Kabar Ratna Sarumpaet yang merekayasa cerita bahwa dirinya telah dianiaya oleh sejumlah orang tak dikenal betul-betul menggegerkan. Padahal, kenyataannya, dia baru saja melakukan operas plastik.
Kini hoaks menjadi wabah nasional. Rentan menimbulkan konflik sosial, instabilitas di lintas sektor, dan berpotensi menghambat pembangunan nasional. Hasil survey Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) tahun 2017 menunjukkan, hoaks tertinggi terkait dengan isu sosial politik dan SARA. Hoaks yang paling sering diterima berbentuk tulisan (62,10%) dan gambar (37,50%).
Proyeksi Badan Pusat Statistik, pada 2020 Indonesia akan “dikuasai” generasi milenial. Generasi ini, menurut buku “Millenial Nusantara” karya Hasanuddin Ali dan Lilik Purwandi (2017), memiliki ciri utama karakter connected, yakni selalu berupaya diri terhubung ke internet.
Hasil penelitian Alvara Researh Center (2017), generasi era ini kreatif, berpikir out of the box, dan percaya diri dalam mengemukakan gagasan. Selaras dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pew Research Center (2010) bahwa generasi milenial tidak bisa dilepaskan dari penggunaan teknologi internet. Sebab, internet sudah menjadi kebutuhan pokok. Kebanyakan dari mereka memiliki media sosial.
Mastel juga mencatat, penyebaran tertinggi hoaks dilakukan melalui media sosial. Saefudin, H.A., dan Venus, Antar dalam Cultivation Theory (2007) menyatakan, media sosial menanamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial untuk menggiring opini dan menyebarkan ujaran kebencian.
Ada beberapa sebab hoaks dapat menyebar dengan sangat cepat. Pertama, memuat konten provokatif dan menghebohkan. Para pembuat hoaks ‘profesional’ memahami marketplace dunia maya, yakni masyarakat yang mudah tersulut berita-berita bombastis yang menguras emosi.
Kedua, terdapat kesamaan ideologi. Sebagaimana ungkapan Martin van Bruinessen, profesor emeritus studi perbandingan masyarakat muslim kontemporer pada Utrecht University, manusia yang memiliki kesamaan ideologi dengan sangat mudah membentuk suatu kelompok. Konteks itu tidak jauh berbeda dengan kesamaan ideologi seseorang terhadap suatu berita yang diterima. Mereka dengan mudah menyebarluaskan, terlepas benar atau salah.
Ketiga, rendahnya minat baca masyarakat di tengah gempuran informasi. Gejala miopia sangat dirasakan, tidak bisa mengenali mana fakta mana hoaks. Konten-konten disebarkan tanpa ada kemampuan menyaring secara kritis. Gejala ini semakin diperparah dengan rendahnya geliat literasi di Indonesia.
Sejatinya hoaks mudah dikenali dan tidak sulit memeriksa kebenarannya. Namun pola masyarakat digital cenderung menanggapi dengan pertanyaan kritis, menyanggah berdasarkan kebenaran pribadi, dan menyebarluaskan secara berlebihan. Kebiasaan ini melahirkan paradigma baru betapa hoaks tidak sekadar menyajikan narasi kosong, melainkan lebih kepada struktur masif menggiring pembaca masuk ke dalam kubangan debat kusir sehingga menjadi viral.
Penyebar hoaks adalah pelaku kejahatan dunia maya (cyber crime). Di Inggris, kejahatan ini sudah dikategorikan sebagai ancaman nasional. Sementara Amerika sudah menyatakan perang dan pelaku dihukum seberat-beratnya. Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah telah berupaya keras memerangi penyebar berita hoaks melalui UU ITE. Namun, proses tersebut belum berjalan maksimal karena kurang didukung dengan peranti teknologi memadai sehingga penyebar hoaks sulit terdeteksi.
Hoaks sulit kita dihindari. Setiap hari menjadi konsumsi publik. Pada momen-momen tertentu, seperti pilkada atau konflik berbau SARA, hoaks bisa dengan mudah membludak. Di sinilah perlunya membangun daya pikir masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh berita-berita yang tidak bisa dipastikan kebenarannya.
Sejatinya masyarakat sudah melek informasi, tapi belum dibarengi kesadaran etis dan etika dalam mengelola informasi. Peran pemerintah, penegak hukum, dan media sangat dibutuhkan. Tetapi peran dari masing-masing personal jauh diperlukan. Mari kita mulai dari diri sendiri.[]
0 comments:
Post a Comment