Friday, February 20, 2009

Insomnia


Bayanganmu selalu menghadirkan kepedihan pada setiap jejak-jejak langkah menapaki jalan-jalan kelabu. Dimana ilustrasi itu selalu menghadirkan selaput cinta yang telah kau pahat sendiri. Gembira ria, bermuram durja, naik pitam silih berganti menghadirkan kedalam memoriku. Bak arwah yang bergentayangan mencari tempat-tempat abadi. Semua menjadi tamparan keras tiada tangan kereflek pada hati yang linglung. Terjerumus kedalam sebuah kenisbian. Nihil. Sunyi merayap mendahului bahasa jiwa tak terjewantahkan. Aibpun tidak bisa menjalar dimana desiran angin mengabarkan berita hati dan perasaan menyatu dengan aliran darah kaku tak terangkai kepada muara pengaduan.

Kau cacah hatiku dengan seberkas cahaya yang hilang mengembang tanpa tujuan. Reflek itu menusuk kedalam palung hati. Hingga darahpun tiada mengalir. Egomu menasbihkan bait-bait syaitan sebagai ikon bagiku untuk membencimu. Tempat aku marah dan frustasi. Jiwa berkabung antara sepantasnya berargumen terhadap penilaian yang belum pernah satupun yang aku temui mendalami isi hatimu. Aku lelah mana kala harus melewati titk-titik terjal mencari kepastian tanpa seserorang yang memapah digelapnya sang hitam. Aku ingin sekali tidur dari mimpi-mimpi yang kau hadirkan menyudutkanku dalam tembang angin pilu ingin rasanya membuat seribu satu hiburan agar kau tertelan bersamanya, bersama mimpi-mimpimu. Tak akan ada seberkas yang kan nampak. Ranum senja tanpa bias air mata.

Pohon kekeringan menggugurkan daunnya satu-persatu seolah ia ingin sekali mengakhiri hidup yang semakin terhempas oleh sengatan siputih bundar dan panjangnya kemarau. Padahal itulah penyesuaian untuk kelangsungan hidup yang lebih baik. Apakah aku bisa seperti itu? entahlah! Yang ku rasa hanya tumbuhan alang-alang kering dibawah batang tubuh pohon dan benalu beserta anak-anaknya semakin meneggelamkan dalam penderitaan. Menghisap sisa-sisa kehidupan yang dimiliki. Tanpa henti hingga daun-daun perteduhan itu menguning dan lepas dari tangkainya mengikuti arah gerakan angin meninggalkan pohon yang tinggal ranting-ranting saja. burungpun tak sudi untuk hinggap disana. Begitukah dirimu? Tenggelamkan asa yang mendamaikan jiwa.

Aku mencoba untuk bersikap tegar sebagai lelaki dalam sebuah alunan permainan dunia. Terlalu manis untuk aku lupakan dan sebaliknya, terlalu pahit untuk aku kenang. Dimana seuntai lemparan senyum manis yang kau bingkai dari bibir mungilmu. Menghadirkan abjad-abjad cinta, melantunkan syair-syair asmara, tenggelam dipangkuan kekasih. Perpisahan tanpa bias butir-butir air mata dan tanpa diduga menyudutkan asa yang tak terkuak kedalam gerakan tarian bumi. Bersikap tegar dibusung kengiluan. Menahan butiran-butiran keristal yang kadang terjatuh menetes mengaliri kubangan-kubangan malam.

Aku menoleh kekanan atas. Terniat dibenakku mengukur seberapa jauh Ratu malam menggantikan Raja siang. Detak-detak jam dinding yang setia melekat ditembok layaknya tumbuhan parasit Membahana jelas sekali detakan hitungan dunia. Aku keget ketika yang aku peroleh jawabannya. 01:15 WIB. Tengah malam kulewati lagi dengan puing-puing kenistaan. Asbak rokok tersesak penuh dengan putung-purtug yang telah kuhisap Tar dan Nikotinnya. Hampir mau dimuntahkan kembali. Aku lihat disamping kiriku sebuah balok kecil bertuliskan Dji Sam Soe terbelalak menunjukkan isinya yang hanya tinggal dua batang. Disampingnya berdiri gelas plastik biru tempat cairan hitam. Kopi. Namun sayang didalamnya yang tersisa hanya ampas-ampas tak berguna menempeli dinding gelas itu. Apa yang bisa aku lakukan? Disaat para makhluk terlelap bersama bungan-bunga tidur aku malah menyongsong malam sendiri menemani suara binatang malam yang selalu mengisi aktivitasnya dimalam sunyi. Suara burung hantu yang setiap malam selalu hinggap didahan pohon beringin yang menjulang tegak disamping rumah namun sebaliknya ketika manusia terbangun dari tidurnya. Menikmati indahnya belaian surya pagi dengan segala aktivitas masing-masing. Eh malah aku yang bergelumut dengan bantal dan selimut.

Oh! Tuhan apakah gerangan yang menimpa hambamu ini? Hingga tiap malam selalu dirundung kegelisahan! Adakah jalan keluar untuk menghapus kebiasaan-kebiasaan tak sepantasnya aku lakukan semenjak kepergian dia? Tak bisakan kamar yang selam ini aku jadikan kepulan asap rokok menjadi surga kecil dalam rumahku. Yaitu sebagai tempat pendirian sholat malam dan tempat lantunan bait-bait namaMu dimalam hari yang sunyi. memcahkan misteri malam yang beredar ditaburan pekt-pekat kegelapan.

Setiep malam aku layaknya seekor bangkai yang dimumi. Dilanda kejiwaan yang mengguncah-guncang. Terkadang mencari teka-teki permainan alam dan sisa-sisa keindahan malam. Karena aku yakin tuhan menciptakan malam bukan hanya sekedar dijadikan waktu beristirahat. Dibalik malam tuhan menyebunyikan berjuta-juta rahasianya. Kebesarannya sebagai renungan bagi orang-prang yang berfikir. Malam adalah jalan terpendek untuk sampai kepada-Nya karena semua makhluk telah hilang bersama mimpi-mimpi sebagai penikmat malam. Jujur, bersama malam aku sedikit menemukan ketenangan meski berdimensi dengan ilustrasi yang kau bingai dikedalaman samudra perasaan. Bersama malam aku bisa mengungkapkan, meneriakkan perasaan yang terhimpit oleh kekakuan lisan.

Aku merebahkan tubuh yang tak berdaya ini diatas kursi. Salah satu teman bisu malamku. Meluruskan kaki, menengadahkan kepala kelangit-langit. Mengingat-ngingat akan tinglah lakumu. Oh! Sedahsyat inikah cinta? Membuatku tidak mati ataupun tidak.keheningan yang kau ciptaka melemparanku kelorong-lorong sunyi dan kehampaan. Terjal tanpa seberkas cahaya yang menerangi. Masih ingtkah kau? Disaat ukiran langkah kita menikmati taburan cahaya bintang. Dari celah-celah kedua bibirmu kau berucap melantunkan sebuah kata yang membuatku benci untuk mengtakannya kembali,. Dan terakhir kalinya kau pernah berucap “Hilang satu tumbuh seribu” tapi aku tidak yakin bahwa yang seribu itu tidak sama dengan yang satu. Tak kan mungkin yang satu itu hadir kembali. Itupun hilang bersama senyum terakhirmu. Aku sedikit mamklumi dan antara sadar dan tidak sadar akan perubahanmu karena lidah memang tak bertulang tidak ada yang abadi didunia ini. Lautan yang begitu luaspun dan merupak bagian dari samudra, bagian dari separuh bumi masih juga pasang surut, apalagi hanya… ah! Sudahlah. Aku semakin tersudut.

Saat aku terlempar bersama angan. Saat bola mataku menghujam tatapan hampa kearah jendela. Aku menemukan sesuatu aneh yang memikatku untuk menghampirinya. Ya! Itu adalah bias cahaya dewi malam yang masuk dari ventilasi jendela. Warna keemasan. Aku berdiri hendak ingin meraihnya. Namun sesaat kemudia ia menghilang hingga aku mengurungkan niatku. Muncul kembali. Ada apa gerangan dengan dewi malamku?.

Aku buka jendela. Rembulan tersenyum dibalik pohon. Diantara kejaran awan-awan yang bermain, bulan menyapaku. Lembut sekali belaian cahanya menebus gulita malam sepeninggal matahari sore. Aku melihat bula mengintip dari celah-celah lebatnya dedaunan. Sesekali menghilang diterpa keramaian yang saling kejar mengejar.muncul kembali

Malam benar benar surut. Bulan semakin meninggi medendang tembang untuk melengkapi nikmatnya para mahluk tidur. Sentuhan senyumnya memberikasn kedamaian hati dan keteduhan jiwa dimulut jendela aku tatap bulan penuh harap. Bulan tersenyum sinis. Seakan bulan tau penderitaan yang akan aku adukan kepadanya. Bulan menertawaiku. Bias cahanyanya melukiskan kekasih yang telah membunuh kepribadianku. Meninggalkanku yang terkulai lemas oleh kenangan yang dia berikan. Terlalu manis untuk dilupakan dan terlalu pahit untuk dikenang. Aku mencoba bertahan dan mungkin hanya bulanlah sebagai pengaduanku malam ini. Lipatan-lipatan kertas sudah bosan menampung pena yang kujalankan setiap malam. Aku berharap bulan mengerti atas segala apa yang aku rasakan. Lewat desiran angin bisikku sampaikan pada bulan. Aku ingin membunuh sunyiku.

Bulan dengarkanlah! Dengarkan diriku yang terombang-ambing antara pertumpahan benci dan cinta. Aku dibuat frustasi oleh sikap dia. Biasanya senyuman selalu mengembang dipelupuk mataku, tertawa membahagiakan hati, mesrapun jatuh diprlukan. Kini sedikitpu dia seakan tidak sudi lagi memberikan semua itu kembali. Ketika ditanya. Apa jawabnya? “Biarkan sang waktu yang menjawabnya. Hilang satu tumbuh seribu.” Meski aku telah meyakinkan bahwa belum tentu yang seribu itu sama dengan yang satu. Adakah orang ketiga yang merubah hatinya? Lalu bagai mana caraya agar aku bisa meyakinkan Bahwa kehampaan akan terasa bila dia tiada. Aku berharap dia kembali. Ataukah selam ini ia hanya ingin menjadikanku sebagai sepah? Ah! Sudahlah! Namun aku benar-benar tidak mengerti. Dia pergi bila aku membutuhkan, Iapun datang bila kehendakya sendiri. tak ada kata indah menghanyutkanku dalam kebahagiaan.

Aku tidak kuat menahan perasaan ini. Perasaan yang berkecamuk, berperang menguasai hati. Tubuhku gemetar menahan gejolak nafsu yang berkeinginan untuk bertegur sapa. Apalagi kalau aku melihatnya kembali. Rasa sedih, pilu, sakit, cinta, benci dan perasaan lain bertabuh dijiwaku menitikkan air cinta. Aku sadar aku tak sepenuhnya membenci ataupun meninggalkan dan aku juaga merasa dia tidak sepenuhnya meninggalkanku. Ketika kita bersua, dia memalingkan parasnya. Lewat bahasa jiwa, lewat isyarat hati. Ada keterpaksaan berbuat demikian. Tapi, apakah harus seperti ini? Apakah aku harus menanamkan benih-benih Iblis? Mengapa dia tidak terus terang saja padaku tentang yang dirasakannya. Tentang….

Sebenarnya aku tidak ingin membencinya. Jujur ku akui hati kecilku masih terpahat keras oleh bingkaian yang dia ukir. Berharap merpati lepas akan kembali lagi kesarangnya. Namun ia terlanjur terbang bebas. Hanya keajaiban yang bisa mengembalikan kembali. Tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Ada sesuatu yang belum aku pahami pada diriku sendiri. Ketika ditakdirkan bertemu, rasa dari semua perasaan memberi argumen tentang dia. Membuat getaran jiwa parau. Kadang hati kecilku bebisik bahwa dia menganggapku seperti barang yang habis masa pakainya. Lebih parah lagi, sampah.

Ketika aku seperti ini, terlarut sendiri dikesunyian malam, jujur aku sangat membutuhkan belaian lembutnya. Lalu bagaimana aku bisa meyakinkan atas apa yang telah ia pebuat. Malam….. sampaikanlah penderitaan ini kepadanya karena aku tidak kuat menaggung beban ini sendiri. Tuhan..... berikanlah kekuatan pada hambamu ini. Jangan biarkan benih-benih Iblis tumbuh subur dihatiku. Jadikanlnah semua ini untuk bisa meraih cintamu. Bulan…. Kabulkanlah pinta terakhirku. Nyanyikanlah sebuah melodi untukku meski hanya sebait yang kau lantunkan yang bisa membuatku tenang mengarungi malam.



Lubangsa, 11 januari 2008

Apa yang diketahui sering

tidak di ketahui oleh

pribadi pemilik jiwa.

Karena jiwa jauh melampaui

apa yang kita pikirkan (Kahlil Gibran )

Lembaran yang hilang


“Selama jari–jemariku tetap lihai menari di atas tuts mesin tik ini. Aku tidak akan pernah berhenti menulis,” gumamnya sembari memainkan jarinya di atas abjad demi abjad.
Di tengah malam yang sunyi. Di bawah terpaan nur rembulan. Ia terus mengetik. Desauan angin malam telah menghilangkan rasa kantuknya. Dia tidak pernah putus asa meski pada kenyataannya, dunia tidak pernah berpihak kepadanya. Karyanya tidak pernah satu pun yang dimuat di media massa. Setiap kali ia mengirim, saat itu pula karyanya bagai hilang di telan bumi. Tidak pernah ada kabar. Padahal ia menulis dengan sepenuh hati dan penuh penjiwaan sosial.
Namun, tekadnya tidak pernah patah arang. Adalah cita-citanya menjadi seorang Cerpenis sejati. Setiap malam, ia selalu bermain-main dengan mesin tik yang sudah tua itu. Bunyinya yang selalu membuat para tetangga terpaksa memberi umpatan yang memekikkan telinga, karena terganggu oleh suara bising itu. Walau hasilnya hanya ditumpuk di bawah meja kerja. Menurutnya, membuat cerpen adalah jalan untuk berkreasi. Bukankah di dalam setiap cerpen itu mengandung unsur-unsur yang akan disampaikan kepada para pembaca. Bukankah berda’wah tidak hanya dengan bil-lisan? Melainkan bil-qalam-pun kita juga bisa.
Malam itu. Sunyi semakin merayap. Yang terdengar hanya detakan mesin kuno yang menjadi instrumentalia malam. Rembulan kian meninggi. Cahaya yang semburat keemasan menjadikan malam itu malam yang sempurna. Di atas kanvas langit, tidak ada awan hitan maupun kabut putih yang menghalangi. Pendar cahayanya begitu dekat dengan relung hati. Sejuk memandikan jiwa yang sepi. Dia membuat sebuah cerpen yang mengutarakan tentang rembulan sebagai salah satu tanda-tanda kebesaran-Nya. Malam itu, rembulan bersinar penuh kebanggaan. Senyum centilnya membuat kata-kata semakin mudah untuk dimuntahkan.
Di tangannya, terselip sebatang rokok. Menghirup dan mengeluarkan kembali tanpa beban sekali pun. Ia khusuk bersama lingkaran abjad-abjadnya. Sesekali mata sipit itu melirik bulan dari balik tirai jendela. Cahaya bulan sangat membantu membuat inspirasi. Samar-samar ia mendengar derap langkah seseorang dari arah belakang.
“Bang! Belum selesai?”
“Belum,” ucapnya datar tanpa menoleh sedikit pun. Karena ia dapat menerka siapa yang berbicara di sana. Istrinya.
“Belum tidur?” Tanyanya balik sambil menghisap rokok yang masih terjepit di tangannya.
“Habis salat lail,” ia membuka mukena yang masih di pakai.
“Abang nggak capek?”
Tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara detakan tuts yang tak beraturan Dan kepulan asap yang dientaskan menghiasi sudut-sudut ruangan. Ia tak memperdulikan kata-kata istrinya.
“Sudahlah bang, jangan di paksakan. Ini sudah larut malam. Lagian nggak enak sama tetengga. Buat apa cerpen-cerpen abang yang segunung itu?” Pinta istrinya dengan nada memelas.
Detakan itu berhenti. Ia menoleh. Agaknya sedikit tersinggung dengan perkataan istrinya. Namun, ia masih bisa menjaga emosi. Sementara istrinya merasa takut melihat tatapan suami yang begitu tajam seperti elang yang siap menerkam mangsanya. Takut kalau tersinggung dan marah atas perkataan itu.
“Memang, ini adalah kertas yang tak berharga. Namun, bagiku ini adalah jauh dari keberhargaan. Aku mengerjakannya dengan susah payah. Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa kita harus bersikap sabar.”
“Tapi bang …….”
“Kamu juga penyelamat hidupku yang mulai putus asa atas segala cerpenku yang hanya bisa ditumpuk di bawah meja kerja saja. Aku masih ingat ketika kau mewanti-wantiku untuk bersikap sabar dengan merujuk kepada kitab suci kita, Al-Qur’an. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. Dan kamu juga pernah bilang bahwa berda’wah bukan hanya dengan Bil-Lisan. Bil-qalam kita juga bisa. Itu kan yang kamu katakan ketika semangatku mulai meredup karena tak ada satu pun cerpenku yang dimuat,” Kata-kata itumuntah begitu saja seperti pelor yang baru keluar dari ujung laras, membuatnya terguncang melihat tatapan suaminya yang tajam.
“Meski tidak diakui publik?”
“Jangan bilang begitu.”
“Bang, jika memang berniat seperti itu. Berikan saja semuanya kepada masyarakat tanpa melalui media massa. Aku yakin Allah akan memberikan balasan yang setimpal kepada hambanya. Ingat! Allah maha adil.”
“Besok, besok aku akan datang sendiri ke redaksi dan berbicara langsung dengan pimpinan redaksinya,” ia memegang kadua bahu istrinya
Istrinya diam. Seakan mencerna apa yang telah dikatakan suaminya. Meski dia tidak tega berucap seperti itu. Dan dia juga tidak tega melihat suaminya hampir setiap malam selalu dihabiskan untuk mengetik. Ada cahaya bening di matanya ketika rasa iba menyelimuti perasaan.
Dan pagi itu. Ia telah siap bersama setumpuk cerpennya untuk di promosikan langsung ke redaksi. Ia telah capek mendengar umpatan halus dari istrinya dan gangguan para tetangga yang tidak senang dengan kebiasaannya. Ia ingin menemukan titik kepastian mengenai cerpennya dengan mendatangi langsung ke tempat redaksi. Ia mendatangi salah satu redaksi ternama di kota itu dan menemui salah satu staf redaksi.
“Bisa saya bantu pak?” Tanyanya ramah.
”Aku ingin bertemu dengan pimpinan kalian.“
“Ada janji sebelumnya?”
“Tidak.”
“Maaf pak, hari ini beliau sangat sibuk. Bapak bisa datang lain waktu saja.”
“Maaf, ini mendesak sekali. Aku harus menemuinya sekarang.”
“Tapi beliau hari ini tidak bisa di ganggu.”
“Maaf!”
Staf redaksi itu tidak mampu mencegahnya. Dengan leluasa ia mencari pimpinan redaksi di ruangan itu.
“Maaf pak, orang ini terlalu memaksa.” Lapornya.
“Pak, saya ingin menerbitkan cerpen saya. Silahkan anda boleh memilih yang mana yang anda sukai,” Katanya penuh semangat sambil mengeluarkan lembaran itu dari tas kulitnya.
Mereka berdua diam. Sorot matanya tertuju pada bapak pimpinan redaksi yang sedang membolak balikkan cerpen. Ia harap-harap cemas. Kepala redaksi yang setengah botak itu menggangguk-angguk, menggeleng-geleng, mengeryitkan dahi, dan ekspresi lain. Ia bertambah penasaran.
“Gimana pak?”
“Maaf, kami tidak bisa menerima cerpen bapak.”
“Kenapa dengan cerpen saya, bagus kok!. Nih lihat yang ini,” ia menunjukkan sebuah cerpen yang berjudul Kebenaran sejati.
“Maksud kami, cerpen bapak terlalu menggurui dan terlalu menyudutkan pihak lain.”
“Tapi aku menulisnya dengan apa yang saya ketahui dan saya saksikan.”
“Maaf, cerpen seperti ini bukan termasuk kriteria redaksi kami,” pimpinan redaksi menyerahkan kembali cerpennya.
“Kalau begitu coba yang lain,” ia mengacak-acak mencari cerpen yang pas untuk di perlihatkan.
“Maaf, kami sibuk, kami tidak bisa lama-lama melayani anda. Banyak pekerjaan lain yang harus di selesaikan.”
Ia tertunduk lesu keluar dari ruangan itu. Ia tidak putus asa. Semangat terus berkobar asalkan masih tetap ada kesempatan. Ia kemudian mencoba mengunjungi redaksi lain di kota itu. Namun, kalimat terakhir yang ia dengar selalu sama, “Maaf pak, cerpen bapak bukan termasuk kriteria redaksi kami.”
Keringat telah memandikan tubuhnya. Ia menyeka keringat yang ada di dahi. Rasa penat menusuk tulang-belulang. Kerongkongan mulai terasa gatal dan berkarat. Ia duduk di pinggir trotoar mulai putus asa dengan segala perjuangan yang tidak membuahkan hasil. Ia bingung dengan cerpen-cerpennya harus dibagaimanakan. Haruskah di bawa pulang kembali? Rasanya tidak mungkin. Ia malu kepada istri serta para tetangga. Dalam kebingungan ia teringat kepada perkataan istrinya. Perkataan yang sangat melekat pada ingatannya.
“Bang, jika memang abang berniat seperti itu. Berikan saja semuanya kepada masyarakat tanpa melalui media massa.”
“Apakah aku harus melakukannya?”
. “Aku yakin Allah akan memberikan balasan yang setimpal kepada hambanya. Ingat Allah maha adil.”
Walaupun keputusa itu agak memberatkan. Ia tetap memilih. Ia akan bermaksud untuk membagian dengan Cuma-Cuma—bisa saja dengan begitu cerpennya banyak yang membaca dan yang jelas pasti akan banyak yang menilai. Lalu bagaimana caranya? Sorot matanya menerawang pada anak jalanan yang sedang menjual koran. Muncullah ide di benaknya. Ia mulai beraksi.
”Cerpen…cerpen. Cerpen gratis … Cerpen gratis,” ia beraksi dipinggir jalan. Berlagak seperti penjual koran. Semua mata di sekitar tertuju padanya. Tak terkecual dengan anak jalanan itu. Mereka heran dengan kata-kata gratis.
“Cerpen pak…gratis lo! Sebagai pengganti koran,” seperti orang yang mempromosikan barang—bisa juga cerpennya disebut promosi. Dari satu kendaraan ke kendaraan lain tanpa lelah dan terus menebar senyum.
Namun, nasib baik tidak menyertai. Tiba-tiba, sebuah mobil Jip berwarna merah menyerempet hingga terpelanting jauh beberapa meter. Cerpen yang masih berada di genggaman berhamburan bagai daun yang berguguran di musim gugur. Lembaran-lembaran terbang tersapu angin dan menjadi saksi pertama atas kejadian yang mengenaskan itu. Sorot mata yang sedari tadi tertuju padanya. Beberapa saat kemudian mengerumuninya.
“Bang…. Abang tidak apa-apa. Bertahanlah bang,” Kata seorang pemuda di sampingnya.
“Cepat panggil ambulan,” kata salah seorang di kerumuan itu. Sementara darah turus mengalir dari pelipis dan kedua hidungnya. Hingar-bingar orang semakin banyak mengerumuni. Ditangannya, masih ada tiga lembar cerpen yang tetap dipegang erat.
“to…long ce…pat se…barkan, “ suaranya terbata-bata. Ia berusaha menyerahkan lembaran cerpen di tangannya.
“Bertahanlah bang,” kata pemuda di sampingnya.
Setelah menyerahkan cerpen, tiba-tiba genggaman itu semakin melemah dan tangannya ambruk. Saat itulah terakhir kalinya ia menghirup udara di dunia. Sementara cahaya matahari mulai menua. Cahaya yang hampir menguning menghiasi sudut cakrawala.
Setelah beberapa hari dari peristiwa itu, sejumlah koran maupun majalah memuat salah satu dari karya cerpennya. Sang istri yang mengetahui akan hal itu hatinya remuk. Ia yang belum mampu menghilangkan rasa duka itu. Kini tertoreh kepedihan baru. Matanya nanar berlinang air mata melihat mesin tik tua yang tetap di meja kerja suaminya. Tubuhnya berguncang hebat. Lalu perlahan semakin lemah dan ……
Luk-ghuluk 2008