Sunday, February 27, 2011

Liberalisme Dalam Dongeng


Munculnya novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abdidah El-Khalieqy sekaligus difilmkan dengan judul yang sama yang dibintangi oleh artis cantik Revalina S Temat membuat geger masyarakat pesantren. Pasalnya, tema yang diangkat adalah kesetaraan gender.

Mengapa demikian? Diskursus tentang gender dalam novel itu bertentangan dengan konsep yang diajarkan dalam pesantren yang berpaham Ahlussunnah Wal Jamaah. Kesetaraan gender ataupun emansipasi wanita merupakan salah satu “agenda” yang sering dibahas oleh kaum liberalis semacam John Hick, Wilfred, Cantwell Smith, Charles Kimball, sampai pada Ahmad Wahib, Norcholish Madjid, Ulil Absor Abdallah, dan para antek-anteknya. Banyak kalangan pesantren yang merasa kebakaran “jenggot” setelah novel dan film itu diluncurkan. Nah, munculnya Novel KEMI: Cinta Kebebasan yang Tersesat ini, kata Taufik Ismail, sebagai antitesis dari novel Abidah yang telah dianggap mencoreng-moreng wajah pesantren.

Kemi (Ahmad Sukaimi), pemuda pintar dan cerdas santri Kiyai Aminuddin Rois, pengasuh PP Minhajul Abidin. Dia berhenti mondok dan ingin melanjutkan kuliah ke salah satu perguruan tinggi di Jakarta tanpa alasan yang jelas. Ada kejanggalan di mata kiyai dan Rahmat sahabatnya, setelah tahu yang menjemput Kemi adalah Farsa, jebolan pesantren Minhajul Abidin yang bergabung dalam kelompok aktivis liberal. Mungkinkah motif kepergiannya dari pesantren karena Farsa? Itulah yang menjadi kebimbangan sahabatnya.

Jelang setahun, Rahmat, pemuda yang terkenal pintar, cerdan, sekaligus tampan pergi ke Jakarta membawa misi yang diemban dari kiyainya; mencari tahu alasan Kemi sebenarnya. Di tempat Kos Kemi, Rahmat berbincang santai dengan Kemi. Mulanya, permbincangan itu hanya seputar perkembangan pesantren selama ditinggalkannya. Tetapi kemudian merambat pada persoalan aktivitas Kemi: persoalan Kemi bergabung dalam kelompok aktivis leberal, perbincangan nama “liberal” dalam islam, murta’addin, sampai perbincangan serius tentang hakekat agama serta persoalan teologi; menyoalkan eksistensi Tuhan.

Di Institut Damai-Sentosa, kampus Kemi dan kolompok liberal, Rahmat bertemu Siti, feminis liberal berdarah biru yang getol menyuarakan liberalisasi Islam, kesetaraan gender, dan pluralisme agama, hingga tak lagi membedakan dirinya apakah laki-laki atau perempuan serta menentang RUU Antipornografi dan Pornoaksi.

Pada pertemuan kuliah pertama, Rahmat memukul telak dosen sekaligus rektornya Prof. Malikan ketika menerangkan mata kuliah Metodologi Studi Agama-Agama. Rahmat menyanggah pernyataan-pernyataan profesor itu yang menyatakan bahwa melihat agama dari sudut pandang agamanya sendiri adalah subyektif. Keabsahan agama harus dipandang obyektif dan tidak ideologis sehingga melahirkan pandangan yang adil. (hal.162)

Rahmat mencerca dengan beberapa pertanyaan yang menohok yang pada intinya mengkritik pandangan obyektif dan netral pada agama. Tidak obyektif (juga) jika orang yang mengaku islam memandang persoalan agama di luar agama yang dianutnya, tidak eksklusif. Disinilah celah Rahmat membombardir logika-logika Transenden Unity of Religion Prof. Malikan sebagaimana yang pernah dilakukannya pada Kemi.

Selain kasus Siti, persoalan kesetaraan gender dikupas terpisah—diluar kisah Kemi, Rahmat, dan Siti—oleh pria yang lahir pada tanggal 17 Desember 1965 itu. Yakni wawancara ekslusif Bejo Sagolo, wartawan “nakal” dari majalah wanita PAGINASIA dengan Doktor Demiwan Ita, seorang aktivis gender yang getol menyuarakan emansipasi wanita dengan jargon feminisme. (Bab tujuh)

Tidak hanya itu, penulis yang telah menerbitkan puluhan buku tentang pemikiran dan peradaban islam ini secara gamblang menyajikan praktik “abu-abu” dalam dunia liberalisme. Peta percaturan pemikir global dan LSM-LSM barat yang menyerbu islam secara lugas dipaparkan di buku ini. Meskipun novel termasuk karya fiksi, tetapi tidak mempengaruhi gambaran bagaimana kaum liberalis mempraktikkan dan menjajakan produk-produk “isme-ismenya” ke ranah pendidikan islam.

Adian Husaini sangat lihai mengolah logika dalam wacana pemikiran Islam klasik-kontemporer yang merupakan dua poros berbeda, seperti yang tampak pada karakter tokoh Kemi dan Rahmat. Menyelami novel ini tidak jauh berbeda dengan membaca buku ilmiah. Logika yang dibangun dalam dialognya memang terkesan “provokatif” (utamanya mengenai gender) ketika dihadapkan pada khazanah pemikiran kontemporer, akan tetapi disinilah juga letak kelebihan novel ini karena si penulis juga menyetir pemikiran pembaca untuk tetap berada pada keyakinan islam yang sebenarnya.

Banyak kecacatan yang saya temukan dalam buku ini pada aspek kesalahan ketik dan penempatan titik koma. Meskipun tidak banyak akan tetapi sangat mengganggu karena menyangkut nama atau lembaga. Misalkan: Pak Mailkan (hal. 160), Unternet, serta dalam kalimat “Rahmat itu adalah pesantrennya.” tak sempurna (hal.299). Lebih parah lagi nama Kiyai Amin “tertukar” dengan nama Kiyai Rois (hal.295). Kesalahan-kesalahan semacam ini menunjukkan bahwa penulisan novel ini terkesan tergesa-gesa.

Kendati demikian, Novel ini tetap meneguhkan daya tarik luar biasa! dengan gaya tutur yang khas dan alur cerita yang “fantastik” dapat membawa pembaca ke alam ilmiah dan berimajinasi mengenai kondisi yang benar-benar menjadi tantangan umat Islam—dengan setting kota metropolitan, Jakarta. Pembaca akan memperoleh wawasan tentang otentisitas khazanah keilmuan ulama Islam klasik yang terdapat dalam karya-karyanya, dengan “permainan” logika yang rasional. Novel ini bagus untuk dikoleksi muslimin sebagai “acuan ringan” untuk membentengi iman dari pemikiran-pemikiran yang saat ini banyak menggerogoti identitas dan keabsahan Islam kita. Wallahu a’lam.

Friday, February 11, 2011

Mahkota itu Bernama Kelembutan

Gerakan feminisme sampai saat ini tidak pernah habis diperbincangkan. Era globalisasi menjadi justifikasi atas maraknya diskursus tentang kesetaraan gender. Sains dan teknologi menyuguhkan dimensi baru bahwa sudah selayaknya perempuan keluar dari nilai dan norma yang selama ini hanya terbatas pada ranah domestik, melayani suami dan mengurus anak; sudah selayaknya dikotomi antara laki-laki dan perempuan dalam ranah publik harus segara diakhiri. Demikian sublimasi pemikiran yang dibingkai dengan gerakan oleh kaum femenisme.

Namun begitu, terdapat paradigma yang kurang etis tatkala para “pejuang” perempuan menggembar-gemborkan emansipasi wanita dengan menjunjung tinggi kesetaraan gender. Gerakan feminisme sebenarnya hanyalah semakin menampakkan kelemahan perempuan dari segala sisi. Hak dan kewajiban mereka di bawah kasta laki-laki.

Kelemahan yang selama ini menjadi stigma negatif perempuan memojokkannya dalam ranah ketidakadilan. Padahal, dibalik “kelemahan” itu tersimpan kelembutan yang tidak pernah dimiliki oleh laki-laki mana pun. Kelemah-lembutan (lemah dan lembut) perempuan itulah yang menunjukkan eksistensi dirinya.

Laki-laki amat membutuhkan pada kelembutan seorang perempuan sebagai tempat untuk menuangkan segala rasa. Kebutuhan inilah yang membuat Adam memerlukan kehadiran manusia lain selain dirinya untuk bisa diajak berbagi. Lalu, Adam memohon kepada Allah agar membuatkannya pendamping hidup. Allah mengabulkan permintaan itu dan terciptalah perempuan pertama kali yang diambil dari tulang rusuk Adam sendiri, yakni Hawa. Bagi saya, tulang rusuk merupakan ilustrasi bahwa laki-laki dan perempuan tidak dapat dilepaspisahkan dalam menapaki terjalnya kehidupan.

Peran dan fungsi perempuan tidaklah bisa dihapus oleh bayangan laki-laki. Berada dalam ruang domestik bukanlah hal yang mudah. Perempuan membutuhkan ketajaman pikiran, tenaga, serta emosi untuk mengatur stabilitas dan keharmonisan rumah tangga. Dalam pandangan filsafat, perempuan dianalogikakan sebagai ruh, sedangkan laki-laki adalah jiwanya.

Peran yang seringkali disepelekan oleh perempuan (feminisme) sendiri adalah mengurus dan mendidik anak. Mereka menganggap mendidik anak adalah urusan sepele. Semua bisa mengurusnya. Padahal tidak. Laki-laki tidak akan bisa mengantikan peran perempuan karena laki-laki tak pernah memiliki kelembutan seperti yang dimiliki olehnya.

Aristoteles mengatakan bahwa perempuan bersikap pasif dan representatif, sementara pria aktif dan produktif. Karenanya, Aristoteles yakin bahwa semua sifat anak terkumpul lengkap dalam sperma laki-laki. Laki-laki menyediakan “bentuk” sedangkan peempuan menyediakan “substansi”. Demikian juga sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 223, Allah berfirman: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki…”. Jika laki-laki memiliki otoritas penuh atas perempuan, maka perempuan memiliki otoritas penuh untuk mengatur pertumbuhan sifat-sifat laki-laki yang akan diturunkan pada anaknya; mengatur perkembangan fisik, otak, dan karakter anak. Disinilah peran dan fungsinya tak pernah bisa tergantikan karena laki-laki tidak pernah bisa menandingi kelembutan yang dimiliki oleh perempuan.

Perempun harusnya berpikir lebih etis lagi bahwa peran dan fungsinya amat signifikan untuk melahirkan manusia yang khairu ummah, sebaik-baiknya manusia. Menjadi ibu rumah tangga lebih mulia dari kedudukan apa pun. Kelembutan yang dimiliki oleh perempuan telah mendudukkannya pada singgasana kemuliyaan. Itu sebabnya mengapa Rasulullah ketika ditanya oleh seorang sahabat tentang orang yang harus dimuliakan, beliau menyebutkan nama “ibumu” sampai tiga kali, kemudian “ayahmu”. Dan, surga itu bukan berada di kaki ayah, tetapi berada di bawah kaki ibu.

Jadi, “kelemahan” perempuan bukanlah cela, melainkan sebuah mahkota. Rumah tangga yang dibina dengan baik adalah embrio lahirnya bangsa yang baik pula. Yang paling dibutuhkan adalah pemberdayan kualitas diri untuk menjadi orang yang paling berarti dalam hidup ini. Domestik bukanlah penghalang untuk mewujudkan semua itu. Saya sempat berpikir, sendainya perempuan sadar akan ruang dan geraknya pasti tidak akan pernah merasakan keterbelakangan dan terbuang dari publik. Ah, seandainya bukan seandainya.