(Dimuat di Buletin Variez, PPA Latee II, Edisi XVIII/2015)
Mukadimah
ini saya ingin menghaturkan terima kasih kepada K. H. M. Salahuddin Warits, K.
M. Mushthafa, K. M. Faizi, K. Naqib Hasan, K. Zammiel El-Muttaqien, Ahmad
Khotib, dan Zaitur RB. Mereka adalah guru menulis saya sekaligus ‘orangtua’, pemberi
inspirasi dan motivasi. Karena mereka, sampai sekarang, saya memiliki alasan
untuk tetap menulis.
Tak
ada prestasi atau kesuksesan yang patut diceritakan—dibanggakan—dalam perjalanan
hidup saya, karena memang tak ada prestasi yang layak diceritakan dibandingkan
para tokoh dan alumni Ponpes Annuqayah lainnya. Jadi, saya cukup kesulitan
ihwal apa yang bisa dibagikan dalam rubrik ini—sesuai permintaan dan selera
Variez.
Mujur,
saya masih ingat ungkapan dari Cak Ahmad Khotib, tutot karantina menulis
LPM-Fajar: Jangan Silau Pada Prestasi,
Silaulah Pada Proses. Kalimat itu lalu menyesakkan pikiran saya pada bahan
yang, saya rasa, cukup layak berbagi dalam satu meja.
Kesadaran
saya harus tahu menulis tumbuh pada tahun 2008 ketika memasuki kelas akhir
SMA/MA. Kesadaran itu tumbuh ketika membayangkan rumitnya membuat makalah
(tugas kampus) bila tidak tahu menulis. Jadi, guna kerumitan bayangan itu,
sebagai calon mahasiswa, saya harus bisa menulis. Setidaknya tahu membuat
makalah.
Saya
mencari-cari komunitas menulis. Dalam sebuah perjalanan dipertemukanlah saya
dengan KCN (Komunitas Cinta Nulis) bimbingan Cak Zaitur RB. Tanpa tedeng
aling-aling, saya langsung mendaftar. Usut punya usut ternyata saya ‘salah
jalan’. KCN ternyata hanya konsen pada penulisan cerpen, sementara kehendak saya
adalah tahu membuat makalah, bukan cerpen.
Namun
saya tetap bertahan. Paling tidak punya komunitas dulu. Soal ‘salah jalan’itu
belakangan. Bukankah ada pepatah Banyak
Jalan Menuju Roma?
Menginjak
kuliah, saya menjadi salah satu di antara lima mahasiswa Instika angkatan 2008-2009
yang beruntung lolos seleksi Karantina Menulis LPM-Fajar. Ditambah dua
mahasiswa di atas angkatan saya, peserta karantina menjadi tujuh orang.
Pelaksanaannya setengah bulan penuh.
Selesai
karantina, saya tambah aktif menulis. Saya juga aktif di beberapa penerbitan
majalah dan buletin, seperti Buletin Ideal (PMII-Permis) Majalah Fajar
(LPM-Instika), Majalah Muara (Lubra), dan mengelola blog Ponpes Annuqayah
(www.annuqayah.blogspot.com) dalam bimbingan K. Mushthafa.
Tahun
2012, saya membuat komunitas menulis. Bersama Faruqi Munif, lahirlah Komunitas
Sastra Serambi (Kosambhi), yang
sampai saat ini alumninya masih aktif berkarya di kancah nasional seperti
Mawaidi D. Mas, Saifa Abidillah, Diyanto, dll.
Berkarya dan Berbagi Kepedulian
Satu
pengalaman yang saya banggakan—lebih dari sebuah tropy dan honor tulisan—adalah
ketika saya bisa berbagi kepedulian dengan orang lain melalui tulisan.
Lan
Fang, penulis novel Di Bawah Ciuman Hujan,
penulis yang memperkenalkan saya pada rasa peduli itu. Ia yang mengaku
Annuqayah merupakan rumah keduanya, menginginkan ada satu santri Annuqayah ikut
berpartisipasi dalam kegiatan sosial Parade
Cerpen untuk Sanie B Kuncoro bekerjasama dengan Jawa Pos. Sanie B Kuncoro
adalah penulis sastra asal Solo yang mengidap kanker payudara. Keinginan itu
disampaikan oleh K. Mamak (sapaan akrab K. H. M. Salahuddin Warits ) dan beliau
merekomendasikan saya mewakili santri Annuqayah.
Maka,
jadilah parade cerpen itu diikuti oleh lima orang; saya, Lan Fang, Wina
Bojonegoro, Sanie B Kuncoro, dan Musa Hasyim, santri Ponpes Tebu Ireng Jombang..
Honor dari kelima tulisan itu akan didonasikan untuk biaya operasi Sanie B
Kuncoro.
11
Juli 2011 cerpen saya berjudul Kubah pertama
kali nangkring di Jawa Pos. Saya bangga. Tak pernah terbayang sebelumnya
tulisan saya bisa mejeng di Jawa Pos. Ucapan selamat dari kawan dan dosen
berdatangan. Sahabat sesama jurnalis siap ‘merampok’ menunggu traktiran makan.
Ada
dua hal yang membuat saya bangga. Pertama,
saya tak menyangka sama sekali bisa membantu seseorang melalui tulisan. Jika mengingat
pertama belajar menulis, paling tidak dengan keawaman saya berproses, yakni
empat tahun, sudah dapat menembus Jawa Pos. Apalagi, saya penulis yang ‘salah
jalan’.
Kedua, saya semakin akrab dengan
penulis-penulis hebat lain untuk bisa menimba ilmu. Khusus Lan Fang, setiap
pulang ke Jember, saya kerap menyempatkan diri mampir ke rumahnya di Surabaya.
Sayang, sejak ia meninggal 25 Desember 2011, semua sudah terbungkus kenangan.
Begitulah,
berkarya dan berbagi kepedulian dengan orang lain nilainya tak bisa diukur dari
angka-angka atau piala. Bagi saya, momen seperti itu merupakan juara sepanjang
masa.
Target Menulis dan Menembus Media
Setiap
tahun saya selalu memiliki target-target tertentu dalam segala hal. Biasanya
saya menentukan suatu target dalam setahun. Target tidak banyak, hanya satu
atau dua, yang penting dalam setahun harus fokus pada target tersebut. Karena
saya bercerita tentang proses kreatif menulis, saya fokus saja pada satu target:
menulis.
Saya
sudah sedikit menyinggung awal tujuan belajar menulis adalah bisa membuat
makalah. Target pertama saya adalah mencari komunitas dan menulis
sebanyak-banyaknya. Pada tahun 2008, selain KCN, saya juga mulai aktif di
penerbitan kecil semacam majalah dinding.
Awal
tahun 2009, saya bergabung dengan Majalah Muara, LPM-Fajar, dan Pusat Data (Pusdat)
Annuqayah. Saya yakin, banyaknya komunitas akan selalu mendorong saya—sesuai
tuntutan atau tugas komunitas—untuk konsisten menulis. Ingat! Mood adalah musuh utama penulis. Ia bisa
datang kapan saja.
Buletin
atau majalah yang ada di Annuqayah juga menjadi target di tahun itu. Sebagian
besar media di Annuqayah pernah saya kirimi tulisan, dengan tujuan ingin
mengetahui sejauh mana perkembangan dan kualitas tulisan saya. Alhamdulillah,
responnya baik: sebagian besar dimuat!
Tahun
2010 saya memberanikan diri berkompetisi dengan dunia ‘luar’. Koran regional
Jawa Timur seperti Infokom, Radar Madura,
Radar Jember, Surabaya Post, Radar Surabaya, Memorandum, dan Kompas Jatim, menjadi target berikutnya.
Target pun tercapai.
Tahun
2011 saya mencoba membangun peruntungan yang lebih besar. Koran Regional luar
Jawa Timur menjadi targetnya. Akhirnya target ini juga bisa dipetik dengan indah:
Bangka Post, Minggu Pagi, Majalah Kuntum,
Koran Merapi, dan Sumut Post bisa
saya tembus. Honornya tak seberapa, namun bagi seorang santri, sungguh luar
biasa untuk makan dan sebagai tambahan biaya kuliah. Tanpa diduga, tahun yang
indah ini ditutup dengan cerpen Kubah
di Jawa Pos.
Tahun
2012, sebagai penulis yang ‘salah jalan’, saya mulai percaya diri. Target
berikutnya adalah seluruh koran di Indonesia! Tak pedulu koran lokal, regional,
dan nasional. Di tahun inilah, dalam konteks materi, saya rasakan nikmatnya
menjadi penulis. Kantong semakin tebal sampai berpikir perlunya membuat rekening.
Di tahun ini, Sumatera Ekpress, Majalah
Annida, Tabloid Nova, Lampung Post, Majalah Horison, Suara Pembaruan, Tribun
Jabar, Jurnal Nasional, Suara Merdeka, Republika, dan Majalah Femina sudah bisa saya jajah.
Tahun
2013, tak ada target yang berarti, namun saya tetap membangun relasi kuat
dengan penulis-penulis senior dan media yang sudah memuat tulisan saya. Benar
apa yang dikatakan oleh K. Faizi, sekali media bisa ditembus maka untuk
menembus kedua kalinya akan lebih mudah. Sejak tahun 2010 sampai saat ini,
dalam dokumen saya sudah ada 60-an tulisan yang sudah dimuat di media, baik
lokal dan nasional.
Saya
juga mengikuti berbagai even lomba menulis, namun hasilnya tak sejodoh seperti menjajah
media. Soal buku? Saya tak punya buku yang bisa dibanggakan kecuali satu novel Asmara Anak Asrama (2010). Sayang, novel itu belum terbit.
Menerbitkan
buku merupakan target saya jika sudah bisa menembus Kompas. Sejak tahun 2012 saya sudah menggempur koran yang kata
sebagian besar penulis merupakan tolak ukur geliat sastra di Indonesia. Namun sampai
sekarang belum satu pun dimuat. Entahlah, apakah tulisan saya jelek atau memang
bukan selera redakturnya. Apakah saya pernah patah arang? Tidak! Tulisan
ditolak itu biasa. Itulah alasannya menjadi penulis harus tebal muka.
Khotimah;
Menulislah Sampai Mahok! Itu yang terpenting.[]
*Alumni
Ponpes Annuqayah Lubangsa asal Jember. Pengelola blog Menulis Sampai Mahok!
0 comments:
Post a Comment