Monday, December 26, 2011

Lan Fang; Seraut Kenangan

Tulisan ini adalah serangkaian tulisan saya tentang Lan Fang; Tak Disangka Bertemu Dengan Lan Fang, Lan Fang: Annuqayah Adalah Rumah Kedua, dan Catatan Parade Cerpen untuk Sanie B Kuncoro di Jawa Pos, yang saya coba kumpulkan menjadi satu tulisan dengan penyelarasan yang seperlunya.

***
Saya termasuk orang yang terlambat mendengar kabar kematian sastrawan Lan Fang. Ketika ia meninggal dunia bertepatan dengan hari Natal 2011, di Rumah Sakit Mount Elisabeth Singapura, Minggu siang, ketika seluruh umat kristiani merayakan hari Natal. Saya baru mendengar kabar itu dari teman setelah solat maghrib.

Saya tidak lantas memercayainya. Mengapa Rumah Sakit Mont Elisabeth Singapura? Padahal lima hari lalu saya mendapat kabar kalau ia akan dirujuk ke Ghuangzou, Tiongkok. Saya pastikan kebenaran kabar itu via facebook. Ternyata, seluruh teman-temannya sudah meletupkan duka cita di jejaring sosial itu. Tak terkecuali mbak Wina Bojonegoro sahabat dekatnya.

Kesedihan bersesak. Kehilangan berurai air mata, ketika saya membaca catatan yang ditag oleh Mbak Wina. Saya sangat merasakan betul tentang rasa kehilangan yang dirasakan olehnya dan oleh para sastrawan lainnya. Saya merasa tidak seberuntung Mbak Wina—meski keberuntungan itu terasa menyakitkan—karena sempat menemaninya berjuang di masa-masa kritis hingga menjelang kematian.

Ketika sudah tiada, waktu saya sadari berjalan cepat. Saya bertemu dengannya ketika ia diundang untuk membedah novelnya Ciuman Dibawah Hujan, pada moment Festifal Cinta Buku III (FCB) Instik Annuqayah, kampus saya, bulan Maret lalu. Saya sempat mencatat luapan kegembiraan saya ketika bertemu dengannya. Begini ceritanya.

Setelah selesai Solat Jumat (20/5), saya langsung turun dari Masjid Jamik Annuqayah menuju kantor Sekretariat Bersama PP Annuqayah yang terletak di simpang tiga jalan menuju kampus, tepatnya sebelah utara Madrasah Ibtidaiyah (MI) Annuqayah. Saya sengaja cepat-cepat turun dari masjid karena harus mengerjakan dan menyelesaikan satu tulisan untuk rubrikasi pada buletin yang akan diterbitkan oleh Biro Publikasi, Informasi dan Kepustakaan, PP Annuqayah.

Siang itu, terik matahari menyengat ubun-ubun. Saya mempercepat langkah agar segera menyelesaikan tulisan sebelum saya menghadiri acara bedah buku Ciuman Dibawah Hujan di Auditorium As-Syarqawi. Bagi saya, menghadiri bedah buku itu adalah wajib, karena saya sangat senang dengan karakter tulisannya.

Saking terburu-buru, badan saya mandi keringat. Untung saya memakai dua pakaian: kaos lengan panjang dan baju koko yang semuanya berwarna cokelat, sehingga keringat yang keluar dari punggung, dada, dan (maaf) ketiak saya tidak kelihatan. Hanya, wajah saya saja yang ketahuan banjir keringat.

Pada jarak kira-kira 25 meter dari simpang tiga itu, saya melihat seseorang yang tengah duduk di pingir jalan, di bawah gedung Madrasah Ibtidaiyah Annuqayah. Saya mengamati orang yang menyandang tas kecil dan di sampingnya ada dua kresek berwarna merah besar yang saya tidak tahu apa isinya.

Lho, bukankah orang itu adalah Lan Fang? Kata saya mereka-reka. Baru pada jarak yang cuma 10 meter, saya bisa memastikan bahwa orang itu adalah Lan Fang, penulis novel Ciuman Dibawah Hujan. Saya pun heran melihatnya, toleh kanan toleh kiri, seperti orang yang sedang kebingungan.

Mengapa dia berada di sini? Pertanyaan kedua muncul. Akhirnya saya memberanikan diri menyapanya. Siapa tahu orang yang jauh-jauh datang dari Surabaya itu butuh bantuan.

Sampeyan, Mbak Lan Fang, kan?” sapa saya. Saya tahu, dia biasa dipangil Cece Lan Fang di sini. Tapi karena saya sedikit gugup, ya, yang keluar bukan “Cece” tapi “Mbak”.

“Lho kok tahu. Kamu siapa?” dia malah balik bertanya.

Langsung saja saya jawab. ”Saya adalah orang yang sangat suka pada karyanya mbak. Mbak lagi nunggu siapa?” tanyaku lagi.

“Saya nunggu Neng Ovie (Shofiah A. Win). Adik tahu, rumahnya Neng Ovie?”

“Tahu, Mbak. Apa k perlu saya antar ke dhelem beliau?” Saya menawarkan diri.

“Oh, kalau begitu mari tolong saya antarkan ke rumahnya Neng Ovie,” katanya langsung berdiri.

Wah, tawaran itu sangat menyenangkan hati saya. Betapa tidak, dia adalah orang ke dua yang tulisannya sangat saya sukai setelah mas Seno Gumira Aji Darma. Langsung saja saya sambar kedua kresek yang ada di sampingnya.

Lalu, saya terlibat remeh-temeh pembicaraan dengannya dan menanyakan kenapa dia berada di sini—seperti orang yang sedang kebingungan—kenapa kok tidak langsung saja ke tempat acara. Ia menjawab Travell yang ia tumpangi menumpahkannya di simpang tiga toko ABC (Annuqayah Business Centre). Alasan supirnya, jalan ke kampus yang tinggal kurang lebih 200 meter bukan rutenya lagi. Maklum, meski jalannya beraspal, jika dimasuki mobil hanya bisa dipakai satu arah.

Begitulah, dalam perjalanan, saya banyak bertukar cerita seputar dunia kepenulisan. Saya juga mengatakan kalau saya adalah penikmat tulisan-tulisannya. Ia tersipu-sipu. Dari sinilah pertemanan saya dengannya dimulai.

Komunikasi saya dan Lan Fang semakin terjalin. Usai mengisi acara bedah buku, saya berkesempatan untuk mewawancarainya untuk dimuat di blog annuqayah www.annuqayah.blogspot.com.

Kedatangannya ke PP Annuqayah kala itu adalah yang ke tiga kalinya. Sebelumnya ia pernah mengisi workshop kepenulisan yang diadakan oleh Madaris 3 PP Annuqayah (29/07/2010) serta pada pelatihan menulis fiksi dalam lanjutan kegiatan karantina menulis PPA Lubangsa Putri (05/02/2011).

Dia banyak berkomentar tentang Annuqayah. Ia mengatakan bahwa Annuqayah adalah rumah keduanya. Bukan tanpa alasan perempuan yang mengaku telah menekuni karir di dunia kepenulisan sejak tahun 1986, mengatakan demikian. Ia sangat tersanjung atas sambutan orang-orang pesantren yang sangat ramah. Di samping itu, ia juga sudah sangat berteman baik dengan K Faizi, Neng Ovie, Gus Mamak, dan keluarga mereka.

“Pesantren di sini sangat bagus. Nilai-nilai kepesantrennya sangat terjaga seperti akhlakul karimah. Berani bersikap terbuka dengan dunia luar selama tidak merusak nilai-nilai kepesantrenan. Saya merasa nyaman di sini,” katanya.

Perempuan kelahiran Banjarmasin, 5 Maret 1970, menilai bahwa animo santri untuk menulis sangat besar. Tetapi dari sisi kuantitas tersebut, ternyata kualitas tulisan mereka masih jauh di bawah rata-rata. Menurutnya, kerendahan kualitas itu dikarenakan kurang menjiwai dan merenungi terhadap apa yang ditulisnya.

“Kebanyakan penulis sekarang memang maunya yang instan, ingin cepat-cepat menyelesaikan tulisannya. Padahal dalam menulis itu perlu banyak mengali gagasan-gagasan yang diikuti dengan sebentuk perenungan, apakah tulisan itu sudah menjawab inti persoalan yang akan diangkat,” tuturnya dengan semangat.

Lantas dia mencontohkan pada perayaan ulang tahun Indonesia-Tionghoa (Inti) tahun 2008. Lomba menulis cerpen se-Jawa Timur adalah salah satu bagian dari perayaan itu. Kebetulan, ia yang menjadi jurinya. Lan Fang kaget, ternyata naskah cerpen yang banyak masuk dari kabupaten Sumenep. Namun, dari sekian ratus naskah yang masuk itu tidak ada satu pun yang lolos seleksi dan menjadi juara.

“Tetapi ketika mereka mengekspresikannya dalam bentuk fisik, misalkan teater dan baca puisi, performanya top banget. Mereka bisa sangat menjiwainya. Bahkan hati saya juga tersentuh ketika menontonnya. Contohnya, pada perayaan Festifal Sastra Surabaya (FSS) 2010. Dalam teater dan baca puisi, pemenangnya didominasi oleh orang-orang sini (Madura),” ungkapnya panjang.

Saya pun semakin akrab, sering berkomunikasi via facebook. Banyak hal yang dibicarakan, terutama tentang dunia tulis menulis. Ibu dari tiga anak kembar itu tidak sungkan-sungkan berbagi ilmu dengan menjawab beberapa pertannyaan saya seputar kepenulisan. Bahkan saya sempat menawarkan kepadanya untuk bersedia menjadi editor novel pertama saya, Asmara Dibalik Asrama. Dia tidak mau. Katanya terlalu banyak pekerjaan.

Pada suatu kesempatan, saya memposting cerpen saya yang ditahbiskan sebagai juara pertama pada event FCB III itu. Judulnya Ziarah. Lan Fang adalah salah satu orang yang di-add dalam catatan itu. Ia banyak berkomentar bahwa tulisan saya kurang ini dan itu, tetapi dari penceritaan dan pesan moral yang diangkat sudah bagus. Katanya, “pantaslah cerpen ini ditahbiskan sebagai pemenangnya.”

Saya semakin bersemangat untuk menulis. Memperbaiki beberapa kesalahan dan yang terlupakan ketika merangkai kata, sesuai dengan apa yang diajarkannya.

Pada suatu kesempatan dikemudian hari pada akhir bulan Mei, saya diajak turut serta berpartisipasi pada kegiatan yang ia gagas, yaitu Parade Cerpen Untuk Sanie B Kuncoro di Jawa Pos. Mbak Sanie adalah seorang sastrawan yang divonis mengidap penyakit kangker payudara sejak awal tahun 2011. Maka kemudian terpilihlah orang-orang yang akan ikut pada parade cerpen itu: Lan Fang, saya, Wina Bojonegoro, dan Musa Hasyim, santrinya KH Salahuddin Wahid, Tebu Ireng Jombang.

Pada awal bulan Juli, parade cerpen itu dimulai. Diawali dengan Bai She Jing cerpen Lan Fang (10/07), Cerita Panjang di Sebuah Kereta cerpen Musa Hasyim (17/07), Kubah cerpen Fandrik Ahmad (31/07), Lelaki Berbulu Cerpen Wina Bojonegoro (06/08), dan sebagai penutup Kembang Pepaya Cerpen Sanie B Kuncoro.

Bulan Ramadhan, Tanggal 17 Agustus 2011, saat mudik ke Jember, saya menyempatkan diri mampir di rumahnya, di perumahan Pondok Maspion Ea 11 Pepelengi, Waru, Sidoarjo. Itulah saya datang ke rumahnya pertama kali. Disamping bersilaturrahmi, saya ingin mengambil kumpulan cerpen mbak Sanie B Kuncoro sebagai cindera mata untuk saya yang dititipkan kepadanya. Oh, ya, kala itu saya juga membawa titipan 15 batik dari Neng Ovie. Kata beliau batik itu memang pesanan Lan Fang.

Cukup lama saya berada di rumahnya. Dari jam 11.00-17.00 WIB. Sehingga pertemanan saya dengan ketiga anak kembarnya; Vajra Yeshie Kusala, Vajra Virya Kusala, dan Vajra Vidya Kusala terjalin dengan baik. Mereka sangat ramah dan mudah bergaul. Saya tidak banyak berbicara dengan Lan Fang. Setelah saya datang, ia langsung keluar membawa batik itu. Katanya untuk dibagi-bagikan sebagai hadiah menjelang lebaran. Namun, sebelum ia keluar rumah, dia memberikan saya tiga bungkus kopi bubuk yang kemudian saya bawa pulang sebagai oleh-oleh untuk keluarga dan sebagai pengantar cerita perihal kunjungan saya ke rumahnya.
Dari ketiga anaknya, saya paling dekat dengan Koko, bocah tergemuk dan terpendek diantara dua saudaranya. Bahkan, saya diajak berkenalan dengan ayam-ayam piaraannya. Saya diajari tentang macam-macam ras ayam; nama-nama ayam, dari negara apa, dan hasil kawin silang dengan apa, dlsb. Kami terlibat tawa ceria ketika ayam-ayamnya diuber-uber oleh kucing piaraannya sendiri. Setelah itu, giliran saya yang mengajarinya tentang bagaimana caranya menyetek bunga. Waktu itu saya mencontohkan dua bunga mawar beda warna, merah dan kuning, yang dijadikan satu.

Pertemuan kedua saya dengan alumnus Fakultas Hukum Universitas Surabaya (UBAYA) jatuh pada hari Jumat sore tanggal 09 September 2011 Pukul 15.45 WIB. Lagi dan lagi. Ketiga anaknya menyambut saya dengan sangat gembira. Kesan yang sangat tidak akan saya lupakan.

Sepuluh menit kemudian, Musa Hasyim, santri asal Tebu Ireng, Jombang itu tiba pula di rumah Lan Fang. Setelah melaksanakan solat Ashar, kami bertiga langsung menuju kantor redaksi Jawa Pos, Jl. A. Yani lt.4 Surabaya. Menurut Lan Fang, pak Budi Dharma dan Mbak Sanie sudah menunggu kami di sana. Mendengar nama pak Budi disebut, ada kebanggaan tersendiri bagi saya, karena akan bertemu dengan begawan sastra sekaligus Guru Besar Emeritus di Universitas Surabaya. Kami sempat pose bersama dengan pak Budi sekaligus memamerkan cerpen-cerpen kami yang tergabung dalam parade cerpen tersebut.

Setelah prosesi penyerahan donasi cerpen, kami sempat berkunjung ke kantor redaksi tabloid Nyata. Ditemani pak Siswadi, kami bermusyawarah bagaimana melanjutkan parade cerpen itu. Lan Fang mengusulkan agar parade itu dilanjutkan kembali di tabloid Nyata dengan format yang berbeda, misalkan satu judul yang sama tentang perempuan. Entah bagaimana caranya, hal ini belum menuai kesepakatan. Tetapi pada intinya, ia menginginkan agar nantinya cerpen-cerpen dalam parade itu dibukukan menjadi semacam antologi atau booklet. Karena waktu yang sudah terlalu malam, musyawarah hanya mentok di situ tanpa menghasilkan satu kesepakatan pun.

Tidak hanya itu, di di depan kantor redaksi tabloid Nyata, satu lantai di bawah kantor Jawa Pos, saya, Lan Fang dan penulis lainnya masih narsis-narsisan, jeprat-jepret dengan berbagai pose sebelum kami keluar Graha Pena.

Pukul 19.08 WIB, kami sudah berada di depan Graha Pena. Mbak Wina dan Mbak Sanie mohon pamit. Musa Hasnyim dengan temannya ke Royal Plaza. Tinggal saya dengan Lan Fang. Ia menawarkan apakah langsung tolak ke Madura atau mau menginap di rumahnya. Karena dimungkinkan Jam dua belas malam saya baru sampai di pondok, saya memilih menginap di rumahnya saja.

Esok hari, pukul enam pagi, saya pamit pulang kepada pembantunya. Namun ia tak mengizinkan karena Lan Fang masih tidur. Saya disuruh menunggunya bangun. Sampai jam setengah tujuh Lan Fang dan ketiga anaknya masih belum bangun. Saya pulang ketika mereka masih terlelap.

Ketika sampai di halaman rumahnya, ketiga anaknya yang sedari tadi masih tidur, bagun terburu-buru. Berhamburan keluar menyalami saya. Saya pandangi wajah mereka satu-satu. Lucu sekali: mata mereka merem melek dengan rambut acak-acakan.

“Kapan-kapan kembali lagi ya, kak. Aku masih ingin bermain lagi dengan kakak,” kata dik Koko. Saya hanya menjawab dengan senyuman serta mengucek kepalanya.

Memasuki penyebrangan Tanjung Perak-Kamal, isyarat pesan masuk berbunyi. Lan Fang, “maaf drik, saya tidak bisa mengantarkanmu ke terminal. Semalaman saya capek.” Saya balas, “tidak apa-apa ce, justru saya yang meminta maaf karena tidak menunggu cece bangun.”

Sebulan setelah itu, K Faizi mengabarkan kalau ia sedang sakit. Karena khawatir akan kesehatannya, saya mengirim SMS, “ce, bagaimana kabarnya? Katanya cece sakit?” Tak lama kemudian balasan itu datang, ”ah, tidak apa-apa, cuma pusing karena kecapean, dibawa istirahat sudah pada sembuh.” Saya lega. Saya bisa terima alasan itu karena yang saya ketahui saat mengunjungi rumahnya, ia sepertinya orang yang super sibuk. Kesimpulan saya, wajar bila demikian.

Tanggal 20 Desember 2011, sepulang acara Workshop di Universitas Jember, saya mendengar kabar dari Mbak Wina via facebook kalau Lan Fang akan diberangkatkan besok (21/12) Ke Ghuangzou untuk dioperasi. Saya terkejut, kenapa harus ke luar negeri? Apa sakitnya parah? Ini sayang saya klarifikasi kepada mbak Wina bahwa ternyata ternyata ia menderita penyakit kanker liver, katanya (namun media menyebutkan kalau ia Menderita kanker payudara. Entahlah dimana yang benar).

Seandainya saya tahu sehari sebelum tanggal 20 Desember kalau Lan Fang sakit, saya pasti menyempatkan diri berkunjung ke rumahnya. Sungguh, ini yang saya sesalkan.

Hingga sampai pada hari kelima, ketika semua umat kristiani merayakan hari Natal, penulis yang kerap memenangkan lomba yang diadakan oleh Femina itu menutup mata untuk selamanya. Semua masyarakat sastra merasa kehilangan salah satu penulis terbaiknya. Ya, Meski Lan Fang masih tergolong penulis yang muda (41), karya-karya yang dihasilkan sangat banyak. Baik cerpen, prosa, dan novel.

Saya ingat betul ketika ia menggagas parade cerpen untuk kesembuhan mbak Sanie agar perempuan penderita kanker payudara itu tetap bersemangat menjalani hari-harinya. Namun, Tuhan memiliki cerita lain. Sebagaimana diberitakan di media, ternyata Lan Fang juga menderita penyakit ganas tersebut. Apakah karena ini alasannya untuk menggagas parade itu? Sama-sama menderita penyakit yang ia derita.

Saya sangat berhutang budi kepadanya. Ia telah sedikit banyak menularkan ilmunya kepada saya. Bukan hanya ilmu sastra, tetapi juga ilmu-ilmu sosial. Lan Fang telah mengorbitkan saya bagaimana menjadi penulis yang peduli terhadap sesama. Saya pernah mengatakan kepadanya,”ce, saya sangat bangga sekali tulisan saya bisa "sedikit" berarti kepada semangat hidup orang lain. dan ini adalah yang terindah dalam sejarah kepenulisan saya.” Ia mengatakan, “like!”

Dialah guru sastra saya. Saya akan berusaha mengumpulkan seluruh karya-karyanya. Kemudian saya akan mempelajari dan meniru bentuk karakter tulisannya, agar saya merasakan kalau Lan Fang tetap hidup dalam tulisan-tulisan saya.

Selamat jalan, Ce. Selamat jalan bersama ajaran agamamu di alam sana. Saya akan selalu merinduimu. Terima kasih atas semuanya. Saya akan berusaha menjadi penulis yang cece inginkan.

Annuqayah, 27 Desember 2011

Saturday, December 24, 2011

Punk Rock Jalanan

(Majalah Hijrah, Edisi II Desember 2011)

Pekikan gitar menggema. Suara sumbang membahana dalam gerbong. Beberapa penumpang memberikan uang receh saat kusodorkan sebungkus Mie Sedap kosong. Kutelusuri gerbong-gerbong itu penuh semangat. Tak lupa seutas senyum aku haturkan pada mereka.

Saat kepala kereta api yang memanjang nampak semakin membesar memasuki stasiun, aku, si pengamen tetap di stasiun Kalisat, bersiap diri menghibur penumpang dengan gitar kecil. Berdiri di sisi jalur 1 atau jalur 2. Pengamen tetap adalah sebutan untukku sendiri tanpa ada pengakuan dari orang lain. Di stasiun itu tak ada pengamen legal atau pengamen kontrakan. Tidak. Semua tak ada. Aku katakan demikian karena aku tak pernah mencoba mengadu nasib di tempat lain; di Mall, di Kafe, atau di pasar-pasar sekalipun. Suara dan petikan gitarku hanya menggema di sekitar gerbong dan peron stasiun itu.

Jangan kira aku tidak terkenal. Orang-orang sudah banyak yang mengenaliku. Si Mattahli, dua puluh tahun menjadi pengamen di stasiun Kalisat. Tapi, jangan kau tanya siapa saja, aku ragu menjawabnya. Bukan aku tidak tahu, mereka juga bukan tak tahu siapa aku. Mereka tahu hanya tak mau tahu, karena aku hanya pengamen sebuah stasiun, bukan “pengamen” televisi.


Kereta api gaya Sri Tanjung jurusan Banyuwangi-Yogyakarta sudah berhenti di jalur 2. Beberapa penumpang naik-turun dari gerbong itu. Suara riuh bercampur aduk. Ada yang menjemput, ada yang melepas. Orang-orang berebut menawarkan jasa tranportasi. Dari abang becak sampai supir taksi.

Aku belum berani masuk ke dalam untuk menghibur para penumpang. Aku masih menunggu masinisnya keluar dari kepala kereta. Bukannya aku takut dimarahi, bukan pula takut kena pidana. Aku menunggunya hanya bermotif persahabatan. Ya! Aku selalu menunggu masinis kereta itu keluar dan melambaikan tangan padaku. Maka, barulah aku beraksi menghibur para penumpang. Kebiasaan ini sudah aku lakukan sejak dua puluh tahun yang lalu.

Penumpang yang naik-turun sudah kelihatan sepi. Masinis yang aku tunggu-tunggu baru keluar disertai dengan lambaian khasnya. Segera aku balas lambaian itu berikut dengan senyum renyahku. Kewajiban telah kutunaikan. Aku persiapkan gitar, sebelum langkah pertama ditegakkan. Segera aku menyisir gerbong-gerbong itu.

Secepat kilat kakiku melompat ke dalam gerbong. Wajah-wajah lelah sudah biasa aku temui. Aku berdiri di muka layaknya pramugari di pesawat terbang, tepatnya di tengah-tengah pintu gerbong. Tak pernah lupa kuberikan kata sambutan sebelum memetik gitar sembari berdendang. Mereka merupakan mutiara hidupku. Rejeki yang dititipkan Tuhan.
Sebuah lagu yang masih sangat terbilang populer kunyanyikan. Alamat Palsu meluncur dari suara sumbangku.

Tiba-tiba, memasuki pertengahan lagu, bocah yang duduk di depanku mabuk. Ia muntah. Sepatu bututku belepotan dengan muntahannya. Menjijikkan. Sempat aku berhenti berdendang.


“Maafkan anak saya mas,” ungkap ibunya cemas.

“Tak apa, bu,” ucapku ramah. Ia itu tersenyum.

Segera kembali kupetik gitar. Ke sana ke mari membawa alamat…

Usai bernyanyi, kukeluarkan plastik bungkus Mie Sedap dari dalam kantong. Kuulurkan pada mereka. Berharap ada logam yang jatuh. Tak banyak memang, juga tak sedikit yang bersikap tak acuh dan memalingkan muka saat menyodorkan “dompetku”. Yah! Itu biasa. Aku tak mempermasahkannya. Tujuan utamaku adalah untuk menghibur. Perkara urusan uang, itu efek samping dari apa yang kukerjakan.

Satu gerbong, satu lagu dihargai 5.100 rupiah. Lumayan juga. Lebih dari cukup untuk sekali mengganjal perut. Dalam satu kereta, aku hanya bisa memetik gitar di dua gerbong saja. Aku sudah memperhitungkan waktu yang aku punya. Untuk penumpang dan untuk masinisnya.

Aku tak pernah absen meluangkan waktu menghibur kepenatan masinis. Untuk yang satu ini, aku tak menyodorkan apa-apa. Berikhlaskan diri. Aku tahu, betapa berat menjadi seorang masinis. Disamping jarang pulang berbaur dengan anak dan istri, ia juga “menanggung” ratusan bahkan ribuan nyawa manusia.

Seperti biasa. Lagu-lagu lawas selalu menjadi pilihan utama mereka. Katanya, lebih mengasyikan dari pada lagu-lagu band, koplo, atau pun lagu disco. Saat aku menyanyi sembari memetikkan gitar, terpancar rona kebahagiaan di wajah mereka. Mereka yang rindu pulang.

Aku melompat dari atas lokomotif. Seutas senyum kuberikan sebagai bekal perjalanan. Kereta api melaju kembali. Di peron, lambaian tanganku mengiringi kepergian mereka. Selamat jalan kawan!

Aku melangkah menghampiri seorang gadis yang tengah duduk sendirian. Yang sempat aku tinggalkan barang sejenak. Yang selalu menungguku di peron paling utara, di bawah jam dinding stasiun kala aku bertugas memainkan gitar. Gadis yang telah menemaniku sejak empat belas tahun yang lalu. Umurnya kira-kira lima tahun lebih muda dariku.

“Coba tebak, aku dapat berapa?” kataku.

“Sembilan ribu tujuh ratus?” cetusnya tanpa ragu.

“Ya, tepat sekali!” Seutas senyum terurai dari bibirnya yang kusam.

Oh, ya! Delia nama gadis itu. Bagus kan untuk ukuran nama gadis stasiun macam dia. Ia baik, peramah, pemurah, dan satu lagi, ucapannya selalu menghiburku. Kedua matanya tak bisa melihat. Tapi ia tak tampak seperti gadis buta. Kecantikannya tak berkurang. Tatapannya tajam meski baginya terasa kosong. Delia tak pernah mempermasalahkan kekurangannya. Ia selalu optimis. Katanya, tak punya mata sungguh lebih baik dari pada tak punya hati. Buktinya, dia bisa menebak berapa banyak hasil uang yang aku dapat.

Empat belas tahun yang silam, aku menemukan Delia kecil kehujanan di sisi stasiun. Menangis. Pakaiannya basah. Aku tanyakan mengapa menangis, ia tak menjawab. Aku tanyakan asal-usulnya, ia juga tak menjawab. Akhirnya, aku menyerah. Aku duduk di sampingnya, tanpa memperdulikan keberadaannya.

Sambil menunggu Kereta Api dari Surabaya yang akan tiba setengah jam lagi, aku lebur bersama permainan gitarku. Kupetik benang-benang itu dengan gemulai. Kulantunkan lagu sendu sebagai pengiring turunnya hujan.

“Suaramu bagus,” kata Delia memujiku.

“Kata orang suaraku hancur. Yang bagus itu petikan gitarku,” aku mengelak.

“Tidak! Suaramu yang bagus,” katanya lagi.

“Terserahlah. Toh, suara gitar dan suaraku saling melengkapi.”

“Maukah kau menyanyikan sebuah lagu untukku?” pintanya.

“Lagu apa?”

“Terserah. Aku hanya ingin kau bernyanyi untukku.”

“Tapi sebelum aku menyanyi, maukah kau menjawab satu pertanyaanku?”

“Jika tidak memberatkan.”

“Mengapa kau berada di sini?” ucapku.

“Aku suka bunyi Kereta Api,” katanya tanpa beban.

Cerita masa lalu mengalir dari mulutnya. Kakeknya adalah seorang masinis. Meskipun jarang berada di rumah, setiap kakeknya usai bertugas, ia selalu mendapat oleh-oleh. Tapi, kakek yang tiap kali tiba di rumah dan selalu memakaikan topi masinis ke kepalanya, sudah tiada lagi. Dua bulan yang lalu, kakeknya meninggal dunia.

Delia sangat terpukul. Kehilangan kakeknya lebih berat dari pada kehilangan penglihatannya. Ia tidak punya siapa-siapa lagi. Ia tak mengenalikedua orang tuanya. Kakeknya tak pernah bercerita.

Delia memang tak bisa melihat, tapi ia bisa menitikkan air mata. Aku tak mau membawanya larut dalam kesedihan. Segara kupetikkan gitar. Mengajaknya bernyanyi bersama.

Sejak saat itu, hidupanku damai bersamanya. Gadis buta itu telah membukakan mata hatiku, bahwa sebenarnya hidup tak habis segalanya. Aku ingin menikahinya. Suatu saat nanti, entah kapan, aku ingin menikahinya.

***
Uang yang baru kudapatkan dari hasil memetik gitar diberikan cuma-cuma pada orang yang tak dikenal. Katanya, orang itu lapar dan minta makanan. Lalu Delia memberikan uang itu semuanya.

“Kenapa kau melakukannya,” bentakku tak terima.

“Dia lapar,” jawabnya.

“Dari mana kau tahu kalau dia lapar? Dengan mata,” sindirku tertawa kecewa.

Delia menangis. Air matanya berderai mengiringi kedatangan kereta api Gaya Baru jurusan Surabaya-Banyuwangi. Aku pun tak sempat menelusuri gerbong-gerbong itu. Aku frustasi.

“Jangan sembarangan percaya kepada orang. Bisa saja orang itu menipumu atau bahkan mencelakakanmu,” amarahku memuncak, tapi aku berusaha merendahkan suaraku.

“Lebih baik tak punya mata dari pada tak punya hati,” ucapnya dengan isak tangis yang tersisa.

Terserahlah, adalah hakku menuntut sebuah pertanggungjawaban. Uang itu hasil jerih payahku. Aku melangkah kecewa mendekati jalur dua. Delia, kutinggalkan di tempat biasa. Sesuai jadwal, lima menit lagi kereta jurusan Surabaya-Banyuwangi akan tiba.

Matahari terlihat cerah. Penumpang semakin banyak. Tukang ojek dan kenek semakin merapat. Calo juga ada—entah dengan copet. Penjual makanan, minuman, mainan berteriak dengan gaya khasnya. Obrolan mereka bercampur-aduk. Sesekali aku sempatkan melirik Delia untuk memastikan Gadis buta itu masih berada di tempatnya.

Sinyal Kereta Api masuk stasiun berbunyi. Lokomotif membesar hingga desiran angin menabrakku. Orang-orang berdesakan naik-turun. Dari lokomotif, masinisnya sudah melabaikan tangan. Aku tersenyum. Segera kutelusuri gerbong-gerbong itu. Menyanyi satu dua buah lagu sebagai bekal perjalanan mereka. Sungguh sangat beruntung hari ini, satu lagu dihargi Rp. 10.500! Aku melompat ke gerbong lain. Kupetikkan gitar lagi. Lumayan juga, dapat Rp. 9.700.

Bunyi gitarku berhenti setelah menghibur para masinis itu. Roda baja berputar dan terus menjauhi stasiun. Aku tak sabar mengabarkan kabar gembira ini pada Delia. Karena perbuatan mulianya mungkin rejekiku hari ini amat banyak.

Tapi, sorot mataku tak mendapatkan Delia berada di peron paling utara itu, di bawah jam dinding stasiun. Aku hanya menemukan sebuah topi masinis yang sudah usang. Topi peninggalan kakeknya. Kutelusuri seluruh peron, tempat parkir, loket, dan warung makanan, Delia tetap tak kutemukan.

Uang itu masih kugenggam erat. Berharap ia akan menebak berapa penghasilanku hari ini.

Muara Office, 08.48 PM

Friday, December 9, 2011

Lelaki yang Takut pada Sepi

(Salah Satu Naskah Pemenang Lomba Cipta Cerpen Indonesia 2011)

Bagaimana harus mengatakan kepadamu jika sebenarnya aku adalah lelaki yang takut pada sepi? Seperti angin yang mengabarkan kalau musim semi akan kembali. Gugur daun berbulan-bulan tak perlu risau karena pucuk-pucuk muda siap menyambut pagi lebih bermakna dari kemarin. Maka, pada daun yang terakhir mengucapkan Selamat Tinggal, pucuk-pucuk muda itu akan menjawab Pergilah tanpa Sesal.

Pastilah! Sebelum matahari mengecup kening bumi, dering SMS akan berbunyi atau isyarat panggilan masuk menjerit-jerit. Setiap kata dari ucapan itu satu huruf tak pernah berubah. Selalu sama.

“Pa, sudah salat?” Begitulah bunyi SMS itu. Tak segera kubalas. Tentu kutunaikan dulu salat dua rakaat pagiku. Aku yakin, kamu pasti sedang menunggu balasanku dengan sabar.

Atau bila isyarat ponsel berbunyi….

“Pa, bangun. Tuh, matahari sudah menunggu papa.”

Jika demikian, aku akan langsung menjawab dengan rengekan “iya”, meminjam suara serak bayi karena takut perempuan di sampingku terjaga. Setelah itu, kamu pasti segera menyuruh salat Subuh dan menutup pembicaraan. Entahlah, apa kamu sabar menunggu balasan kabarku seperti menunggu balasan SMS dariku sambil meneguk secangkir kopi hangat di pagi hari.

Maka, saat kutunaikan kewajibanku di pagi itu, kusematkan sejenak doa padamu. Semoga, dalam penantian yang entah pasti kapan, kamu tetap setia dengan pengabdian sepimu. Oh, Tuhan, bagaimana caranya aku harus mengatakan kepada-Mu bahwa di jalan nun jauh itu, ada aral besar melintang. Siap memisahkan kami berdua: problem jarak pengatur denyut kehidupan kami.

Kami harus berpuasa, menahan rindu dan kangen yang tanpa waktu memberontak digoda gelisah. Tapi, satu doa yang menyatu, membuat kami menaruh keyakinan besar bahwa hari raya itu akan tiba dengan sejuta warna dan sejuta melati.

Setahun perjalanan terakhir dari umurku, aku resmi mempersunting Maemunah, sosok muslimah berhati malaikat, alumni di salah satu pesantren salaf. Motif mempersuntingnya karena adrenalinku mengatakan sepi akan mengorok leherku. Kuliahku di jurusan sastra hanya mentok di semester empat, mampet karena persoalan biaya.
Perempuan yang tak pernah menanggalkan berjilbabnya itu begitu setia menungguku. Membawa segepok uang dan membelikan ruko baru untuknya. Dia sudah melarangku merantau ke kota, tapi aku bersikukuh meyakinkan karena dua tahun saat masih kuliah memaksa kehendak bahwa di kota tidak sulit mencari uang.

Ketaatan pada suami mengikhlaskan langkahku…

***

Siang membakar kota…

Sepeda angin yang kutumpangi baru diparkir di sudut utara paling timur gudang umum, tempat penyimpanan bahan-bahan bangunan. Hari ini aku akan menerima gaji bulananku dari Shu In, perempuan blasteran Indo-Cina, bermata sipit dan berkulit kuning. Anak satu satunya Tacik majikanku, pemilik toko bangunan itu. Tapi, perempuan berperawakan tinggi semampai itu lebih dikenal dengan nama Pipin di mata karyawannya, aku, Parjo, Makmun, Suhli, dan Edi yang sok gaul.

Sepeda itu langsung kusandarkan ke dinding gudang tanpa ampun dan menimbulkan bunyi krongsang berkarat. Berangkatlah aku menemui kasir cantik itu.

“Silahkan duduklah!”

“Terima kasih,”

“Ini gajimu bulan ini. Tolong dicek,” katanya meyodorkan amplop putih. Aku langsung memasukkan amplop itu ke dalam celana.

“Aku percaya uang ini pas dengan hasil kerjaku. Aku pamit dulu,” aku melempar senyum lalu menarik kursi ke belakang.

“Tunggu. Bagaimana dengan urusan kita? Apa kau lupa?”

Pipin berdiri. Dia mendekat. Lebih dekat. Semakin dekat. Mendekat. Mendekap…
Aku melihatnya dengan cara berbeda, tidak seperti yang aku kenal selama berhari-hari. Satu ikat janji setia tersematkan pada dua tubuh yang saling berpeluk erat. Sepi ditumbang tangis. Sendiri berpalung rindu. Haruskah ada sesal pada orang yang takut pada sepi?

“Apa di matamu aku begitu istimewa?” pertanyaan itu mengorok sepiku.

“Tidak! Aku hanya mungkin takut kehilanganmu,” jawabku menyilangkan kedua tangan di balik punggungnya.

“Kau sungguh mencintaiku…” Aku tak tahu nada ucapan itu apa mempersoalkan kesetiaanku atau mengukuhkan bahwa aku mencintainya. Sepiku bergulung-gulung menutup setiap bagian lekuk tubuhnya.

Pada garis vertikal yang terbujur dari pangkal rambutnya, kusematkan kekuatan yang melebihi kasih sayangku pada Tuhan. Juga kasih sayangku pada seorang perempuan yang tengah menungguku pulang. Sepiku telah membungkus tubuhnya. Tak ada yang bisa bergerak. Sekedar bibir yang berirama.

***

Bagaimana aku harus mengatakan kepadamu jika sebenarnya aku adalah lelaki yang takut pada sepi?

“Apakah aku harus belajar kesetiaan pada kisah Qais dan Laila?”

“Jangan! Kesetiaan tidak akan menjerumuskan manusia pada lubang maut yang akan memisahkan jiwa dan raga. Kesetiaan Qais dan Laila itu dibangun di atas ketaklukannya pada sepi sehingga mereka memilih untuk mati,” katamu dari seberang.

“Terus, aku harus bagaimana?”

“Tidakkah papa mengeja pada para pendahulu kita. Ingatlah, pa! Hakikat manusia lahir dari kesetiaan yang sebenarnya. Termasuk kita. Tidakkah papa mengeja kisah Adam dan Hawa ketika oleh Allah diturunkan ke dunia yang sangat berjauhan jaraknya? Karena kesetiaan kedua manusia itu dibangun di atas kesabaran, akhirnya Allah mempertemukan mereka setelah sekian tahun berada di dunia keterasingan. Begitulah seharusnya cinta itu dibangun. Bangunlah kesetiaan papa di atas kesabaran, bukan dibangun di atas sepi,” katamu polos.

Kepolosanmu selalu mengalahkan sifat liarku. Aku tidak bisa mengatakan sepatah katapun. Aku hanya bisa menatap wajahmu dalam angan. Berharap kamu tahu bahwa aku telah melihat semua mimpi dalam tahunku. Entah di tahun berikutnya, karena takdir tak selalu sesuai dengan mimpi.

“Lalu, bagaimana aku bisa mengalahkan sepi?”

“Ingatlah aku saat papa memanjatkan doa. Karena doa tiada pernah terikat dengan waktu. Bahkan jarak pun tak akan mampu membendung kedahsyatan doa. Pasrahkan semua pada yang Maha berkehendak.”

Seseorang memanggilku pertanda sarapan pagi sudah siap di meja makan. Aku gelisah. Maka, kancing baju segera kurapikan dan segera mengakhiri pembicaraan itu dengan alasan ingin menunaikan salat Dhuha untuk kemudian memulai pekerjaan.

***

Perempuan yang aku sebut mama itu bercerita bahwa di dunia yang fana ini ternyata ada yang abadi. Dia sangat meyakini hal itu bahwa cinta itu abadi. Tapi, aku masih tetap penasaran, ke mana perginya cinta, bila salah seorang yang sedang menjalin cinta itu harus pergi untuk menjadi tiada, tak peduli entah ke mana?

“Ia hanya dikalahkan oleh nafsu,” begitulah jawabanmu di seberang sana. Singkat, bukan?

“Benarkah? Lalu bagaimana kemudian jika cinta akan mengikuti arus kesementaraan, lalu menghilang di suatu tikungan?”

“Hem, ternyata papa masih belum tahu antara cinta dan nafsu ada sekat yang amat tebal…”

Pada kedalaman hati yang keberapa mil dalam arus kehidupan, aku merasa kamu begitu berbeda. Meski nun jauh di sana, aku bisa merasakan senyummu yang mengembang. Lalu, aku tersenyum saat berkaca pada senyumanmu itu.

Tak pernah kutemukan ucapan bijak seperti itu dari perempuan blasteran Jawa-Cina di sampingku. Meski kamu hanya alumni pesantren salaf, tak pernah mengenal pendidikan formal, cara bicaramu membawa kedamaian. Pancaran imanmu sangat kurasa. Ya, aku menemukan malaikat di dalam dirimu yang akan selalu menegurku jika membuat kelalaian dan kesalahan.

“Wah, mamaku is the best…” godaku.

“Tentu. Karena papa tidak salah memilih mama. Bagaimana? Masakan mama enak bukan? Coba deh sup kuah wortel ini,” dia menyodorkan sendok berisi satu iris wortel di atasnya lalu menyuapiku dengan manja.

Dengan siapa aku berbicara? Kuharap bukan dengan sepiku.

“Ah, papa. Sudahlah, pa, salat Dhuha dulu,” katamu mengingatkan. Bandolan jam berdetak tujuh kali.

“Ya, terima kasih,” cara bicaraku berubah seperti berbicara dengan karib bisnis.

***

Begitu indah bila jalinan keluarga dibangun di atas sabar dan setia. Tetapi, sulit sekali menemukan kaki manusia berpijak pada kedua alas itu. Keseimbanganpun tak sempurna. Selalu ada yang jatuh pada setia atau pada sabar. Ah, seandainya jarak yang membentangi manusia bisa merasakan ada sesuatu yang indah yang tersembunyi, niscaya tak akan ada cerita penghianatan atas nama sepi.

“Lebaran ini papa harus pulang. Papa tahu, puteri kita, Jamilah sudah bisa mengaji dengan lancar. Bisa melafalkan kata Allah dengan benar. Pokoknya papa harus pulang,” ucapanmu serupa jerit panggilan dalam hati.

“Ma, dengan apa papa harus pulang? Papa masih belum cukup uang untuk kembali ke kampung!” Entah dari mana kata itu berucap. Bukankahkah aku adalah lelaki yang takut pada sepi? Seharusnya aku memenuhi panggilanmu. Apakah ketakutanku pada sepi telah menghapus cinta padamu. Betapa bodohnya aku!

“Mama tak memerlukan uang! Haruskah aku menceritakan semuanya pada papa? Aku harus jatuh bangun berjuang melawan sepiku. Untung tawa putri kita selalu mengobati kerinduanku pada papa,” suaramu mulai meninggi.

Aku salah. Aku kalah. Kekuatan lelaki tak mengalir pada kedalaman jiwa, hanya meregang pada otot-otot kekarnya. Justru sebaliknya, kekuatan itu sulit nampak pada perempuan karena selalu menyematkannya sedalam mungkin pada jiwanya. Sehingga lelaki seringkali menganggap perempuan adalah makhluk lemah. Naif.

“Papa masih selalu menegakkan salat Tahajjud, kan?”

Aku tak bisa menjawab. Haruskah aku menjawab bahwa selama ini aku dikejar sepi dan selalu memanjatkan doa kepadamu? Tapi, kini aku takluk pada sepi. Doa-doa itu tak lagi mengalir dalam sujud. Tahajjudku selalu tersendat oleh pelukan erat perempuan bermata sipit itu. Selalu seperti ular yang melilit tubuhku.

Segera kumatikan ponsel saat derik pintu kamar terbuka.

“Dari siapa?” katanya menaruh curiga.

“Temanku di kampung. Katanya akan menikah Sabtu depan.”

Lalu, tak ada lagi kata terucap. Aku berbaring telentang di atas ranjang yang senyap. Perempuan itu kembali melingkari tubuhku serupa ular yang melilit mangsanya. Aku membutuhkannya sekedar untuk ditiduri. Bukan untuk bercinta.

***

Cakrawala sepenuhnya hilang saat angkot tiba di pertelon Pancasila. Kusodorkan selembar lima ribuan pada sopir angkot itu. Tiga orang lelaki berlari menghampiriku. Berebutan menawarkan jasa. Satu orang lelaki tua tetap duduk manis di atas sepeda motor Honda Astrea Prima. Kuhampiri lelaki itu tanpa mempedulikan tiga orang lelaki yang tetap nyerocos menawarkan jasa sesuai harga. Aku tahu, dia adalah ke Satnawi. Lelaki yang sejak aku masih bersekolah dasar mengabdikan diri sebagai tukang ojek di pangkalan itu. Apakah dia masih mengenaliku? Segera kusebutkan alamat yang ingin kutuju. Tukang ojek itu hanya terseyum, memberi helm tanpa mengurus siapa diriku.

Pada surau kecil yang telah lama kutinggalkan. Dibalik kerre (tirai bambu) lamat-lamat, begitu santun dan lirih terdengar suara anak kecil sedang belajar mengeja Al-Quran. Alif ba ta tsa… kamu begitu khusyuk mengajarkan puteri kita membaca al-Quran. Sepiku runtuh menjadi air mata.

Bagaimana nanti jika kamu bercerita tentang sepimu? Apakah aku memiliki cerita sepadan untuk menguatkan cintaku?

Aku lelaki yang takut pada sepi. Aku yakin sepiku akan lebur menjadi cerita panjang saat aku mengecup keningmu. Selamanya!

Annuqayah, 5.02 PM

Wednesday, November 23, 2011

Menulis Sampai Mahok!

(Majalah Infitah, XX.XII. 2011)

Kerapkali sahabat saya bertanya begini, “Bagaimana caranya menulis?” Pertanyaan itu sering membuat saya menelan ludah sebelum menjawab. Lalu, terkadang jawaban saya mengecewakan mereka. Saya tidak memiliki jawaban lain selain, “Ya, menulis.”

Kemudian muncul pertanyaan turunan, “apa yang bisa (harus) saya tulis?” pada jawaban dari pertanyaan ini, saya hanya bisa menepuk jidad, “Palang!”

Menulis bukanlah kreatifitas yang lahir secara instan. Butuh proses panjang untuk menjajakinya. Tentu, tidak bisa dalam seminggu seseorang sudah bisa menulis dengan baik. Kalau anda membaca kisah-kisah dibalik para penulis hebat, maka anda akan tercengang. Taruhlah misalkan Joni Ariadinata, yang saat ini menjabat sebagai Presiden Cerpenis Indonesia, harus menunggu sampai karya—kurang lebih—ke seratus kalinya bisa dimuat di media massa. Atau jika tidak ingin jauh-jauh, tanyakan proses kreatifitas menulis pada sahabat anda sendiri yang anda anggap sebagai penulis. Saya yakin, prosesnya berdarah-darah.


Banyak orang menulis berhenti di tengah jalan. Mereka putus harap. Ada yang frustasi karena bingung kata apa yang harus ditulis pertama kali, ada yang frustasi karena tulisannya tidak selesai-selesai, ada yang berhenti karena tulisannya dijelek-jelekkan, sampai pada yang frustasi karena tidak pernah dimuat di media.

Maka dari itu, syarat utama menjadi penulis hanya dua, komitmen dan “tebal muka”. Seringkali orang-orang terjebak pada kata “penulis”. Bahwa penulis itu adalah orang yang karyanya pernah atau sering dimuat di media. Padahal tidak, seorang penulis itu adalah orang yang sering menulis.

Ada banyak manfaat bila kita menulis. Pertama, menulis dapat mengembangkan wawasan lebih cepat dan menguatkan ingatan lebih kuat karena menulis tidak bisa lepas dari membaca dan berpikir. Jika ada sahabat anda yang mengatakan sulit untuk menulis, tanyakan seberapa banyak ia membaca buku dan seberapa luas membaca keadaan. Kedua, membuka peluang pintu dialog untuk dituangkan dalam tafsir gagasan baru yang lebih baik. Sebagaimana yang diungkapkan Budi Darma, guru besar emeritus Unesa bahwa hakikat kreativitas adalah penemuan sambil berjalan. Karya akan terus hidup bahkan setelah penulisnya sudah meninggal. Ketiga, menulis bisa menjadi artis dan mendatangkan banyak uang! Pada wilayah ini, kita sudah bersikap pragmatis. Tak apalah, bagian ini hanya efek samping saja.

Di samping itu, menulis juga bisa membentuk dan mengubah cara pandang seseorang terhadap suatu persoalan dan juga bisa memengaruhi cara seseorang memandang suatu persoalan. Penulis ilmiah memandang persoalan dengan nalar pikir kritis dengan gagasan-gagasan “provokatif”. Seorang penulis fiksi memandang persoalan lebih nyeleneh (lembut?) lagi. Sebagai sastrawan, tentu diksi yang dipilih lebih intuitif.

Dalam tulisan Lan Fang, Adat dan Adab Menulis, rata-rata manusia mengucapkan 15.000-25.000 kata perhari. Pada orang-orang yang memiliki profesi tertentu, seperti salesman, marketing, pengacara atau politikus, bisa berkata-kata 2-3 kali lipat lebih banyak daripada rata-rata yang lainnya. Tetapi sedikit sekali manusia yang telaten mengumpulkan dan menyimpan kata-kata dalam bentuk abstraksi, mempertanyakan dalam pemikiran, dan menuangkan ke dalam bentuk tulisan.

Kita hidup dikelilingi oleh segerombolan kata yang keluar dari berbagai mulut. Lalu, kenapa masih banyak yang beralasan tidak bisa menulis karena tidak tahu apa yang harus ditulis? Jika anda tetap ingin menulis, ubah sikap dan cara pandang anda tentang penulisan. Bila anda memikirkan kesulitannya, maka anda akan mendapatkan kesulitan. Sebaliknya, bila anda merasa menulis itu mudah, maka anda akan merasa enjoy dengan pekerjaan itu.

As Laksana, kolumnis rubrik Ruang Putih Jawa Pos, membeberkan tiga rahasia menulis. Pertama, menulis setiap hari. Kedua, tetapkan berapa panjang tulisan yang akan ditulis. Ketiga, menulislah sampai kuota tulisan hari itu terpenuhi. Bandingkan dengan tiga rahasia menulis yang disampaikan oleh Kuntowijoyo, yaitu “menulis, menulis, dan menulis”. Jadi, hemat saya, tidak ada jalan lain untuk bisa menulis dan menjadi penulis selain “Menulis Sampai Mahok!”

Carok

(Bangka Pos, 20 November 2011)

Aroma celatong merebak saat Muksin membuka pintu kandang. Tiga karung rumput cukup hari itu, baginya dirasa cukup untuk makan sepasang sapinya. Kulitnya hitam lebam, mengkilat, serta basah oleh keringat. Selepas menaruh sekarung rumput, ia menuju langgar, tempat paling nyamat merebahkan penat di siang hari.

Udara begitu bengis. Panas mengernyitkan dahi. Kemarau seperti terus memuai, membuatnya semakin kesulitan mencari rumput yang hijau. Dipandangi lekat udara yang meniup debu di taneyan lanjeng. Muksin merebahkan diri. Matanya menatap langit-langit langgar. Ia kepikiran perkataan Saman tempo malam. Namun sesaat, desiran angin yang masuk dari lubang-lubang tabing meninabobokkannya.

Baru saja ia terlelap, dari kejauhan seseorang datang memanggilnya berulangkali. Dursampat lari sempoyongan. Pemuda itu adalah sepupunya yang termuda dari tiga saudara.

“Ada apa, Pat?”

“Anu, Kang. Tadi aku lihat Mak Tip diganggu Talhah.”

Kabar itu serupa cambuk yang dilecutkan pada dirinya. Ternyata, desas-desus yang tersiar luas, dari kuping ke kuping, adalah benar. Sebagai suaminya, betapa Muksin merasa terhina atas kabar itu. Kelakiannya merasa diremehkan sekaligus dilecehkan.

“Di mana?”

“Di pertelon pedasan, Kang.”

Muksin sangat cemburu dan marah. Patek, umpatnya dalam hati.

Muksin tahu betul tabiat Talhah, blater yang amat disegani di desa sebelah. Ya, Muksin dan Talhah berbeda desa. Jarak rumah keduanya berkisar satu kilometer ke arah barat. Pedasan di pertelon itulah yang mempertemukan warga desa Jaddul dan warga desa Burangin. Di sana, terdapat sumber mata air besar yang biasa dipakai oleh dua desa tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, mencuci, dan minum.

Tak mungkin Dursampat membohongi kakangnya sendiri. Apalagi persoalan keluarga. Istrinya jelas-jelas ketahuan main serong dengan lelaki lain. Dan kali ini, saksinya adalah sepupu sendiri. Jelas, ini penghinaan besar. Muksin semakin kukuh untuk melangsungkan carok dengan Talhah.

***

Latipah, istri Muksin memang terkenal dengan perempuan yang cantik. Lebih cantik ketimbang perempuan lain di desanya. Meski sudah dikaruniai anak laki-laki yang sudah berusia delapan tahun, serta hidup dalam kondisi tergolong miskin, kecantikannya tidak pudar. Ia nampak seperti paraben, berkulit putih, serta perangainya sering berubah dari keibuan ke kanak-kanakan. Tentu, jika tidak menikah muda di usia dua belas tahun, Latipah masih meikmati masa remajanya seperti kebanyakan gadis kota. Tetapi, sulit ada perempuan yang bertahan sampai usia dua puluh ke atas. Jika ada, pasti akan digunjing sebagai perawan tua.

Kemarahan Muksin tidak hanya tertuju pada Talhah. Bagaimanapun, perbuatan istrinya juga sama sekali tidak bisa dibenarkan. Bersukurlah Latipah karena Muksin tidak menyaksikan sendiri perselingkuhan itu. Jika sampai terjadi, perceraian bukan dianggap solusi yang tepat, hanya nyawa yang bisa menebus dosa karena telah melecehkan martabat seorang suami.

Latipah mengelak atas tuduhan itu. Katanya, tidak ada rekayasa pertemuan di padasan itu, hanya kebetulan belaka. Setiap menjelang siang, Talhah memang selalu mengambil air untuk minuman sapi-sapinya. Sedangkan Latipah, meski tidak setiap hari, menjelang siang, ia terbiasa bersiraman di sana.

Desas-desus tersiar cepat. Tak ada jalan lain kecuali melakukan penceraian kepada isrtinya. Meski Latipah sendiri tidak mengakui, malu yang dirasakan Muksin amat besar datang dari lingkungan sosialnya.

Tak ada jalan lain kecuali penceraian dijatuhkan!

***

Rencana carok dengan Talhah dimatangkan dalam pertemuan keluarga di langgar suatu malam. Sidang ini hanya melibatkan empat orang anggota yang dianggap sebagai tetua dalam nasabnya, yaitu kedua orangtua; Ke Malhum, kakeknya; dan Mukarrom, kakak kandungnya sendiri. Beginilah cara mereka bermusyawarah menyembunyikan rahasia keluarga.

“Hanya nyawa yang bisa menjamin bila berani mengganggu istri orang,” kata Mukarrom. Bapak dan kakeknya turut mengamini.

Setelah carok dilaksanakan, Muksin berencana akan memasrahkan diri kepada polisi. Jalan itu ditempuh bukan semata sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatannya, melainkan lebih kepada mencari perlindungan atas balasan carok yang akan dilakukan oleh keluarga Talhah jika nanti berhasil menumpasnya. Muksin juga meminta bantuan kakaknya melakukan nabang (sogok) kepada polisi untuk meringankan beban hukuman. Sedangkan anaknya akan dipasrahkan kepada bapak-ibu selama menjalani proses tahanan.
Satu hal yang membuat dirinya merasa tidak puas dengan hasil keputusan sidang. Ia kecewa karena harus melakukan carok dengan cara nyelep, menyerang Talhah ketika dalam keadaan lengah atau dalam keadaan tidak siap tempur. Muksin memaksakan kehendak menantang Talhah dengan cara ngongghei, mendatangi rumah Talhah dan menantang langsung di depan halaman. Perbuatan itu amat jauh lebih jantan ketimbang nyelep, karena akan disaksikan langsung oleh keluarga orang yang didatangi.

Sungguh, perbuatan ini memang dianggap pengecut, berani main belakang. Tetapi Muksin benar-benar harus mempertimbangkan saran Ke Malhum. Ia tahu betul kekuatan lawan. Kesaksian atas terbunuhnya Surahwi tujuh tahun lalu masih cukup sempurna. Selain postur tubuh yang lebih tinggi, ilmu bela dirinya dirasa belum sepadan dengan lawan yang akan dihadapi.

Sepak terjang Talhah di dunia blater tidak ada yang meragukan. Ia adalah ketua remo di desanya. Sering berbuat onar saat ada pagelaran remo atau mirammi desa. Tentu, sebagai ketua, ia sangat berpengaruh pada para blater yang lain. Meski Muksin juga diakui dalam dunia blater sebagai orang yang angko (berani), menumpas habis nyawa Karjo dengan tiga belas luka bacok, masih belum cukup padan kedigdayaan bela dirinya. Muksin tidak memiliki jaringan kuat seperti Talhah dari sesama blater. Maka dari itu, nyelep adalah perbuatan yang tidak buruk, demi keselamatan nyawa, asal sekali melakukan carok, ia harus sukses menumbangkan lawannya. Jika gagal, bisa jadi Talhah akan mengumpulkan banyak massa untuk menyerang balik.

“Aku punya kancah yang bisa membantumu, Cong. Ia punya mantra nylateng ,” ujar kakeknya.

“Kapan aku bisa menemuinya, Ke?”

“Bisa sekarang,” katanya tegas.

Muksin dan Ke Malhum bergegas menemui orang yang dimaksud. Hanya kakeknya yang tahu tempat itu. Pelepah siwalan jatuh menimbulkan bunyi kresek berbenturan dengan dedaun bambu. Mereka memasang siaga awas. Takut ada maling atau rampok menghadang. Setelah melewati pekuburan, keduanya tiba pada sebuah rumah yang hanya disinari oleh satu lampu teplok.

Pemilik rumah langsung menyuruh masuk, seakan sudah mengetahui maksud kedua tamunya.

“Hendak apa malam-malam datang ke mari?” cahaya lampu teplok tak mampu menjangkau separuh wajah orang itu.

Muksin mengurai tuntas kronologi musibah yang menimpa keluarganya. Dimulai dengan kasus Talhah yang membunuh Surahwi delapan tahun yang lalu. Persoalan itu diungkit karena Surahwi masih memiliki garis keturunan dengan keluarganya. Sebagai bagian dari keluarga, Muksin merasa memiliki “kewajiban” melakukan carok balasan. Lalu, ia menceritakan perselingkuhan istrinya dengan Talhah dan mengutarakan maksud untuk melakukan carok. Harga dirinya sebagai suami merasa diinjak-injak oleh bajingan itu.
Lelaki itu menganggukkan kepala. Turut mengamini.

“Bagaimana, Ke?” kata Muksin saat tak segera menuai jawaban.

Lelaki itu mengusap kumis tebalnya yang memutih. Diajaknya Muksin ke dalam langgar di depan rumah. Sedangkan Ke Malhum tetap menunggu di ruang tamu. Meski demikian, kakek itu tahu apa yang sedang dilakukan kepada cucunya, mengaliri mantra ke dalam tubuhnya.

“Aku telah mengalirkan nylateng ke dalam tubuhmu, sekaligus membacakan nyepet ,” kata lelaki yang disebut kae itu.

Mendengar penjelasannya, ada rasa berbeda yang dirasakan Muksin. Nyalinya ingin bersegera memburu mangsa. Bila perlu, ia tidak akan nyelep, tapi ngongghei.

“Kapan bisa melaksanakan carok, Ke?” Muksin tak sabar.

Lelaki tua itu sedang menghitung-hitung jarinya. Mencari jawaban atas pertanyaan itu.

“Kamis pahing, menjelang manghrib.”

“Empat hari lagi?” Ke Malhum turut menghitung jarinya.

”Ya.”

Muksin ingin bersegera melakukan carok. Kalau perlu, esok pagi pun akan ia lakukan. Tetapi Ke Malhum mengingatkan cucunya agar tidak bersikap gegabah. Dalam perjalanan, beberapa kali Muksin menggeliakkan tubuhnya ke kanan, ke kiri, dan menyamping. Ia merasa tubuhnya menjadi lentur dan ringan, tetapi kuat dan bertenaga.

***

Hari yang di tunggu-tunggu datang. Matahari berjalan tak biasanya. Lambat. Muksin menimang-nimang celurit jenis takabuwan yang telah diasahnya berkali-kali. Ia menangkap potret dirinya di ketajaman celurit itu.

Matahari tak lagi beringas. Muksin sudah sampai pada tempat yang dipilihnya untuk nyelep Talhah. Biasanya Talhah melewati jalan setapak di tegalan itu saat pulang dari pasar sapi.

Benar! Orang yang ditunggu terpatri di matanya. Bara dendam tersulut. Darah membuncah. Amarah meledak. Celuritnya dipengang kuat-kuat, menunggu Talhah kian mendekat. Dari semak-semak ia terus mengintai lawanya.

Talhah tidak sendirian. Ada seorang lagi di belakangnya. Tapi Muksin tidak menggubris orang itu. Kamarahan sudah memuncak. Setelah lewat di depan persembunyiannya, mendadak Muksin keluar dan menyabetkan celurit pada punggung Talhah. Orang di belakangnya segera berteriak, menyadarkan bahwa nyawa kawannya sedang terancam. Sontak ia menghindar dari sabetan itu dengan menjadikan tali sapinya sebagai tameng. Tetapi, sabetan itu begitu cepat dan kuat mengenai di tangan kirinya. Darah mengucur. Jari tengahnya bergelantungan hampir lepas.

Talhah menyumpah serapahi perbuatan Muksin yang berani main selep. Mengatainya sebagai lelaki tidak jantan.

Patek!

Talhah mengeluarkan sekken dari balik punggungnya. Tanpa banyak cas-cis-cus, keduanya langsung adu kejantanan.

Di udara yang tak lagi bengis, debu-debu mengepul di antara tebasan celurit yang berayun tak tentu arah. Memamerkan kilatan singkat yang sempat tergores. Teriakan teriakan-teriakan lantang mengema. Meski ukuran celurit Muksin lebih besar ketimbang celurit Talhah, ia kereporan menandingi keblaterannya. Beberapa kali ia sempoyongan menghindar sebelum akhirnya berhasil membacok punggung Talhah.

Sadar lawannya terluka, Muksin berada di atas angin. Ia semakin beringas. Sekali tebas, menyemburlah darah dari perutnya sendiri. Talhah yang meringis kesakitan dengan gesit berhasil menghindar dan menebasnya tepat mengenai perut sebelah kiri. Muksin roboh. Genjatan bacokan Talhah semakin menjadi pada setiap inci tubuhnya. Nyawa Muksin melayang dengan tubuh terkoyak dan mata terbelalak memendam dendam. Ususnya terburai keluar bersamaan dengan anyir darah.

Talhah menjilat sisa-sisa darah yang menempel pada celuritnya, lalu meletakkan celurit itu di atas dada Muksin sebagai sombolisasi kepuasan dan kebanggaan atas kemenangan, sekaligus pengakuan bahwa dialah pembunuhnya.

Annuqayah, 11.12 PM

Thursday, November 3, 2011

Bakso Pak Oles

Makan sama lauk tempe saja, sudah makan seperti di istana kaisar Paus. Apalagi makan sama makanan seperti daging-daging hewan¬¬—pastinya, daging yang halal untuk dimakan. Seperti daging ikan, sapi, gulai kambing, opor ayam, dan yang lain. Mengimpikan harapan seperti itu, butuh kesabaran sangat besar agar bisa terwujud. Hanya bisa berharap pada orang yang bertamu dan membawa makanan lezat. Beli sendiri? Harus berpikir dua kali, bahkan berpikir berkali-kali mengubah selara makan sehari-hari; sambal terasi.

Namanya juga masyarakat sampah. Ya! Sampah memang harus dibuang. Saya lalu teringat kalimat dalam sebuah Novel Marabunta “Aku dilahirkan dari golongan sampah, tapi bukan orang yang berhati sampah”. Terbuang di keramaian mobil yang bunyi klaksonnya bertalu-talu. Tut…tut…tut…

Malam itu, Ada seorang bertannya pada Saya.

“Apakah mas tahu dimana diskotik di kota ini?”

Saya menjawab. “Tahu.”

“Yang mana tempat paling menyenangkan, Mas?”


Pertanyaan orang kekar bertato itu kali ini saya tak bisa menjawab. Meski saya banyak kenal beberapa tempat yang ia tanyakan, tak satupun yang pernah saya masuki. Saya hanya sering duduk di depan bar, menunggu orderan, itu saja. Mana mungkin bisa berjejel dengan para Pejabat, Birokrat, Saudagar, Bisnismen, atau yang lain, wong saya cuma orang rendahan. Orang yang mencari kenikmatan, duduk santai, diiringi alunan melodi-melodi neraka dan para bidadari yang selalu mengepakkan sayap indahnya. Jika bersama, mereka di atas, sedang aku di bawah memegang semir sepatu, mengelap sepatunya berulangkali sampai mengkilap. Itu pekerjaanku.

Dulu, dengan pekerjaan seperti itu, penghasilan yang saya peroleh sudah lebih dari cukup. Sudah bisa makan yang dirasa enak bagi orang-orang sampah, seperti saya. Kali ini, hukum yang demikian tak berlaku lagi. Seiring harga sembako yang semakin tinggi, ditambah menjadi seorang kepala keluarga, penghasilan yang hanya segelintir itu, tak cukup.

Apalagi persaingan semakin ketat. Banyak para penyemir sepatu bermunculan, seperti jamur dimusim hujan. Bocah-bocah yang seharusnya masih duduk di kelas, mendegar penyampaian guru. Kini, harus mondar-mandir menenteng kotak kecil, menawarkan pekerjaan pada mereka yang bersepatu kulit. Tas sekolah berganti kotak kayu. Dengan semangat, mereka mondar-mandir disekitar orang yang tak punya mata. Saya jadi tak tega melihat mereka. Saya putuskan untuk gantung semir dan mencari pekerjaan lain. Agak berat sih, mengganti profesi yang telah dijalani sekian tahun.

Apabila ada yang berkenan berkunjung ke rumah saya, caranya mudah sekali. Anda cukup turun di terminal kota. Selanjutnya, berjalan ke arah utara, sekitar 500 meter. Anda akan mendapatkan perumahan kumuh bercampur dengan limbah sampah. Di sudut barat daya, ada rumah berdempetan dengan pabrik tahu. Itu rumah saya.

Setelah sampai di sana. Saya sarankan pada anda, pakailah tissue. Sebab, yang akan anda dapatkan bukan orang-orang yang memakai dasi dan sepatu kulit, melainkan disambut oleh binantang-binatang kotor, menjijikkan; Kucing, Tikus, Kecoa, Lalat, dan Nyamuk. Datang tanpa mengetuk pintu. Rumahku menjadi pertunjukan circus mereka. Unjuk kebolehan. Seisi rumah bakal meriah jika mereka beratraksi. Apalagi, ketika musuh abadi itu (Kucing dan Tikus) bertemu. Piring, Panci, Wajan, dan perabotan lain akan amburadul. Ditambah sorak sorai istriku yang menyumpah serapahi binatang menjijikkan itu.

Jangan Anda memberi kesimpulan, saya tak pernah berusaha mencegah. Memberi aturan bagaimana cara bertamu yang baik. Tamu-tamu tak diundang itu berseliweran seenaknya saja. Sulitnya, saya harus membongkar istana—karena rumah itu harta yang sangat berarti—agar binatang menjijikkan itu tak lagi bertamu, setiap waktu. Hampir setiap senti gedung rumahku ada pintu untuk mereka. Bahkan, bagi binatang itu bukan pintu, melainkan gerbang besar.

Begitulah, kondisi rumahku, sangat memperihatinkan. Semua dinding dari kayu lapis, peninggalan satu-satunya Almarhum keluarga kami. Apabila musim kemarau, rumah itu tak bisa melindungi penghuninya dari terik matahari dan polusi. Selalu ada celah bagi sinar matahari untuk menerobos dan menggeledah isinya. Begitu pula dengan musin hujan, sama saja, hampir tak ada hambatan sama sekali menahan air masuk ke rumah. Atap terus menangis.

“Pak, kapan kita bisa memperbaiki rumah kita? Ya! Paling tidak, nyaman untuk dihuni,” ungkap istriku. Ada impian besar di matanya yang bening.

“Ayah, kapan kita kita punya rumah mewah? aku bosan di rumah yang seperti ini,” kata anakku.

Tak dapat saya pungkiri, kata itu menyinggung perasaanku. Namun, melihat kepolosannya dalam bertutur. Saya tahu, dalam benaknya tak ada maksud untuk melecehkan saya sebagai ayahnya. Saya tahu, memang semua ini adalah tanggungjawab seorang kepala keluarga. Mereka tidak salah. Bahkan mereka berhak untuk menuntut kenyamanan padaku. Semua salahku.

Malam ini, malam minggu. Saya mengajak anak dan istri saya berjalan-jalan di taman kota. Hanya berjalan-jalan. Itu saja. Tidak lebih. Lama tidak jalan-jalan seperti yang biasa saya lakukan, ketika anakku dalam dekapan. Sekitar tujuh tahun lalu, saat si buah hati belum dalam pangkuan. Masih ingat di benak, ketika menikmati hangatnya sajian bakso Pak Oles. Pada saat itu, musim dingin. jadi, sangat terasa betapa nikmat makan bakso panas pak Oles.

Saya dan istri saya membanyangkan, bunga indah di masa lalu. Saat aku bertemu dengannya di sini, di warung bakso Pak Oles.

Kala itu, ada orang kaya makan bakso dengan istrinya. Istrinya bunting—kira-kira hamil lebih dari hamil tujuh bulan. Menurut pengakuannya, sang istri ngidam makan bakso. Sebenarnya, ia tidak begitu suka dengan tempat itu. Demi si buah hati pertama yang masih dalam jabang bayi, ia rela berada di tempat yang tidak disukainya.

Saya mendapat orderan di malam yang dingin itu. Ia meminta saya untuk membersihkan sepatunya yang tak sengaja menginjak genangan air kotor. Saya tak menyiakan kesempatan. Meski malam sudah larut, kira-kira sudah jam sebelas lebih, saya mau pulang—saya tidak ingin membuang rezeki pemberian dari Tuhan. Aku layani permintaannya. Dia bertanya banyak tentang saya. Mulai pekerjaan, profesi, keluarga, sampai pada lika-liku kehidupan saya.

Sebaliknya, ia juga berbicara banyak tentang kehidupnnya. Pembicaraan kami semakin mencair dan mengalir tanpa bendungan. Ia bercerita, mengapa ia bisa sampai berada di tempat ini.

Berat rasanya menceritakan pada saya. Ada sedikit keraguan pada dirinya, pad diri saya. Mata itu berkaca-kaca. Seolah, akan menceritakan beberapa hal yang belum pernah dimuntahkan dari mulutnya.

”Istriku sedang hamil lebih tujuh bulan. Aku menunggu kehadiran buah hati pertamaku,” katanya dengan nada lirih. Mengapa seakan tak ada kebahagiaan dari cara bicaranya? Apa ia tidak suka?

“Bapak bahagia?” Entah kenapa, setelah saya memandang kacamata minus yang melekat di atas hidung mancungnya, pertanyaan itu muncul sendiri.

“Jelas, bahagia sekali.”

“Kalau begitu mengapa murung?”

“Ah masak.”

“Ya!”

“Mungkin, aku kelelahan menuruti segala permintaannya. Akhir-akhir ini, ia selalu minta yang aneh-aneh. Katanya, bukan dia yang minta, tapi bayi yang ada dalam kandungannya.”

Ia mengatur nafas sebelum melanjutkan.

“Yang paling aku heran lagi……” beberapa saat, ia memotong pembicaraan. Beberapa detik, jadi menit.

“Ia minta tambahan belanja. Tahukah kau berapa yang dia minta? Sepuluh juta perminggu.”

Gila! Saya belum pernah melihat orang hamil ngidam sampai segila itu. Sepuluh juta? Bagi saya, sudah bisa tidur dengan nyenyak. Buat perbaikan rumah yang hampir condong ke barat.

“Lagi-lagi, katanya bukan permintaannya,” Ia menambahkan lagi. “Tapi bayi dikandungnya.”

Saya membayangkan, belum lahir saja sudah minta sepuluh juta. Apalagi sudah lahir, pasti banyak korupsinya, atau jadi perampok.

“Bapak menuruti?” Ada rasa takut diwajahnya.

“Demi keselamatan anak pertama. Aku rela menuruti semua yang diminta,” katanya mantap. Katanya, ia sudah lama berkeluarga, Lima tahun, baru kali ini, Tuhan mengkaruniai anak.

“Bapak kerja dimana?” Aku tak harus bertanya seperti itu. Aku sudah menduga kalau pekerjaannya bukan pekerjaan biasa. Pakai jas, dasi, dan sepatu yang masih aku semir. Pasti ia baru pulang dari kantor.

“Kamu punya istri?” ia mengalihkan perhatian.

Saya tak menduga orang itu bertanya demikian. Memang, orang seusia saya mestinya sudah menikah dan punya anak

“Belum.”

“Mengapa?”

“Saya takut akan seperti istri bapak. Nanti istri saya meminta macam-macam,” aku sengaja menghiasi ucapan saya dengan tawa, agar terlihat seperti guyonan. Saya takut jika tidak demikian, ia akan tersinggung oleh ucapan saya.

Ia tertawa.

Sunyi.

Kemudian, istrinya memanggil penjual mainan. Yang dipanggil datang. Istrinya subuk memilih-milih boneka Barbie. Untuk anaknya saat lahir nanti, begitulah pengakuan istrinya. Ia pasti menginginkan anak perempuan. Boneka identik dengan anak perempuan.

Orang itu berbisik pada saya, ”penjual itu cantik, cocok untukmu. Pasti ia belum menikah.”

Lalu, ia menyuruh saya untuk berhenti menyemir sepatu dan menyilakan saya makan bersama. Saya menolak meski mau di traktir. Tapi, melihat kemauannya yang sangat besar, tak kuasa juga saya menolak.

Benar kata dia. Penjual mainan itu memang cantik.

Entah apa maunya lelaki ini. Ia juga menyuruh penjual mainan itu duduk, lalu makan bersama kami, ia ditraktir juga. Ada senyum yang mengembang di bibir laki-laki itu ketika saya dan penjual mainan saling tatap. Kemudian ia pamit. Sebelum lelaki itu pergi. Ia mengatakan bahwa bakso kami sudah dibayar.

Ia juga sempat bilang, “ Saya merasa rugi mentraktir kalian, jika kalian tidak sampai jadian.” Begitulah katanya.

“Ongkos semirnya, saya masih akan hutang. Kalau mendapatkan penjual mainan itu, saya akan bayar dua kali lipat. Ini kartu nama saya,” ia berlalu begitu saja setelah memberi tanda pengenalnya.

Mereka tersenyum sipu. Berlalu begitu saja setelah mengeluarkan selembar seratus ribu untuk membayar bakso kami.

"Sisanya untuk kalian berdua," begitu katanya.

Tinggallah hanya saya dan wanita penjual mainan itu. Saya agak gugup pertamanya. Namun, lama-lama rasa gugup itu hilang. Dan, dari bakso pak Oles, mengantarkan saya dan wanita penjual mainan ke pelaminan.

BUMI AL-SAEL, 2008

Perempuan Langit, I Love You!

(10 karya Faforit Cerita Pribadi Qultum Media, Jakarta 2011)

Cerita ini adalah sepotong kisah yang sempat saya tulis perihal perjalananku yang penuh trik-intrik dilematisasi. Kisah konspirasi cinta yang terjadi saat saya melakukan investigasi selama lima hari di Pasongsongan, salah satu kecamatan paling barat bagian dari Kabupaten Sumenep. Cerita ini menjadi penting untuk ditulis karena di tempat itu saya menemukan sejarah dan kisah tentang Perempuan Langit.

Perempuan Langit yang saya maksud bukanlah putri kayangan yang turun dari langit sebagaimana dalam cerita babat Jawa, bukanlah perempuan keturunan Dyaus di zaman India kuno, bukan pula bagian dari cerita Zeus dalam kisah peradaban Yunani, atau dalam bahasa latin yang dikenal dengan Jupiter (ouv-pater) yang kesemuanya adalah cerita-cereta tentang langit. Bukan. Dia hanyalah seorang cerpenis yang selalu menggunakan diksi atau metafor langit dalam setiap cerpen yang ditulisnya.

Namanya Atika Kamila. Dia dikenal dengan panggilan Perempuan Langit pasca cerpen saya yang berjudul Langit Tak Seindah Dirimu terbit di Radar Madura tanggal 2 Januari 2011. Tika—sapaan akrabnya—adalah santri Lubangsa Puteri. Dia sama-sama semester VI dengan saya di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika). Tetapi, saya baru mengenalnya saat mengisi pelatihan menulis fiksi yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Muda Iksaputra (AJMI). Acara yang berlangsung pada 18-19 November 2010 di Desa Prancak, Pasongsongan itu hanya diikuti oleh santriwati Ikatan Santri Pantai Utara (Iksaputra).

Sebelum pelatihan itu, saya hanya tahu dia sering menulis cerpen, sama denganku. Meski tidak kenal, saya sedikit tahu tentangnya karena saya sering berkomunikasi lewat tulisan-tulisannya. Saya selalu menyempatkan diri membaca cerpen-cepennya yang terbit di media. Sebenarnya, saya sangat ingin mengenalnya lebih jauh, paling tidak hanya kenal pada rupanya saja, itu sudah cukup.

Tahun 2010, saya menjadi editor fiksi di Majalah Muara. Tika mengirim cerpen Pangeran Langit dan Putri Awan. Namanya ditulis dalam angka-angka 471124. Cerpen itu sangat bagus. Diksinya begitu kuat. Saya sangat suka. Tetapi saya sanksi; tidak dimuat, sayang cerpen itu terlalu bagus, jika dimuat orangnya takut salah. Jadi saya mengambil keputusan menyuruh kru putri untuk mencari tahu inisial tersebut. Ternyata, dugaan saya benar. Dialah pemilik cerpen Pangeran Langit dan Putri Awan, Atika Kamila!

Nah, Allah memberi saya kesempatan bertemu dengannya ketika mengisi pelatihan itu. Saya tahu, Tika berasal dari Pasongsongan. Santri asal Pasongsongan adalah bagian dari Iksaputra. Saya berkesimpulan bahwa kemungkinan besar Tika juga mengikuti pelatihan itu. Tak mungkin orang yang suka menulis cerpen melewatkannya, begitulah saya berkilah.

Pelatihan itu hanya diikuti oleh 24 peserta. Tata Ruangnya diformat dalam bentuk U. Pada awal pembicaraan saya berkata: Setahu saya di Lubri (Lubangsa Putri) yang suka menulis cerpen itu adalah Siti Khairiyah dan Atika Kamila. Saya berbicara demikian untuk memancing mereka menunjukkan Tika jika berada dalam forum itu.

“Ini kak, Atika,” kata mereka serempak.

Sontak semua peserta menunjuk satu gadis yang berada di tengah-tengah huruf U itu. Mukanya memerah. Malu. Tika menutup wajahnya dengan buku karena menjadi perhatian teman-temannya.

Oh, ini toh cerpenis yang namanya Atika, batinku.

Sejak saat itu, saya berada di atas angin. Salah satu misi saya berucap demikian adalah untuk “mendiamkannya” di dalam forum. Karena saya yakin, dialah yang paling banyak tahu tentang dunia kepenulisan daripada peserta yang lain. Nah, jika dia sudah di-skak mak, maka tak ada lagi yang perlu saya risaukan. Peserta lainnya hanyalah penulis pemula. Jujur, yang saya lakukan tidak ada motif mencari perhatianya.

Seminggu setelah pelatihan, di kantor redaksi Majalah Muara, saya berbincang santai seputar penerbitan dengan Ach Taufiqil Aziz, pimpinan redaksi majalah itu. Lalu, dia membuka folder pribadinya. “Ini bang, cewek saya. Cantik nggak?” dia menunjukan sebuah foto. Foto Atika Kamila.

“Cewek kamu, ya?”

“Bukan! Dia calon istri saya,” katanya nyengir.

“Calon istri?” saya sedikit kaget.

“He, nggak bang, bercanda. Tetapi saya sangat suka dengannya,” tuturnya santai.

Saya baru tahu kalau Tika menjadi pujaan hati sahabat terdekat saya. Acik—sapaan akrabnya—banyak bercerita tentang perasaannya pada Tika. Dia juga banyak bertutur tentang kehidupan gadis itu. Dari sahabat saya itu, saya banyak tahu tentangnya.

Lahirnya Perempuan Langit

Setelah saya tahu sahabatku mencintainya, saya berpikir bagaimana caranya untuk memudahkan dia untuk mendapatkan cintanya. Tetapi, rasa penasaranku untuk tahu mengapa Tika selalu menggunakan diksi langit masih belum purna. Maka, muncullah ide; mengumpulkan cerpen-cerpennya yang telah terbit dan mempelajarinya satu persatu.

Ada empat cerpen yang saya dapat: Pangeran Langit dan Putri Awan (Majalah Muara), Lukis Namaku di Kaki Senja (Antologi Tirta), Karena Langit Adalah Segalanya (antologi Iksaputra), dan Andromea; di Langitmu Aku Bercerita (antologi cerpenis Annuqayah). Semua cerpen itu memakai diksi langit.

Setelah mempelajari dengan seksama, muncullah ide di benak saya untuk menulis cerpen dengan diksi langit pula. Saya memilih judul Langit Tak Seindah Dirimu. Dalam cerpen itu, saya memasukkan unsur-unsur dasar ke empat cerpennya dengan harapan Tika bisa mengerti kalau cerpen itu saya persembahkan kepadanya. Saya ingin berkomunikasi dengannya via tulisan.

Aku sempat berpikir, jika langit yang dialamatkan oleh perempuan yang ingin kau sebut ibu itu hanyalah sebuah sketsa dari hati yang akan menyayangimu, maka akulah langit itu. Akulah orang yang selama ini kau cari. Langit telah mengutus gerimis untuk mempertemukanku denganmu di peron tua itu. Kau ingat kan?

Tapi kau tetap pergi dengan kerinduanmu. Tak pernah sekali saja berpikir bahwa langitmu adalah diriku. Harapan telah benar-benar membudakmu, sehingga kau tak pernah merasakan kasih sayang langit yang telah kau peroleh dariku. Sampai kapan kau akan mencari langit? Ah, ternyata langit tak seindah dirimu.

Muara Office, 2010

*) Persembahan pada Perempuan Penutur Langit


Dua paragraf di atas adalah penggalan terakhir dalam cerpen Langit Tak Seindah Dirimu yang telah saya kirim ke harian Radar Madura (Jawa Pos Group). Saya sangat bersyukur cepen itu terbit!

Tetapi, rupanya Tika cukup terkenal juga. Pasca terbitnya cerpen itu, saya mendengar kabar kalau di Lubri geger. Mereka beranggapan bahwa saya memiliki hubungan khusus dengannya. Belum lagi sahabat-sahabati di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTIKA yang setiap waktu selalu memperbincangkan cerpen itu.

Saya menyesal telah mengirim cerpen itu. Pasalnya, hubungan saya dengan Acik sedikit meregang. Saya memaklumi, lelaki mana yang tak cemburu jika membaca cuplikan paragraf di atas. Belum lagi sahabat LPM yang mengolok-olok saya telah merampas Tika darinya. Saya, disindir sebagai pagar yang makan tanaman!

Saya sudah menjelaskan pada Acik bahwa cerpen itu tidak bermaksud apa-apa, hanya motif karya fiktif belaka. Saya juga mengatakan bahwa Tika adalah perempuan kelima yang saya hadirkan dalam cerpen saya. kelima cerpen itu adalah: Vita Agustin, cinta pertama saya yang saya tungkan dalam cerpen Ruang Sunyi*, Ryna Kustiana dalam cerpen Gadis Bayangan*, Ummul Corn calam cerpen Dialog Maya*, Duana Firdausiyah dalam cerpen Doa Dari Surga*, dan terakhir Atika Kamila dalam cerpen Langit Tak Seindah Dirimu*. Kelima cerpen itu telah terbit di harian Radar Madura.

Alhamdulillah, Acik memahami penjelasan panjang-lebar dari saya. Namun itu masih belum usai. Sahabat-sahabat LPM dan semua kru Majalah Muara masih selalu memanas-manasi saya ketika bersama Acik. Mereka selalu mengatakan bahwa saya pagar makan tanaman. Oh, tidak! Saya tidak mau itu terjadi…..

Sejak saat itulah, sahabat-sahabat LPM dan kru Majalah Muara mentasbihkan Tika sebagai perempuan langit.

Di Langitnya, Saya Disidang

Pada rapat persiapan pemberangkatan investigasi tanggal 27 Januari 2011, saya disuruh memilih dua tempat antara Kecamatan Ambunten dengan Kecamatan Pasongsongan. Pilihan saya jatuh pada kecamatan Pasongsongan karena saya belum pernah berkunjung ke sana. Kabarnya pula, rumah Ubed, sahabat yang akan berangkat dengan saya dekat dengan laut. Saya sangat suka sekali pada laut. Itulah mengapa saya tertarik untuk pergi ke Pasongsongan.

Namun, keputusan yang saya ambil menimbulkan banyak kecurigaan. Saya disangka ingin mencari tahu alamat Perempuan Langit. Meskipun saya banyak diklarifikasi, saya tetap berangkat. Tak peduli mereka berkata apa. Saya menanggapinya dengan gurauan saja.

Sore hari tanggal 29 Januari 2011, saya tiba di Pasongsongan. Saya putuskan hari itu untuk tidak memulai pekerjaan saya. Yang saya lakukan hanyalah berjalan-jalan di pinggir pantai. Saat tiba di pelabuhan yang baru dibangun, Ubed menunjukkan saya pada sebuah rumah berpartisi biru langit dan berlantai dua. Rumah yang berdiri di bibir pantai.

“Itu bang, rumah Perempuan Langit,” ungkapnya.

“Besar juga rumahnya!”

“He, nggak juga. Gedung berlantai dua itu adalah musolla. Ayahnya adalah guru ngaji.” Saya baru tahu kalau ayah Perempuan Langit adalah seorang guru ngaji. Muridnya sangat banyak sehingga santri putra dan putri harus dipisah; untuk putra di lantai bawah dan putri di lantai atas.

Esok harinya, tanggal 30 Januari 2011 pukul 09.37 WIB di desa Mandala, saya menerima telpon dari Perempuan Langit. Dia mengata-ngataiku dari A sampai Z. Dia juga sedikit berbagi cerita ketika cerpen saya itu terbit. Bahwa dia sempat menangis karena tidak kuat menahan ejekan dari teman-temannya. Saya hanya menanggapinya dengan senyuman walau sebenarnya saya sangat prihatin atas kisah yang dia tuturkan. Saya merasa amat berdosa padanya. Tika, maafkan saya….

Lalu, tiba-tiba dia menitip pesan pada saya untuk menyampaikan pesan itu pada orang tuanya. Jadi, saya memberanikan diri bertandang ke rumahnya meskipun resiko yang akan saya tanggung amat besar; jika sahabat LPM tahu saya pergi ke rumahnya, maka tamatlah riwayat saya. Pasti peristiwa ini akan menjadi topik hangat untuk diperbincangkan.

Benar! Entah dari mana isu itu merebak, sehari setelah saya bertandang ke rumah Perempuan Langit, pada tanggal 31 Januari 2011 tepat pukul 20.45 WIB di depan rumah Ubed saya disidang. Riyadi dan Fathol Alif yang bertugas di kecamatan Lenteng dan Manding datang. Acik dan Sauqi yang bertugas di Ambunten dan Dasuk turut hadir menyidang saya. Ada enam sahabat LPM pada malam itu. Riyadi sebagai hakim, saya sebagai terdakwah, Acik sebagai penuntut, Fathol, Sauqi, dan Ubed sebagai saksi. Saya dicerca dengan banyak pertanyaan yang intinya bahwa diam-diam saya telah menusuk sahabat saya bukan hanya dari belakang, tetapi dari depan. Jelas saya sangat jengkel dituduh demikian. Mereka hanya asal tuduh, tak pernah percaya dengan yang telah saya jelaskan.

“Bung, cobalah bersikap jujur, kita sudah dewasa. Apa benar kau mencintainya?” kata Riyadi.

“Ya, bang, biar semuanya jelas. Jika benar demikian, maka saya akan relakan dia untukmu,” ungkap Acik polos. Kata-kata itu mengalir amat sederhana, tetapi amat membanting perasaan. Hati saya hancur. Yang saya pikirkan hanyalah bagaimana perasaan Acik ketika berucap demikian. Saya tahu, ada unsur keterpaksaan dia berkata demikian. Hatinya pasti amat sakit.

Kemudian saya menjelaskan ulang bahwa saya pergi ke rumahnya diluar kehendak saya. Seandainya Perempuan Langit tidak menyuruh, niscaya saya tidak akan pergi ke rumannya.

“Jadi semuanya sudah jelas, Perempuan Langit secara tidak langsung lebih memilih Fandrik daripada Acik,” ungkapnya pada peserta sidang. “Untuk Acik, saya tahu, memang berat untuk melupakan seorang wanita yang amat kita cintai. Tetapi, jika kenyataannya sudah demikian, kamu harus melepasnya. Ini demi kemaslahatan persahabatan kita bersama,” kata Riyadi menyimpulkan hasil sidang.

“Ya, kak! Saya akan berusaha menerima kenyataan ini,” katanya pelan. Lantas tidak ada lagi kata yang terucap dari bibirnya. Diam dalam kebisuan.

“Jadi, yang memenangkan perkara ini adalah Fandrik,” katanya menutup persidangan.

Bagi saya, kemenangan itu tak ubahnya petaka. Kesimpulan sidang itu telah meluluhlantakkan hati saya. Hancur berkeping-keping. Bagaimana tidak, saya telah menghancurkan mimpi sahabat yang telah saya anggap sebagai kakak kandung sendiri. Saya merasa banyak berdosa telah menerbitkan cerpen itu. Pantaslah jika pagar makan tanaman disematkan pada saya…!

Malam itu, saya benar-benar tidak bisa tidur. Saya selalu terbayang pada Tika-Acik-Tika-Acik-Tika-Tika dan Tika. Entah mengapa, dilain hati saya sempat berpikir, ketika sering memikirkan Perempuan Langit, saya merasakan bahwa di hati ini telah tumbuh benih-benih cinta. Benih itu tumbuh subur lantaran saya selalu dirudung kegelisahan pasca persidangan itu. Sempat juga saya merenung, mungkinkah saya telah jatuh cinta pada Perempuan Langit sejak pandangan pertama? Tetapi, saya tidak pernah menyadarinya.

Sejak persidangan itu saya sering memikirkan Perempuan Langit. Wajahnya selalu hadir dalam setiap kesendirian saya. Oh, tidak, saya sudah tidak bisa menafikan cinta ini. Tetapi saya tidak ingin benih-benih cinta ini tumbuh subur yang akhirnya hanya akan menjadi boomerang yang akan membumihanguskan persahabatan saya dengan Acik.

Jika ada orang yang bertanya bagaimana perasaanku saat ini, saya akan menjawab, saya selalu gelisah. Jika ada orang yang lebih spesifik lagi bertanya bagimana perasaanku pada perempuan langit, maka saya akan menjawab saya suka padanya, saya mencintainya. Tapi, tidak pernah ada kata HARAP Perempuan Langit mencintai saya juga atau bahkan membalas cinta saya, karena saya jatuh cinta pada gadis yang salah...!

Saya lebih tenang dan bahagia bila Perempuan Langit memilih Acik. Meskipun saat ini saya telah jatuh cinta padanya. Saya yakin bisa membunuh cinta ini. Haya satu yang saya inginkan, Perempuan Langit tetap menjadi sahabat terbaik saya, sama halnya persahabatan saya dengan acik. Persahabatan ini tak bisa ditukar dengan apa pun. Jika ada orang yang tidak percaya bahwa kata-kata lebih tajam ketimbang belati, maka perkenankanlah orang itu barang sejenak untuk membaca kisah saya ini…

Rumah Cerita, 12:34 AM

Keterangan: * Selengkapnya baca di blog saya www.rantingcahaya.blogspot.com

Saturday, October 29, 2011

Pemuda dan Tantangan Globalisasi

(Refleksi atas hari Sumpah Pemuda)

-Kami poetera dan poeteri indonesia mengakoe bertoempah-darah jang satoe, tanah Indonesia.

-Kami poetera dan poeteri indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

-Kami poetera dan poeteri indonesia mendjoendjoeng bahasa persatuan, bahasa Indonesia.


Euforia heroik hari lahir Sumpah Pemuda masih tetap kita rasakah hingga saat ini. Dengan semangat nasionalisme yang luar biasa, mereka mempertahankan tanah kelahiran tercinta. Ketika kebanyakan orang asyik dengan diri sendiri, mereka tampil di barisan terdepan dalam kesatuan aksi pembaruan. Lalu menggemalah sumpah setia pemuda Indonesia; satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air.


Itulah awal mula eksistensi gerakan sadar pemuda negara ini. Semangat patriotisme telah bangkit. Keterpurukan yang diakibat oleh penjajahan tak bermoral menyatukan semangat mereka berjuang sampai pekik suara terakhir dan tumpah darah penghabisan. Sebuah pengorbanan yang sangat luar biasa dalam lintas sejarah gerakan pemuda Indonesia.

Namun, pemuda masa kini memiliki tantangan lebih kompleks dibanding dengan era tahun 1928 atau 1945. Jika dulu semangat patriotisme pemuda diarahkan untuk melawan kolonialisme, kini semangat nasionalisme diposisikan secara proporsional dalam menyikapi aneka kepentingan yang mengancam keutuhan negara. Sementara tantangan terbesar di abad modern ini adalah dehumanisasi moralitas bangsa yang disebabkan oleh pengaruh globalisasi yang ditenggarai oleh percepatan arus teknologi, informasi, dn komunikasi. Globalisasi telah merongrong komitmen pemuda akan masa depan dan cita-cita bangsa dan negara.

Ada sosok-sosok pemuda yang idealis, yang mencoba merealisasikan idealismenya ke ranah tatana sosial guna mengaplikasikan diri sebagai prokmator perubahan (agen of change). Pemuda seperti ini memainkan peran nyata di tengah-tengah publik yang akan terus dinantikan kehadirannya. Sebaliknya, ada pula sosok-sosok pemuda yang loyo dan pemalas, yang tergerus oleh efek dari perubahan zaman. Pemuda seperti ini hanya menjadikan dirinya sebagai bagian dari penyakit sosial; mabuk-mabukan, nge-fly, berjudi, tindak kriminal dan lainnya.

Pemuda sebagai pewaris masa depan memiliki peran penting dalam menghadapi arus globalisasi. Paling tidak ia harus memiliki pemahaman yang baik dan benar akan hakikat dan makna globalisasi, berikut manfaat dan mudharatnya. Disamping itu, kepandaian dan kecerdasan pemuda dalam menyikapi dan memerankan diri di tengah arus globalisasi menjadi kesadaran mutlak yang harus dimiliki sehingga tidak terjerumus pada ranah pragmatisme.

Pemuda dewasa ini diharapkan tetap berpegang teguh atas keyakinan dan idealisme sebagai manusia yang berbangsa dan beragama. Kecenderungan dalam menyikapi dan menentukan pilihan, tidak lepas dari bagaimana pemuda mampu memposisikan diri. Disinilah akan terjadi pergulatan bagaimana pemuda bisa menginterpretasi nilai-nilai humanitas sebagai bentuk konfrontasi dari dehumanisasi serta mengaktualisasikannya secara tepat-guna.

Dengan demikian, ada beberapa hal yang perlu menjadi pijakan pemikiran pemuda. Pertama, inspirasi heroik masa lalu harus menjadi landasan filosofis yang menginspirasi peran pentingnya dalam membangun bangsa; kedua, mengubah paradigma negatif menjadi positif-progresif dalam kaitannya dengan kondisi dan situasi zaman yang terus dinamis dengan memandang globalisasi sebagai peluang, bukan ancaman; ketiga, dukungan pemerintah dan para stake holder untuk memberikan ruang gerak yang luas bagi pemuda untuk selalu menciptakan kreasi baru. Daya kritis dan energi positif tidak boleh dijadikan penghambat, melainkan akselerator masa depan.

Pada akhirnya, ungkapan Soekarno “Berikan Aku Sepuluh Pemuda, Niscaya Aku Akan Aku Mengubah Dunia”, menjadi sebentuk apresiasi masa lalu, masa kini dan masa depan yang akan selalu menggema. Sejauh peran pemuda diapresiasi dengan baik, daya cipta mereka diberikan ruang gerak yang luas, dan menjadikan diri mereka sebagai subjek, maka sejauh itu pula pemuda akan selalu menjadi bagian penting dari sejarah kebangkitan bangsa ini.***

Sunday, October 23, 2011

Mengenal Perampok Pasar Pendidikan

Anda pasti tahu bahwa perampok kata dasarnya adalah rampok. Anda akan mengilustrasikan ke dalam ingatan anda bahwa sosok itu bertampang seram, brewok, ada luka gores di bagian tubuhnya dan lain sebagainya. Cesare Lombroso mengakui telah menemukan ciri-ciri perampok ketika meneliti tengkorak Vilella, perampok terkenal di Italia.

Dengan gamblang ciri-ciri perampok menurut penelitiannya, sebagaimana yang ditulis dalam bukunya L’uomo delinquente alias Manusia Penjahat (1876) sebagai berikut: memiliki rahang yang luar biasa besarnya, tulang pipi yang tinggi, ada tonjolan melengkung pada alis, mempunyai garis-garis yang tegas pada telapak tangan, rongga mata yang sangat besar, telinga berbentuk gagang wajan, penglihatannya sangat tajam, memiliki kegemaran menato tubuh, memiliki kesukaan terhadap pesta gila-gilaan, dan keinginannya kepada harta sungguh tak tertahankan.

Pendapatnya masih sangat berpengaruh sampai sekarang. Lihatlah, ketika anda melihat adegan film-film aksi, dari kisah klasik cerita kerajaan babat Jawa sampai film aksi modern Rambo, Andi Lau, Jacky Chan dan film lainnya. Tokoh yang diperankan oleh si perampok tidak akan jauh berbeda dari ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, paling tidak berwajah seram. Apa disengaja? Tentu. Itu dilakukan karena memang ingin membedakan antara yang dirampok dengan yang merampok.

Lantas bagaimana dengan para perampok pendidikan? Apakah juga mengikuti ciri-ciri yang telah ditulis oleh Lombroso? Tentu berbeda. Perampok pendidikan berbeda dengan perampok di jalanan. Sebagaimana orang yang terdidik, tentu ia lebih condong menggunakan akalnya daripada kekuatan. Ia lebih suka bermain di belakang layar orang-orang yang bodoh. Wong namanya orang terdidik.

Jika saya bertanya kepada anda, apa syarat menjadi guru? Saya yakin jawaban pertama anda adalah orang itu harus pintar atau cerdas. Kemungkinan jawaban lain, harus sarjana. Saya sepakat dengan jawaban yang pertama, tetapi saya kurang bersepakat terhadap jawaban yang kedua. Mengapa? Banyak masyarakat yang lebih memilih jalan menjadi guru sebelum ditetapkan menjadi guru. Tak peduli dengan tingkat pendidikannya seperti apa, yang penting mengajar duluan, lah. Masalah syarat-syaratnya, itu agenda sepersekian. Yang penting mengajar, dapat gajian, baru buat modal sertifikasi atau kuliyah lagi melalui jalur “patas”.

Ah, saya hanya pelajar yang “kebetulan” mengambil jurusan di bidang pendidikan, jawaban yang paling kongkrit bisa anda tanyakan sendiri pada guru atau pengamat pendidikan, apakah itu termasuk perampok pendidikan atau bukan? Menurut saya, terlalu dini untuk memfonisnya.

Sebenarnya sekarang ini, perhatian pemerintah sangat besar terhadap dunia pendidikan. Ada Bantuan Operasional Sekolah/Madrasah (BOS/BOM), SPP gratis, tunjangan fungsional guru, tabungan pendidikan bagi siswa yang berpestasi, beasiswa, sampai pada bantuan infrastruktur sekolah yang kesemuanya diambil 20 persen dari anggaran APBN dengan tujuan meminimalisir jumlah anak yang putus sekolah. Namun sepertinya anggaran itu tidak cukup untuk meminimalisir—kalau menghilangkan tidak mungkin—jumlah anak yang putus sekolah. Hanya “pasar” baru tercipta.

Ternyata, untuk membuat “pasar” di bidang pendidikan (dengan seabrek dana yang ada) sangat mudah. Modalnya sedikit hasilnya banyak!

Baik, sampai di sini anda sudah memasuki pasar. Interaksi jual-beli pendidikan terjadi di sana. Karena pasar pendidikan, maka anda harus berpenampilan sebagai orang yang berpendidikan, meskipun anda adalah perampok. Ganti dulu senjata tajam anda dengan spidol. Tebalkan dulu bedak anda agar goresan di muka anda tidak kelihatan. Lalu, berdasilah dan berjalan ke pasar. Saya sarankan, anda jangan berjalan seperti gaya pak SBY. Kata budayawan Sujiwo Tejo, jalannya pak presiden penuh kebohongan yang mudah dilihat oleh orang lain. Berjalanlah seperti biasa. Santai. Bila perlu, tirulah gaya berjalan dan logat bicara orang jepang, karena sulit anda mendapati gaya berjalan seorang guru seperti itu, apalagi guru PNS. “Gak usah buru-buru, gaji tetap cair,” begitulah senyumnya berbicara.

Lakukanlah segera transaksi pendidikan anda jual-beli dengan orang bermodal. Awas, hati-hati! Penampilan anda sama seperti mereka, bisa jadi sama-sama perampok. Setelah sukses melakukan negosiasi, maka bersegeralah pergi, jangan sampai membuat keonaran. Lho, bukankah perampok itu berhubungan erat dengan tindak kriminal? Kalau begitu penipu, dong?

Anda orang berpendidikan, bung! Begini, perampok tak jauh berbeda dengan penipu, sama-sama merugikan orang lain. Bedanya, perampok itu kelas bawah alias hanya punya otot, sedangkan penipu itu kelas atas alias kerja pakai otak. Ingat, seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa anda adalah perampok yang berpendidikan! Jika anda memaksa bahwa perbuatan itu tetap penipuan, maka argumen saya untuk menyebut anda perampok bahwa tindak kriminal yang anda lakukan adalah menyengsarakan anak didik! Perspektif pribadi, saya lebih memilih menelantarkan mereka di jalanan dengan status anak yang tidak mengenyam pendidikan sekolah daripada bertanggungjawab tetapi kemudian menyengsarakannya dengan permainan yang anda lakoni tadi.

Di pasar itu anda akan banyak menemui tenaga pendidik yang mengajukan proposal yang dipermak sedemikian rupa, menggoda guna mencairkan dana yang ada. Tak sedikit lembaga sekolah yang mewanti-wanti siswa atau muridnya untuk membeli buku paket pelajaran. Alasannya supaya praktis dan efisien, dan merata (karena semua siswa harus membeli?). Atau memberi hukuman (punishment) dengan membayar denda bagi siswa yang kena perjanjian, satu mata pelajaran seratus ribu, misalkan. Atau juga barangkali menarik sumbangan sebesar-besarnya pada awal masa penerimaan siswa baru. Sayang, kan, jika pendafratan digrastiskan!

Anda tahu, pendidikan kita saat ini adalah terburuk se-ASEAN di bawah Kamboja. Pada bangsa ini kita masih memilik rasa “bangga” karena ada yang mengalami nasib yang lebih buruk. Tapi, secercah harapan masih kita miliki selama Menteri Pendidikan Muhammmad Nuh bersikap seperti Nabi Nuh, selalu menyerukan kebenaran dan tak pandang bulu, meski istri dan anaknya tetap membangkang. Amien.

Tuesday, October 4, 2011

Pemburu Matahari

(Minggu Pagi, 09 September 2011)

Kata orang, sahabat nelayan adalah matahari. Tanpa cahayanya, hidup mereka susah, karena mendung akan membuat badai. Tentu, mereka turut cemas karena tak akan menuai panen. Ikan-ikan akan cepat membusuk, sulit diawetkan. Kulit mereka yang hitam dan kering semakin mentahbiskan pernyataan itu memang benar adanya. Seringkali mereka disebut pemburu matahari karena mereka akan mengejar matahari ke tengah laut jika petang tiba dan baru akan kembali keesokan harinya untuk dipersembahkan kepada istri-istrinya sebagai tanda cinta, yang semalaman tidur sendirian dan yang telah telah mengimpikan jatuh dipelukan.

Begitu keraskah hidup di tepi laut?

Sampai di kampung nelayan, tempat dimana aku menghirup udara dunia pertama kali, aku terkagum melihat keindahan pantai yang lama kutinggalkan. Pohon Cemara Udang berjejel rapi di pinggir pantai membentuk garis-garis indah. Daunnya terserat angin, seperti rumbai-rumbai sutera, mengundang kenangan. Perahu yang ditambat di sepertiga pantai menggodaku berlayar dan bersenandung Ole Olang. Rumah-rumah nelayan begitu sederhana, berjejel, dan menghadap ke laut turut menebar kesan istimewa. Panorama yang bagiku sulit mencari padanan kata untuk mendeskripsikannya. Tentu, pemandangan ini bukan sesuatu yang asing lagi bagiku. Tetapi kerinduan tetaplah kerinduan: semakin lama berpisah, semakin mesra saat berjumpa. Ya, begitulah yang dikatakan si raja dangdut, Rhoma Irama. Dan, begitulah perasaanku kini.

Aku ingat kisah yang sering nenek ceritakan saat aku masih kecil. Cerita-cerita yang selalu menjadi pengantar tidur anak-anak nelayan. Bahwa kehidupan kami tak jauh berbeda dengan kehidupan anak-anak ikan di laut. Mereka akan terus bersama, saling melengkapi dan melindungi. Lihatlah, sulit mencari rumah nelayan yang bertolak belakang. Tak ada diantara kami melaut berangkat sendiri. Mereka akan membentuk kelompok-kelompok kecil lalu hasil tangkapan ikan akan dibagi sesuai kesepakatan. Tapi sayang, kisah itu tak bisa kulanjutkan kembali. Kisah itu yang terakhir kali kudengar sebelum nenek terlelap dalam sebuah tidur yang amat panjang.

Pada pengujung musim hujan ini, kusempatkan diri kembali ke kampung halaman setelah hampir lima tahun kutinggalkan. Kebetulan, skripsiku sudah selesai, tinggal menunggu munaqosahnya. Sejak lulus SMA dan melanjutkan kuliah ke Jogjakarta, inilah kali pertama aku kembali ke Sumenep, kabupaten paling timur di Pulau Madura, tempatku dilahirkan. Sengaja memang aku tak pernah pulang. Aku ingin melepas kerinduan diwarnai dengan derai haru bahagia. Kerinduan yang bercucur menjadi air mata, katanya sangat indah seperti mutiara di tengah lautan.

Berdiri setelah sekian lama pergi, rasanya tak ada yang berubah. Kampungku seperti sedia dulu. Jalanan aspal berlubang membahayakan, kerikil-kerikil itu mudah terlepas. Apalagi bau amis sudah menjadi bagian dari “gaya hidup” mereka dengan gaya khas tarik suara lantang karena angin dan ombak telah mengajarkan mereka bagaimana bersikap tegap dan tegas menjadi seorang nelayan.

Aku mesti melewati Pasar Pao, salah satu tempat interaksi jual-beli antara nelayan dan tengkulak ikan di kampong kami. Pasarnya cukup ramai. Bau anyir ikan di pasar itu memaksaku menutup hidung. Pasar itu didominasi kaum perempuan. Ketika para lelakinya pergi melaut, kampung nelayan tak ubahnya kampung perempuan. Tak ada yang dilakukan mereka kecuali berada di emperan rumah, berkumpul sesamanya lalu mendongengkan malam yang mengasingkan; tentang nafkah batin yang kurang terpenuhi, sampai pada centilan-centilan renyah tentang perselingkuhan dengan tetangga atau dengan para tengkulak ikan. Cerita tentang kesengsaraan dirajam sepi ditinggal oleh suami. Jalanan yang sempit membuatku tidak bebas bergerak. Aku harus berjalan zig-zag manakala bepapasan dengan orang.

Siluet senja pada sore itu cukup indah walau sekelilingnya diselimuti awan kelabu. Matahari kulihat masih sempurna. Di ujung selatan, sekitar seratus meter dari tempatku berdiri, seorang perempuan tak hentinya menatap senja. Wajahnya tenang namun tirus. Pandangannya tepat mengarah pada matahari itu. Hem, aku teringat, simbol matahari melambangkan pusat semesta; dan matahari digunakan sebagai lambang dari orang yang lahir dengan bintang Leo. Apalagi hari ini adalah minggu pertama bulan Agustus. Konon, sosok Leo selalu ingin menjadi pusat peristiwa; ia ingin menjadi fokus perhatian orang-orang dan selalu ingin merasa dihargai. Tak heran jika ia kemudian selalu ingin menonjolkan dirinya, meski mungkin dibalut dengan retorika. Mungkinkah dia ingin menjadi matahari?

Aku baru melihatnya dengan cara yang berbeda. Sepertinya aku mengenalinya selama berhari-hari. Ya, perempuan itu Maemunah, teman sekelas waktu SMA. Aku sempat jatuh cinta padanya. Dulu, entahlah kini. Ah, sepertinya cinta lama akan bersemi kembali. Aku ragu masih akan bersikap seperti dulu atau sudah berubah. Butuh beberapa waktu untuk aku menyesuaikan diri walaupun di sini adalah kampungku sendiri.

Aku pergi. Maemunah tetap menatap matahari yang akan diburu oleh para pemburu itu.

Sungguh miris mendengar nasib para nelayan beberapa bulan ini. Kata Emak, beberapa lelaki di kampungku merantau ke kota bahkan sampai ke luar negeri. Anak dan istri terpaksa ditinggalkan hanya sebutir nasi. Cuaca yang buruk membuat mereka tak bisa melaut. Akibatnya, mereka harus membanting tulang, mencari pekerjaan lain untuk menafkahi keluarganya. Nelayan yang hanya memasrahkan hidup sepenuhnya pada laut membuat mereka kelimpungan untuk mencari pekerjaan lain jika cuaca sudah tidak bersahabat.

Ah, selalu saja demikian.

Semua orang menyimpan sebongkah matahari dalam dirinya. Ada yang terbit dan ada yang terbenam. Matahariku bersinar nonstop dua puluh empat jam. Masih adakah cucian yang belum kering? Adakah sampah yang ingin kalian bakar? Mari, dekatkan pada wajahku. Secarik kalimat yang menutup bacaan novelku malam ini, Supernova Dewi “Dee” Lestari.

Setiap kali pergi ke pantai, setiap kali pula aku melihat Maemunah mematung di sana. Wajahnya kaku. Tatapannya sendu. Mengapa ia selalu di sana? Seperti yang aku kenal, ia bukanlah penikmat senja. Ataukah Maemunah sedang menunggu sesuatu? Atau barangkali dia merasa kesepian? Atau ia ingin membuktikan bahwa sosok Leo adalah dirinya? Kusempatkan diri menyapanya, sekedar mengisi ruang berbagi dan mengumpilkan kepingan puzzle masa lalu yang mulai menemukan padanannya. Siapa tahu dia masih mengenaliku. Seperti dulu.

“Maemunah, kau ingat aku,” kataku sedikit gerogi. Nafasku di Dada berdesakan. Hem, cintaku padanya belum pergi!

Dia menatapku. Lama. Kami beradu mata. Tanpa kata. Tanpa bias senyum. Kaku. Kuperhatikan seluruh tubuhnya. Ternyata dia tetap seperti dulu: cantik dan memesona. Aku kembali terkenang masa-masa SMA lagi. Bersama dalam tawa, ceria dalam bahagia, dan sedih karena duka. Namun, tak lagi ada keseksian pada lekuk tubuhnya. Perutnya membuncit.

“Slamet, kaukah itu?” kata Maemunah menarik kedua alisnya. Nyaris beradu.

“Ya, aku Slamet. Aku kira kau sudah lupa pada diriku.”

“Ah, mana mungkin aku lupa dengan orang yang paling menjenggelkan di kelas,” katanya renyah. Lantas, kita saling beradu tawa. Tanpa sadar, waktu telah menyeret kami pada masa lalu.

“Setiap pagi dan sore kau selalu berada di sini. Sejak kapan kau menjadi penikmat senja?” kataku manja. Lepas kata itu, Memunah berpaling dariku dan kembali menatap senja. Balutan kain cokelat transparan yang membalut kepalanya berirama ditiup angin.

“Aku sedang menunggu Kang Bahris pulang,” katanya sendu. Tangan kanannya memengang perutnya yang buncit. Aku mulai mengerti, tapi belum tahu pasti.

Mendengar nama itu, kenangan semasa SMAku semakin komplit, seperti telah menemukan jalan lurus untuk kuceritakan kembali dalam ruang sunyiku. Ternyata lelaki tambun berkulit hitam itu berhasil mempersunting Maemunah, perempuan incarannya sejak masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah. Kupikir waktu cukup berkuasa dalam soal ini. Bukan cuma tak mau berkompromi, tapi ia akan melumerkan segalanya, hingga orang selalu ingin bertanya tentang makna. Hanya dengan cara begitu, orang menghadapi tirani waktu yang terlalu perkasa untuk kita manusia. Ah,Betapa beruntungnya kau kawan!

“Oh, selamat ya! Saya baru tahu sekarang kalau kawanku itu amat beruntung sekali memiliki istri secantik kamu,” kataku menggoda. ”Kapan menikah?”

“Sudah hampir setahun. Setelah berjalan empat bulan, saat jabang bayi ini berusia tiga bulan, dia pergi,” katanya pelan. Aku mulai menangkap ada kesedihan di matanya.

“Pergi? Maksudmu ia menghianatimu?”

“Jika ia menghianatiku tidak mungkin aku berdiri di sini menunggunya pulang. Kang Bahris pergi karena aku dan calon bayinya ini,” raut mukanya nampak tenang. Tetapi, air mata tak bisa ditolak, mengalir membelah pipinya.Beberapa kali ia mengusap-usap perutnya.

“Lantas, mengapa tega meninggalkanmu dengan keadaan seperti ini?” kataku memburu. Aku pun larut dalam kesedihannya.

“Dia hanya mencoba menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami, yakni menafkahi istri. Saat awal musim hujan, Kang Bahris masih bisa bertahan meskipun beberapa minggu sudah tidak berani melaut karena cuaca tak menentu. Selain melaut, sulit di sini mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan Kang Bahris merasa terpanggil.”

“Kau tahu di mana tempatnya bekerja?”

“Entahlah, aku tidak tahu ia berada di mana. Yang jelas ia pergi, diajak Ki Urat. Katanya akan bekerja sebagai tenaga serabutan. Sebulan yang lalu ia mengirimiku banyak uang hasil kerjanya sebagai kuli bangunan. Ia menitip pesan bahwa dalam beberapa minggu ini akan pulang. Tapi nyatanya sampai saat ini ia belum datang,” katanya. Napasnya mulai tak teratur karena mencoba memulangkan kesedihan ke dalam palung hatinya.

Aku, tanpa kata.

“Apa kau sanksi?” Aku ragu.

“Soal apa?”

“Ah, tidak. Lupakan.” Aku tak ingin ia salah sangka.

“Soal cinta?”

Aku diam.

“Benar, kan?”

Tetap diam.

“Aku percaya bahwa di dunia ini ada sesuatu yang abadi, bahwa cinta sejati itu ada dan akan membahagiakanku,” katamu dengan nada optimis tersisa. “Aku ingin cintaku memuai mengikuti cahaya matahari yang memberi terang ke seluruh pelosok negeri. Atau kalau perlu aku ingin menjadi matahari.”

Begitu keraskah hidup menjadi nelayan? Bukankah mereka selalu pergi dengan lambaian tangan dan pulang dengan keceriaan? kisah para pemburu matahari versi nenek kembali menggantung di pikiranku. Mungkinkah Bahri masih belum menemukan matahari yang pantas untuk dibawa pulang dan dipersembahkan pada istrinya? Seandainya ia bisa berpikir jernih bahwa matahari itu telah mampir di tubuh istrinya, niscaya ia akan takut dengan kerinduan.

Berbicara tentang kebahagiaan, kukira kebahagiaan itu, yang diburu oleh orang dalam jalinan cinta. Bahwa suatu saat cinta menghilang, bukan berarti kebahagiaan juga akan ikut menghilang. Ada banyak cara untuk mengungkapkan cinta, dan itu berarti banyak cara untuk meraih kebahagiaan, bahkan jika mungkin cinta kita pergi lebih cepat dari yang kita duga. Seperti waktu.

Lagu Def Leppard, Where does Love Go When It Dies menutup malamku.
Kampung Cerita 04.36 AM