Friday, March 6, 2009

Prasasti luka

Cerpen;Fandrik Hs Putra
Aku tak tahu hari ini apakah yang terjadi pada jiwa ini. Selayaknya hal itu menjadikanku terbelenggu dalam dekapan kegelisahan. Awalnya aku rasa hanya sebuah luka yang berkubanga sekian tahun. Namun, kali ini menjadi sebuah penyakit, ya! Penyakit yang bersarang di batok kepalaku. Seperti benalu, menempel dan menghisap darah, hingga diriku takut pada waktu dan masa lalu.
Sepertinya kau menyisakan sesuatu di hidupku. Entehlah, masih cukup tabu untuk aku pahami. Dalam iringan malam, di sunyi yang mencekam, aku tak pernah bisa bersikap selayaknya seperti manusia normal. Aku berpikir, sudah stadim berapa aku ini?. Mengapa hari-hariku sulit aku gerakkan, padahal aku adalah motor ragaku. Penggerak dari apa yang harus digerakkan.
Aku hanya bisa diam di saat purnama membelah malam. Keindahan tak dapat lagi aku rasakan sebagai penyejuk hari yang lelah selepas mengindahkan hidup yang berlalu. Seperti bunga yang merundukan kumbang, hingga larut dalam kelayuannya sendiri. Tanpa ada satupun yang menyala dalam secerhah harapannya. Layu. Beku.
Secarik dalam kertas putih itu bisa aku baca meski sebagian telah lusuh. Namun mata ini terus mencoba memahami kata demi kata yang tertulis sebagai prasasti cintaku. Mencoba menafsirkan bekas luapan dari bibir mungilmu. Dari tuluisan itu, bayangan wajahmu kini nampak buram, tidak seperti pertama kalinya aku mendapati surat itu darimu.
Aku bingung, mengapa penafsiranku kini berubah terhadap surat itu. Padahal, dulu tidak demikian. Apakah dulu aku menafsirkannya dalam kubangan emosi yang menengelamkanku pada ketidak percayaan. Aku terkurung di dunia dimensi. Dunia yang cenderung selalu berubah–ubah. Sungguh setan sangat lihai sekali memanfaatkan perasaan manusia.
Aku paham dalam ketidak normalanku; angan aku lemparkan sejauh mungkin sampai aku mendapatkan sketsa kepedihan itu. Aku sebenarnya menolak memasuki lagi lorong yang sudah aku anggap tetutup itu. Bagiku itu hanya sebatas angin di musim cinta Namun, lagi-lagi gemuruh cinta ini memberontak dan menghardikku agar menelusuri pemaknaanmu lebih jauh.
Surat itu masih aku pegang. Yang sebagian sudutnya sudah termakan waktu. Maksudku, termakan rayap, namun tak seberapa parah. Tidak sampai menghilangkan keutuhan pesan yang tertuang dalam prasasti cinta itu.
Surat itu masih aku pegang. Mataku meliuk-liuk mengikuti arah dari setiap pena yang membentuk kata. Aku bukan hanya mengeja huruf demi huruf itu. Bahkan aku mengikuti setiap jalannya tinta yang membentuk huruf itu tanpa putus-putus. Ya! Aku ingin memahami pesanmu melalui tinta itu. Aku takut jika hanya memahami tulisan itu dari luarnya saja, aku semakin tak terarah berjalan di atas normalku.
Surat itu tetap ada di tanganku. aku gemetar, seluruh saluran darah ambrul dan tak terkendali seperti banjir yang terjadi akhir-akhir ini. Jiwaku tak dapat memahami, degupan jantungku tak lagi berirama dengan indah. Aku tak bisa memahami pesan kalimat terakhir dan juga sebagai penutup yang tertulis di prasasti cinta kita. Kalimat itu berbunyi ”pahamilah dengan hatimu”.
“sebelum aku menunggu?”ucapku datar.
Guluk-guluk 2009

0 comments: