Wednesday, April 30, 2014

Kudung


(Dimuat di Tabloid Nova, 21-27 April 2014)

“Bagaimana mungkin,” desis Laksmi, tak lain berbicara sendiri.

Kifayah hari ketujuh atas meninggal suaminya baru usai. Rumah kembali sepi. Tidak seperti hari kemarin yang dipenuhi para pelayat. Beberapa famili menambah hari agar tempat duka tidak sepi benar.

Laksmi bersimpuh di atas babut. Air mata jatuh tanpa bisa dipulangkan. Ia bukan tidak tahu betapa Rasulullah melarang ummatnya meratapi orang yang sudah meninggal. Tetapi air mata itu bukan semurni kehendaknya. Hanya saja, setiap kali ia mengusap janin enam bulan di perutnya selalu menjerang lara.

Keluarga almarhum yang tidak sepenuh percaya atas kematian itu adalah Laksmi. Bukan soal tidak siap ditinggal meninggal. Perempuan berperawakan kalem itu hanya perlu bukti agar hatinya bisa lapang menerima. Bagaimana bisa dikatakan meninggal sementara jasad almarhum belum ditemukan. Kalaupun benar meninggal, ia ingin menyimpul tawasul di atas kuburan suaminya.

Penduduk kampung Bederan tahu kalau suami Laksmi merantau ke negeri tetangga bersama Bahri, lelaki malang yang kembali ke kampung Bederan dengan raga berpisah dari nyawa. Kedatangan jenazah Bahri lantas menguak kabar kalau suaminya juga meninggal akibat bongkahan tebing yang ambruk di tempat penambangan.

“Jenazahnya tertimbun tanah sangat dalam, sulit dievakuasi.”

“Jadi ditinggal di situ?”

“Bisa jadi.”

“Tidak digali?”

“Jalannya sulit.”

Spekulasi mengalir seperti angin. Keluarga tak bisa berbuat apa-apa selain menggantung harap jenazah itu segera kembali. Tak ada yang tahu bagaimana caranya bertanya kabar kepada orang-orang di tempat penambangan. Berbeda kenegaraan dan terputusnya komunikasi menjadi alasan kuat spekulasi itu berkembang.

“Laksmi ikut Ibu, ya?”

“Tidak, Bu. Laksmi tinggal di rumah ini, menunggu Kakang.”

“Tak ada gunanya menunggu. Ikhlaskan …”

“Jangan paksa Laksmi, Bu. Kalaupun Kakang tak pulang, Laksmi tetap akan membesarkan anakku di rumah ini.”

Ia masih terpaku di atas babut. Sebelum kembali ke Madura, berulangkali familinya menyarankan agar ia turut serta tinggal bersama mereka. Namun, Laksmi tak tega meninggalkan rumah kayu yang susah payah dibangun dari hasil empat kali panen.

Pikirannya melambung jauh pada suatu malam yang mengabarkan malapetaka itu terjadi. Sepulang berjamaah dari masjid, ia menemukan Supardi duduk di beranda. Air mukanya menyembul panik. Sekonyong-konyong lelaki berselempang sarung itu bergegas mengabarkan kematian Bahri di tanah rantau.

“Dulla juga meninggal,” pungkasnya.

Laksmi mendekap erat mukena. Berlari. Lalu mengunci pintu rapat-rapat. Kabar kehamilan yang ingin segera ia sampaikan tertahan di palung hati. Kesedihan tambah rumit dibahasakan ketika yang datang hanya jenazah Bahri.

“Kang,” desisnya.

Perasaan tengah berirama menjatuhkan air mata. Rambutnya tampak kisut. Ia menaikkan kudung  yang merosot tanpa disadari. Kudung hijan daun itu hadiah setahun pernikahan dari almarhum.

“Dalam kondisi apa pun, rambutmu tak boleh tergerai untuk orang lain selain untuk suamimu.” Laksmi sangat ingat kata-kata itu. “Berhijab akan menjaga kehormatanmu sebagai seorang istri,” kenang Laksmi. Sorot matanya kosong, pada bingkai foto pernikahan di dinding kamar.

Ia tak akan mengubah kondisi apa pun di rumah itu.

***
Sewindu terpangkas sudah. Janin di rahim Laksmi kini menjelma malaikat mungil yang memberikan senyum rekah. Tujuh tahun bukan perjuangan mudah. Sepetak tanah, harta peninggalan almarhum, mana cukup menyambung hidup setiap hari dengan hasil panen tiga bulanan. Berbagai peruntungan mencari nafkah pernah dicoba: menjual gorengan, menjalankan bendring miliki ibu Kades, sampai dipercaya sebagai bendahara PKK di kampungnya.

Tak ada yang berubah di rumah itu. Kayu jati sebagai tiang utama terpancang kokoh. Dinding sirap lembab berlumut tipis. Beberapa plafon sudah tampak melepuh. Apabila ada yang berubah, barangkali hanya perasaannya yang berubah; tak menampik dirinya terbungkus status janda. Tak ada kabar selama sewindu seperti sudah menjawab keraguannya.

“Kenapa Bapak mau bekerja di luar negeri? Apa tanah kita kurang subur?” tanya Sri.

“Tanah kita sangat subur. Malah tak ada tandingannya.”

Kok Ayah ke luar negeri?”

“Nah, itu. Jika nanti sudah bersekolah, banyak ilmu, Sri akan tahu jawabannya.” Laksmi tak menemukan jawaban sepadan agar anaknya mau mengerti.

“Sekolah apa?”

“Ya, sekolah. Sekolah untuk mencari ilmu.”

Sri tampak bingung.

“Sudah. Ayo tidur, katanya mau ikut tahajjud,” potongnya memegangi kedua bahu dan mencubit gemas pipi tembam anaknya.

Sri memiliki kebiasaan hampir sama dengan almarhum; rajin mengunjungi sawah dan gemar bermain di pancuran. Ia sungguh riang menghalau segerombolan burung pipit yang menyerbu kemuning padi, mengumpuli pakis muda di sepanjang selokan, atau mengusili ikan-ikan kecil di bawah pancuran.

Laksmi melongok pada kosen jendela. Sri tengah bersama Supardi, pemilik sawah yang bersebelahan dengan sawahnya. Keduanya sedang mengerjakan sesuatu di pancuran. Laksmi menatap panjang. Sejurus kemudian menjangkau semu kenangan yang tertambat kaku di palung hatinya; saat bersama almarhum memeras cucian di pancuran itu. Supardi menjelma sesosok yang diinginkannya. Terbayang wajah almarhum yang teduh, yang selalu bersih seperti baru saja mandi; terngiang bicaranya yang lembut dan suaranya yang merdu bila membaca ayat-ayat Alquran atau membaca kasidah Barzanji.

“Sri pulang dulu. Solat,” teriak Laksmi.

“Sebentar, Bu. Man Pardi masih membuatkankan kincir air,” jawabnya.

Sejak kincir air itu jadi, Supardi semakin dekat dengan Sri. Ia mengajak Sri memasang urang-urangan, memetik sayuran, membantu mengairi sawah. Banyolan konyol Supardi yang ditingkahi gelak tawa Sri mulai pecah di beranda rumah.

Kedekatan Sri dengan Supardi membuat Laksmi merasa tak nyaman. Apalagi tersiar kabar kalau lelaki yang suka menyelempangkan sarung itu baru bercerai dengan istrinya. Soal perselingkuhan, hukum adat tak kenal kompromi. Laksmi mulai mencurigai jangan-jangan kedekatan Supardi dengan Sri cuma sekedar modus. Ia cemas akan terjadi fitnah. Apalagi gelegat ketidaksukaan Suriya, istri Supardi, sudah tercium sejak sama-sama menjalani bendring milik ibu Kades karena kalah jumlah pelanggan. Suriya terlalu memaksa, kerap marah bila setoran pelanggannya macet, begitu penilaian ibu-ibu kampung.

Rerimbunan pelepah nyiur di perbukitan sebelah barat memaksa matahari redup sebelum waktunya. Ketika Laksmi mengambil pakaian di lemari, ia menemukan kudung lama terlipat dengan pakaian almarhum. Barangkali cocok dipakai anakku, batinnya.

“Coba pakai.”

“Apa itu?”

“Kudung. Barangkali cocok untukmu.”

“Aku tak mau memakai kudung. Kata teman-teman, orang yang masih mengenakan kudung itu kuno. Ketinggalan zaman,” tukasnya polos.

“Sri tahu bukan, jika malu itu adalah sebagian dari iman?” tanyanya pelan.

Sri mengangguk.

“Nah, kudung itu salah satu hijab untuk menutupi kemaluan seorang perempuan. Seorang muslimah sejati harus berhijab agar terhindar dari godaan dan segala fitnah yang menyangkut dirinya. Aurat perempuan adalah seluruh anggota badan, kecuali muka dan telapak tangan. Jadi kalau Sri mengaku seorang muslimah, Sri harus mengenakan kudung.”

Sri pasang muka cemberut.

“Coba perhatikan. Apakah Sri menganggap Ibu ketinggalan zaman karena selalu memakai kudung?”

Sri menggeleng. “Ibu cantik. Sri ingin seperti Ibu.”

Laksmi mencubiti pipi malaikat mungilnya.

“Bapakmu pernah berpesan, sekali-kali Ibu tidak boleh membuka hijab untuk orang lain, kecuali untuk dirinya. Kelak jika sudah besar, Sri juga harus mengikuti pesan Bapak; boleh membuka hijab hanya untuk suamimu.”

***
Penduduk kampung mulai membuat spekulasi kedekatan Sri dengan Supardi. Ada yang menghubungkan kedekatan itu dengan rusaknya keluarga Supardi. Bahkan ada yang langsung memvonis kedekatan itu memang musababnya. Sri terlalu kecil untuk mengerti duduk perkara orang dewasa. Laksmi tersudut. Ibu-ibu muslimatan majlis taklim mulai memandang sinis. Menerima tawaran ibunya untuk pulang ke Madura dipikir sebagai solusi jitu untuk menjauh dari Supardi.

Angin berdesir pelan. Suara jangkrik saling pagut. Sebuah krocok jatuh. Malam tak lagi hening oleh penduduk kampung, yang didominasi kaum perempuan, menyemut menuju rumah Laksmi. Umpatan penduduk mengalahkan suara serangga malam macam apa pun. Di tangan mereka memegang satu benda yang sama: obor.

“Perempuan jalang! Keluar! Aku tahu kau diam di dalam!”

Teriakan itu seperti gema. Laksmi ketakutan melihat kobaran obor. Sri menangis di dekapannya. Laksmi harus keluar karena merasa tak bersalah.

“Lihat! Si perempuan jalang ini yang menggoda Kang Supardi,” umpat Suriya. Geram. Berdiri paling depan.

“Maaf, itu tidak benar. Demi Allah saya tidak mempunyai hubungan apa-apa. Sungguh,” jelasnya parau.

Alah, banyak alasan! Penampilan saja sok alim. Kelakuannya bejat! Tukang goda suami orang.”

“Astagfirullah, ini fitnah.”

“Mari kita beri pelajaran!”

Pasukan obor tambah merapat. Siaga menghanguskan rumah kayu itu. Sementara Suriya menyeret Laksmi dan anaknya menjauh dari rumah. Ia melepas kudung Laksmi. Laksmi berontak, hanya berteriak. Kudung itu ditudungkan ke obor. Seketika api obor mati. Tak puas, Suriya mengambil salah satu obor yang lain. Ujung kudung dibakar, namun api tetap enggan melahap kain itu. Penduduk kampung melongo. Wajah-wajah beringas seketika saling menoleh. Tak sadar sepasang kaki mereka berjalan mundur. Sedikitpun mereka percaya betapa api dapat membuktikan kebenaran. Dari kisah Nabi Ibrahim yang kebal api ketika dibakar hidup-hidup, sampai keselamatan pembakaran diri yang dilakukan Dewi Shinta untuk membuktikan kesuciannya, mereka semua mengetahui. Sementara Suriya terbakar atas kedongkolannya.

Seorang ibu, yang tak satupun dari mereka yang kenal, memapah Laksmi dan anaknya. Laksmi bersyukur betapa dalam lautan amarah manusia, cahaya kebenaran tetap menyala.

Jember, 25 Desember 2013

Tuesday, April 15, 2014

Bapakku bukan Perekayasa Konflik


Oleh: Allisa Wahid 

Senin malam, 25 Pebruari 2012, saya membaca mention di twitter tentang berita Cak Imin yang akan mendirikan monumen GusDur di Singkawang, Kalimantan. Kota yang banyak dihuni saudara sebangsa berdarah Tionghoa, yang tentu saja sangat menghormati Gus Dur. Walau saya mempertanyakan apakah kiranya sebagai orang yang substantif dan tidak suka seremoni, Bapak suka dibuatkan monumen; bukan soal itu yang mengganggu batin saya. Sudah beberapa waktu terakhir ini, saya ingin menulis tentang Bapak dan konflik PKB cak Imin dari kacamata saya sebagai anak. Tulisan ini adalah kegelisahan saya atas narasi yang semakin sering saya dengar dari mulut dan tulisan orang-orang PKB Cak Imin.

Pertama kali, saya mendengarnya langsung dari seorang politisi PKB Cak Imin, saat ia meminta saya untuk menjembatani PKB Cak Imin dengan keluarga Ciganjur. Sebelumnya, saya sudah beberapa kali didekati untuk menjadi jembatan ishlah, tetapi narasi ini belum pernah saya dengar. Sejak itu, saya mulai banyak mendengarnya dari orang-orang lain dari berbagai penjuru, baik langsung dari mulut mereka maupun via social-media, baik dari kawan-kawan Nahdliyin maupun dari aktivis PKB Cak Imin.
Narasinya sederhana: Konflik antara GusDur dan cak Imin adalah konflik yang sengaja didesain oleh Gus Dur, sebagai strategi politik; bukan sebuah konflik sungguhan dan karenanya sejatinya tidak ada persoalan antara Gus Dur dan Cak Imin. Bahkan ada beberapa orang yang menyebutkan dengan gagah berani langsung kepada saya, bahwa Cak Imin sampai saat ini hanya menjalankan perintah Gus Dur.

Karena saya bukan politisi, tentu saja saya tidak bisa menjawabnya secara politis juga. Saya hanya menjadi amat gelisah sebagai seorang anak, yang mendampingi Bapak secara intensif selama tiga tahun terakhir kehidupan Beliau. Hari-hari bersama yang membuat saya memahami beban nurani Bapak soal konflik PKB.

Saya melihat sendiri, bagaimana sikap Bapak ketika Cak Imin datang ke rumah bersama mbak Rustini, istrinya. Bapak hanya menjawab pertanyaan mbak Rustini dan mendiamkan Cak Imin. Ini terulang di banyak ketika lain. Bapak, misalnya, enggan menemui Lukman Eddy yang sudah sampai di Ciganjur. Tidak mau menemui. Sebagai orang yang blak-blakan dan mengingat bagaimana Gus Dur bersikap bahkan kepada “musuh-musuh” politiknya, respons Bapak saat itu, amat sangat jelas: tidak suka bertemu dengan mereka.

Tahun 2008, saat proses hukum PKB Gus Dur versus PKB Cak Imin, Bapak pernah mengalami stroke ringan, entah ke berapa sejak stroke hebat tahun ‘98. Bapak terjatuh saat dituntun ke kamar mandi oleh Sulaiman di kantor Gus Dur di pojok PBNU. Saat saya tanya apa yang terjadi persis sebelumnya, Sulaiman bercerita bahwa Bapak sedang mendengarkan berita di TV tentang sidang di PTUN. Ada beberapa orang PKB Cak Imin yang diinterview oleh media, dan mereka blak-blakan bicara lebih senang Gus Dur tidak di PKB. Mendengar jawabannya, Bapak berkomentar “orang-orang ini saya yang bawa masuk politik. Kok tega ya mereka ngomongnya begitu tentang saya, Man?” Lalu Bapak minta diantar ke kamar mandi, dan jatuh pingsan di depan pintu kamar mandi. Kata dokter, stroke ringan akibat stres.

Puncaknya tentu saja ketika MA memutuskan gugatan PKB GusDur ditolak, dan MA menyatakan PKB yang sah adalah PKB hasil Muktamar Semarang di mana Ketum adalah Cak Imin dan Ketua Dewan Syuro adalah Bapak. Setelah keputusan itu, nyatanya PKB Cak Imin tetap berkantor di Menteng, tidak di kantor asli PKB yaitu di Kalibata tempat Gus Dur selalu datang. Setiap keputusan juga diambil sendiri, tidak melibatkan Gus Dur sebagai Ketua Dewan Syuro. Puncaknya di pendaftaran DCS Pemilu 2009 yang dibuat sendiri oleh cak Imin dan pengurusnya. Drastis menurunnya kesehatan Bapak setelah itu, sangat kami rasakan di Ciganjur. Sehebat apapun fisik Beliau sepanjang hidupnya, seperti kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan tekanan psikologis yang hebat ini. Dokter dari berbagai penjuru dunia memberikan respons yang sama atas catatan medis Bapak, “Ini pasien ajaib: dengan kondisi fungsi tubuh seperti ini, masih bisa bertahan begini.” Kami tahu, hanyalah keajaiban itu yang sanggup menopang tekanan psikis, dan entah berapa lama. Itu sebabnya, Ibu sangat sulit untuk menerima perlakuan PKB Cak Imin kepada Bapak, sampai saat ini.

Mei 2009, Bapak berkunjung ke Jogja. Bapak bilang, “Lis, kamu punya uang yang bisa Bapak pinjam?” Berapa dan untuk apa, tanya saya. “Ya untuk pegangan saja, 5 juta cukup.Bapak nggak punya uang sama sekali.” Bapak saya adalah orang yang mandiri, kalau sampai minta uang kepada saya, berarti sudah berat sekali bagi Bapak. Saya telpon Yenny sambil menangis. Kok bisa, Bapak sampai tak punya uang, bahkan sesedikit itu. Kok bisa, mereka-mereka yang khianat kepada Bapak hidup bergelimang kemewahan sedangkan Bapak tak punya uang di kantungnya.

Bahkan menulis paragraf di atas ini pun, saya tak mampu menahan air mata. Menyakitkan sungguh, walau juga semakin membuat saya sadar betapa Bapak jauh dari godaan harta dan kekuasaan.

Pertengahan 2009 itu kondisi Bapak memburuk. Banyak orang menjenguk Beliau di RS, dan lazimnya orang Indonesia, menitipkan belarasa urunan biaya perawatan. Bapak mengumpulkan amplop-amplop ini di dalam laci kantor di PBNU. Lebaran 2009, saya tanya ke Bapak apakah Beliau akan memberikan THR khusus ke staf Ciganjur. Jawabannya tidak dan agar saya yang memastikan mereka mendapatkan THRnya. “Bapak sedang mengumpulkan uang untuk Muktamar PKB, nak. Imin sudah nggak bisa dibiarkan terus-terusan begini.” Demikian kata Beliau saat itu. Beberapa kali Bapak bercerita soal bagaimana PKB harus diperbaiki dan tidak boleh dipegang oleh cak Imin. Saat itulah definitif saya memahami bahwa Bapak masih berupaya keras untuk memperjuangkan PKB dari cengkeraman orang-orang yang tak amanah, walau secara de facto Beliau sudah tidak berdaya. Ada beberapa orang PKB Cak Imin yang masih diterima saat menjenguk, tetapi tidak dengan kelompok terdekat Imin.

Setelah Bapak wafat pun, ada seorang teman Bapak (sekarang seorang tokoh nasional) yang mengatakan ke saya bahwa ia sedang diminta Gus Dur mencari donasi untuk persiapan Muktamar PKB Gus Dur di tahun 2010. Ia menyerahkan uang yang sudah berhasil dikumpulkannya kepada Ibu. Memang, niat Gus Dur untuk Muktamar sangat kuat, sebagai respons terhadap keputusan MA tentang legalitas PKB yang jatuh ke tangan Cak Imin.

Semua pengalaman inilah yang membuat saya ngenes dengan ‘tawaran narasi’ dari entah siapa di kubu PKB Cak Imin. Menyatakan bahwa konflik antara PKB Cak Imin dengan Gus Dur adalah rekayasa, bagi saya sama saja dengan menghina Bapak dengan amat sangat.

Seorang Gus Dur, sekuat apapun seajaib apapun, tak akan mampu merekayasa kondisi fisiknya. Menyatakan bahwa konflik ini adalah rekayasa Gus Dur, adalah sama dengan menyatakan bahwa Gus Dur gila. Itu berarti menyatakan bahwa Bapak merekayasa konflik untuk strategi politik, lalu terkena sendiri dampak fisik dari permainannya, sehingga bahkan harus tinggal di Rumah Sakit.

Seorang Gus Dur tak mungkin mempermainkan mekanisme hukum sampai di Mahkamah Agung untuk mendapatkan kejelasan hukum mengenai partainya, hanya demi rekayasa. Gus Dur adalah pejuang demokrasi, yang setia dengan prinsip keadilan dan pembebasan. Mereka yang percaya bahwa Bapak merekayasa konflik sampai memanfaatkan proses demokrasi hukum, sama saja percaya bahwa Gus Dur bukan pejuang demokrasi sejati. Ia dianggap sama dengan mereka-mereka yang memanfaatkan hukum untuk kepentingan kekuasaan. Bagi saya, ini adalah penghinaan besar bagi perjuangan dan karakter Gus Dur.

Rekayasa macam mana yang membuat rombongan Cak Imien melakukan sujud syukur di Mahkamah Agung setelah pengumuman keputusan MA itu? Menyelenggarakan tumpengan di kantornya? Sedemikian pentingnya bagi Gus Dur bersama Cak Imin membohongi rakyat dengan melakukan hal-hal itu, agar rakyat percaya ini konflik betulan padahal rekayasa? Sekali lagi, itu sama saja dengan menyatakan Gus Dur bukan pemimpin rakyat.

Bagi saya, Bapak bukan itu semua. Dalam hal konflik dengan PKB Cak Imin, acuan saya hanya apa yang saya lihat dan saya dengar dari Bapak langsung. Bukan apa kata dan analisis orang. Apalagi orang-orang yang punya track-record dan karakter yang tak bisa saya percayai.

Hanya karena ingin mendapatkan dukungan dari pecinta Gus Dur, tega sekali orang-orang ini menyebarkan narasi yang justru menghina karakter Gus Dur, tega sekali menjual nama Gus Dur sedemikian rupa hanya untuk kepentingan kekuasaan sesaat yang tentu saja tak bisa dibawa mati.

Padahal, sejatinya mudah mendapatkan dukungan pecinta Gus Dur. Kalau memang mengaku sebagai penerus Gus Dur, jalani saja apa yang selama ini diteladankan Gus Dur: integritas terhadap nilai-nilai dasar Gus Dur, demi umat. Tunjukkan bahwa mereka berjuang berlandaskan prinsip Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Persaudaraan. Tunjukkan bahwa mereka punya karakter Sederhana, Sikap Ksatrya, dan bertumpu pada Kearifan Tradisi. Tunjukkan saja bahwa mereka memang tidak terlibat korupsi, bertindak demi rakyat. Tunjukkan saja pembelaan kepada semua kaum minoritas yang akhir-akhir ini makin muram nasibnya di Indonesia. Itu cukup untuk mengambil hati rakyat.

Tak perlu klaim ini-itu, apalagi klaim yang justru menghina Bapak saya. Sebagai seorang anak, saya sungguh-sungguh kecewa pada mereka, yang tega melakukannya dan tega untuk percaya bahwa masih banyak rakyat yang masih bodoh dan bisa dibohongi. Sesuatu yang jauh dari apa yang diajarkan Bapak saya sepanjang hidupnya.

*ditulis pada 26 Pebruari 2013*

Sumber:http://alissawahid.wordpress.com/2014/04/06/bapakku-bukan-perekayasa-konflik/