuat tenaga. Urat-urat besar di tenggorokannya seperti cacing tanah kepanasan. Melihat bara api di mata kekasihnya, Putri turut berdiri di mimbar itu. Bersama-sama berteriak dengan lantang.
“Keluar kalian! Aku tidak mau melihat tikus-tikus di gedung kami!”
“Ini gedung suci. Hasil jerih payah kami!”
“Jangan kotori gedung titipan rakyat!” Teriaknya disambut demonstran lain. Tanpa lelah, meraka serukan jeritan rakyat yang telah lama tertindas rezim otoriter, egois dan mau mengisi perutnya sendiri.
Ribuan demonstran berdesakan mencoba memasuki gedung DPR-MPR. Karena merasa terdesak dan para demonstran tak dapat dikendalikan lagi, aparat itu mulai jengkel. Kesabaran mereka habis. Aparat mengamuk. Membabi buta. Memukul, menendang bahkan tak dinyanya da letupan senjata.
Para demonstran tak kalah hebat. Mereka melempari manusia berbaju loreng itu dengan batu. Meski para aparat menggunakan pengaman, tak menyulut semangat demonstran. Mereka terus menghujani aparat dengan apa saja yang bisa mereka lemparkan.
Karena kalah senjata, demonstran itu mulai kewalahan. Nyali mereka ciut. Kalang kabut melihat aparat semakin banyak. Demonstran lari berhamburan, tak tentu arah. Pada saat itulah nasib sial menimpa Adit dan Putri yang sejak awal berada di garda paling depan. Sadar mereka terdesak, Adit menarik tangan Putri. Berlari sekuat tenaga. Putri terjatuh. Tersandung batu. Terpaksa Adit menggendongnya.
Tiba-tiba, Adit merasa sebuah peluru nyasar di bagian betisnya. Seketika itu mereka berdua roboh. ambruk diantara derap langkah demonstran dan aparat keamanan. Mereka berdua terinjak-injak oleh ribuan pasang kaki. Adit menjerit.
Jeritan Putri tak kalah hebat. Putri menggenggam erat tangan Adit, tak ingin terlepas. Darah mengalir dari pelipisnya. Perlahan jeritan itu mulai sirna. Pasrah di atas takdir. Merasa jari-jemari malaikat maut telah menggelitik ubun-ubun Mereka.
”Kata mama, orang idealis akan terkoyak oleh idealismenya sendiri,” ucapnya lirih ke telinga Putri.
Annuqayah, 2010
*) Cerpenis, tinggal di PP Annuqayah, Sumenep, Madura
Penggagas Kosambhi (Komunitas Sastra Serambi)
Hp : 087866125023

0 comments: