Wednesday, March 25, 2015

Malang, Welcome

Pukul 18. 20 WIB, saya sudah menginjakkan kaki di terminal Tawang Alun, Jember. Ya, malam itu saya akan berangkat ke Malang untuk menghadiri Pembinaan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) Bahasa Indonesia SMK Tahun 2015 di VEDC, Jl. Teluk Mandar, Arjosari , Tromol Pos 5 Malang 65102, Jawa Timur- Indonesia (50 meter ke timur dari Terminal Arjosari). Acara tersebut berlangsung selama tiga hari (25-27 Maret 2015).

Ada calo yang menghampiri saya. Bertanya hendak kemana? Malang. Begitulah jawaban singkat saya. Calo itu menuntun saya pada bis yang parkir di jurusan Surabaya. Maaf, mas saya tidak bisa ditipu, batin saya. saya mengacuhkannya. Saya menuju parkir bis jurusan Malang, kendati tak ada bis yang terparkir di sana. Saya duduk-duduk, menunggu kedatangan bis. Ditemani sweater dan Pocarisweat membuat menunggu jadi tidak membosankan.

Selang 34 Menit kemudian, bis Harapan Baru No. 042391 masuk terminal dan langsung parkir di tempat tujuan. Tentu, saya langung tancap kaki dan bis pun meluncur dengan pasti.

Sepanjang perjalanan, saya mencoba untuk tidak tidur. Maklumlah, perjalanan perjalanan pertama ke Malang. Saya ingin tahu saja, titik jalan mana yang memisahkan jurusan Jember-Surabaya dengan jurusan Jember-Malang.

Pukul 23.23 WIB, saya tiba di Terminal Arjosari. Seorang teman, namanya Imam Bukhori menjemput saya dengan motor Supra X 125. Sayapun dibawa ke tempat kos mahasiswa pascasarjana UN Malang itu.

Cukup di sini dulu ya... Saya capai, ingin tidur...      

Sunday, March 22, 2015

Penyair dan Aroma Kopi

(Fandrik Ahmad, Suara Merdeka 22 Mare2015

Orang pertama yang memperkenalkan saya dengan kopi adalah kakek. Saya tidak tahu tepatnya berapa usia saya saat itu, terjadi pada suatu malam.

Kakek membangunkan saya, mengajak keluar rumah. Tidak biasa ia seperti itu. Kakek memang kerap keluar, tapi tak pernah mengajak orang. Kebiasaan yang tidak disukai ibu. Tidak hanya satu atau dua kali ibu mengomel melarang kakek menghentikan—kata ibu—kebiasaan buruk itu. Namun kakek terlalu bebal tidak pernah ada rasa jera.

“Fafan ikut kakek, ya. Ayah dan ibumu malam ini merayakan pernikahannya. Mereka tak bisa diganggu,” tukasnya.

Kakek menarik lengan saya lantas membopong saya tanpa harus menunggu jawaban iya atau tidak. Entah, barangkali masih pukul delapan, bisa jadi sudah pukul sebelas. Yang jelas mata saya sudah sangat berat. Di ruang depan, sayup-sayup suara ibu melengking persis seperti saat melarang kakek keluar rumah. Suara ayah tak kalah kerasnya. Seperti itukah cara mereka merayakan ulang tahun pernikahan ke sembilan?

Saya meringkih di punggung kakek seperti udang usai digoreng. Kulit saya tidak akrab dengan desau malam. Pakaian yang saya kenakan sepertinya tidak cukup hangat. Saya mengatup mata malas. Kakek tak banyak bicara. Langkahnya sunyi membelah malam. Lampu jalanan berpendar suram dan serangga-serangga berputar-putar.

Saya membuka mata ketika gendang telinga sayup-sayup menangkap sebuah irama tanpa syair. Indah sekali. Kakek duduk lesehan. Saya cukup takjub dengan suasana yang asing. Saya perhatikan segala sudut tempat itu. Empat buah bohlam dengan cahaya kuning redup, pilar-pilar dan pagar dari bambu, atap jerami, deretan meja setingggi dada orang duduk. Ada asap rokok. Ada aroma kopi.

Orang-orang lesehan berkelompok-kelompok. Tawa kerap meledak. Obrolan mereka mirip bunyi segerombolan tawon. Yang duduk sendiri juga ada. Menikmati permainan musiknya sendiri. Ada yang membaca. Ada yang menulis. Ada yang hanya diam tanpa kata: minum kopi, menghisap rokok, dan mengentaskannya ke udara.

“Kalau ngantuk, tidur saja,” tukasnya memberi pahanya untuk saya tiduri. Saya menuruti saja apa kata kakek kendati mata sudah tidak berat lagi dan sulit terpejam.

Ketika rebah di pahanya, waktu seperti berhenti. Saya menemukan rahasia-rahasia di bawah kolong-kolong meja. Selain saya, yang tahu hanyalah si pembuat rahasia. Tentang genggaman tangan, colekan nakal, dan tindihan paha. Tentang sebuah kartu yang terselip dan puntung rokok dengan bara yang masih menyala. Tentang kertas-kertas, huruf, kata, dan kalimat yang berserak. Semua seperti membisikkan rahasia. Saya tidak tahu persisnya. Barangkali karena pikiran anak-anak sangat pendek untuk menjangkau rahasia. Saya tatap lekat wajah kakek yang hampir pensiun jadi guru bahasa. Tangan kirinya mengapit sebatang rokok. Dari sudut mata saya, bara itu tampak sama besar dengan cahaya bohlam di atas kepala kakek yang asik menulis.

Saya tak paham waktu itu.

***
Saya heran mengapa kopi selalu akrab dengan musim. Bila malam datang bersama gerimis, secangkir kopi dengan uap yang meliuk-liuk akan tampak romantis. Ketika malam jatuh dengan bintang yang menggoda, secangkir kopi akan membias sebuah bisikan untuk tidak segera beranjak dari malam. Pada situasi seperti itu, seseorang akan tampak tergila-gila dengan kopi.

Sampai pada suatu malam, ketika hujan masih menyisakan rinai di ujungnya, saya tergoda untuk berhenti sejenak di sebuah persimpangan jalan. Sebuah kedai kopi menghentikan langkah saya. Memang hampir di setiap jalan di kota ini selalu ada kedai kopi. Kedai tersebut memang sederhanan dan cukup luas. Tata ruang diatur sedemikian rupa. Beratap jerami dan berpilar bambu. Bohlam-bohlam menggantung dengan sinar kuning redup. Asap tipis membubung ditenggarai obrolan-obrolan renyah. Sulit membedakan mana asap rokok dan uap kopi. Kesulitan membedakan dua hal yang saling bersentuhan itu sepintas menghadirkan bayangan kakek. Sejak kakek pergi tiga belas tahun lalu, aroma kopi sedikit menjauh dari kehidupan saya.

“Pahit atau manis?” tukas seorang pelayan. Perempuan. Saya memandangnya cukup lama. Rasanya ada yang berdesir.

“Manis,” tak adakah selain pahit dan manis?

Tak lama kemudian perempuan berkemeja putih dengan lengan yang digulung itu datang lagi. Jeans pesil membuat jalannya tampak menggoda. Uap kopi meliuk-liuk di atas nampan. Sambil bersenyum manis, ia meletakkan dengan cepat dan tangkas. Ia menyilakan. Sebagai pelanggan yang baik segera saya respon dengan ucapan terima kasih.

“Oh, ya. Maaf, hampir lupa. Mohon untuk mengisi daftar pengunjung.”

“Untuk apa?”

“Kami menyediakan kopi gratis bagi pelanggan yang beruntung. Setiap bulan. Barangkali nanti Anda yang beruntung.”

Saya harus menulis nama lengkap, bukan nama panggilan, nama pena, apalagi nama samaran. Begitulah petunjuk di dalam daftar pengunjung itu. Saya lakukan saja. Kupikir setelah menulis ‘daftar hadir’ saya akan mendapat kupon atau sejenisnya. Tidak. Pelayan itu langsung menjauh. Pikiran saya mereka-reka seperti apa nanti konsep pengundiannya.

Hujan masih mericis perlahan. Dalam kondisi seperti itu pikiran dengan sangat mudah dikuasai kenangan, mendadak di depan mata. Ah, kenangan. Terbuat dari apakah kenangan? Saya melihat bayangan kakek tengah menulis. Bara ujung rokok dan uap kopi mengembang kenangan betapa penyair yang tergila-gila dengan kopi itu kini tengah menulis puisi.

***
Semasa hidup, kakek penyuka puisi: menulis puisi, membaca puisi dan menerbitkannya. Dilihat dari beberapa komentar penyair di bukunya, puisi kakek adalah puisi nyentrik. Puisinya ladang dari segala perasaaan yang dimiliki manusia. Satu hal dari kenyentrikan puisinya selalu memandang dunia dengan tawa.

Buku-buku sastra tersusun rapi di salah satu ruangan rumah. Di situlah kakek bermeditasi melahirkan puisi. Diantara silsilah keluarga, hanya saya yang paling akrab. Tetapi saya tak pernah membaca buku-buku sastra, apalagi menulis puisi, sehingga tumpukan buku itu hanya menjadi dinding berdebu. Saya akrab dengan kakek bukan karena puisi-puisinya.

Anak kakek tiga. Satu perempuan, dua laki-laki. Saya cucu dari anak perempuan. Tak ada dintara ketiga anak kakek yang mewarisi—ibu menyebutnya—hobi gila itu, nongkrong sepanjang malam. Ibu cukuplah menjadi ibu rumah tangga yang baik: sumur, dapur, dan kasur. Paman Ben menjadi pegawai yang rajin. Sementara paman Ari sukses dengan usahanya.

Beberapa kali ibu mengingatkan saya, jangan terlalu dekat dengan kakek. Ibu takut saya tertular hobi gilanya. Apakah menulis puisi itu gila? Apakah penyair itu gila? Ah, seperti apa nikmatnya menulis puisi? Bukan. Bukan. Maksud ibu kegilaan tongkrongnya.

Saya terperangkap dengan puisi-puisi nyentrik itu seperti lalat yang mengambang di atas permukaan kopi. Bepuluh tahun kakek melarung malam demi membuat mahakarya bernama puisi. Kakek berbicara dengan puisi-puisinya betapa menjadi penyair itu pekerjaan mulia. Tak pernah ada seorang penyair yang berbicara bohong dengan puisinya—kecuali penyair-penyairan. Sastra selalu berbicara kebenaran, nurani manusia dan suara Tuhan, tulis kakek di salah satu pengantar bukunya.

***
Hujan hampir mericis setiap malam. Dingin udara tampak membanyol betapa titik air yang menyentuh tanah sungguh nikmat apabila ditingkahi aroma kopi yang menguap. Pada malam-malam berikutnya, setelah terkurung seorang diri di kamar kakek, saya tak ingin melewati malam dengan secangkir kopi di kedai ini.

Jika keluar hanya sebuah alasan secangkir kopi, istri saya siap setiap waktu memanjakan saya dengan aroma kopi buatannya. Tetapi, menikmati kopi di ruang tertutup dengan ruang terbuka sungguhlah berbeda. Itulah yang membuatnya mencurigai saya bermain asmara dengan perempuan lain. Ia kerap marah-marah dan mengumpat seenaknya.

“Jangan pulang sekalian!” umpatnya.

Pssst... ia hanya cemburu pada secangkir kopi.

Beberapa hari kemudian, istri saya berdamai dengan amarahnya. Ia lebih memilih diam dalam tangis. Lalu, pergi entah kemana. Saya jadi punya banyak waktu mematut bayangan saya di atas permukaan air kopi yang tenang. Saya sudah tak memiliki alasan untuk pulang meninggalkan kedai ini.

Desir angin pelan-pelan menggesek atap kedai. Seorang pemuda memainkan harmonika. Di depan semua pengunjung, ia menyatakan cinta pada kekasihnya.

***
Setiapkali pelayan—yang saya tahu pada perkenalan suatu malam bernama Taris—menuliskan nama saya pada selembar kertas, manik matanya rebah cukup lama. Mungkinkah pemilik tahi lalat tipis di pipinya itu tengah menaruh hati?

Ia mempertanyakan nama Rahardjo di akhir nama saya. Saya terakan nama Rahardjo susur galur keluarga saya.

“Anda kenal dengan Jafar Rahardjo?” pertanyaannya yang datar sedikit membuat perasaan terhenyak.

“Dia kakek saya.”

“Oh, jadi Anda titisan penyair.”

“Saya memang cucunya, tapi saya tidak suka menulis, termasuk puisi. Saya tidak akrab dengan puisi.”

“Apapun itu, Anda orang yang beruntung.”

“Beruntung?”

“Ya, beruntung. Karena puisi-puisi kakek Anda, kedai ini kami tak pernah alpa melahirkan para penyair.”

Saya terjebak bingung. Matanya berkilauan. Setiap rona di wajah Taris coba saya artikan dalam-dalam. Sebagian pengunjung mencuri pandang pada percakapan kami.

“Baiklah... baiklah. Anda sekarang boleh bingung, tapi nanti paham sendiri. Salam kenal titisan penyair,” tukasnya sembari pergi melayani pengunjung lain.

Titisan penyair? Saya menggeleng-geleng kepala. Tertawa sendiri.

Beberapa hari kemudian, Taris meminta waktu khusus, lebih dari sekedar waktu untuk seorang pelayan kepada pelanggan. Ia membawa tumpukan manuskrip puisi dan menyerahkan kepada saya.

“Ini milik Anda. Puisi-puisi yang ditulis oleh kakek Anda. Barangkali sebagian belum sempat diterbitkan.”

“Saya tidak suka puisi. Saya cuma suka aroma kopi.”

“Kopi? Hahaha...” Taris tertawa keras. “Begini, biji kopi terbaik tetap saja tak akan enak bila tangan penyaji kopi itu tak mengenali jiwa kopi.[1] Begitu juga dengan puisi.” Ia tersenyum dan mendekatkan bibirnya yang seksi,” banyak penyair yang lahir dari puisi ini. Anda pun bisa menjadi penyair.”

Perempuan itu meninggalkan manuskrip bersama kesunyian yang larut bersama ampas kopi.

***

Kakek adalah orang pertama yang memperkenalkan saya dengan aroma kopi. Saya tidak tahu tepatnya berapa usia saya saat itu, terjadi pada suatu malam. Sekarang, aroma kopi memperkenalkan saya dengan puisi. Mungkinkah perkenalan kakek dengan puisi juga disebabkan oleh aroma kopi? Ah, sudahlah. Jika ingin menjadi penyair, datanglah kemari. Setiap malam saya menunggu anda. Mari sama-sama menulis puisi dan menyeruput secangkir kopi. Pahit atau manis, terserah anda.

Jember 10 November 2014
[bersama ampas kopi di bibir cangkir]

[1]. Agus Noor, Kopi dan Cinta yang Tak Pernah Mati