Oleh Fandrik Ahmad*
Teka-teki seputar siapa sosok calon wakil presiden (cawapres)
yang akan mendampingi presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2019 kini sudah
terjawab. Kamis, 9 Agustus 2019, di Restoran Plataran, Menteng, Jakarta Pusat, Jokowi
bersama sembilan partai koalisi sepakat untuk mengusung KH Ma’ruf Amin sebagai
calon wakil presiden pada pemilu 2019.
Sebelumnya, mencuat kabar bahwa sosok cawapres yang
akan mendampingi calon petahana tersebut adalah berinisial M. Maka, muncul nama
Mahfud MD di garis terdepan. Ia menjadi kandidat terkuat sebelum terjadi
dinamika politik di akhir laga. Ya, sembilan petinggi partai yang tergabung
dalam koalisi Indonesia Kerja saat itu sepakat memilih Ma’ruf Amin daripada
Mahfud MD. Kenapa mesti Ma’ruf Amin?
Ma'ruf Amin bukan pemain baru dalam kancah politik
tanah air. Banyak yang menilai bahwa Ma’ruf Amin merupakan sosok paling ideal
mendampingi Jokowi. Ma’ruf Amin merupakan sosok utuh sebagai tokoh agama sekaligus
tokoh politik. Tentu segudang pengalaman menjadi bahan pertimbangan. Sebagai
tokoh agama, ia menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Rais
Aam PBNU. Sebagai tokoh politik, ia pernah duduk di DPR dan MPR serta menjadi dewan
pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Sebagai tokoh agama, Ma’ruf Amin diharap mampu mengakomodir
suara di tingkat bawah yang mayoritas adalah warga nahdliyyin. Bagaimanapun juga, di panggung politik, suara NU
tetaplah memiliki daya tarik tersendiri dan menjadi rebutan. Selain menjadi
organisasi Islam terbesar di Indonesia, masyarakat NU—jika tidak dikatakan fanatik—sangat
takzim terhadap ulama sehingga apapun yang menjadi keputusan, ulama tetap
dinomorsatukan. Sementara Mahfud MD dinilai kurang tepat sebagai interpretasi
dari sosok nahdliyyin. Sebagaimana
pernyataan KH Said Aqil Siradj, ketua umum PBNU bahwa lelaki yang lahir di
Madura itu hanya dekat dengan NU, bukan kader NU.
Terpilihnya Ma’ruf Amin juga bagian dari strategi
politik. Sebagaimana diketahui, kursi calon wakil presiden menjadi primadona
dan diperebutkan oleh para elite partai, yang sejatinya berburu kekuasaan pada
pemilu 2024. Asumsinya, jika pada pemilu 2019 kembali terpilih, maka pada
pemilu 2024 Jokowi tidak bisa mencalonkan kembali karena sudah dua periode.
Oleh karena itu, kursi wakil presiden dinilai sangat kuat sebagai batu loncatan
menggalang kekuatan maju sebagai calon presiden.
Apabila melihat usia yang sudah menginjak 75 tahun, tentu
peluang untuk maju pada pemilu 2024 sebagai calon presiden sangat kecil. Hal
ini tentu menjaga peluang partai politik mengusung kekuatan sehingga merasa
lebih legowo menerima Ma’ruf Amin
daripada Mahfud MD.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai
platform utama pengusung Jokowi sangat hati-hati menjaga harmonisasi keluarga
di kabinet Indonesia Kerja. Mereka tahu bahwa para elite partai yang berkoalisi
sama-sama mengincar kursi nomor dua RI, sebut saja Muhaimin Iskandar (PKB), Airlangga
Hartarto (Golkar), Muhammad Romahurmuziy (PPP), Osman Sapta Odang (Hanura) dan
Hary Tanoesodibjo (Perindo). Dengan mengambil tokoh di luar non-partai
pengusung, tetapi dapat merepresentasikan calon ideal yang diinginkan para
elite partai, maka kemungkinan terjadinya poros ketiga sangat kecil. Apalagi
deklarasi pencalonan dilakukan pada masa-masa injury time yang tentunya juga akan sangat sulit membuat poros baru.
Pasangan Umara-Ulama
Belakangan ini kursi kepresidenan kerap
digembar-gembor dengan isu-isu miring seperti Jokowi komunis, Jokowi antek asing,
hingga Jokowi yang anti ulama. Isu-isu SARA semakin santer berkembang, terutama
menyangkut isu-isu keagamaan. Dengan menggandeng Ma’ruf Amin, Jokowi seakan
ingin menjawab bahwa tuduhan itu tidak benar. Umara dan ulama harus bersinergi,
beriringan memajukan bangsa dan negara. Indonesia merdeka atas jasa ulama.
Keputusan-keputusan penting pasca kemerdekaan juga atas andil ulama. Maka,
seyogianya antara ulama dan umara bahu-membahu dan saling melengkapi dalam
mengambil kebijakan strategis.
Dengan memilih Ma’ruf, dukungan suara kepada Jokowi
akan lebih variatif daripada jokowi menggandeng Mahfud. Ma’ruf dan Mahfud adalah
tokoh muslim berbeda corak dan pemikiran. Ma’ruf adalah ulama NU yang dipandang
konservatif-toleran, sementara Mahfud adalah seorang akadmisi dan tokoh
moderat. Ma’ruf dapat menjadi strategi untuk meredam kelompok kanan yang tidak
simpatik kepada Jokowi.
Terlepas dari hal di atas, bukan berarti Ma’ruf
menjadi sosok ideal pendamping Jokowi. Corak pemikiran yang dinilai lebih
konservatif bisa menjadi celah untuk menurunkan dukungan suara kepada siapa pun
yang tidak simpatik kepada tokoh konservatif. Namun dukungan dari kalangan
moderat, secara politis tetap kuat, karena Ma’ruf masih representasi dari tokoh
NU.
Sebagai background umara dan ulama, setidaknya isu-isu SARA
khususnya keagamaan bisa diredam sehingga pertarungan nanti benar-benar menjadi
sebuah pertarungan konsep dan gagasan menuju Indonesia berdaulat. Semoga.
*) Mahasiswa pascasarjana IAIN Jember
Sumber: Mediajatim.com
0 comments:
Post a Comment