Tuesday, November 11, 2014

Memaknai Indahnya Berpuasa



Judul               : Tafsir Sastrawi: Menelusuri Makna Puasa dalam Alquran
Penulis             : Wali Ramadhani
Penerbit           : Mizan Pustaka
Terbitan           : Pertama, Mei 2014
Tebal               : 176 halaman

Alquran merupakan kitab sastra Arab terbesar dengan pilihan teks yang memunyai muatan nilai sastra yang sangat tinggi. Terbukti dialog dalam teks-teks Alquran selaras dengan realitas yang terus berkembang dan berubah-ubah.

Muatan nilai-nilai sastra dalam Alquran memunculkan tafsir Alquran dengan metode sastrawi. Salah satu ulama yang mengembangkan tafsir dengan metode ini adalah Amin al-Khuli (1895-1996). Metode sastrawi merupakan usaha untuk memahami ayat-ayat Alquran melalui sastra dan kebahasaan. Sederhananya, metode sastrawi menggunakan pendekatan terhadap teks Alquran melalui kata per kata dalam sebuah kajian tematik (maudu’i).

Kajian tafsir dengan medote sastrawi dilakukan dengan dua metode, yaitu kajian seputar Alquran (dirasah ma hawla Alquran) dan kajian mengenai Alquran itu sendiri (dirasah ma fi Alquran).

Wali Ramadhani, mencoba memahami hakikat perintah berpuasa dalam Alquran melalui metode ini. Ayat yang paling mencolok kaitannya dengan perintah berpuasa adalah surat Albaqarah ayat 183, 184, dan 185, menyerukan kewajiban bagi orang beriman untuk melaksanakan ibadah puasa.

Bagi ummat Islam aktivitas berpuasa sudah tidak asing lagi. Bahkan ibadah puasa menjadi salah satu pilar dari lima rukun Islam. Namun pada tatanan praktiknya, puasa terasa menjadi berat, hambar, hanya sebatas berperang melawan rasa lapar dan haus, apabila tidak memahami makna dan hakikat dari puasa.

Buku ini ingin menelisik konsep puasa dengan mengedepankan aspek keindahan bahasa dan makna simbolik dalam rangka menguak betapa aktivitas berpuasa tidak hanya berlapar-lapar dan menahan dahaga, melainkan sebuah proses pelatihan untuk mencapai ketakwaan dan derajat spiritual yang tinggi.

Puasa bila ditinjau dari kajian seputar Alquran, meletakkan hakikat ibadah puasa sebagai latihan memerangi hawa nafsu. Turunnya perintah puasa tidak lepas dari kondisi sosial-budaya bangsa Arab yang identik dengan kefanatikan antar kabilah, sehingga perilaku dan watak mereka menjadi tempramental dan fatalis. Di sinilah puasa dapat berperan sebagai ajang transformasi moral, baik pada tataran individu maupun sosial.  

Sementara tinjauan ibadah puasa dari kajian mengenai Alquran sendiri menempatkan tiga poin pokok yang harus diperhatikan. Pertama, mengapa di ayat awal disebutkan durasi puasa hanya ‘beberapa hari’ sementara di ayat akhir disebutkan ‘sebulan penuh’. Kedua, mengurai redaksi wajibnya berpuasa yang menggunakan kalimat pasif (diwajibkan) bukan menggunakan kalimat aktif (mewajibkan). Ketiga, keringanan-keringanan dalam berpuasa.

Redaksi pertama surat Albaqarah ayat 184 menggunakan ayyaman ma’dudat (beberapa hari tertentu), lalu dilanjutkan pada ayat berikutnya dengan redaksi syahru ramadhan (bulan ramadan) mengindikasikan strategi untuk memengaruhi asumsi pembaca bahwa satu bulan itu bukanlah waktu yang lama. Kata ma’dudat menunjukkan makna sedikit atau sebentar. Dengan redaksi demikian, Alquran tampak memberikan gambaran bahwa sebulan itu bukan waktu yang lama.

Sementara penggunaan kalimat pasif kutiba (diwajibkan) untuk menunjukkan kepada sesuatu yang sudah melekat. Pada dasarnya manusia sudah memiliki naluri untuk menahan diri sehingga kata kutiba lebih sesuai jika disandingkan dengan ibadah puasa. Penggunaan kalimat pasif juga hendak menunjukkan bahwa sudah jelas subjek yang mewajibkan puasa adalah Allah.

Mengutip pendapat Quraish Shihab bahwa tidak disebutkannya pelaku yang mewajibkan puasa dalam ayat tersebut memberikan isyarat seandainya bukan Allah yang mewajibkan, niscaya manusia sendirilah yang mewajibkan untuk dirinya sendiri. Tentu ibadah puasa menjadi mutlak untuk dilaksanakan. (hal.88)

Pelaksanaan ibadah puasa juga memiliki beberapa keringanan-keringanan, yaitu kepada orang yang sakit, orang dalam perjalanan (musafir), orang yang berat menjalankannya seperti orang yang sudah tua.
Ayat tentang keringanan dalam ibadah puasa disebutkan sesudah kewajiban berpuasa dan sebelum menyerukan waktu pelaksanaannya. Runtutan ini guna menghilangkan kesan betapa menjalankan ibadah puasa itu berat. Apabila paparan awalnya langsung tertuju pada pelaksanaan sebulan penuh maka kesan yang akan muncul adalah puasa itu berat dan lama.

Dengan menggunakan pandangan tafsir sastrawi kita dapat menangkap betapa menjalankan ibadah puasa bukan hanya semata-mata dipandangi sebagai perintah yang harus ditaati, melainkan sebagai bentuk pembelajaran spiritual.

Sayang sosok Amin al-Khuli yang menjadi sandaran atas tafsir sastrawi dalam buku ini kurang mendapatkan perhatian dari penulis. Ketidaksertaan biografi Amin al-Khuli dalam buku ini membuat pembaca kurang memahami corak dan pemikirannya terkait dengan tafsir sastrawi ala Amin al-Khuli.

Puasa seyogyanya mampu membebaskan manusia dari kerendahan jiwa agar sampai pada kesempurnaan akalnya, yakni suatu keadaan fitrah manusia atas ketaatan terhadap Allah. Buku ini baik dalam rangka memaknai indahnya menjalankan ibadah puasa.[]


0 comments: