Friday, September 13, 2013

Rumah Kardus




(80 Naskah Terbaik FAM Indonesia) 

Hujan ruah. Menara kebanggaan negara Indonesia basah. Jakarta menggigil. Air hujan meruak menutupi gorong-gorong, meluber ke jalan. Matahari tak memiliki waktu luang sejenak bercengkrama dengan alam. Tak sempat mengucapkan "selamat pagi", atau sekedar mengecup kening bumi. Mungkinkah sibuk? hingga ia melupakan tugasnya menerangi alam. Atau awan telah membekukan cahayanya? Semua bungkam. Diam. Kota yang mati.

Jerit gedung-gedung pencakar langit meyesakkan dada. Pilu. Tamparan hujan mungkin tak selembut tampatan tangan bayi. Suara rintik yang jatuh di atas atap perumahan, pertokoan dan perkantoran mengundang gelisah. Seperti akan menyembuyikan kehidupan ibukota untuk digantikan dengan satu kata, sejarah. Sejarah kota mati. Genangan air tal lagi bisa dikatakan memalung dari lembah-lembah jalan beraspal yang rusak karena sebagian ruas jalan sudah tergenang air.

Air terus muntah dari gorong-gorong. Sampah-sampah semakin menutup tenggorokan kota. Sesak, terbawa arus deras. Kebiasaan yang tak semestinya dilakukan, hingga harus menjadi korban kebiadaban tangan sendiri. Slogan “jangan membuang sampah sembarangan” hanyalah sebuah hiasan kecil di sepanjang jalan selain baliho-baliho partai yang berdiri menjulang.

Aku duduk mnyendiri di depan toko bercat kuning. Toko Barokah, namanya. Sebuah toko yang menjual aneka bahan bangunan. Toko itu tutup. Sepi. Sangat Sepi. Aku seperti berada di penjara pengasingan. Sebagian besar pusat jual-beli di kota itu semuanya tutup. Barangkali pemiliknya merasa jenuh, enggan membuka toko mengingat derasnya hujan. Mustahil ada pengunjung datang, begitulah sementara anggapan mereka. Paling tidak, pasti hanya bocah-bocah jalanan, bocah-bocah comberan yang selalu ramai dan senang bermain bermandikan air kotor itu. Itulah lingkungan mereka; saling mengejar, bermain petak umpet di emperan pertokoan. Hanya bocah itu yang tawanya pecah, melawan deras hujan dan gelegar petir. Sungguh hujan yang membosankan..

Sandal jepit kumal kujadikan sebagai tempat yang nyaman memandang bilir-bulir hujan yang jatuh dengan drajat kemiringan tertentu. Sebuah sandal jepit, satu-satunya alat yang kumiliki untuk melindungi kaki bajaku dari perjalanan yang terjal ketika menjelajah sudut-sudut kota. Mencari sisa rejeki Tuhan di antara tempat bertuliskan ‘TEMPAT SAMPAH’.

”Jika bermalasan, tidak cakatan, maka bersiaplah mati diujung tangan sendiri. Siapa yang cepat, dia yang dapat.” Kalimat yang pernah dilontarkan ibu menggaung tanpa henti. Kalimat yang yang dihambur-hamburkan oleh segolongan kami. Segolongan cacing tanah yang meliuk-liuk seperti penari ronggeng.

"Sudah untung lelaki sepertimu tidak jadi preman, pencopet atau pekerjaan lain yang menjijikkan menurut ajaran agama kita." Kata paman ketika meleraiku datang ke tempat ini.

Hari ini, hujan menjadi saksi. Benar, apabila Jakarta disebut dengan kota surga oleh bapak saat mendukung kepergianku karena di sana segala kebutuhan akan terpenuhi. Namun, ada yang melenceng dari yang dikatakannya. Kota surga bukan untuk semuanya. Kota surga hanya untuk orang ‘beruang’—aku tak tahu arti kata beruang, aku tahu hanya nama binatang—yang bisa memiliki segalanya. bahkan membeli harga diri.
Tidak salah jika kota jakarta sebenarnya kota neraka, seperti dikatakan ibuku yang dulu berusaha meleraiku untuk pergi. Jakarta akan menjadi kuburan yang menyakitkan bagi yang kalah dalam persaingan, seperti orang-orang yang tak jelas, hanya niat mengadu nasib, tanpa ijazah menjanjikan.

Berbaju dekil dan celana sebatas di atas mata kaki, bagian tumit itu bolong, serta topi jerami Cowboy, sebagian sudah rusak, itulah ciri khasku setiap hari. Jelas, saat hujan seperti ini semua yang kumiliki tak mampu menghadirkan kehangatan dan melindungi tubuh hitam kurus ini dari rasa dingin. Aku mendekap, menahan dingin yang menusuk tulang-belulang. Sekilas aku pandang keranjang besar yang selalu kupanggul menelusuri pasar Senen. Keranjang yang terbuat dari anyaman bambu, tempat barang bekas yang bisa didaur ulang. Disamping keranjang bersandar sebatang kawat besi panjang. Ujungnya runcing, seperti Celurit, pusaka orang Madura.

Aku mendesah, melihat keranjang itu hanya berisi lima gelas botol Aqua, dua kaleng Susu dan satu botol Coca-Cola. Tidak mungkin meneruskan pekerjaan ini. Dingin telah menggerogoti tenagaku. Keranjangku basah. Hujan semakin marah, seperti ingin melemparkan langit.

Sekilas, petir melesat cepat, menggambarkan wajah tirus ibu.

“Kamu yakin?” Wajah perempuan lanjut usia terbayang jelas. Aku berkaca dari cermin wajahnya yang mulai melepuh. Seorang ibu yang tidak rela melepas buah hatinya pergi merantau.

“Bu, yakinlah. Doa ibu akan menuntunku di sana,“ ucapku lirih. Aku  harus mendapatkan restu ibu agar keberangkatanku tidahk akan menjadi dan tanpa beban. Bikankah surga itu berada di telapak kaki ibu?

“Kata, Kang Rahman, di sana itu tempatnya preman,” Ibu tetap berat melepasku.

“Dengan lembaran ijasah SMA-ku, aku ingin berjuang di sana. Kota yang disebut kejam itu akan aku taklukkan.”

“Jangan paksakan dirimu!”

“Aku tidak ingin ibu menjadi kepala sekaligus ibu rumah tangga sejak bapak terus sakit-sakitan. Aku tak tega melihat Ibu naik dan turun gunung hanya demi mengepulkan dapur.”

“Tak usah pikirkan itu,” air mata ibu hampir tumpah.

“Benar, hanya Aku tak ingin adik-adikku diolok-olok oleh mereka.”

“Nak! Allah Maha tahu terhadap hambanya. Dia Maha adil. Kita berkumpul seperti ini sudah kenikmatan yang sangat luar biasa, hanya kita tak menyadarinya. Jangan terlalu rakus terhadap dunia. Dunia ini luas, tidak seperti kandang ayam di belakang rumah kita.”

“Tapi, apakah kita harus berdiam diri meratapi nasib, mematung dengan keadaan seperti ini? Ibu aku ingin jadi anak yang baik. Aku ingin membuat Ibu bahagia.”

“Ibu sudah bahagia dengan keadaan seperti ini. Cukup. Hanya ini.”

“Tidak denganku, bu. Aku belum cukup mampu menerima ini semua. Menerima ejekan Ki Bandol yang menyebut kita tidak mampu melunasi hutang.”

"Kenyataannya!"

Kuraih erat kedua tangannya. Tangan itu masih lembut dari tangan Srikandi. Aku berusaha meyakinkan ibu agar tak ada setitik pun kecemasan yang tertinggal di hatinya.

”Juga demi impian ibu. Bukankah Ibu ingin pergi ke tanah suci?”

“Lupakan! Lupakan bila harus kehilanganmu.”

“Bu, yakinlah! Aku akan kembali ke pangkuan Ibu.”

”Berat sekali melepasmu! Nak.”

Air mataku tak dapat dibendung lagi. Bendugan itu ambruk oleh perasaan sedih seorang Ibu. Ingin aku meneriakkan kepada semesta tentang kesakitan hati ini. Namun, bisaku hanya memeluk ibu seerat mungkin dan mengusap mutiara kasih ibu yang mengalir.

Pelukan terakhir Ibu berkelebat di kepala. Pelukan yang aku rasakan selama dua tahun terakhir. Langit masih kelabu. Sedikit kurasa, ada yang menetes dari mataku saat rumput ilalang melambaikan kerinduan. Butiran padi kuning menghampar, anak gembala sapi yang ceria, bersama pagi dan seruling kecilnya. Aku tak ingin jauh dari pangkuan Ibu. Tapi, karena tuntutan ekonomi dan impian ibu, terpaksa aku melakukannya kendati ibu tak pernah menuntut. Aku hanya ingin memberi yang terbaik untuk ibu.

Kilatan petir terus memotret kota. Garang. Menakutkan. Aku beringsut sedikit. Air mulai merembesi tempat yang tengah kududuki. Samar-samar telingku mendengar derek pintu dari belakang. Pemilik Toko keluar, membawa tempat sampah. Tanpa beban ia melemparkan sampah pada genangan air. Ada seberkas harapan tumbuh. Berharap ada pertolongan darinya, untukku. setidaknya memberiku sedikit pengganjal perut. Sejak pagi itu, aku cuma makan satu buah pisang dan segelas air putih. Sekarang, perutku mulai berdemonstrasi kembali, meminta subsidi kembali. Senyum kurekahkan untuk menarik simpati si empu toko. Ia tersenyum sinis, kecut, dan kembali menutup pintu. Menghiraukan aku dan sampah yang bertebaran di hadapanku.

“Ingat! Di sana hidup sendiri-sendiri. Kamu harus bisa seperti ikan di laut. Kendati hidup di air asin, ikan tidak ikut asin. Satu lagi paling utama, peliharalah shalatmu, jagalah imanmu,” Aku ingat petuah ustadz Abdul Karim saat aku minta restu darinya. Sosok guru Alif yang begitu aku hormati. Aku dilahirkan dari golongan sampah namun bukan berarti orang yang berhati sampah.

***
Panggilan suci mengakhiri bergulirnya mega merah yang membias langit sebelum dihempas gelap. Aku telah bersuci memenuhi panggilan itu, menunaikan solat maghrib dan isyak berjama’ah di Masjid Ar-Rahman. Selanjutnya aku memilih berdiam diri di rumahku yang hanya berukuran 2 X 4 meter.  Di luar, angin berhembus pelan. Ada gerimis yang membuat dingin semakin berpetualang. Aku menghidupkan radio, satu-satunya penghibur di istana kecilku.

Di pos ronda, tetanggaku asik menikmati segelas kopi. Mereka sedang membicarakan sesuatu. Entahlah, apa yang dibicarakan. Biasanya aku juga ikut nimbrung di sana. Tetapi kali ini aku merasa sangat lelah. Baisanya, mereka hanya sering membicarakan topik-topik yang tak jauh berbeda dari yang biasa diobroli setiap malam. Apalagi kalau bukan soal bermain kucing-kucingan dengan Satpol PP atau berbagi cerita mengenai rejeki yang diperoleh. Tapi, hari itu kelihatannya mereka sangat serius!   

***
Pagi cerah sekali. Langit seakan menjanjikan rejeki sebanyak-banyaknya. Langit seakan berjanji tidak akan menurunkan hujan. Ranjang dan kawat bengkok itu telah kupersiapkan. Teman-teman yang lain telah melambaikan tangannya. Matahari mulai mengecup kening bumi. Dengan lembut ia menaburkan cahaya pada hingar-bingar aktifitas ribuan manusia.

Matahari sudah membentuk sudut 60 Derajat. Keranjangku sudah hampir penuh. Aku berencana mengakhiri pekerjaanku sejenak. Sudah lelah kakiku berpijak. Di tengah perjalanan pulang, segerombolan orang yang kukenal lari pontang-panting, seperti prajurit-prajurit dalam perang badar.

“Bang…ada apa? Apa yang terjadi?” Tanyaku pada Bang Pardi. Tangannya kupengang erat tetapi dirinya berusaha melepaskan diri.

“Hancur…Hancur.” Nafasnya tersegal-segal, ingin segera pergi. Bang Pardi seperti orang kesurupan.

“Tenang… tenang. Sekarang ceritakan apa yang terjadi,” aku bersikap lebih tenang.

“Ada penggusuran, tempat kita akan digusur!” Kang Pardi berlalu seketika.

Petir seperti turun secara tiba-tiba, lebih keras dari biasanya. Benarkah demikian? Aku tak percaya, pasti ini salah duga. Kaki  kecilku segera berlari ke arah suara yang menimbulkan keributan. Dua buah Hotmix besar dengan tenang melahap kompleks perumahan tanpa mempedulikan teriakan dan perlawanan korban penggusuran itu. Istana kecilku tak tampak lagi. Mungkinkah sudah menyatu dengan tanah?

Tatapanku kosong. Yang terlihat hanyalah harapan wajah tirus ibu.
Jember, Pembuari 2013

Tuesday, August 27, 2013

Solat



Sepulang dari tanah suci, Haji Kamil kerap terlihat di Masjid. Tak sulit mencarinya bila tidak ada di rumah. Cari saja di masjid, pasti ketemu!

Usai menyempurnakan rukun Islam, Haji Kamil tampak berbeda. Setiap azan solat berkumandang, ia sudah berada masjid mendahului Sohib, takmir yang bertugas sebagai muadzin. Kalau Sohib terlambat, Haji Kamil bisa menjadi muazin sehingga keberadaannya di masjid cukup meringankan pekerjaan muazin.

Selain Haji Kamil, tak ada orang yang datang lebih awal daripada muazin. Orang-orang yang ingin solat berjemaah baru datang ketika ikamah berkumandang. Itupun yang datang dapat dihitung dengan jari. Masjid itu mendapat jemaah paling banyak dua saf pada waktu Magrib. Isya, saf sudah berkurang. Bila ingin melihat saf sampai ke belakang, harus menunggu tanggal biru alias jumatan.

Haji Kamil menjelma sebagai sosok haji teladan. Namanya kerap dibawa ketika penduduk kampung tengah bersilaturrahiem ke tetangga yang baru datang berhaji. Saat berjabat tangan dan saling rangkul, mereka kerap mengatakan, “Semoga menjadi haji mambur seperti Haji Kamil.”

Sebelum mendapat gelar “pak haji”, di masjid, Haji Kamil hanya tampak pada waktu solat Magrib dan Isya. Kini, berjemaah solat lima waktu benar-benar dijaganya.

Selesai ikamah, tanpa banyak pertimbangan, ia akan maju ke depan. Membaca takbiratul ihram[1] yang kemudian diikuti saf di belakangnya. Sejatinya, ilmu tajwid tak begitu dikuasainya. Tetapi, kehajiannya merupakan putusan yang tak dapat ditawar-tawar. 

Dalam sebuah obrolan kecil, Haji Kamil kerap mengatakan baru sadar—bukan baru tahu—kalau solat berjemaah itu memang lebih baik daripada solat sendirian. Pahala solat berjemaah itu lebih tinggi dua puluh tujuh derajat dari pada shalat sendiri. Dengan terus menjaga solat berjemaah, jalan menuju surga akan terhampar luas, katanya. Tak ada yang lebih indah di hari tua kecuali memohon pertaubatan dan mengharapkan surga.

Bukan hanya itu, Haji Kamil kerap bercerita perihal pengalamannya ketika berada di tanah suci. Dengan nada sumpah, Haji Kamil melihat betapa umat Islam dari seluruh penjuru dunia yang datang ke tempat itu menitikkan air mata dalam kubangan dosa memohon pertaubatan. Kendati tubuh mereka dililit oleh selembar kain putih, lambang kesucian, mereka tetap merasa diri seorang hamba yang kotor. Lebih kotor dari kain ihram yang membungkus tubuh mereka yang mungkin tak ada sebercak noda yang menempel.

“Mereka menangis. Memohon ampun. Mengharapkan pertaubatan agar mendapat hidayah dan masuk surga,” cerita Haji Kamil menggebu-gebu.
Sebagai seorang yang pernah naik haji, Haji Kamil tak lepas dari peci putih. Jarang sekali penduduk kampung mendapati dirinya mengenakan peci warna lain, apalagi hitam. Gamis selalu dikenakannya saat melaksanakan solat, ditambah dengan janggut yang sengaja dibiarkan memanjang membuat dirinya tampak ke arab-araban.

“Sunnah nabi,” katanya.

Kepada anak-anak yang mengaji di masjid itu, Haji Kamil juga menjadi juru cerita yang baik. Cerita-cerita tentang kehidupan abadi setelah dunia: akhirat, surga, dan neraka, selalu didengung-dengungkan.

***
Ramadan tinggal menunggu waktu. Hampir setahun lebih Haji Kamil berstatus haji. Hampir setahun pula Ridho, anak semata wayang, menimba ilmu di sebuah pesantren tersohor di Jawa Timur. Kini, anak yang kerap disebut lebih mirip istrinya ketimbang Haji Kamil, pulang kampung karena libur panjang bulan Ramadhan.

Sebagai kepala keluarga, Haji Kamil menjaga betul solat anak dan istrinya dan diusahakan untuk selalu solat berjemaah. Urusan solat menjadi perhatian utamanya.

“Ramadan adalah bulan yang penuh berkah,” kata Haji Kamil kepada Ridho di perjalanan pulan usai solat Isya. “Sudah kau jalankan pesanku, Nak?”

Serasa jantung Ridho berdegup lain. “Sudah,” pungkasnya singkat.

Alhamdulillah, Baguslah. Abah memondokkanmu supaya kamu menjadi orang yang benar. Solat dengan benar, karena solat itu mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar,” sesungging senyum beraroma bangga lepas pada anaknya.

Ridho tak bermaksud berbohong. Akan tetapi pertanyaan Haji Kamil yang datang tiba-tiba membuat dirinya reflek mengatakan sudah. Tak apalah, ini urusan sepele. Bagaimana mungkin bisa menjaga solat lima waktu berjemaah, sedangkan kegiatan pondok sangat padat. Lagipula program pesantren hanya mewajibkan santrinya solat berjemaah hanya waktu Magrib, Isya, dan Subuh. Sedangkan Zuhur dan Asar dihukumi mubah, pikirnya.

Berjemaah Solat Zuhur, tak mungkin. Sekolah pulang jam satu siang, sedangkan Kiai Sholeh mengimami di masjid 30 menit lebih awal. Berjamaah solat Asar sering alpa tersebab tidur siang. Kalau sudah bangun kerap tergesa-gesa karena usai Jemaah Asar, pengurus pesantren langsung memburu para santri untuk mengikuti ajian kitab turats[2]. Alasan nakal itulah yang termaktub di pikirannya, kendati solat berjemaah tidak harus di masjid atau bermakmum pada kiai.

Pertanyaan Haji Kamil menjebaknya pada solat berjemaah yang dihukumi wajib dengan yang dihukumi mubah oleh program pesantren. Sejatinya solat lima waktu semua hukumnya wajib. Tetapi pembagian dua hukum itu membuatnya merasa lebih enteng menunaikan solat yang dihukumi mubah daripada yang dihukumi wajib.

Seandainya solat tidak wajib, apakah manusia masih menunaikan solat? Cepat-cepat hati Ridho berseru istigfar.

Bohlam di pelataran rumah sudah tampak. Serangga malam yang kecil-kecil mengerubungi cahaya 5 watt itu. Haji Kamil menyapa Parman yang kebetulan lewat tepat ketika pagar rumah disentuhnya. Akunya, Parman baru datang kondangan. Sementara Ridho tengah terjebak pada pertanyaannya sendiri. Ia berusaha tak memikirkan pertanyaan konyol itu.

“Ada apa, Nak?”

Ah, tidak apa-apa, Bah.”

Gamitan hangat mendarat di bahu Ridho.

***
Hanya berumur sehari, betapa pertanyaan itu menghimpit kepala Ridho. Usai tasyakuran kecil menyambut hari pertama Bulan Ramadan, Ridho tak tahan ingin mengutarakan keingintahuannya. Apakah Abah akan marah, lalu memarahiku atau bisa saja menamparku? Ketakutan mengurungkan niatnya.

Ketika ia coba menjawab sendiri pertanyaan itu, malah yang muncul adalah pertanyaan turunan: kalau solat hukumnya wajib, berarti ada paksaan untuk melaksanakan solat. Ah, kenapa ketika berurusan dengan yang wajib serasa menjadi seorang pemberontak?

Bulan tampak separuh. Desir angin melengkungkan tubuh lelaki tua yang kepalanya dililit sorban. Sebuah tepukan keras di udara menyiratkan kegalakan nyamuk-nyamuk di musim hujan. Gemeretak gigi berpacu dengan denyit lincak yang menyangga tubuhnya. Ia tengah menyaksikan panggung rakyat di televisi.

Ridho berusahan mendekat. Perasaan bimbang menggetarkan bibirnya.

“Belum tidur?”

“Belum ngantuk.”

“Sini. Duduk. Ada tayangan seru.”

Ridho berusaha bersikap tenang. Kedua matanya terus disorongkan kepada Haji Kamil. Mencari celah kecil untuk kesempatan besar.

“Abah.”

“Ya,” jawab Haji Kamil tanpa menoleh. Tayangan di televisi sepertinya lebih menarik ketimbang menatap wajah anaknya. Nafas Ridho tambah berat. 

“Kenapa kita harus melakukan solat?” tanyanya pelan. Secara reflek punggung Haji Kamil bergerak sedikit ke belakang sebelum berganti memalingkan muka. Membaca kening abahnya yang mengerut, bara ketakutan mengelabui pikirannya.

“Kenapa bertanya seperti itu?”

“Tidak apa-apa. Sekedar ingin tahu, Bah,” Haji Kamil menahan pandanganya.

“Kita ini ‘abdun, Nak. Abdi. Hamba. Budak. Sudah seharusnya menjalankan apa yang diperintah oleh tuannya dan menjauhi apa yang dilarangan oleh tuannya. Solat adalah salah satu bentuk ketundukan seorang hamba kepada tuan-Nya.”

“Cuma itu, Bah?” tanyanya datar.

Haji Kamil tak mengerti isi kepala anaknya. Apakah aku memondokkan anakku di tempat yang salah, pikirnya. Tidak mungkin. Pesantren Kiai Sholeh adalah pesantren salaf, mana mungkin anakku diajarkan hal yang bukan-bukan. Dua pikiran membingungkan Haji Kamil. Pikiran anaknya dan pikiran dirinya sendiri.
Kiai Sholeh sendiri dikenalnya sebagai sosok ulama yang hati-hati dalam pesoalan fikih dan akidah. Sebagai alumni, Haji Kamil masih ingat, Kiyai Sholeh muda kerap terlibat diskusi dengan pakar-pakar agama yang bercorak liberal. Argumentasi yang dikeluarkan sudah cukup menjadi penilaian bahwa Kiai Sholeh memang pentolan shalafus shaleh.

“Allah sudah berjanji, barangsiapa yang selalu menegakkan solat, maka ia akan diselamatkan dari siksaan akhirat dan akan berada di tempat yang layak, yakni surga. Solat itu tak bisa ditawar-tawar lagi. Hukumnya wajib. Orang yang sakit sekarat saja tidak boleh tidak harus tetap solat.”

“Itu dia, Bah.” Haji Kamil mengernyitkan dahi. “Seandainya solat itu tidak wajib, apakah kita tetap melakukan solat?”

Astaghfirullah! Istigfar, Nak. Istigfar!” Hampir saja Haji Kamil melayangkan tangannya ke muka Ridho jika saja tak segera mengontrol emosinya. Ridho ketakutan, air mukanya berubah keruh.

“Maafkan aku, Bah. Aku bukan bermaksud mempertanyakan perkara solat itu wajib atau tidak. Cuma, sebagai manusia, aku merasa melaksanakan solat karena perkara kewajibannya, semacam ada tuntutan melakukan solat,” serak suara Ridho dari sisa keberaniannya.

“Kau tahu apa urusan solat?”

“Ada semacam ketidakikhlasan tersebab harapan ketika melakukan solat, apalagi tidak melakukannya. Termasuk aku. Harapan masuk surga, ketakutan masuk neraka. Padahal, surga dan neraka itu kekal karena dikekalkan. Bagaimana bila nanti Allah, dengan sifat kuasa-Nya meniadakan Surga dan neraka. Kun fayakun[3].”

“Kau terlalu berandai-andai, Nak. Jangan menuhankan akal.”

“Aku tidak menuhankan akal. Aku merasa solatku masih sekedar kewajiban, bukan menjadi kebutuhan. Seandainya solat itu tak wajib, aku tak menjamin terus menjaga keutuhan solat. Aku ingin menjadikan solat sebagai kebutuhan, bukan kewajiban.”

Haji Kamil terpaku. Bagaimana mungkin anaknya berpikir sejauh itu. Dirinya saja, yang sudah sampai ke Baitullah tak bisa menjangkau terlampau jauh.

“Sudah larut malam. Tidurlah. Nanti kau terlambat untuk sahur,” tukas Haji Kamil.

Ridho menghilang di balik pintu dengan kepala menunduk.

Senyap ruangan membuat jam dinding yang tepat di atas Haji Kamil seperti lebih nyaring berdetak. Televisi bercakap-cakap tanpa suara. Haji Kamil menatap kosong. Air jatuh dari sorot matanya yang mulai memudar, tak disadari.

Betapa perkataan Ridho sebelum menyelot pintu kamar menyayat hatinya.

“Aku ingin solat seperti solatnya Abah.”
Jember, 27 Mei 2013




[1] Takbiratul ihrom: takbir pertama saat melaksanakan shalat. Ihram berasal dari kata haram, yang berarti takbir haram. Artinya takbir yang mengharamkan segala yang halal sebelum shalat.
[2] Kitab Turats: kitab yang dikaji di berbagai pesantren. Mengacu pada ciri fisik disebut kitab kuning atau kitab gundul. Dikatakan kitab kuning karena kertasnya berwarna kuning, sedangkan kitab gundul karena tulisan arab di dalam kitab tersebut tak berharkat.
[3] Surat Yasin ayat 82. Ayat ini menjadi simbol atas Maha Kehendak Allah terhadap alam semesta, baik alam nyata maupun alam gaib.

Friday, August 23, 2013

An!


(Majalah Femina, 13-19 Juli 2013)
Ketika kau mencinta, kau selalu merasa dia ada. Sejauh apa kau tetap yakin dia dekat?
Seberkas cahaya pas sekali rebah di mukaku. Kedua mataku menyipit sendiri. Aku jelas terkejut. Kau pasti juga paham mengapa aku terkejut. Ya, cahaya itu menandakan kalau kita bangun kesiangan. Tetapi peristiwa semacam itu kau anggap sebagai adegan lucu; bergelayut manja sembari berucap, “Sudahlah, tak usah kerja. Kita teruskan…” Lalu aku membalas pelukanmu.
Tetapi ketika aku bangun, kau sudah tak berada di tempat tidur. Satu pekerjaan telah kaulupakan. Membangunkanku. Lupakah? Di kamar mandi, bak air kosong melompong. Kukira kau lupa membuka kran air atau memang tak mandi dulu sebelum berangkat. Ah, sejak kapan kau jadi pelupa, An?
Awalnya, keyakinan itu tak sungguh begitu. Dugaku, pekerjaan telah memburumu. Tetapi meja makan yang dibiarkan kosong membuatku bertanya lagi: Benar kau menjadi pelupa?
An, aku kelimpungan memakai dasi karena kau yang biasa memakaikannya. Aku memanggilmu berkali-kali, tapi kau tak datang. Aku ke dapur, tak ada kau di sana. Aku ke belakang, di sana kau tak ada juga. Aku sudah mencarimu ke mana-mana.
Tanah pot bunga di beranda terlihat kering. Kukira kau sengaja tak menyiraminya karena seminggu lalu kau hendak mengganti bunga-bunga itu dengan yang baru. Semuanya. Kesimpulan sudah kubuat. Secarik surat kutulis karena tidak mungkin menunggumu terlalu lama.
Begini isi suratnya: An, aku berangkat. Setelah pulang nanti, aku ingin langsung makan masakanmu. Sebagai bonus, aku akan bawakan buku dongeng yang bagus.
Entah, aku seperti sangat lama tidak makan masakanmu. Masakan yang bagiku tiada tandingannya. Masakan yang menjadi senjata untuk membentuk seorang yang rindu pulang.
“Cukup dengan ini, kau tak akan punya alasan berpaling dariku,” godamu.
Surat itu kutempel di muka pintu. Tempat yang sangat cocok untuk menyapamu ketika pulang nanti. Tingginya kuukur dengan tinggi mukamu. Aku harap sebelum masuk rumah kau tak gelisah dan mencariku sebagaimana aku mencarimu. Aku tahu betapa pikiran yang gelisah akan menguras banyak tenaga. Aku ingin memanjakanmu karena aku mencintaimu, An.
An, aku memilih jalan kaki kendati sudah terlambat masuk kantor. Tujuannya cuma satu, dongeng yang kujanjikan itu. Aku ingin membelikanmu buku dongeng dan menyebutkan bahwa buku itu kubeli di sebuah toko buku yang sangat bagus dan terkenal di kota ini. Padahal, aku membelinya dari penjual buku keliling yang biasa mangkal di sepanjang trotoar menuju kantor.
Sejatinya, tempat pembelian buku tak penting bagimu. Sama halnya apakah buku itu stok baru atau stok lama, berlabel best seller atau most wanted. Yang terpenting adalah ceritanya menghibur. Namun, satu hal yang perlu diketahui bahwa hukum pasar mengatakan: semakin tinggi harga barang, maka akan semakin tinggi kualitasnya. Sedangkan tempat akan mengangkat derajat dari barang itu.
Tuhan Maha Adil, ya, An? Dia ciptakan orang yang suka berdongeng untuk orang yang suka mendengarkan dongeng.
Waktu SMA dulu, saat kata “sahabat” sedikit lebih dekat. Kau berdongeng tentang seorang putri yang kesepian bermimpi menyentuh awan, hingga dia berdoa agar Tuhan mengirimkan seorang yang bisa mengantarnya ke awan. Lalu, seekor unggas bersayap seketika muncul dari tubuhnya sendiri. Bukan. Tubuhmulah sebenarnya yang tumbuh sayap. Aku cukup ingat dongeng itu, An. Dongeng dengan gaya khas gestur, wajah, dan tutur ceritamu. Sayang, aku tak pernah lengkap untuk mengingatnya.
Sebutan populer yang terlalu sering kudengar betapa sekarang kita berada di jantung globalisasi; sebuah zaman ketika definisi jarak menjadi tak terlalu berarti. Semuanya dituang dalam sebuah gelas, dengan sebuah sendok yang terus mengaduk tak kenal lelah, hanya berputar dalam satu pusaran. Tetapi zaman yang dikatakan serba rasional ini kau larungkan dengan cerita-ceritamu yang absurd, penuh khayal, bahkan bisa dibilang konyol. Yah, begitulah caramu menertawakan dunia ini.
Sial hari itu, An. Tak satu pun kutemui penjual buku bekas yang mangkal. Mataku cuma menangkap penjual korang bersandar di bawah lampu lalu lintas, menunggu warna merah untuk kemudian berteriak menjual berita yang menurutnya tentu sangat menarik sehingga perlu diteriakkan: gosip, korupsi, kriminal, atau yang lainnya.
Tadi, saat lewat di depan toko bangunan milik Koko Liem, hanya ada pedagang nasi pecel dan rokok plontongan. Ya, adanya di simpang tiga itu. Bagaimana kalau aku tak mendapatkan buku dongeng? Ah, sudah terlanjur kukatakan. Apakah aku mesti beli koran saja? Ah, tidak, An. Tidak. Aku tak percaya berita di koran-koran itu. Lebih baik menutup mata saja seharian bila harus membaca koran, atau marahi saja aku habis-habisan ketimbang harus membeli koran murahan dengan berita—yang menurutku—juga murahan.
***
Seorang satpam tengah duduk di depan gerbang. Di parkiran, kendaraan karyawan tak banyak. Jawaban untuk mengantisipasi pertanyaan satpam yang pasti akan menyambutku sudah kupersiapkan. Semoga pertanyaannya berakhiran ‘ya’ sehingga aku hanya memberikan isyarat saja.
Satpam itu langsung berdiri. Aku menyetel dasi. Dalam kondisi apa pun, kita harus terlihat berwibawa, sifat yang harus dimiliki lelaki. Kau yang mengatakan itu, An. Padahal kau perempuan.
“Selamat pagi, Pak? Apa kabar?” ucapnya ramah.
“Baik.” Tatapannya lain dari yang biasa.
“Senang bisa bertemu bapak hari ini. Silakan masuk,” satpam tambun itu membuka sebelah engsel gerbang dan mendorongnya sedikit. Berderek. Terbuka.
Aku tak banyak bicara. Melempar senyum sebentar dan berlalu. Jawaban yang sudah kusiapkan sudah kubuang ke tong sampah. Tentu, satpam itu tak akan melihatnya karena yang mengerti aku hanyalah kau, An.
Aku bergegas, ke ruangan tempatku bekerja. Terlalu hangat sambutan mereka untuk orang yang terlambat. Satu yang kulegakan hari itu. Tak ada yang berbisik kalau bos hari itu bertanya aku. Tetapi, satu yang tak kumengerti. Semua mata seperti menitipkan iba. Lalu salah satu di antara mereka yang bernama Amdis merangkul pundakku.
“Kami ikut berduka cita atas kepergiannya, Sontak dahiku berkerut.
“Maksudmu?” Kupandangi lekat lelaki berambut ijuk pendek dan bertubuh karang itu.
Tiba-tiba Bram datang dan menarik tangannya sebelum ia menjawab.
“Jangan ganggu,” begitu sepertinya ia berbisik pada Amdis.
“Dia hanya salah paham. Ini pekerjaanmu. Bos tadi menitipkannya untuk diselesaikan hari ini.”
Berkas-berkas itu seperti nyengir ketika Bram menyodorkannya. Apakah ini bentuk hukuman? Entahlah, semoga saja nanti tidak pulang terlambat.
Siapa yang berduka? Siapa pula yang pergi? Ah, sudahlah! Tidak penting untuk dipikirkan. Pikirkan dulu pekerjaan ini biar nanti pulang lebih cepat. Aku sudah tidak sabar untuk makan masakanmu, An.
***
Sore itu, hujan sangat deras. Jalanan menjelma bayangan yang basah. Kendaraan menyemut. Gelombang air pada genangan yang dilindas oleh roda-roda, menaruh khawatir. Jangan-jangan kau terjebak macet. Petir berkilat-kilat mengubah rasa khawatir menjadi cemas—kendati khawatir dan cemas tak beda jauh, tetap ada jarak antara kedua kata itu.
Semoga kau masih sibuk dengan tugas-tugasmu di kantor. Atau semoga kau sudah sampai di rumah. Intinya, kau tak di perjalanan pulang. Aku tak kuasa membayangkan apabila kau terjebak macet apalagi berteduh menunggu reda saat petir meraja.
***
Sudah setengah tujuh. Satu jam lagi. Satu jam lagi kupastikan pekerjaanku selesai. Aku janji jam delapan nanti aku sudah berada di rumah. Duduk semeja sehadapan sambil menyeruput sup andalanmu itu. Sabar, ya, sayang!
***
Sial, An. Di Halte jalan Wonokromo, hujan membuatku kembali cemas. Marah sendiri. Aku menggigil bukan kedinginan, hanya tak sabar menunggu reda. Kutasbihkan kalimat yang kerap kauucap ketika hujan. Barangkali bisa memupuk kesabaran menunggu reda: hujan itu indah, hujan itu romantis, hujan itu menyegarkan, hujan itu beraroma, hujan itu anugerah.
Dan, hujan akan segera usai, hanya menyisakan rintik kecil. Kesabaran sudah benar-benar tandas. Cuma rintik segini akan hilang dengan semangkuk Sup. Aku yakin itu, An.
Tembus saja.
***
Pesan yang kutempelkan tergolek di lantai. Tulisannya tak bisa dibaca lagi karena resapan air. Tak apalah. Toh, melihatnya saja rasanya sudah lega. Sesaat rasa berbunga-bunga raib seketika mendapati meja makan bersih tanpa noda makanan. Kau tak masak? Kau marah? Kau ada di rumah?
Kupanggil-panggil, tak ada. Ke mana sebenarnya kau, An?
Kadang, aku cuma butuh sendiri, melakukan sesuatu yang kusukai sekali waktu. Semacam kebebasan. Tanpa rutinitas rumah tangga yang menjemukan. Tanpa catatan belanja yang kaulaporkan untuk kutukar dengan uang. Tapi saat ini aku tak punya alasan untuk mengatakan itu. Aku butuh kamu, An! Tidak tahukah kau sejak bangun dari tidur, aku merasa yang kurang dalam hidupku?
Aku ingat mimpiku tadi malam. An, aku melihatmu tidur dalam peti kaca. Kau begitu cantik, tapi aku belingsatan karena kau terpejam dan tak mau bicara denganku. Mereka tidak mempedulikan teriakku; membawamu jauh memunggungi mataku. Tak ada lagi tatapan paku itu.
Aku takut sekali, An. Aku takut kau benar-benar pergi. Larut malam kau belum pulang juga. Ah, kau, An. Rasanya aku ingin tidur selamanya.
An, bila kau sudah pulang, tolong bangunkan aku. aku hanya ingin memelukmu. Dengan begitu aku bisa memastikan bahwa kau baik-baik saja. Cepatlah pulang, An.
Semoga kau membaca suratku ini, nanti.
***
Selalu ada yang akan kita tinggalkan. Jiwa; bukan ruang kosong…
Karena hujan, bunga di beranda tak jadi layu. Bahkan bunga itu berani membuka kelopaknya. Harapan lelaki yang rupanya tak lelap di pembaringan mungkin sama seperti harapan kelopak bunga itu: menunggu sesungging senyum seseorang saat pulang nanti.
Di atas laci kecil, di bawah temaram lampu tidur, tergeletak surat kabar yang belum diganti selama seminggu.
Headline: Tragedi Jatuhnya Pesawat Terbang.
Jember, 25 Mei 2013

Tuesday, July 2, 2013

Mendapatkan Uang dari Hobi Menulis di Internet

Hobi tidak selamanya membutuhkan biaya yang besar. Banyak cara untuk mengubah waktu luang menjadi sumber pemasukan dan hobi anda dibayar.

Menulis diari untuk Blog, sekarang untuk mengelola blog tidaklah terlalu sulit, kita pengguna tidak anjurkan untuk menghapal kode html, javacript, css dan lain-lain. Lebih sering menulis dan menayangkan iklan di blog, maka anda akan di bayar atas penayangan iklan yang diklik oleh pembaca.

Banyak blogger gratisan dapat di manfaatkan untuk menulis diari. Tapi untuk lebih memudahkan pemasangan iklan, sebaiknya membuat akun blog di www.blogger.com setelah membuat akun blog dan menulis konten asli sebanyak sepuluh, silahkan daftarkan diri anda diwww.google.com/adsense dan www.sitti.co.id

Waktu adalah uang, Time is MoneyMari jadikan setiap waktu luang untuk menularkan hobi, hobi anda akan dibayar. Untuk berpartisipasi bersama google adsense dan sitti bukan jaminan untuk meraup duit secara instan, sepertinya tidak begitu banyak mendatangkan duit. Hobi yang tidak membutuhkan duit dan lebih cepat mendatangkan duit yaitu mengajar, menjadi guru privat komputer, dan lain-lain 

Saturday, June 29, 2013

05.03.2004

Cerpen Lan Fang

05.03.2004: 06.00 - 09.00 pagi.
Aku bangun dengan jiwa berpengharapan. Matahari pagi menembus kisi-kisi batinku yang remang. Sejenak hatiku terasa ringan ketika merasa seharusnya ada sesuatu yang "manis" untukku hari ini. Semalam, aku memang tidur lebih cepat. Karena aku ingin lebih cepat menyongsong pagi.
Perasaan itu membuatku segera terbang ke kamar mandi. Kucuran air membuatku terasa nyaman. Lalu kubiarkan busa sabun menjilati tubuhku yang telanjang. Membilasnya. Membelitkan handuk di tubuhku. Mengenakan pakaian. Berkaca.
Saat mereguk kopiku yang masih hangat di atas meja, aku tersenyum ketika melihat banyak SMS masuk yang berisi ucapan selamat ulang tahun. Mas Ari, seorang redaktur harian beroplah besar di Surabaya; Vina dan Evy, sekretaris di kantorku; Rudi, sahabat yang tidak pernah berpaling; Janet, adik yang paling sering berselisih paham denganku; Vera seorang gadis muda energik editor sebuah penerbit.
Aku sudah meraih tas, kamera, dan notes kecilku, siap hendak berangkat ke kantor. Meski begitu banyak SMS yang masuk, tetapi aku masih menunggu dari seseorang...

05.03.2004 : 09.00 - 13.00 siang.
Aku keluar rumah menuju terminal kota Joyoboyo dengan menumpang colt bison dari arah Malang. Anganku terbang ke dunia lain. Saat ini aku adalah seorang wanita karier dengan blazer licin bermerek dari sebuah butik mahal di Tunjungan Plaza berwarna terakota, make up made in Japan yang membuat wajahku mulus seakan tanpa pori dan komedo, parfum beraroma laut tropis dengan harga hampir satu juta rupiah untuk sebuah botol kecil saja, dengan note book tipe terbaru, duduk di atas jok empuk Mercedes A 140 yang kecil lincah, dengan hembusan air conditioner yang halus, ditingkahi suara empuk Julio Iglisias yang mengalunkan When I Need You?
Lamunanku pecah ketika tiba-tiba badanku terdorong ke depan dan suara sopir colt bison mengeluarkan sumpah serapah khas Surabaya, "Jancuk! Matamu, cuk! Nyebrang gak ndelok-ndelok (Menyeberang kok tidak melihat-lihat)?!"
Olala! Ternyata aku hanya penulis freelance di sebuah media yang belum menerimaku sebagai pegawai tetapnya dan saat ini sedang berada di jok colt bison tua yang koyak berdebu. Tidak ada air conditioner atau Julio Iglisias. Yang ada hembusan angin kota Surabaya yang terik dan suara serak kernet berteriak-teriak, "Boyo...Boyo...Joyoboyo... kiri... kiri!" Ternyata aku perempuan dengan wajah tanpa bedak, kakiku terbungkus celana strect murahan made in China, dengan atasan sederhana, dari tubuhku menguap aroma keringat yang membasahi tengkuk, leher, dada dan ketiakku, karena harus berlari mengejar berita.
Di Terminal Joyoboyo, aku leluasa melihat para pedagang kaki lima yang berseliweran menjual buah-buahan, permen, tisue, pangsit mie, sampai VCD porno bajakan. Aku mengamati para kernet, sopir, makelar, pengamen sampai pengemis. Mereka beraktivitas dengan ekspresi bebas. Mereka duduk mencakung, merokok, tertawa terbahak menampakkan gigi geligi yang hitam karena kerak nikotin dan bermain kartu. Tidak adakah himpitan kesusahan menekan batin mereka? Ataukah kesusahan sudah begitu akrab menjadi sahabat mereka sehingga tidak perlu lagi untuk ditangisi? Aku berpikir diam-diam.
Sekelompok pengamen datang dan mulai mendendangkan Cucakrawa dengan suara sumbang, ditingkahi suara botol galon air minum mineral dan bunyi uang logam beradu. Kulirik dengan ekor mataku, salah satu di antara mereka adalah seorang gadis dengan wajah cukup manis kalau saja tidak banyak luka-luka parut yang terlihat jelas di lengannya sebelah dalam. Aku sempat memikirkan bekas luka itu karena apa? Karena narkobakah? Bekas berkelahikah? Kenapa gadis semanis dia memiliki luka parut begitu banyak di lengannya? Apakah luka parut di hatinya lebih banyak lagi karena hidupnya begitu pahit?
Pahit?
Rasa pahit itu menyeruak tanpa permisi ke dalam dadaku karena ring tone ponselku yang kutunggu sama sekali belum berbunyi.

05.03.2004 : 13.00-17.00
Ini sudah lewat setengah hari, begitu aku membatin dalam hati dengan perasaan gelisah. Tetapi kenapa yang kuharap dan kutunggu belum juga mengirim salam? Lewat jam makan siang, aku mulai merasa putus asa dengan penantianku. Apakah aku terlalu berharap banyak hanya untuk sebuah ucapan selamat ulang tahun dari seorang laki-laki?
Tengah hari, Surabaya diguyur hujan deras. Kuhabiskan siangku dengan menikmati rasa dingin di dasar hatiku. Aku masih belum berniat kembali ke kantor walaupun dikejar deadline.
Dingin? Ah, tidak!
Kehangatan sontak menyeruak ketika aku teringat laki-laki itu.
Senja bergerimis yang kemudian menjelma menjadi hujan lebat membuat kami duduk rapat di dalam sebuah angkutan kota menuju terminal kota Bekasi ketika aku ditugaskan untuk menulis tentang seorang anak cacat di Kelurahan Karang Satria, Bekasi. Walaupun hanya ada empat orang yang berada di dalam angkutan kota itu, aku enggan untuk jauh darinya. Aku suka menghirup aroma tubuhnya yang memenuhi seluruh aortaku menuju pompa jantung. Aku suka bersandar di bahunya. Selalu saja ada rasa nyaman yang menghangati seluruh katup dan bilik hatiku bila berada di dekatnya. Karena itu, aku selalu merasa ingin menikmati setiap detik yang kulalui bersamanya.
"Datanglah, percayalah, dan bersandarlah padaku. Aku tidak akan membuatmu menderita," begitu ia menawarkan asa di tengah keputusasaan yang tengah melandaku.
Alangkah indah, nyaman, dan menentramkan kata-kata itu. Apakah aku terlalu bodoh, tolol, atau naïf, jika akhirnya tanpa berpikir panjang uluran tangan ini kuterima dengan kata "ya"? Apakah aku dalam kontrol sihir sehingga begitu mudah tersirap hanya dengan sebuah pengharapan yang masih di dalam angan-angan? Aku tidak tahu. Yang aku tahu pasti, laki-laki itu benar-benar seperti alien yang menyedot seluruh energiku sehingga aku tidak mampu berkata "tidak". Juga seperti monster yang menarikku amblas sampai ke perut bumi dan memaksaku hanya bisa mengucap "ya". Aku cuma merasakan adanya perasaan ngeri jika harus melepaskan rasa nyaman yang tengah melingkupi seluruh rasa di batinku.
Rasa nyaman?
Ya... rasa nyaman itu langsung ada ketika ia menawarkan tumpangan di terminal keberangkatan bandara Cengkareng. Ketika itu aku sedang menawarkan naskah ke sebuah penerbit di Jakarta. Aku berangkat hanya dengan modal pengharapan penerbit itu bersedia menerbitkan naskahku. Tetapi ternyata penolakan yang kuterima. Aku panik karena tertinggal pesawat terakhir yang terbang ke Surabaya. Padahal uang di dompetku tinggal lima puluh ribu rupiah sekadar cukup membayar airport tax dan ongkos taksi dari Bandara Juanda Surabaya ke rumah. Aku duduk termenung tanpa harus tahu berbuat apa di belantara Jakarta yang kurasa sangat luas. Dan laki-laki itu datang mengulurkan tangannya.
"Aku Ian," begitu ia memperkenalkan diri dengan hangat dan menawarkan tumpangan di rumahnya serta janji mengantarku kembali ke Cengkareng mengejar pesawat terpagi yang terbang ke Surabaya.
"Aku Metta," rasa nyaman yang hangat itu membiusku.
Apakah aku begitu murahan? Apakah aku begitu ceroboh? Apakah aku begitu tolol? Begitu mudahnya aku percaya dengan seorang laki-laki yang baru pertama kali kukenal. Tetapi aku tidak peduli itu. Yang kurasakan saat itu, betapa lelahnya tubuh dan jiwaku. Jika kemudian, ada yang menawarkan rasa nyaman, hangat, dan keteduhan, aku tidak mau berpikir dua kali untuk menerimanya.
Salahkah aku?
Ya... rasa nyaman itu terus melingkupiku ketika sepanjang malam ia duduk di sampingku untuk mendengarkan cerita tentang hidupku yang tersaruk dan terpuruk. Mungkin ia seperti mendengarkan sebuah dongeng tentang kisah hidup seorang pengarang roman picisan yang tenggelam di dalam keputusasaan yang tidak berujung pangkal ketika harus berkeliling menawarkan naskahnya, ia menjelma bak seorang penjual jamu yang mempromosikan naskahnya sampai mulut berbusa tetapi masih saja menerima penolakan. Akhirnya ia cuma diterima bekerja sebagai penulis freelance yang honornya hanya cukup untuk sekadar melewati hari demi hari tetapi harus berlari berlomba dengan deadline untuk menyerahkan hasil tulisannya, sampai akhirnya, ketika si pengarang jatuh bangun dalam pelukan cinta seorang laki-laki yang salah --laki-laki yang menyesatkan jalan hidupnya, laki-laki yang menggunakan tulisannya sebagai sarana untuk mempopulerkan dirinya sendiri, laki-laki yang kemudian ditinggalkannya ketika ia merasa sudah berada di ujung garis batas pengharapan, sampai... ketika si pengarang bertekat memulai kehidupan barunya dengan kemungkinan terburuk: "berjalan sendiri"! Laki-laki itu duduk tanpa menyela sepatah kata pun.
Kuselesaikan ceritaku dengan air mata yang berurai. Aku merasa menjadi perempuan paling cenggeng dan tolol, karena sudah begitu banyak berbicara dengan seorang laki-laki yang baru pertama kali kutemui. Tetapi sekaligus juga merasa sangat lega! Semua beban yang kusimpan sendiri seakan-akan mendapat tempat berbagi. Segala suntuk tumpah ruah. Aku seakan-akan menjelma menjadi manusia baru yang mempunyai pengharapan kembali. Jiwaku yang mati seakan berarti lagi.
Lalu kami menghabiskan malam itu dengan bercerita sambil telentang tidur di lantai rumahnya yang sederhana. Aku menjadikan kedua lenganku sebagai bantal dan mataku menatap serat-serat kayu yang menjadi langit-langit rumahnya. Di sampingku, laki-laki itu bercerita tentang rasa sepi, rasa sayang, dan rasa asa.
"Istriku pergi. Aku malas mencarinya. Aku butuh kau di sisiku. Aku sayang sekali padamu..."
Aku menoleh setengah tidak percaya, setengah takjub, setengah heran, setengah terpesona, sekaligus setengah muak! Jujur saja, aku sedang dalam keadaan penuh kemuakan menghadapi laki-laki dan cinta. Aku anggap yang kudengar barusan adalah kata-kata gombal. Bukankah seharusnya ia tahu bahwa aku adalah pengarang roman picisan yang suka mengobral kata-kata cinta dan sayang di dalam tulisan-tulisanku? Lagipula ia bukan berbicara dengan perempuan belia yang baru pertama kali jatuh cinta.
"Kau laki-laki kesepian... Kau hanya butuh perempuan untuk ditiduri...," sahutku setengah geli acuh tak acuh.
"Tidak. Aku butuh kamu dalam segalanya. Aku sayang sekali padamu. Aku butuh kau untuk bercinta. Bukan sekadar untuk ditiduri," ia tidak mengindahkan tawa geliku. Ia menjawab dengan nada serius sambil memandangku dalam-dalam.
Aku terperangah ketika rasa nyaman dan hangat menjalari seluruh pori-pori jiwaku. Rasa itu mem-bah! Aku terdiam seperti pengarang kehabisan kata-kata.
Dan akhirnya malam itu kami bercinta di dalam angan-angan sampai aku lena di dalam genggaman tangannya sampai pagi.
Besoknya ia mengantarku sampai di Bandara Cengkareng. Sesaat sebelum turun dari mobilnya, lagi-lagi ia berkata, "Bolehkah aku memeluk dan menciummu?"
Aku terpana. Aku terpesona. Seluruh jiwaku tergetar.
Ia memelukku cukup lama. Mencium pipi, kening dan rambutku. "Ah... kamu wangi. Aku suka wangimu," ujarnya ketika menghirup udara di sela-sela rambutku. Lagi-lagi aku tidak mampu mengucap sepatah kata pun. Mulutku terkunci. Tanpa mampu kucegah, aku memejamkan mata dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Mendadak saja, aku ingin waktu berhenti, ketika untuk kesekian kalinya aku merasakan rasa nyaman itu memenuhi seluruh duniaku. Ajaibkah?
"Jangan pulang ya. Tetaplah di sisiku," kudengar bisikan suaranya seperti desau angin lalu.
My God...!
Apakah rasa lelahku mencari sandaran dan rasa sepinya mencari penghiburan membuat dua jiwa yang kosong saling melengkapi? Dalam batinku, aku bertanya kepada Tuhan, apakah ini anugerah, kecelakaan, halusinasi, ataukah deja-vu? Hatiku berperang sendiri, benarkah perasaan cinta, sayang dan dekat, bisa timbul mendadak begitu cepat pada seseorang yang hanya kita kenal beberapa saat? Apakah ia laki-laki dari masa lalu?
Semua berjalan dalam rotasi yang begitu cepat.
Ketika aku ingin berjalan kaki, ia menemaniku menaburkan kenangan di sepanjang jalan yang kami lewati. Ketika aku tengadah memandang dahan-dahan pohon yang saling meliuk, ia memelukku pula dengan melingkarkan lengannya di bahuku. Ketika aku ingin naik angkutan kota dari terminal ke terminal, ia bersamaku dalam deru debu dan keringat. Ketika aku menghirup aroma tanah basah sehabis hujan, ia taburkan aroma tubuh dalam desah nafas dan geliat birahi.
Hari masih tinggal seperempat lagi. Harapan mendengar suaranya atau sekadar SMS-nya tinggal sebiji sawi. Tetapi aku masih berbesar hati. Lima Maret dua ribu empat, masih belum berganti...

05.03.2004 : 17.00-22.00
Aku masih belum berniat pulang. Aku masih menanti. Aku melangkah gontai menembus gerimis menggigil dingin, membiarkan sepatuku, bajuku, rambutku, tubuhku, wajahku, seluruh pipiku basah. Aku tidak tahu, basahku karena gerimiskah atau karena air mata. Aku ingin menghabiskan waktu menunggu salam selamat ulang tahun. Aku gigit bibirku sendiri dalam rasa senyap yang kian menggigilkan. Tidak sakit. Tetapi ngilu. Rasa ngilu yang bertebaran di sepanjang jalan, membias di tirai gerimis, bergaung di antara gedung-gedung, meninggalkan noktah di bekas jejak kakiku melangkah.
Kuingat tulisan Kahlil Gibran: jika cinta sudah memanggilmu, pasrahlah dan menyerahlah, walau pisau di balik sayapnya akan melukaimu.
Laki-laki itu benar-benar membuat aku pasrah dan menyerah di dalam sayap cinta. Pun, laki-laki itu membuat aku terluka dan berdarah ketika pisau di balik sayap cinta itu menikamku!
"Istriku kembali. Kami tidak bisa bercerai. Kami menikah di gereja," ujarnya setelah kami saling mengenal empat bulan.
"Aku tidak menyuruhmu bercerai. Aku hanya ingin selalu bersamamu," apakah jawabanku terdengar sangat naïf?
"Tidak mungkin."
Aku tersalib kecewa dan luka. Aku merasa seperti Yesus yang didera sakit dari ujung rambut bermahkota duri sampai ke ujung kaki dipalu paku. Kulihat bukan saja kepalaku, tanganku, kakiku, tubuhku berdarah, tetapi hatiku, jantungku, paru-paruku, lidahku, mataku, telingaku, semua mengucurkan darah.....
Surabaya menggelap ketika aku melambaikan tangan mencegat sebuah angkutan kota. Semestinya aku belum berniat pulang, kalau saja tidak merasa khawatir kemalaman dan sudah tidak ada angkutan kota lagi.
Kuraba saku celana strect-ku. Kulihat telepon selularku masih dalam keadaan yang sama. Tidak ada message, tidak ada miscall, tidak ada mailbox...

05.03.2004 : 22.00 - 24.00
Aku berbaring telentang di atas ranjang yang senyap. Di sampingku, telepon selularku masih dalam keadaan on. Akalku menyuruhku lebih baik tidur saja dan melupakan harapan sebiji sawi yang sejak pagi kuletakkan di tempat yang tertinggi. "Lupakan saja... laki-laki itu menipumu...", begitu kata otakku. Tetapi perasaanku mencegahnya dan tetap memelihara asa setipis kulit bawang itu. "Hari ini belum habis...laki-laki itu tidak menipumu... dia memikirkanmu...," begitu kata batinku.
Akal dan perasaanku terus berperang sampai menjelang tengah malam. Tetapi kenyataannya toh perasaan yang selalu menang.
Aku tetap memelihara asa setipis kulit bawang itu!

06.03.2004 : 24.01
Lima Maret dua ribu empat sudah lewat....
Tidak ada apa-apa di telepon selularku. Benda komunikasi canggih abad millennium itu tetap diam tidak bergerak. Aku tidak tahu apakah aku harus tertawa atau menangis untuk ketololanku atau kenaifanku? Aku tidak tahu apakah aku harus membuang biji sawi ataukah menyimpan kulit bawang?
Yang kutahu, ada rasa asin menganak di lekuk pipiku ketika aku menggambar rupanya, menulis namanya, mendengung suaranya di langit luas, di langit kamarku, di langit hatiku...
Kututup mata... bercinta dengan bayang-bayang sepanjang malam!

(Surabaya: 05.04.2004: 08.45 PM: saat ini aku masih kasmaran!)