Saturday, July 28, 2012

Maling

(Dimuat di Tribun Jabar, 29 Juli 2012)

Hampir setengah hari air muka Majid terlihat keruh. Tak berubah. Pesan kiai sebelum berhenti dari pesantren, sungguh berat dijalani. Tetapi, pembenaran tetap bercokol di atas keraguan; tak mungkin dawuh seorang ulama menyesatkan, benarnya.

Selama 20 tahun menjadi abdi dalem kiai Khazin, tak sedikit pun terselip niat cela dari dawuh-dawuh beliau. Apalagi sampai bertentangan dengan nilai-norma agama. Tapi, Pernyataan emak atas pertanyaannya tempo pagi tak dinyana meletakkan sangsi pada pesan itu.

Angin meruak dari celah-celah dinding sirap. Suara krik-krik Jangkrik berpagut gembira menyaksikan senja surup. Melintas seorang lelaki tua berselempang sarung mengantarkan anaknya mangkat ngaji.

Pesan kiai Khazin menghitamkan selera. Berat tetap menjadi jawaban. Majid menyorongkan mata pada emak yang tengah beringsut ke bawah dop lima watt. Benar dirasa, penglihatan emak sudah tak lebih redup ketimbang pijar itu. Namun, jemarinya tetap cekatan merajut benang, menambal sarung yang lepas jahitan. Keterampilan menjahit masih ada. Dan, tusukan terakhir mengembangkan senyum perempuan itu.

“Cong, sini. Coba pakai,” Lekas Majid memenuhi panggilan itu.

“Sudah, Mak?”

“Coba pakai,” ia memberikan sarung itu.

“Mak.”

“Apa, Cong?”

“Benarkah kata Emak kemarin pagi?” Pertanyaan meragukan.

Sarung yang disorongkan melorot. Jatuh di atas kedua pahanya. Berat nafas setelah itu. Selama ini ia lakukan semata ingin membesarkan Majid tanpa bayang-bayang kecelaan seorang Epak. Apa jadinya bila semua sudah diketahui? Apakah tak akan membuat minder anaknya merajut kehidupan? Itu yang dipikirkannya. Tetapi, kran masa lalu terlanjur dibuka. Setetes air jatuh dan menandakan kalau masih ada tetesan air lagi yang akan mengalir.

“Ya, Cong. Dulu Epakmu maling,” berat nada itu.

“Benar, maling?” lagi. Majid meyakinkan. Kepala emak tegak menatap atap bubungan.

“Epakmu apes meninggal digrebek warga. Itulah kenapa sejak kecil kamu kutitipkan ke pesantren biar tak mendengar gunjingan orang-orang tentang Epakmu.”

Serasa hari itu Majid baru mengenal epak. Memang, emak tak banyak cerita perihal itu. Apalagi, menghabiskan waktu banyak di pesantren, hanya setahun sekali pulang libur Ramadhan, membuat Majid tak cukup waktu mendikte sosok kekar di balik emaknya.

“Sudah, Cong. Tak usah sedih. Epakmu punya mimpi yang terbaik untukmu. Epakmu tak ingin kau turut menjadi maling. Ia selalu mengingatkan emak untuk membawamu ke pesantren.”

“Ah, tidak, Mak. Aku tidak sedih,” masai raut muka Majid. Anak dan ibu saling pagut. Bagaimanapun ibu tetaplah ibu, bahwa kesangsian lagi sedang melilit hati anaknya.

Buah jatuh tak akan jauh dari pohon, begitulah pesan kiai Khazin perihal menyuruh menjejaki pekerjaan orang tua, sebelum berhenti mondok. Jika jadi petani, ya, petani. Pedangang jadi pedangan. Buruh, ya, jadi buruh. Lantas, bila ternyata maling, apa harus jadi maling? Ah, apa gunanya berpuluh tahun belajar agama. Apa gunanya beliau menyuruh menjadikan kitab Fathul Mu’in sebagai prinsip langkahnya. Kualatkah bila amanah itu tidak dilakukan?

Berhari-hari, kata maling, M.A.L.I.N.G, berseliwer di pikiran. Benar-benar mengganggu. Pikirnya, masa harus maling. Adakah jadi maling yang dibenarkan? Alasan itulah yang sedang dicari agar nanti bila ada yang bertanya bisa membenarkan. Pembenaran menjadi maling!

Pada saat semacam itulah muncul riwayat Sunan Kalijaga di benaknya. Ya, masa muda salah seorang Wali Songo itu maling totok, bahkan jadi perampok. Tak salah bila aku seperti Sunan Kalijaga, pikirnya. Kanjeng Sunan—nama populernya—tak hanya sebatas mencuri atau merampok. Tujuannya baik, membantu dan menafkahi orang-orang melarat. Mengambil hak fakir miskin, yang ada pada harta orang kaya, yang enggan mengeluarkan Zakat.

Diam-diam, tanpa sepengetahuan emak, Majid melaksanakan pesan itu. Berat mulanya tanpa dampingan restu orangtua. Tetapi kemantapan hati untuk melaksanakan pesan itu tertanam kuat. Sarung yang baru dijahit diselempangkan ke bahu. Tiba langkah pertama diayunkan, ingatlah lagi, seharusnya yang bercokol di situ bukan sarung, tapi sorban biru pemberian kiai untuk selalu dibawa setiapkali pergi—sebagaimana saran kiainya.

Majid akan belajar merampok dengan yang kecil-kecil dulu. Jatuhlah pilihan menyatroni sebuah rumah yang terlihat seperti gubuk hampir reot, tak berpalang pintu, dan palang-palang dinding sirap yang sudah berpanuan dan sebagain di bawahnya lembab mengelupas. Memasuki pekarangan, aroma celatong (kotoran sapi) menguap.

Sesampai di beranda, terdengar keluh yang sangat panjang. Seorang emak tengah menenangkan anaknya terbaring sakit.

“Besok ke rumah sakit, Bhing. Emak sudah dapat uang pinjaman,” kata emak mengelus dahinya.

“Mak, Rattin kerrong (kangen) Epak,” jawabnya lemas.

Majid kaku cukup lama. Ia seperti menyaksikan lakon dirinya sendiri. Nasib yang tak jauh beda tak memiliki orangtua lelaki. Haram memakan harta anak yatim apalagi merampasnya; begitulah Fathul Mu’in berbicara, berontak batinnya. Mampuslah niat menyatroni rumah itu.

Hari pertama gagal, hari kedua dicoba lagi. Gagal lagi.

Kali ini ia benar-benar akan menyatroni rumah orang kaya. Jauh sampai langkah mencari rumah yang diinginkan, berjalan dari desa ke desa, ia menemukan sebuah rumah cukup megah milik juragan tembakau yang—sebagaimana kekabar tetangga—pelit minta ampun. Santapan empuk sudah ditemukan!

Peralatan seadanya, yakni senter dan paku sekrup yang ujungnya sudah ditempa dan sedikit dibengkokkan. Kopyah putih digencet ke kepala. Sorban biru dililitkan ke leher agar tak jatuh. Majid mengangkat kedua tangan meminta perlindungan.

Rumah berlantai dua dan pilar berlapis marmer sudah terang. Kisi-kisi jendela dan pintu berwarna kuning emas. Berkilap-kilap oleh Lampu-lampu neon di setiap setiap pojok. Hanya satu yang cukup gelap, gudang kecil di samping rumah.

Majid mengendap-endap ke arah pintu gerbang. Dua anak muda asyik mansyuk bermain catur. Nyali sedikit ciut. Ya, Gusti Pangeran tuntunlah jejak hambaMu, doanya. Tak mungkin bisa menyusup dari depan, seketika berputar arah ke samping rumah, tepat di bawah pohon rambutan. Berlindung di bawah banyangan itu.

Ampun, ternyata di samping rumah berpagar tembok berduri. Ragu memanjat, meniti tembok yang di atasnya bersarakan beling-beling. Untung sandal yang dikenakan terbuat dari ban mobil yang biasa dijual di pasaran.

Kerapkali Majid berucap syukur. Merasa doanya terkabulkan. Sama ketika mencungkil jendela—tanpa kesulitan berarti—hingga ia sampai pada sebuah ruang kerja dan menggeledahnya. Mencari dokumen yang bisa menunjukkan daftar kekayaan. Lembar per lembar beterbangan.

Sampai pada sepertiga malam, petunjuk yang dicari belum diketemukan. Bagaimana mungkin mengambil zakat tanpa perhitungan yang jelas. Lalu, pada sebuah laci paling bawah, ia menemukan note keuangan. Dihitung-hitung jumlah pemasukan dan pengeluaran dalam catatan tulisan tangan itu.

“Kalau segini, jumlahnya segini. Ditambah ini, jadi…” hitungnya. Lirih sekali.

Setelah hasil pengkalkulasian dirasa sudah tepat, ia mencari barang—apa saja—yang bisa dijual sampai menembus jumlah nominal yang hitung. Alangkah kaget ketika sebuah jam dinding berdetak tiga kali. Sepertiga malam hampir habis. Dalam kitab Fathul Mu’in dijelaskan, waktu istijabah melaksanakan solat Tahajjud adalah sepertiga malam terakhir, ingatnya. Maka, terpanggilah sejenak meluangkan waktu melaksanakan solat Tahajjud.

Bersegeralah ia menghampar sorban biru seraya menegakkan takbir. Khusyuk. Saking khusyuk, saat menyudahi sujud dan berucap salam, Majid terperangah telah mendapati dua orang telah berdiri menyaksikannya. Ya, dua orang itu, pemilik rumah itu sudah bangun!

“Si..siapa kau?” tanya si lelaki. Si bini bergelayut takut.

“Saporanah (maaf), Pak. Aku maling,” jelasnya.

“Maling?” Lelaki itu mengernyitkan dahi. Majid membalas dengan anggukan bercampur rasa takut.

Si lelaki toleh kanan toleh kiri, memastikan dari mana maling di depannya datang menyusup. Semua puntu tertutup. Semua jendela tak ada yang terbuka. Bahkan, gorden tak bergeser sedikit pun. Hanya kertas-kertas yang berserakan. Benarkah maling? Mengapa harus melaksanakan solat segala? Maling Islami? Ah, ngaco! Jangan-jangan Nabi Khidir? Lelaki itu bergemetar. Bininya tetap diam. Erat dipelukan.

“Bu, Nabi Khidir, Bu,” bisik lelaki itu. Pelan sekali.

“Mungkin, Pak,” timpalnya. Majid sudah memasrahkan nasib kepada sejoli itu. Istighfar. Istighfar. Istighfar. Selalu, diucapkan.

“Hai, pemuda. Mau apa kau datang malam-malam ke rumahku,” si bini memberanikan diri menghardik. Lelakinya menegur dengan isyarat.

“Sudah kukatakan kalau aku ini maling. Aku ingin mencuri harta yang sepantasnya kalian harus bagikan kepada fakir miskin. Kata orang kampung, kalian juragan tembakau yang pelit, jarang mengeluarkan zakat. Malam ini aku datang untuk mengambil sebagian harta kalian,” jelasnya lantang bernada takut. Ia harus menyuarakan kalau dirinya di jalan yang benar.

“Nabi Khidir, Bu,” ujar lakinya. Tubuhnya mulai gemetar. “Benar mungkin lelaki itu Nabi Khidir.” Bininya lantas mengeluarkan keringat pucat.

Cecericit serangga malam melahap waktu senggang ketiganya. Majid sudah pasrah pada kehendak hukum. Pasrah bila kasusnya akan diseret kepada pihak berwenang. Tapi, ia tetap yakin kalau jalan adalah benar. Sementara, sepasang laki-bini itu takjub dan tak percaya kalau yang dilihat benar-benar-maling.

“Benar mungkin katamu, Pak. Ia benar-benar Nabi Khidir,” si bini mengamini. Lakinya memandang lekat. Membenarkan. “Mungkin ini teguran kepada kita,” tambahnya seraya langsung mendekap erat. Sayup-sayup dari luar rumah, adzan subuh menggema.

“Silakan. Sialakan ambil barang-barang di rumah ini semaumu. Ambillah. Zakati semua tidak apa-apa. Kami tobat. Tobat,” ucap lakinya. Majid tercenung. Kiranya, riwayatnya akan habis dan berakhir di penjara. Tapi….

“Alhamdulillah. Ya, sudah kita solat subuh berjamaah dulu, Pak. Urusan zakat belakangan. Nanti, kita hitung bersama-sama,” ajaknya. Keduanya manut.[]

Annuqayah, 17 April 2012

Catatan:

Fathul Mu’in : Salah satu kitab fikih
Istijabah : utama

Sunday, July 22, 2012

Bakso Pak Oles

(Dimuat Di Koran Merapi, 15 Juli 2012)

Makan dengan lauk tempe saja, sudah makan seperti di istana kaisar Paus. Apalagi makanan semacam daging; daging ikan, sapi, gulai kambing, opor ayam, dan yang lain. Mengimpikan harapan seperti itu, butuh kesabaran super gede agar bisa terwujud. Hanya bisa berharap pada orang yang bertamu dan membawa makanan lezat. Beli sendiri? Harus berpikir dua kali, bahkan berpikir berkali-kali mengubah selara makan sambal terasi.

Namanya juga masyarakat sampah. Ya! Sampah memang harus dibuang. Saya lalu teringat kalimat dalam sebuah Novel Marabunta, Aku lahir dari golongan sampah, tapi bukan orang yang berhati sampah. Terbuang di keramaian mobil yang bunyi klaksonnya bertalu-talu. Tut…tut…tut…

Malam itu, Ada seorang bertannya pada Saya.

“Apakah mas tahu dimana bar atau diskotik di kota ini?”

Saya menjawab. “Tahu.”

“Yang mana tempat paling menyenangkan, Mas?”

Orang itu kekar, lengannya bertato. Kali ini saya tak bisa menjawab pertanyaannya. Meski saya banyak kenal beberapa tempat hiburan, tak satupun yang pernah saya masuki. Saya hanya sering duduk di depan, menunggu orderan, itu saja. Mana mungkin bisa berjejel dengan para Pejabat, Birokrat, Saudagar, Bisnismen, atau yang lain, wong saya cuma orang rendahan. Tak mungkin mencari kenikmatan, duduk santai, diiringi alunan melodi-melodi surgawi—kata yang berduit—dan para bidadari yang selalu mengepakkan sayap indahnya. Jika bersama, mereka di atas, sedang aku di bawah, memegang dan mengelap sepatu mereka berulangkali sampai mengkilap. Itu pekerjaanku!

Dulu, dengan pekerjaan seperti itu, penghasilan yang saya peroleh lebih dari cukup. Bisa makan yang dirasa enak bagi orang-orang sampah, seperti saya. Kali ini, hukum yang demikian tak berlaku lagi. Seiring harga sembako yang semakin melonjak, ditambah menjadi seorang kepala keluarga, penghasilan yang hanya segelintir itu, tak cukup. Apalagi persaingan semakin ketat. Banyak para penyemir sepatu bermunculan, bak jamur musim hujan. Bocah-bocah yang seharusnya duduk di kelas, mendegar penyampaian guru, kini, harus mondar-mandir menawarkan pekerjaan yang sama. Tas sekolah berganti kotak kayu. Saya jadi tak tega melihat mereka. Saya putuskan untuk gantung semir dan mencari pekerjaan lain. Agak berat sih, mengganti profesi yang telah dijalani sekian tahun.

Apabila anda berkenan berkunjung ke rumah saya, caranya amat mudah. Anda cukup turun di terminal Joyoboyo. Selanjutnya naik becak turun di dekat pintu gerbang tol Waru. Tepat di samping kolong jembatan tol Waru, anda akan mendapatkan perumahan kumuh yang menjijikkan. Itu rumah saya.

Setelah sampai di sana, yang akan anda dapatkan bukan orang-orang yang memakai dasi dan sepatu kulit, melainkan disambut oleh binantang-binatang kotor, menjijikkan; kucing, tikus, kecoa, lalat, dan nyamuk. Seisi rumah bakal meriah jika mereka beratraksi. Apalagi, ketika musuh abadi, tom dan jerry bertemu. Piring, Panci, Wajan, dan perabotan lain akan amburadul. Ditambah istri dan tetangga yang menyumpah serapahi binatang menjijikkan itu.

Jangan Anda memberi kesimpulan, saya tak pernah berusaha mencegah. Memberi aturan bagaimana cara bertamu yang baik. Tamu-tamu tak diundang itu berseliweran seenaknya saja. Sulitnya, saya harus membongkar istana—karena rumah harta yang sangat berarti—agar binatang menjijikkan itu tak lagi bertamu, setiap waktu.

Begitulah, kondisi rumahku, sangat memperihatinkan. Apabila musim kemarau, rumah itu tak bisa melindungi penghuninya dari terik matahari dan polusi. Selalu ada celah bagi sinar matahari untuk menerobos dan menggeledah isinya. Begitu pula dengan musin hujan, sama saja, hampir tak ada hambatan sama sekali menahan air masuk ke rumah. Atap terus menangis.

“Mas, kapan kita bisa memperbaiki rumah kita? Ya! Paling tidak, nyaman untuk dihuni,” ungkap istriku. Ada impian besar di matanya yang bening.

“Pak, kapan kita kita punya rumah mewah? aku bosan di rumah yang seperti ini,” kata anakku.

Tak dapat saya pungkiri, kata itu menyinggung perasaanku. Namun, melihat kepolosannya dalam bertutur. Saya tahu, dalam benaknya, tak ada maksud untuk melecehkan saya sebagai seorang ayah yang baik. Saya tahu, memang semua ini adalah tanggungjawab seorang kepala keluarga. Mereka tidak salah. Bahkan mereka berhak untuk menuntut kenyamanan padaku. Semua salahku.

Malam ini, malam minggu. Saya mengajak anak dan istri saya berjalan-jalan di taman kota. Hanya berjalan-jalan. Itu saja. Tidak lebih. Lama tak jalan-jalan, menghirup udara kota di malam hari, seperti yang biasa kami lakukan ketika belum dikaruniai anak.

Sekitar tujuh tahun lalu, si buah hati belum dalam pangkuan. Masih ingat di benak, ketika menikmati hangatnya sajian bakso Pak Oles, di pojok utara alun-alun kota. Saat itu, musim dingin. jadi, sangat terasa betapa nikmat makan bakso panas pak Oles.
Saya dan istri saya membanyangkan, bunga indah di masa lalu. Saat aku bertemu dengannya di sini, di warung bakso Pak Oles.

Kala itu, ada orang kaya makan bakso dengan istrinya. Istrinya bunting—kira-kira hamil lebih dari hamil tujuh bulan. Menurut pengakuannya, sang istri ngidam makan bakso. Sebenarnya, ia tidak begitu suka dengan tempat itu. Demi si buah hati pertama yang masih dalam jabang bayi, ia rela berada di tempat yang tidak disukainya.

Saya mendapat orderan di malam yang dingin itu. Ia meminta saya membersihkan sepatunya yang tak sengaja menginjak genangan air kotor. Saya langsung sigap, tak menyia-nyiakankan kesempatan. Malam sudah larut, kira-kira sudah jam sebelas lebih, saya hendak pulang, tetapi saya tidak ingin membuang rezeki pemberian Tuhan. Aku layani permintaannya.

Dia bertanya banyak tentang saya. Mulai pekerjaan, profesi, keluarga, sampai pada lika-liku kehidupan saya. Sebaliknya, ia juga berbicara banyak tentang kehidupnnya. Pembicaraan kami semakin mencair dan mengalir tanpa bendungan. Ia bercerita, mengapa ia bisa sampai berada di tempat ini.

Berat rasa ia bercerita pada saya. Ada sedikit keraguan pada dirinya, pada diri saya. Mata itu berkaca-kaca. Seolah, akan menceritakan beberapa hal yang belum pernah dimuntahkan dari mulutnya.

”Istriku sedang hamil lebih tujuh bulan. Aku menunggu kehadiran buah hati pertamaku,” katanya dengan nada lirih. Mengapa seakan tak ada kebahagiaan dari cara bicaranya? Apa ia tidak suka?

“Bapak bahagia?” Entah kenapa, setelah saya memandang kacamata minus yang melekat di atas hidung mancungnya, pertanyaan itu muncul sendiri.

“Jelas, bahagia sekali.” Kata lelaki tambun itu.

“Kalau begitu mengapa murung?”

“Ah masak.”

“Ya!”

“Mungkin, aku kelelahan menuruti segala permintaannya. Akhir-akhir ini, ia selalu minta yang aneh-aneh. Katanya, bukan dia yang minta, tapi bayi yang ada dalam kandungannya.”

Ia mengatur nafas sebelum melanjutkan.

“Yang paling aku heran lagi…” beberapa saat, ia memotong pembicaraan. Beberapa detik, jadi menit. “Ia minta tambahan belanja. Tahukah kau berapa yang dia minta? Sepuluh juta perminggu.”

Gila! Saya belum pernah melihat orang hamil ngidam sampai segila itu. Sepuluh juta? Bagi saya, sudah bisa tidur dengan nyenyak. Buat perbaikan rumah yang hampir condong ke barat. Pikiran saya sulit menerima ceritanya. Saya membayangkan, belum lahir saja sudah minta sepuluh juta. Apalagi sudah lahir, pasti banyak korupsinya, atau jadi perampok.

“Bapak menuruti?” Ada rasa takut di wajahnya.

“Demi keselamatan anak pertama. Aku rela menuruti semua yang diminta,” katanya mantap. Katanya, ia sudah lama berkeluarga, lima tahun. Tetapi baru kali ini, Tuhan mengkaruniai anak.

“Bapak kerja di mana?” Aku tak harus bertanya seperti itu. Aku sudah menduga kalau pekerjaannya bukan pekerjaan biasa. Pakai jas, dasi, dan sepatu yang masih aku semir. Pasti ia baru pulang dari kantor.

“Kamu punya istri?” ia mengalihkan pembicaraan. Saya tak menduga orang itu bertanya demikian. Memang, orang seusia saya mestinya sudah menikah dan punya anak.

“Belum.”

“Mengapa?”

“Saya takut akan seperti istri bapak. Nanti istri saya meminta macam-macam,” aku sengaja menghiasi ucapan saya dengan tawa, agar terlihat seperti guyonan. Saya takut jika tidak demikian, ia akan tersinggung oleh ucapan saya.

Ia tertawa.

Sunyi.

Kemudian, istrinya memanggil penjual mainan. Yang dipanggil datang. Istrinya subuk memilih-milih boneka Barbie. Untuk anaknya saat lahir nanti, begitulah kata istrinya. Ia pasti menginginkan anak perempuan.

”Penjual itu cantik, cocok untukmu. Pasti ia belum menikah,” orang itu berbisik pada saya. Saya cuma tersenyum. Lalu, ia menyuruh saya untuk berhenti menyemir sepatu dan menyilakan saya makan bersama. Saya menolak meski mau di traktir. Tapi, melihat kemauannya yang sangat besar, tak kuasa juga saya menolak.

Benar kata dia. Penjual mainan itu memang cantik.

Entah apa maunya lelaki itu. Ia juga menyuruh penjual mainan itu duduk, lalu makan bersama kami. Penjual mainan itu ditraktir juga. Ada senyum yang mengembang di bibir laki-laki itu ketika saya dan penjual mainan saling tatap. Kemudian ia pamit. Sebelum lelaki itu pergi.

“Bakso sudah saya bayar. Saya merasa rugi mentraktir kamu jika kamu gagal menggaet hatinya,” aku tersedak. “Ongkos semir akan saya hutang. Kalau kau mendapat hati penjual mainan itu, saya akan bayar dua kali lipat. Ini kartu nama saya,” Begitulah katanya, sebelum pergi.

Tinggallah hanya saya dan wanita penjual mainan itu. Saya agak gugup pertama. Namun, lama-lama rasa gugup itu hilang. Dan, dari bakso pak Oles, mengantarkan saya dan wanita penjual mainan itu ke pelaminan.

Sumenep, 2010-2012


Monday, July 9, 2012

Narasi Hujan

(Dimuat di Lampung Pos, 8 Juli 2012)

Musim hujan memasuki awal tahun. Aku mengintip. Langkahku ringan mendekati gorden jendela. Kusibak kain tipis itu cukup kasar serupa anak muda memberikan surprize kepada kekasihnya. kamar yang kurang pencahayaan membuat cahaya melesat kilat. Sementara di luar, hujan tak tentu arah menghindari tatapanku.

Bulir-bulir hujan tempias di lantai. Kaca jendela buram berembun. Apakah kau juga menikmati hujan? Batinku. Bila anganku berwujud di sini, di tempatku berdiri, aku yakin, kau akan mengatakan, “di mana pun, aku suka hujan.”

Jendela kusibak. Kisinya berderet. Angin meruap menghempas bulu kuduk. Instingku begerak cepat ingin menutup kembali jendela. Dingin. Tetapi tekad dan perlawananku untuk mengetahui hujan di pagi ini, menahan kedua tangan menarik gagang jendela serta menutupnya rapat-rapat.

Ya, aku ingin memastikan hujan apa ini! Seperti yang telah kau ajarkan!

Serasa kau mengajakku, menjulurkan kedua tangan ke depan, merasakan bulir air jatuh di tangan. Persis yang pernah kau ajarkan. Aku cukup hati-hati karena hanya, cukuplah hujan menjamah tangangku. Tidak untuk bagian lain dari tubuhku. Seperti kau pernah menjamah bibirku di bawah ciuman hujan . Kupejamkan mata. Hujan apa ini? Curahnya begitu lembut namun deras.

Rinduku cair, serupa bisik air yang berjatuhan di bibir genting. Januari tiada indah tanpa hujan. Hujan tiada indah tanpamu. Hujan adalah kau. Kau adalah hujan. Kau hadir! Aku mencium aroma hujan seperti yang kau katakan. Mencium aromamu.

Apakah kau juga sedang menikmati hujan?

***
Sepulang dari kantor, aku terjebak hujan di sebuah halte. Kau juga. Selain kau dan aku, tiga orang tengah duduk di sana. Kau menatapku sehingga aku terpaksa menatapmu. Begitulah, keterpaksaan menatapmu membuatku tahu bahwa pakaianmu lebih basah ketimbang pakaianku. Bibirmu lebih lembab ketimbang bibirku. Kau memperkenalkan diri dan aku menyebut itu hanya basa-basi.

Hujan akan segera usai. Hanya menyisakan rintik kecil. Angkutan Lin yang aku—atau juga kau—tunggu, sembari mendekapkan tangan pada dada, belum tiba. Mendadak kulitku terasa mengerut. Aku tak meduga. Tiba-tiba kau menarik tanganku, menembus rajutan basah itu.

“Kos-ku dekat dari sini,” tanganku kau seret paksa, memasuki gang cukup sempit sebelum tiba di kos-mu.

Segelas cappucino—yang kau buat sendiri—menemani perdebatan kita tentang hujan. Kataku hujan bikin becek, banjir, dan macet. Hujan hanya merisaukan awak kapal. Hujan hanya membuat burung-burung bosan bertengger. Dan hujan hanya membuatku kedinginan. Bikin pusing dan sakit kepala. Kau tersenyum mendengar kataku—yang mungkin bila orang lain turut mendengarkan pembicaraan kita, penyampaianku ini dibilang ocehan. Katamu hujan itu indah, hujan itu romantis, hujan itu menyegarkan, hujan itu beraroma, hujan itu anugerah.

Aku bisa mengamini pendapatmu yang terakhir kalau hujan itu anugerah. Selain alasan daripada itu, aku tak bisa menerimanya. Hujan kok dibilang indah, hujan kok dibilang romantis, hujan kok dibilang menyegarkan, apalagi hujan beraroma. Aku benar-benar tidak bisa menerima pendapatmu.

Lalu, aku memberikanmu kesempatan untuk merasionalisasikan pendapatmu.

“Apakah kau tahu kalau serakan hujan tampak berkilau di ujung lancipnya rerumputan?”

Aku menggeleng. Kau tersenyum. Yang jelas, kau bukan menarasikan hujan atau mendeskripsikan hujan sebagimana pendapatmu. Berpuisikah? Absurd.

“Deskripsikan tentang hujanmu!”

Kupandang lekat parasmu yang putih kekuningan. Bibirmu yang basah mulai melafalkan kata hujan diulang sampai tiga kali sebelum memojokkanku pada tatapanmu. Selalu begitu kau memenjaraiku.

“Banyak ragam tentang hujan,” kau tercekat cukup lama. “Kau benar-benar ingin tahu?”

“Tentu.”

“Kenalilah hujan maka kau akan mengenali kehidupan. Hujan hampir memiliki sifat yang sama dengan manusia, denganmu dan denganku. Ada hujan jahat dan baik, ada hujan yang tergesa-gesa, ada hujan yang romantis, ada hujan yang pemalu…”

“Cukuplah kau mendeskripsikan apa yang kau sebutkan tadi,” potongku. Aku rasa kau tak lebih dari orang yang mengulur-ulur waktu. Aku mulai bosan.

“Hujan yang jahat adalah hujan yang kau sebutkan tadi: bikin becek, banjir, dan macet. Curah hujan sangat deras disertai kilat. Maka, bila hujan seperti itu turun, bersegeralah tidur. Hilangkan ketakutanmu di hari itu. Bila kau tak tidur, kau hanya akan mengutuk-ngutuk hujan dan perbuatan itu akan nampak seram sendiri kepadamu. Namun percayalah, bahwa sebenarnya kau hanya dibayangi oleh ketakutan. Tidakkah kau lupa bahwa dalam ilmu astronomi kilat sebagai penebal lapisan ozone?”

“Kau menyalahkanku?”

Kau tak menjawab. Suatu kesempatan untuk mengalihkan topik lain. Apa pun. Tapi jangan hujan. Bagaimana kalau tentang negara? Ya! Negara dan politik. Aku suka itu. Namun mulutmu lincah meliuk, seakan tak suka kalau topik kita dialihkan ke situ.

“Apabila kau mendapati sebentar hujan dan sebentar panas, itulah hujan yang tergesa-gesa. Itulah hujan lebih membahayakan ketimbang banjir bandang. Badan bisa panas dingin karenanya,” kau tertawa kecil. Deskripsimu berhasil. Sayang, aku tak tertarik.

“Hujan yang pemalu. Hem, ya, bagaimana bila kau melihat tingkah orang yang pemalu?”
Tak penting untuk kujawab. Kini, aku rasa kau hanya seorang pembual. Tak lebih dari sebuah pertunjukan sirkus yang menakjubkan tetapi pias sampai di luar.

“Hujan yang pemalu adalah hujan yang selalu datang diam-diam serta datang dengan lembut. Apabila ditatap, hujan itu akan menghindar. Dan…”

“Cukupkan ceritamu. Aku mau pulang saja. Aku tak mau kena hujan lagi. Aku bukan manusia hujan sepertimu. Tubuhku tak sekuat tubuhmu.”

“Aku belum menuturkan kalau hujan beraroma tanah, rerumputan, bunga, dan juga beraroma tubuhmu.”

“Aku sudah bosan!”

“Selalulah bersamaku. Akan aku tunjukkan kalau hujan itu indah. Akan aku tunjukkan kalau hujan itu romantis. Akan aku tunjukkan kalau hujan itu sepertimu…” nadamu tenang. Aku kembali duduk. Kita kembali sehadapan.

Aku tidak mengerti kenapa kau begitu tergila-gila pada sebuah musim yang hanya bisa menjanjikan basah. Hanya aku tahu, mengajakku berlama di ruangan yang berukuran 5 x 8 meter karena sedang menunggu hujan, bukan?

***
Tiadakah ada yang lebih romantis daripada hujan? Aku mulai bosan berhubungan denganmu, manusia hujan, karena aku selalu merasa tubuhku selalu basah dan menggigil. Aku ingin jalan-jalan, berbelanja pakaian atau mendaki gunung.

Hujan datang. Hujan menyambangi. Aku menghela nafas. Berat. Kau tersenyum. Kau mendekatkan diri pada video playermu. Dalam sekejap “Winter Sonata” From The Beginning Until Now menyesaki ruang hati kita. Lagu itu sungguh romantis, Lagu itu sungguh indah, katamu. Lagu yang paling kau suka. Nyalang matamu menembus dinding kaca …

“Aku ingin bersamamu. Hujan selalu mengingatkanku padamu!” Oh, ada mendung di matamu. Tanganmu mulai nakal meremas tanganku. Aku diam. Aku beku. Aku kaku. Semoga kata-katamu selanjutnya sama dengan yang kupikirkan.

Tapi kau memindahkan matamu kepada hujan. Kau berlari. Terpaksa aku menyusul, berusaha menghentikan tubuhmu yang meluncur deras serupa burung dadali yang berbasahan. Berkejaran.

“Apa yang kau inginkan di hujan ini?”

“Aku ingin kita segera kembali. Aku tak ingin hujan-hujanan begini.”

“Ayolah…”

“Aku bukan manusia hujan sepertimu. Aku manusia rapuh. Kurus dan pesakitan.”

"Aku tak ingin kau lebih sakit lagi." Matamu sayup. Suaramu surup...

“Apa?”

“Bersamalah denganku.”

“Kau.”

“Pejamkan matamu! biarkan air hujan mencium dan menyentuh hatimu,” katamu setengah berteriak.

Kau menuntunku. Di bawah hujan, satu kecupan mendarat. Aku merasakan basah namun hangat. Dingin tapi indah. Romantis! Kekuatan hujan telah memengaruhiku. Ini cinta. Sumpah, ini cinta. Aku melayang. Aku terbang. Dan, aku serasa menjadi hujan!
Siapa yang tidak tahu kalau bulir air hujan mengandung sifat asam? Kita tolol sendiri. Gemeretak gigimu sangat kuat. Hem, ternyata manusia hujan juga rapuh, sanggah batinku. Kau menggigil dengan hidung dan kepala udang rebus. Suatu kesempatan bagiku menertawaimu karena hujan. Suatu kesempatan untuk mengejekmu karena hujan. Suatu kesempatan mengomelimu karena hujan. Hujan yang sangat kau gandrungi mempersempit pembuluh darah dan mengurangi kekebalan tubuhmu. Tetapi kau benar-benar manusia hujan! Sampai, When I Need You mengalun dari suara Julio Iglesias, aku menghangatkanmu.

“Aku ingin menikahimu saat hujan beraroma tubuhmu,” nadamu tak lebih dari memohon. Tapi cukup membuatku beku.

***
Pagiku terasa bising melenting denting di dalam hening. Hujan. Telapak kaki terasa dingin. Sedingin ketika kita usai menendang buih di tepi pantai. Atau sedingin mata dan tanganmu ketika menelanjangi air mataku. Ah, rasanya tubuhku kian letih. Kulurut selimutku hingga dingin tak lagi menjamahi kaki. Entah, sudah keberapa kalinya hujan kunikmati sendiri. Entah pula, keberapa kalinya hujan menyembunyikan air mataku. Aku merinduimu.

Aku mulai menyukai hujan. Kenapa aku tolol? Apakah karena rindu atau karena hujan? Berapa kali hujan menjamahku? Aku tak tahu persis. Yang jelas, hatiku basah dan berusahan menyembunyikan air mataku pada hujan. Aku mendekap dalam selimut. Aku tahu, cappucino atau teh sepat hangat tak akan lagi terhidangkan di atas meja. Kali ini, aku tak ingin hujan melihat air mataku. Aku tak ingin hujan merampas air mataku. Maka, kubuat sendiri hujan itu di bawah selimutku.

“Hidup bukan perjuangan menghadapi badai. Tetapi bagaimana agar tetap bisa menari di tengah hujan, ” suaramu yang seperti daun kering diremukkan angin, kembali melenting. Lebur bersama rintihan sakitmu yang kini menjadi sakitku.

Kenapa kau tak pernah bercerita kalau kau manusia rapuh seperti hujan? Kenapa kau tak pernah memberitahuku kalau rekam jejak hidupmu lebih cepat dari hujan? Kau tahu, kebohonganmu selalu menghadirkan hujan di wajahku.

Tapi, aku tetap ingin menikahi hujan, sebagai gantimu.***
Annuqayah, 2012

Terkenang seorang guru; Lan Fang)