Monday, June 13, 2011

Menyimak Kemiringan NU

(Majalah Fajar, 2011)

Pelaksanaan muktamar NU ke-32 di Makassar memberikan banyak “catatan mendalam” di benak para nahdliyyin, mengingat kentalnya aroma politik yang menghiasi perjalanan muktamar lima tahunan itu. Waktu itu, syahwat politik menjadikan muktamirin “pecah” dalam beberapa kelompok, mengusung dan menjagokan calon masing-masing. Pada titik ini, muktamar tak jauh beda dengan pemilihan umum yang sarat kepentingan politik.

Euforia mencapak titik klimaks tatkala K.H. Hazim Muzadi yang sebelumnya menjadi ketua Dewan Tanfidziyah NU tak bersedia dicalonkan sebagai Rais Aam. Tentu, K.H Sahal Mahfudz yang menjadi kompetitor utamanya menang secara aklamasi dan menduduki kursi tertinggi tersebut untuk yang ketiga kalinya. Maka lengkaplah, K.H Said Aqil Siradj sebagai ketua Dewan Tanfidz dan K.H Sahal Mahfudz sebagai Rais Aam periode 2010-2015.

Ketika Kang Said—sapaan akrab K.H Said Aqil Siradj—terpilih sebagai nahkoda Dewan Tanfidziyah, berbagai opini dari seluruh penjuru nusantara menguak, akankan NU tetap akan berada pada porosnya? Hal ini dikarenakan selama ini tokoh NU asal Jawa Tengah tersebut dikenal sebagai intelektual muslim yang agak liberal, “satu level” di bawah Gus Dur. Ibarat makanan, bisa jadi, konsep al mukhafadhadatu ‘ala khadimis shalih bagaikan segelas dan al akhdzu bil jadiidil aslah seperti sepiring, sehingga lambat-laun NU akan menjadi ompong dan meninggalkan keempat prinsipnya; tawazun (seimbang), tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan ta’adul (adil).

Namun jargon yang dielu-elukan Kang Said untuk mengembalikan NU ke pesantren memberikan satu titik pencerahan. Pemikirannya yang ulet dan kreatif dipandang mampu membawa kader-kader NU tidak lagi menjadikan problem keumatan sebagai batu laoncatan untuk menggapai kepentingan politik.

Pertanyaannya, mampukah Kang Said dan dan Kiai Sahal berkolaborasi memimpin organisasi terbesar di nusantara ini untuk menjadikan problem keumatan sebagai agenda utama NU?

Menjawab persoalan keumatan adalah agenda besar yang harus selalu menjadi prioritas utama organisasi bintang sembilan itu. Itulah sebabnya mengapa pada tahun 1926, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, dan Ulama lainnya mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Nahdlatoel Oelama (baca: NU). Hal ini dalam rangka untuk melindungi dan merangkul warga nahdliyin dari pemurnian Islam di Timur Tengah, utamanya yang dimotori oleh kelompok Wahabi selain sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari penjajah kolonial Belanda.

Namun, NU saat ini kehilangan telah arah. Visi untuk menjadikan kepentingan agama, masyarakat, dan bangsa sebagai titik pijak perjuangannya mulai kian terkikis. Kepentingan politik lebih diutamakan dari pada kepentingan umat. Nah, di sinilah munculnya adagium NU kultural dan NU struktural. NU kultural tak “mempersoalkan” urusan politik, yang menjadi agenda utama mereka adalah memberdayakan masyarakat dan mengurusi nilai-nilai Islam semacam mengadakan kumpulan-kumpulan (jamiyah) kecil: khataman, manaqibah, sarwaan, atau sabellesen di pelosok-pelosok desa.

Di sanalah kita benar-benar menemukan sikap dan prilaku orang NU: ngopi dan ngerokok bersama. Dengan tegas Acep Zamzam Noor mengatakan, merekalah yang selama ini mempertahankan, menjaga kehormatan serta menjalankan peran NU sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan (hal.16).

Sedangkan NU struktural adalah warga nahdliyyin yang diberi amanah untuk mengorganisir NU dari tingkat lokal sampai nasional. Tentu, NU struktural ini memiliki peran penting memberdayakan umat dalam konteks kenegaraan; memberdayakan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Akan tetapi, amanah yang begitu “mulia” itu dirasa sudah memudar. Kata Binhad Norrahmad, salah satu dari ke-15 penulis dalam buku ini, NU sudah kehilangan gaya, makin terkikis watak dan ekpresinya sebagai tradisi beragama yang estetis (hal. 228).

Persoalan umat alih-alih dicarikan penyelesaiannya, malah dijadikan komoditas politik. Dengan bangga mereka menyatakan dirinya “berjuang demi umat”, memasang baliho di mana-mana dengan mempercantik titel “KH” yang sakralisasinya di kalangan warga nahdlyyin tak diragukan. Karakter berpolitik tak ada bedanya dengan orang yang bukan NU, sama-sama picik.

Kompleksitas persoalan di tubuh NU semakin rumit. Sebagian elite NU terjebak pada pragmatisme kekuasaan. Perebutan kekuasaan di tubuh struktural NU mengandung unsur politis dan meyebabkan perselisihan sesama NU sendiri. Padahal, jelas peran dan fungsi dari NU adalah sebagai gerakan sosial keagamaan (jami’yah al-diniyah al-ijtima’iyah).

Sempat menjadi harapan ketika pada Muktamar ke-27 di Situbondo pada tahun 1984, Muktamirin membuat keputusan NU kembali ke Khittah 1926. Namun, gagasan kembali ke khittah 1926 yang semula diorientasikan untuk memaksimalkan gerakan sosial, ekonomi, dan pendidikan pesantren (agama) tersebut justru berkembang memasuki celah domain politik praktis sehingga kiai dan politisi tak jauh berbeda dalam urusan berpolitik.

Berbagai persoalan atau isu-isu “miring” di tubuh NU serta tantangannya dalam konteks kekinian, telah diulas oleh para nahdliyyin muda dari berbagai nusantara dari posisi “miring” pula. “Miring” bukanlah sinting. Tetapi, lebih untuk menonjolkan identitas NU yang sebenarnya: unik menarik, dan (terkadang) nyentrik. Lebih kongkretnya, cara mereka menyoroti, mengulas dan mencandakan NU sebagaimana ulasan dalam buku ini sama persis seperti yang tergambar pada covernya yang berwarna hijau; sekumpulan orang, memakai sarung dan kopiah, rokok, serta segelas kopi sebagai penghangat obrolan.

Buku yang terdiri dari 15 tulisan esai kader-kader muda NU ini membahas NU dari tiga sisi: ada yang menyoroti, ada yang mengulas, dan ada yang mencandakan NU dari kalangan bawah sampai kalangan elitenya, serta mengurai-tuntas nasib warga nahdlyyin yang merasa telah “dikorbankan” oleh para elitenya sendiri. Pembaca akan diberikan tiga menu sekaligus dalam satu kali membaca. Tentu dari ketiga pembahasan itu ada yang dekat, mendekat, dan sangat dekat, yang akan menggiring pembaca pada persoalan yang serius, tetapi diulas secara santai “sambil” tertawa.

Ulasan-ulasan miring yang disunting oleh penyair asal pedalaman Lampung, Binhad Nurrohmat dalam obrolan imajinernya (untuk tidak menyebut obrolan miring) ini amatlah tajam dan tetap pada pandangan yang rasional yang tentu harus menjadi bahan perenungan dan pertimbangan bagi warga nahdlyyin, termasuk pembaca buku ini. Selamat Membaca!
dimuat di Majalah Fajar edisi XVII 2011

Kasur Tua

jadilah kita sepasang kekasih yang diam-diam saja di sini
cinta tak perlu apa-apa
cukup hati saja

kujelaskan padamu mengapa aku memilihmu?
kau rupawan yang serupa rupa-rupa
katakanlah bahwa mautmu ada di pundakmu sendiri
jangan pergi ke mana-mana. kau tak akan menemukannya
tunggulah aku di sini

hey, siapa yang mencuri topiku
apakah kau bajingan
penjambret
maling
pencopet
perampok
atau…
ah, kau hanya bekicot

Inayati
Hanya sebotol air mineral saja kau marah-marah
Lemparkan saja rumah kita
Atau bila perlu gentingnya kau jual buat berobat
Agar penyakitmu tidak kumat-kumat lagi

Aku bosan melihatmu ke sana ke mari
Apakah aku yang salah memberimu jamu
Rasanya aku benar, kau yang meminta kuda raksasa bukan kuda perkasa
Atau jangan-jangan malam itu kau meminumnya dengan alkohol
Wah, kau hebat sekali

Baiklah
Sedikit akan kuceritakan tentang ekalaya
Ternyata mahaguru durna dan arjuna bersekongkol menjatuhkan Dakshina kepadanya
Sekarang ibu jari kanan ekalaya diburu keduanya
Entahlah, seberapa berharganya ibu jari itu

Kau benar-benar keterlaluan
Tutup botol air mineral saja kau permasalahkan

Guluk-Guluk, 2011

Wednesday, June 1, 2011

Mujahidah

(Antologi V KCN, 2008)

Hujan makin deras mengguyur, diterpa angin malam bertualang. Udara terasa membeku. Dingin. Percikan air turut menabur kedinginan. Menusuk-nusuk badan. Gigil. Aku duduk terjebak hujan di Terminal. Bus yang aku tunggu sejak sejam yang lalu belum juga kelihatan ujung kepalanya.

Sebagai seorang waratawan kecil di sebuah Stasiun Televisi Swasta. Mencari berita setiap hari, itulah pekerjaanku. Membawa dan menyisakan kelelahan yang amat sangat. Sekarang, aku ditugasi untuk meliput perang antara bangsa Palestina dengan kelompok Zionis di jalur Gaza. Meski berat dan membahayakan, ini memang resiko seorang wartawan.

Sunyi terus merayap. Para pedagang di sepanjang terminal sudah mengemasi barang dagangannya. Hujan yang terus tumpah membuat mereka enggan berlama-lama di tempat itu. Aku rebah di kursi penunggu, sejenak melepas penat. Samar-samar aku melihat seorang wanita duduk mendekap. Kedinginan di sudut Terminal, di bawah tiang lampu. Pelan-pelan aku mendekatinya. Siapa tahu wanita malang itu butuh bantuan!

“Masya Allah,” aku terperanjat melihat kecantikanya. Rupa yang menurutku begitu sempurna. Seperti itukah wajah-wajah bidadari di negeri yang kacau dan tidak aman ini? Sungguh malang nasib mereka. Ditinggalkan lelaki yang sibuk baku hantam dengan pelor- pelor mautyang siap melayangkan nyawa mereka.

Mengapa dia berada di sini? Ada apa dengannya? Wanita itu nampak ketakutan. Aku mencoba menenangkannya. Namun, dia tetap ketakutan. Terpaksa aku memperkenalkan diri memberikan kartu identitasku.

Dia sedikit tenang. Tapi, tetap membisu.

Tubuhnya mengigil. Pakaiannya basah kuyup. Aku meminta izin sebentar untuk mengambil jaketku yang aku letakkan di atas peron yang tak begitu jauh jaraknya. Pikiranku tertimbun banyak tanya.

Setelah aku kembali, wanita itu telah lenyap. Sulit diterka kemana jejaknya. Apakah aku hanya berhalusinasi, atau dia adalah hantu korban perang? Hii..i… bulu kudukku merinding!

***
Fajar hampir tiba. Handphone-ku berdering.

“Halo!”

“Fan, cepatlah ke TKP. Sekitar tujuh kilometer dari tempatmu dengan sudut 60 derajat!” Suara menejerku nyerocos tanpa titik koma. Ia mengomando melalui pendeteksi jasa satelit.

“Baik! Aku segera ke sana.”

Aku beranjak, mengambil ransel kecil yang selalu kubawa. 20 menit berlalu. Aku sudah berdiri di lokasi kejadian. Di sisi kanan, suatu kelompok yang mayoritas memakai kain putih membentang bendera bertuliskan kalimat syahadat. Kelompok itu berjibaku melawan senjata-senjata yang dilesatkan oleh tentara Israel. Saling lepas tembakan. Debu-debu beterbangan menyatu dengan asap-asap hitam menggumpal.

Sebuah bom jatuh dari atas Helikopter. Luar biasa dahsyat. Beberapa orang terpelanting. Gedung-gedung ambruk. Amburadul. Asap menjadi selimut perjuangan mereka. Teriakan perjuangan memekik menambah suasana menjadi lautan ketakutan.
Kelompok putih-putih itu kalah senjata. Namun, semangat tak pernah surut. Teriakan lantang terus menggema. Mengagungkan asma Allah. Aku sadar dari ketololan. Segera aku pasang kamera dan memastikan pukul berapa kejadian itu.

Tiba-tiba, di tengah pertempuran, sosok wanita berjilbab hitam dengan pakaian serba hitam—membuat ia berbeda dari kelompoknya—terekam di kamera kecilku. Aku mengenalinya walau pun hanya bisa membaca sorot matanya karena semua tubuhnya tertutup kain hitam. Sorot mata itu yang pernah aku temui di Terminal kemarin.

Kameraku tak lepas dari tingkahnya. Aku sengaja terus menyoroti serta mengikuti setiap pijakannya. Lalu, ia berjalan menuju sebuah mobil biru. Aku mengikuti arah mobil itu. Sampai di rumah tua, yang cukup jauh dari keramaian, mobil itu berhenti. Rumah itu tidak terawat; kaca jendela sana-sini pecah, satu pilar depan juga tumbang, serta kulit tembok banyak yang mengelupas. Mereka disambut oleh dua orang lelaki bertubuh kekar. Aku curiga, jangan-jangan rumah itu sarang teroris.

Dbuuk……..

Kepalaku pening. Mataku berkunang-kunang. Alam terasa tidak berputar pada porosnya. Sakit sekali. Aku masih sadar meski tubuhku sudah lunglai. Aku tak berdaya saat mereka menyeretku dengan paksa.

“Siapa dia? Kenapa kau bawa ke sini?” Aku terkejut. Mereka bisa berbicara dengan bahasa Indonesia.

“Orang ini mengintip kita. Aku curiga dia mata-mata.”

“Sekap dia ke gudang. Jangan sampai lepas.”

“Jangan kak! Dia temanku,” kata seorang wanita. Wanita yang aku cari.

“Kenapa kau bawa ke sini?” Lelaki kekar itu berucap.

“Aku yang mengajaknya. Tenang saja, dia tidak akan membocorkan tempat ini.”

“Ya! Sudah. Cepat bawa dia pergi. Tapi, awas jika terjadi apa-apa, kau harus bertanggung jawab,” ancamnya.

“Ya! Kak,”

Wanita itu menuntunku ke sebuah ruangan. Hanya aku dan dia.
“Kenapa kau ada disini?”

“Tadi, ketika aku meliput berita, aku melihatmu. Kuikuti kau sampai kemari. Kau orang Indonesia?” tanyaku asal-asalan.

“Ya! Aku orang Indonesia. Aku ikut kakak menjadi relawan menumpas para sekutu yang tega menghancurkan saudara-saudara. Kami tidak bergabung dengan tentara resmi. Kami mendirikan kelompok sendiri.”

“Mengapa kau nekat? Kau perempuan.”

“Sebenarnya aku tidak diizinkan ikut oleh kakakku. Saat mereka berangkat, aku lewat pintu belakang pesawat. Lalu, kakak pasrah saja setelah aku ketahuan ikut dengannya.”

“Kenapa kau lakukan itu?”

“Kami benci kepada mereka dan para sekutunya yang selalu membantai saudara-saudara kami kaum Muslimin. Mereka selalu mencari masalah dengan membantai kaum yang lemah. Bukankah Allah berfirman: Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya. sebagai mana mereka memerangi kamu semua. Dan ketahuilah bahwa sanya Allah bersama orang-orang yang bertakwa (QS. At-taubah:02). Dan Nabi juga bersabda: orang-orang muslim adalah saudara dari sesama muslim.dia tidak boleh menzalimi dan menelantarkannya. Ayat dan hadits inilah yang membuat kami bersikukuh melawan siapapun yang membantai kaum kami.”

Matanya berkobar, layaknya petir siap menyambar. Perkataannya membuat hatiku menangis. Sebagai seorang muslim, aku malu tidak bisa berbuat apa-apa. aku hanya bisa “menjual” berita mereka tanpa mempedulikan jeritan kematian.

“Demi menegakkan agama Allah, kutegakkan nyawaku di jalan-Nya.”

Ia menatap langit. Seperti, mengukir janji di atas langit kelam itu. Aku merasa bahagia sekali bisa bertemu dengan orang yang mampu menyalakan pelita dalam hidupku.

“Fan, lebih baik kamu segera pergi. Aku mohon jangan sampai orang lain tahu tentang tempat ini. Oh..Ya! Juga jangan kau tampakkan kewartawananmu pada kakakku. Kalau mereka sampai tahu, kau tidak akan selamat. Kakak sangat benci pada wartawan,” ujarnya penuh harap.

Aku pun segera bangkit. Aku tidak ingin menyia-nyiakan pengorbanannya. Sebelum pergi, aku tatap matanya yang teduh; memberikan harapan untuk tidak menceritakan sesuatu apa pun tentang mereka.

***
“Fan, cepatlah mereka saling baku hantam kembali,” manajerku mengintruksiku kembali.
“Di mana?”

“Berjalanlah ke arah timur dengan jarak 14 kilometer.”

“Aku akan segera ke sana.”

Dalam perjalanan, aku selalu memikirkan wanita itu. Apakah dia ada di sana? Entahlah, ingatanku selalu menggambarkan dia berada di medan pertempuran itu.

Pukul 08.43 WIB. Kupastikan berita itu tayang. Aku mengendap-endap di antara reruntuhan gedung. Dari layar kameraku, tergambar pertempuran yang sangat mengerikan. Laras-laras berjibaku memuntahkan isi yang berselimut nyawa. Bunyi granat yang menderu-deru. Darah dan air mata tak ada bedanya.

Aku melihat dua buah pesawat tempur membombardir tempat itu. Suasana semakin tak terlukiskan. Aku terus menyoroti pertempuran itu. Dan aku kembali melihat sosok wanita berjubah hitam jilbab hitam dan cadar hitam. Tangannya menggenggam laras panjang.

Sorot mata itu…Ya! Aku mengenalnya. Aku menjadi getir. Kubiarkan kamera kecilku terus menyorot kemana dia pergi. Sebuah helikopter menjatuhkan bom tepat di sisi wanita itu. Dia terpelanting. Kamera kecilku terjatuh tanpa disadari. Aku berlari tanpa memperdulikan hujan peluru yang terus berjatuhan. Semangat jihadnya telah membuatku tidak takut pada maut.

“Tenanglah, aku akan melindungimu,” kataku merangkul tubuhnya. Pakaiannya compang-camping. Darah mengalir dari atas pelipis matanya.

“Fan, lebih baik kau tinggalkan tempat ini, berbahaya,” desisnya pelan. Mata itu Berbinar–binar. Meredup. Kemenangan terpancar dari bias kristal yang mulai menetesdari matanya.

“Tidak! Aku tak akan meninggalkanmu. Kita akan pergi bersama-sama,” air mataku muntah. Pengorbanannya telah membuat hatiku terharu-biru.

“Fan, aku mohon, jangan bilang siapa-siapa tentang markas kakakku. Aku mencintaimu. Asyhadualla Ilaha Illallah Wa Asyhaduanna Muhammadur Rasulullah Allahu Akbar…….” pelan sekali. Dia menutup mata.

Hatiku sakit. Perih. Aku berjanji tak akan menjual pengorbananya. Cukuplah aku menjad manusia bodoh yang hanya mementingkan diri peribadi. Menjual jerita mereka dengan harga murahan.

Urgensitas Pendidikan Pancasila Dalam Pendidikan Kita

(Rafleksi Atas Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945)

Saat ini, Indonesia di mata dunia lebih “populer” dengan negara teroris, bukan negara Pancasila, negara Maritim, ataupun Nusantara. Faktor ekonomi serta konflik kekerasan atas nama agama yang tak pernah usai semakin membuka peluang bahwa Indonesia adalah benar-benar gerbongnya teroris. Lihat saja, pasca peristiwa bom di Bali, teror bom buku, dan yang terbaru adalah kasus “cuci otak” yang dilakukan oleh kelompok Negara Islam Indonesia (NII).

Pada kasus yang terakhir, salah satu misi yang diusung NII adalah menghapus pancasila sebagai ideologi negara dan menempatkan syariat Islam sebagai landasan hukum negara. Peristiwa ini mengancam “eksistensi” kalimat pada tali pita yang terjepit di kedua kaki lambang negara kita, burung Garuda, yakni Bhennika Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua.

Tentunya kita masih ingat pada hasil rumusan Piagam Jakarta, yang dihadiri oleh tokoh lintas agama dan etnis yang menyepakati bahwa pancasila sebagai ideologi negara sudah final. Ke lima sila tersebut sudah melandasi dan mengakomudir dari semua perlbagai agama, suku, ras, dan budaya negara Indonesia. Lalu dimanakan posisi dan nilai-nilai pancasila sebagai ideologi negara saat ini?

Berbicara pancasila, saya kembali teringat pada memoar masa lalu, ketika masih menenteng tas, berseragam merah-putih, serta memakai dasi yang di depannya bertulis Tut Wuri Handayani. Ketika masih berstatus siswa kelas II Sekolah Dasar (SD) itu, saya sempat diajarkan materi Pendidikan Pancasila atau Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Pada materi itu saya diajarkan bagaimana cara membina kerukunan antar umat beragama, menumbuhkan sikap toleransi dan membangun semangat gotong royong, serta menerapkan asas musyawarah untuk mufakat sebagai ciri khas dari tegaknya demokrasi. Namun saat ini, setelah saya kembali lagi ke lembaga tersebut dengan status yang berbeda, saya sudah tak menemukan materi itu lagi, hanya ada Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN), yang bagi saya cakupannya lebih luas daripada Pendidikan Pancasila karena masih ada kewarganegaraannya.

Namun pada mata pelajaran tersebut, nilai-nilai luhur pancasila memiliki ruang yang semakin sempit, karena mata pelajaran itu lebih mengunggulkan aspek birokrasi pemerintah, yakni indoktrinasi hak dan kewajiban sebagai warga negara (nasionalisme). Seperti yang dikatakan oleh Aburizal Bakrie, bahwa menempatkan Pendidikan Pancasila Hanya bagian dari Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bentuk pengerdilan dari pancasila itu sendiri (Kompas, 11/5/2011).

Secara makro sistem pendidikan di Indonesia banyak dikendalikan oleh political will negara. Artinya, seluruh sistem pendidikan mengacu pada kecenderungan politis sehingga falsafah pendidikan hampir tidak terefleksi dalam tindakan pendidikan maupun pembelajaran. Sistem pendidikan banyak digunakan sebagai kendaraan untuk transmisi sosial membangun kehidupan bersama dan menomerduakan keberagaman demi kepentingan keutuhan/persatuan. Sehingga pada poin ini terjadi pereduksian nilai-nilai sebagai warga negara seutuhnya.

Teka-teki bergantinya kurikulum pada setiap pergantian menteri merupakan salah satu bukti dari adanya pengaruh politik di dalam menentukan kebijakan pendidikan. Begitu juga kasus perdebatan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sikdiknas pada tahun 2003. Pergantian kurikulum: Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), semakin memupus eksistensi pendidikan Pancasila.

Tulisan ini bukan dalam rangka menghakimi pemerintah atau pula mengecam pendidikan kita saat ini. Tetapi lebih pada dorongan keresahan pribadi atas kekerasan yang kerap melanda negara ini. Bagi saya Pendidikan Pancasila merupakan salah satu solusi guna menyelamatkan negara ini dari kekerasan. Lima nilai yang menggantung di leher burung garuda itu adalah rangkaian dari kemajemukan bangsa kita.

Sosial, ekonomi, agama, dan politik yang terjadi bukanlah penyebab utama kerapuhan nasionalisme bangsa ini. Tetapi, faktor utamanya adalah pancasila sebagai ideologi negara yang sudah tak diperhatikan lagi. Kita tak menyadari bahwa sebenarnya bangsa inilah yang sebenarnya mereduksi nilai-nilai tersebut secara perlahan.

Pendidikan Pancasila merupakan pendidikan yang amat fundamental guna menegakkan moralitas bangsa. Tak perlu lah mendiskreditkan Pancasila apalagi menghapusnya dalam satu pokok pempelajaran. Apalagi hanya dengan alasan karena nilai-nilai yang terkandung pada kelima pasal itu adalah reproduksi dari pemikiran “penjajahan” Orde Lama dan Orde Baru.

Ironis sekali, jika Pancasila sebagai ideologi negara tidak diperhatikan nilai-nilainya dalam tatanan pendidikan. Jika demikian itu terjadi, yang membunuh negara ini bukanlah siapa-siapa, melainkan bangsanya sendiri.