Sunday, April 12, 2009

Munajat Rembulan


Bayanganmu selalu menghadirkan kepedihan pada setiap jejak-jejak langkah menapaki jalan-jalan kelabu. Dimana ilustrasi itu selalu menghadirkan selaput cinta yang telah kau pahat sendiri.. Sunyi merayap mendahului bahasa jiwa tak terjewantahkan. Aibpun tidak bisa menjalar dimana desiran angin mengabarkan berita hati dan perasaan menyatu dengan aliran darah kaku tak terangkai kepada muara pengaduan.
Kau cacah hatiku dengan seberkas cahaya yang hilang mengembang tanpa tujuan.. Egomu menasbihkan bait-bait syaitan sebagai ikon bagiku untuk membencimu. Tempat aku marah dan frustasi. Aku lelah mana kala harus melewati titk-titik terjal mencari kepastian tanpa seserorang yang memapah digelap sang hitam. Aku ingin sekali tidur dari mimpi-mimpi yang kau hadirkan menyudutkanku dalam tembang angin pilu ingin rasanya membuat seribu satu hiburan agar kau tertelan bersamanya, bersama mimpi-mimpimu. Tak akan ada seberkas yang kan nampak.
Aku mencoba untuk bersikap tegar sebagai lelaki dalam sebuah alunan permainan dunia.. Dimana seuntai lemparan senyum manis yang kau bingkai dari bibir mungilmu. Menghadirkan abjad-abjad cinta, melantunkan syair-syair asmara, tenggelam dipangkuan kekasih. Perpisahan tanpa bias butir-butir air mata dan tanpa diduga menyudutkan asa yang tak terkuak kedalam gerakan tarian bumi. Bersikap tegar dibusung kengiluan. Menahan butiran-butiran kristal yang kadang terjatuh menetes mengaliri kubangan-kubangan malam.
Aku menoleh kekanan atas. Terniat dibenakku mengukur seberapa jauh Ratu malam menggantikan Raja siang. Detak-detak jam dinding yang setia melekat ditembok layaknya tumbuhan parasit Membahana jelas sekali detakan hitungan dunia. Aku keget ketika yang aku peroleh jawabannya. 01:15 WIB. Tengah malam kulewati lagi dengan puing-puing kenistaan. Asbak rokok tersesak penuh dengan putung-purtug yang telah kuhisap Tar dan Nikotinnya. Aku lihat disamping kiriku sebuah balok kecil bertuliskan Dji Sam Soe terbelalak menunjukkan isinya yang hanya tinggal dua batang. Disampingnya berdiri gelas plastik biru tempat cairan hitam. Kopi. Namun sayang didalamnya yang tersisa hanya ampas-ampas tak berguna menempeli dinding gelas itu. Apa yang bisa aku lakukan? Disaat para makhluk terlelap bersama bungan-bunga tidur, aku malah menyongsong malam sendiri menemani suara binatang malam yang selalu mengisi aktivitasnya dimalam sunyi. Sebaliknya ketika manusia terbangun dari tidurnya,. Eh malah aku yang bergelumut dengan bantal dan selimut.
Oh! Tuhan apakah gerangan yang menimpa hambamu ini? Hingga tiap malam selalu dirundung kegelisahan! Adakah jalan keluar untuk menghapus kebiasaan-kebiasaan tak sepantasnya aku lakukan semenjak kepergian dia? Tak bisakan kamar yang selam ini aku jadikan kepulan asap rokok menjadi surga kecil dalam rumahku. Yaitu sebagai tempat pendirian sholat malam dan tempat lantunan bait-bait namaMu dimalam hari yang sunyi. memcahkan misteri malam yang beredar ditaburan pekt-pekat kegelapan.
Setiep malam aku layaknya seekor bangkai yang dimumi. Dilanda kejiwaan yang mengguncah-guncang. Terkadang mencari teka-teki permainan alam dan sisa-sisa keindahan malam. Karena aku yakin tuhan menciptakan malam bukan hanya sekedar dijadikan waktu beristirahat. Dibalik malam tuhan menyebunyikan berjuta-juta rahasianya. Kebesarannya sebagai renungan bagi orang-prang yang berfikir. Malam adalah jalan terpendek untuk sampai kepada-Nya karena semua makhluk telah hilang bersama mimpi-mimpi sebagai penikmat malam. Jujur, bersama malam aku sedikit menemukan ketenangan meski berdimensi dengan ilustrasi yang kau bingai dikedalaman samudra perasaan.
Aku merebahkan tubuh yang tak berdaya ini diatas kursi. Salah satu teman bisu malamku. Mengingat-ngingat akan tinglah lakumu. Oh! Sedahsyat inikah cinta? Membuatku tidak mati ataupun tidak hidup. Masih ingtkah kau? Disaat ukiran langkah kita menikmati taburan cahaya bintang. Dari celah-celah kedua bibirmu kau berucap melantunkan sebuah kata yang membuatku benci untuk mengatakannya kembali,. Dan terakhir kalinya kau pernah berucap “Hilang satu tumbuh seribu” tapi aku tidak yakin bahwa yang seribu itu tidak sama dengan yang satu. Tak kan mungkin yang satu itu hadir kembali. Itupun hilang bersama senyum terakhirmu. Aku sedikit mamaklumi karena lidah memang tak bertulang. Lautan yang begitu luaspun dan merupak bagian dari samudra, bagian dari separuh bumi masih juga pasang surut, apalagi hanya… ah! Sudahlah. Aku semakin tersudut.
Saat aku terlempar bersama angan. Saat bola mataku menghujam tatapan hampa kearah jendela. Aku menemukan sesuatu aneh yang memikatku untuk menghampirinya. Ya! Itu adalah bias cahaya dewi malam yang masuk dari ventilasi jendela. Warna keemasan. Aku berdiri hendak ingin meraihnya. Namun sesaat kemudia ia menghilang hingga aku mengurungkan niatku. Muncul kembali. Ada apa gerangan dengan dewi malamku?.
Aku buka jendela. Rembulan tersenyum dibalik pohon. Diantara kejaran awan-awan yang bermain, bulan menyapaku.. Aku melihat bulan mengintip dari celah-celah lebatnya dedaunan. Sesekali menghilang diterpa keramaian awan yang saling kejar mengejar.
Bulan semakin meninggi medendang tembang untuk melengkapi nikmatnya para mahluk tidur.. Bulan tersenyum sinis. Seakan bulan tau penderitaan yang akan aku adukan kepadanya. Bulan menertawaiku. Bias cahanyanya melukiskan kekasih yang telah membunuh kepribadianku. Meninggalkanku yang terkulai lemas oleh kenangan yang dia berikan. Aku mencoba bertahan dan mungkin hanya bulanlah sebagai pengaduanku malam ini. Lipatan-lipatan kertas sudah bosan menampung pena yang kujalankan setiap malam. Aku berharap bulan mengerti atas segala apa yang aku rasakan. Lewat desiran angin bisikku sampaikan pada bulan. Aku ingin membunuh sunyiku.
Bulan dengarkanlah! Dengarkan diriku yang terombang-ambing antara pertumpahan benci dan cinta. Aku dibuat frustasi oleh sikap dia. Biasanya senyuman selalu mengembang dipelupuk mataku, tertawa membahagiakan hati, mesrapun jatuh diprlukan. Kini sedikitpu dia seakan tidak sudi lagi memberikan semua itu kembali. Ketika ditanya. Apa jawabnya? “Biarkan sang waktu yang menjawabnya. Hilang satu tumbuh seribu.” Meski aku telah meyakinkan bahwa belum tentu yang seribu itu sama dengan yang satu. Adakah orang ketiga yang merubah hatinya? Lalu bagai mana caraya agar aku bisa meyakinkannya. Aku berharap dia kembali. Ataukah selam ini ia hanya ingin menjadikanku sebagai sepah? Ah! Sudahlah! Namun aku benar-benar tidak mengerti. Dia pergi bila aku membutuhkan, Iapun datang bila kehendakya sendiri. tak ada kata indah menghanyutkanku dalam kebahagiaan.
Aku tidak kuat menahan perasaan ini. Perasaan yang berkecamuk, berperang menguasai hati. Tubuhku gemetar menahan gejolak nafsu yang berkeinginan untuk bertegur sapa. Apalagi kalau aku melihatnya kembali. Rasa sedih, pilu, sakit, cinta, benci dan perasaan lain bertabuh dijiwaku menitikkan air cinta. Aku sadar aku tak sepenuhnya membenci ataupun meninggalkan dan aku juaga merasa dia tidak sepenuhnya meninggalkanku. Ketika kita bersua, dia memalingkan parasnya. Lewat bahasa jiwa, lewat isyarat hati. Ada keterpaksaan berbuat demikian. Tapi, apakah harus seperti ini? Apakah aku harus menanamkan benih-benih Iblis? Mengapa dia tidak terus terang saja padaku tentang yang dirasakannya. Tentang….
Sebenarnya aku tidak ingin membencinya. Jujur ku akui hati kecilku masih terpahat keras oleh bingkaian yang dia ukir. Berharap merpati lepas akan kembali lagi kesarangnya. Namun ia terlanjur terbang bebas. Hanya keajaiban yang bisa mengembalikan kembali. Tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Ada sesuatu yang belum aku pahami pada diriku sendiri. Ketika ditakdirkan bertemu, rasa dari semua perasaan memberi argumen tentang dia. Membuat getaran jiwa parau. Kadang hati kecilku bebisik bahwa dia menganggapku seperti barang yang habis masa pakainya. Lebih parah lagi, sampah.
Guluk-guluk 29 Desember 2007
*Fandrick HS Putra, santri PP Annuqayah Lubangsa.bergiat dikomunitas cinta nul

0 comments: