Tuesday, March 12, 2019

Salah Jalan Sampai Juara Sepanjang Masa


(Dimuat di Buletin Variez, PPA Latee II, Edisi XVIII/2015)

Mukadimah ini saya ingin menghaturkan terima kasih kepada K. H. M. Salahuddin Warits, K. M. Mushthafa, K. M. Faizi, K. Naqib Hasan, K. Zammiel El-Muttaqien, Ahmad Khotib, dan Zaitur RB. Mereka adalah guru menulis saya sekaligus ‘orangtua’, pemberi inspirasi dan motivasi. Karena mereka, sampai sekarang, saya memiliki alasan untuk tetap menulis.

Tak ada prestasi atau kesuksesan yang patut diceritakan—dibanggakan—dalam perjalanan hidup saya, karena memang tak ada prestasi yang layak diceritakan dibandingkan para tokoh dan alumni Ponpes Annuqayah lainnya. Jadi, saya cukup kesulitan ihwal apa yang bisa dibagikan dalam rubrik ini—sesuai permintaan dan selera Variez.

Mujur, saya masih ingat ungkapan dari Cak Ahmad Khotib, tutot karantina menulis LPM-Fajar: Jangan Silau Pada Prestasi, Silaulah Pada Proses. Kalimat itu lalu menyesakkan pikiran saya pada bahan yang, saya rasa, cukup layak berbagi dalam satu meja.


Kesadaran saya harus tahu menulis tumbuh pada tahun 2008 ketika memasuki kelas akhir SMA/MA. Kesadaran itu tumbuh ketika membayangkan rumitnya membuat makalah (tugas kampus) bila tidak tahu menulis. Jadi, guna kerumitan bayangan itu, sebagai calon mahasiswa, saya harus bisa menulis. Setidaknya tahu membuat makalah.

Saya mencari-cari komunitas menulis. Dalam sebuah perjalanan dipertemukanlah saya dengan KCN (Komunitas Cinta Nulis) bimbingan Cak Zaitur RB. Tanpa tedeng aling-aling, saya langsung mendaftar. Usut punya usut ternyata saya ‘salah jalan’. KCN ternyata hanya konsen pada penulisan cerpen, sementara kehendak saya adalah tahu membuat makalah, bukan cerpen.

Namun saya tetap bertahan. Paling tidak punya komunitas dulu. Soal ‘salah jalan’itu belakangan. Bukankah ada pepatah Banyak Jalan Menuju Roma?

Menginjak kuliah, saya menjadi salah satu di antara lima mahasiswa Instika angkatan 2008-2009 yang beruntung lolos seleksi Karantina Menulis LPM-Fajar. Ditambah dua mahasiswa di atas angkatan saya, peserta karantina menjadi tujuh orang. Pelaksanaannya setengah bulan penuh.
Selesai karantina, saya tambah aktif menulis. Saya juga aktif di beberapa penerbitan majalah dan buletin, seperti Buletin Ideal (PMII-Permis) Majalah Fajar (LPM-Instika), Majalah Muara (Lubra), dan mengelola blog Ponpes Annuqayah (www.annuqayah.blogspot.com) dalam bimbingan K. Mushthafa.

Tahun 2012, saya membuat komunitas menulis. Bersama Faruqi Munif, lahirlah Komunitas Sastra Serambi (Kosambhi), yang sampai saat ini alumninya masih aktif berkarya di kancah nasional seperti Mawaidi D. Mas, Saifa Abidillah, Diyanto, dll.

Berkarya dan Berbagi Kepedulian
Satu pengalaman yang saya banggakan—lebih dari sebuah tropy dan honor tulisan—adalah ketika saya bisa berbagi kepedulian dengan orang lain melalui tulisan.

Lan Fang, penulis novel Di Bawah Ciuman Hujan, penulis yang memperkenalkan saya pada rasa peduli itu. Ia yang mengaku Annuqayah merupakan rumah keduanya, menginginkan ada satu santri Annuqayah ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial Parade Cerpen untuk Sanie B Kuncoro bekerjasama dengan Jawa Pos. Sanie B Kuncoro adalah penulis sastra asal Solo yang mengidap kanker payudara. Keinginan itu disampaikan oleh K. Mamak (sapaan akrab K. H. M. Salahuddin Warits ) dan beliau merekomendasikan saya mewakili santri Annuqayah.

Maka, jadilah parade cerpen itu diikuti oleh lima orang; saya, Lan Fang, Wina Bojonegoro, Sanie B Kuncoro, dan Musa Hasyim, santri Ponpes Tebu Ireng Jombang.. Honor dari kelima tulisan itu akan didonasikan untuk biaya operasi Sanie B Kuncoro.

11 Juli 2011 cerpen saya berjudul Kubah pertama kali nangkring di Jawa Pos. Saya bangga. Tak pernah terbayang sebelumnya tulisan saya bisa mejeng di Jawa Pos. Ucapan selamat dari kawan dan dosen berdatangan. Sahabat sesama jurnalis siap ‘merampok’ menunggu traktiran makan.
Ada dua hal yang membuat saya bangga. Pertama, saya tak menyangka sama sekali bisa membantu seseorang melalui tulisan. Jika mengingat pertama belajar menulis, paling tidak dengan keawaman saya berproses, yakni empat tahun, sudah dapat menembus Jawa Pos. Apalagi, saya penulis yang ‘salah jalan’.

Kedua, saya semakin akrab dengan penulis-penulis hebat lain untuk bisa menimba ilmu. Khusus Lan Fang, setiap pulang ke Jember, saya kerap menyempatkan diri mampir ke rumahnya di Surabaya. Sayang, sejak ia meninggal 25 Desember 2011, semua sudah terbungkus kenangan.

Begitulah, berkarya dan berbagi kepedulian dengan orang lain nilainya tak bisa diukur dari angka-angka atau piala. Bagi saya, momen seperti itu merupakan juara sepanjang masa.

Target Menulis dan Menembus Media
Setiap tahun saya selalu memiliki target-target tertentu dalam segala hal. Biasanya saya menentukan suatu target dalam setahun. Target tidak banyak, hanya satu atau dua, yang penting dalam setahun harus fokus pada target tersebut. Karena saya bercerita tentang proses kreatif menulis, saya fokus saja pada satu target: menulis.

Saya sudah sedikit menyinggung awal tujuan belajar menulis adalah bisa membuat makalah. Target pertama saya adalah mencari komunitas dan menulis sebanyak-banyaknya. Pada tahun 2008, selain KCN, saya juga mulai aktif di penerbitan kecil semacam majalah dinding.

Awal tahun 2009, saya bergabung dengan Majalah Muara, LPM-Fajar, dan Pusat Data (Pusdat) Annuqayah. Saya yakin, banyaknya komunitas akan selalu mendorong saya—sesuai tuntutan atau tugas komunitas—untuk konsisten menulis. Ingat! Mood adalah musuh utama penulis. Ia bisa datang kapan saja.

Buletin atau majalah yang ada di Annuqayah juga menjadi target di tahun itu. Sebagian besar media di Annuqayah pernah saya kirimi tulisan, dengan tujuan ingin mengetahui sejauh mana perkembangan dan kualitas tulisan saya. Alhamdulillah, responnya baik: sebagian besar dimuat!
Tahun 2010 saya memberanikan diri berkompetisi dengan dunia ‘luar’. Koran regional Jawa Timur seperti Infokom, Radar Madura, Radar Jember, Surabaya Post, Radar Surabaya, Memorandum, dan Kompas Jatim, menjadi target berikutnya. Target pun tercapai.

Tahun 2011 saya mencoba membangun peruntungan yang lebih besar. Koran Regional luar Jawa Timur menjadi targetnya. Akhirnya target ini juga bisa dipetik dengan indah: Bangka Post, Minggu Pagi, Majalah Kuntum, Koran Merapi, dan Sumut Post bisa saya tembus. Honornya tak seberapa, namun bagi seorang santri, sungguh luar biasa untuk makan dan sebagai tambahan biaya kuliah. Tanpa diduga, tahun yang indah ini ditutup dengan cerpen Kubah di Jawa Pos.

Tahun 2012, sebagai penulis yang ‘salah jalan’, saya mulai percaya diri. Target berikutnya adalah seluruh koran di Indonesia! Tak pedulu koran lokal, regional, dan nasional. Di tahun inilah, dalam konteks materi, saya rasakan nikmatnya menjadi penulis. Kantong semakin tebal sampai berpikir perlunya membuat rekening. Di tahun ini, Sumatera Ekpress, Majalah Annida, Tabloid Nova, Lampung Post, Majalah Horison, Suara Pembaruan, Tribun Jabar, Jurnal Nasional, Suara Merdeka, Republika, dan Majalah Femina sudah bisa saya jajah.

Tahun 2013, tak ada target yang berarti, namun saya tetap membangun relasi kuat dengan penulis-penulis senior dan media yang sudah memuat tulisan saya. Benar apa yang dikatakan oleh K. Faizi, sekali media bisa ditembus maka untuk menembus kedua kalinya akan lebih mudah. Sejak tahun 2010 sampai saat ini, dalam dokumen saya sudah ada 60-an tulisan yang sudah dimuat di media, baik lokal dan nasional.

Saya juga mengikuti berbagai even lomba menulis, namun hasilnya tak sejodoh seperti menjajah media. Soal buku? Saya tak punya buku yang bisa dibanggakan kecuali satu novel Asmara Anak Asrama (2010). Sayang, novel itu belum terbit.

Menerbitkan buku merupakan target saya jika sudah bisa menembus Kompas. Sejak tahun 2012 saya sudah menggempur koran yang kata sebagian besar penulis merupakan tolak ukur geliat sastra di Indonesia. Namun sampai sekarang belum satu pun dimuat. Entahlah, apakah tulisan saya jelek atau memang bukan selera redakturnya. Apakah saya pernah patah arang? Tidak! Tulisan ditolak itu biasa. Itulah alasannya menjadi penulis harus tebal muka.

Khotimah; Menulislah Sampai Mahok! Itu yang terpenting.[]

*Alumni Ponpes Annuqayah Lubangsa asal Jember. Pengelola blog Menulis Sampai Mahok!

0 comments: