Saturday, August 21, 2021

Menunggu Slerok sebagai Sejarah 'Kampung yang Hilang'


Saya bersyukur bisa kembali berkunjung ke Slerok. Sebuah perkampungan di bawah hutan pinus lereng Gunung Raung. Tiga tahun tak pernah ke sana, banyak perubahan yang tercipta. Salah satunya jumlah penduduk yang terus berkurang. Mereka pindah ke perkampungan bawah dekat akses sekolah dasar.

Mereka pindah mereka bukan tanpa dasar, melainkan karena memiliki anak yang sudah mulai bersekolah di tingkat dasar. Daripada anaknya naik turun lereng, bersekolah setiap hari, berjalan kaki delapan kilometer, pulang pergi enam belas kilometer, lebih baik orangtua yang naik turun menyelesaikan pekerjaan di atas sana: memanen kopi dan menyadap getah karet.

Saya tahu Slerok sekitar tahun 2014 melalui salah satu guru yang mengajar di sana. Jiwa petualang saya pun terpanggil dan akhirnya sampai juga di sana. Banyak kesan-kesan kemanusiaan yang coba tulis menjadi sebuah cerita. Dua tulisan berbeda dengan judul yang sama “Slerok” sudah pernah dimuat di media, yaitu Republika (29/06/2014) dan Kompas (15/06/2018).

Pertama ke Slerok, penduduk yang menetap di sana masih banyak. Sekitar tujuh puluh kepala keluarga (KK). Tiga tahun lalu (2018), terakhir saya ke sana, tinggal belasan KK. Sekarang penduduk yang menetap tak lebih dari sepuluh KK. Musala kecil masih berdiri kokoh. Entah, masih difungsikan atau tidak. Sementara, gedung sekolah satu atap semi permanen sudah tak terawat dan kini beralih fungsi menjadi gudang. Miris sekali!

Pertama berkunjung, perkampungan yang masih bagian dari Desa Slateng, Kecamatan Ledokombo tersebut masih ramai oleh aktivitas penduduk—yang sebagian besar adalah pendatang. Terdapat pengeras suara di musala. Gedung sekolah semi permanen tersebut juga dihiasi dengan aktivitas belajar.



Sekolah yang hanya dua ruangan tersebut dipakai untuk anak-anak kelas rendah (kelas 1, 2, dan 3) mati suri setahun kemudian. Satu-satunya guru yang mengajar di sana berhenti dan tak ada lagi yang menggantikan. Jadilah sekolah itu hanya dihuni oleh papan tulis, bangku dan meja kosong. Satu lagi, gambar presiden dan wakil presiden yang sudah usang.

Hari ini saya memiliki kesempatan kembali ke sana. Membagikan alat tulis dan buku bacaan kepada anak-anak Slerok. Alat tulis dan buku bacaan itu seharusnya saya bagikan tiga tahun lalu. Namun, karena terkendala beberapa hal, alat tulis dan buku bacaan tersebut dapat di salurkan hari ini.

Kali ini saya mengajak istri saya. Ia penasaran dengan cerita-cerita saya tentang Slerok. Cuy—panggilan sayang saya—mau saya ajak ke sana. Merasakan sensasi jalan terjal bebatuan yang membentang sejauh delapan kilometer (ukuran versi spidometer).

Mulanya, tak ada kendala berarti bagi Vario 125cc melibas jalan terjal bebatuan di belantara hutan pinus. Sampai separuh perjalanan, pada sebuah tanjakan curam, Cuy terpaksa harus saya turunkan. Terlalu beresiko memboncenginya melibas jalan bebatuan. Apalagi saya bukan penduduk yang sudah biasa melewati jalan bebatuan dan bergelombang. Saya catat, tiga kali istri saya turunkan. Napasnya ngos-ngosan. Naik turun tak beraturan. Sesekali merutuk diri tak ingin kembali. Saya tersenyum saja, menikmati sensasi sebuah perjalanan yang tidak biasa.

Sampai di ujung terakhir perkampungan, saya singgah di salah satu rumah yang biasa saya kunjungi ketika ke sana. Saya serahkan semua paket bantuan tersebut kepadanya untuk disalurkan kepada anak-anak yang lain. Hamparan kopi kering menghiasi seluruh halaman kampung Slerok.



Saya tersentuh ketika buku iqra’ sampai di tangan anak-anak. Perasaan bahagia menghiasi wajah mereka. Salah satu orangtua berujar, “nah, ini buku (iqra’) yang kami butuhkan”. Kalimat singkat itu menghentak dada saya. Selama ini, setelah tak ada lagi yang mengajar di sana, mereka mengajari sendiri anak-anak mereka. Belajar membaca dan mengaji.

Ketika sampai waktunya mereka bersekolah, orangtua yang memiliki anak siap bersekolah pindah ke perkampungan bawah yang memiliki akses dekat dengan sekolah. Mereka, sekali lagi, tidak tega setiap hari melihat anaknya berjalan naik turun lereng gunung dengan kondisi jalan yang keras dan terjal. Saat itulah saya tahu, mengapa penduduk Slerok yang menetap di lereng Gunung Raung semakin berkurang.

Bukan tidak mungkin suatu saat Slerok hanya menjadi cerita ‘kampung yang hilang’. Penduduk yang tersisa, tinggal menunggu giliran pindah bila sudah waktunya anak-anak mereka siap bersekolah. []