https://mediajatim.com/2020/07/28/pembelajaran-online-dan-kesiapan-belajar-anak-pendidikan-dasar/
Coronavirus Diseases 2019 (Covid-19) menyita
banyak perhatian. Pandemi global tersebut melumpuhkan multi-sektoral, termasuk
sektor pendidikan. Mau tidak mau, kebijakan social distancing dan physical
distancing memaksa lembaga pendidikan melakukan harus
pembelajaran online.
Tidak semua lembaga pendidikan siap menjadi ‘imigran online’.
Banyak faktor yang mempengaruhi, baik dari segi sarana prasarana hingga sumber
daya manusia. Dr. H. Mundir, M.Pd, dalam Migrasi Digital di Era New Normal,
membaginya menjadi tiga kelas: unggul, menengah, dan rendah. Kelas unggul yaitu
mereka yang telah melaksanakan pembelajaran online jauh sebelum adanya
Covid-19. Kelas menengah adalah mereka yang melakukan pembelajaran berbasis IT
dengan model face to face. Sementara kelas rendah
disematkan kepada mereka yang tidak atau belum pernah melaksanakan pembelajaran
online.
Apakah pendidikan kita siap melakukan pembelajaran online? Tentu
kita harus optimis, tetapi juga harus realistis! Berdasarkan hasil survey
Programme for International Student Assesment (PISA) akhir tahun 2019
menunjukkan, kualitas pendidikan di Indonesia menempati peringka ke-72 dari 77
negara. Mengapa bisa demikian?
Kurangnya pemanfaatan teknologi dalam kegiatan pembelajaran
menjadi salah satu indikatornya. Meski Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) menyebutkan, jumlah pengguna internet tahun 2019 sebanyak
171,17 juta jiwa atau 64,8 persen dari total penduduk Indonesia, namun hanya
40% dari guru non-TIK yang siap dengan teknologi. Artinya, masih banyak
pendidik yang melaksanakan pembelajaran secara konvensional.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim
sangat getol mendorong lembaga pendidikan memanfaatkan teknologi
sebesar-besarnya guna meningkatkan kompetensi Abad 21. Namun, misi besar yang
dibangun belum terkaji secara strategis dan merata. Tidak heran jika kemudian
Mas Menteri, sapaan akrabnya, kaget ketika mengetahui ada wilayah di Indonesia
belum teraliri listrik. Belum lagi soal ketimpangan kompetensi guru dan sarana
prasaranan pendidikan antara di kota dan di desa.
Kesiapan Psikis dan Mental
Musibah pandemi Covid-19 yang datang tak diduga memangkas jarak
satu sama lain. Tentu hal ini menuntut lembaga pendidikan harus menyesuaikan
diri dengan kondisi dan situasi yang ada. Pembelajaran konvensional sementara
bermigrasi ke pembelajaran digital. Pendekatan pedagogi beralih ke pendekatan
heutagogi. Pendekatan andragogi bergeser ke pendekatan cybergogi
Pembelajaran online barangkali tidak menjadi kendala serius bagi
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi senyampang sarana prasaran dan
kompetensi guru memadai. Namun, tidak bagi pendidikan dasar, terutama bagi
sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah. Permasalahannya menjadi sangat kompleks.
Tidak hanya soal sarana prasarana dan kompetensi keahlian, melainkan juga
kesiapan psikis dan mental peserta didik dalam belajar
Piaget’s Theory of Cognitive
Development menyebutkan, anak pada usia SD/MI, antara 7-11 tahun, berada
pada tahapan operasional konkret. Mereka memiliki kecenderungan mulai memandang
dunia secara objektif, berpikir operasional, mengklasifikasi benda-benda, dan
memahami konsep. Dalam konteks belajar, mereka memiliki kecenderungan kongkret,
integratif, dan hierarkis.
Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Mereka membutuhkan banyak
interaksi dengan teman maupun lingkungan. Itulah mengapa pembelajaran pada
pendidikan dasar menggunakan pembelajaran tematik terpadu, yakni pemaduan mata
pelajaran berdasarkan tema-tema tertentu yang kontekstual dengan dunia anak
Ironi Pendidikan
Kehidupan new normal sudah memasuki fase III. Artinya, kegiatan
yang melibatkan massa mulai diperbolehkan, seperti kegiatan kebudayaan,
pariwisata, olahraga outdoor dan kegiatan massa lainnya dengan tetap memerhatikan
protokol kesehatan.
Pada fase ini sekolah seharusnya juga dibuka. Namun ternyata
pembelajaran di rumah masih diperpanjang sampai batas waktu belum ditentukan.
Tentunya hal ini menjadi semacam ironi. Kawasan wisata dibuka, belajar belum
sepenuhnya ‘merdeka’. Boleh berolahraga di ruang terbuka, anak belajar masih
terasa ‘di penjara’. Hajatan diperbolehkan, bersekolah masih dalam angan-angan.
Sejatinya, pembelajaran online merampas dunia belajar dan bermain
anak-anak. Dunia maya bukanlah taman yang baik bagi seusia mereka. Tak ayal
banyak yang bosan dan ingin segera masuk sekolah. Bermain dan bertegur sapa.
Anak-anak tidak bisa belajar mandiri. Harus ada yang bisa
mendampingi. Satu-satunya yang sangat memungkinkan menjadi patner belajar dari
rumah adalah orangtua. Namun tidak semua orangtua bisa menjadi patner belajar
yang baik. Malah potensi stres orangtua bisa lebih meningkat karena masih harus
memikirkan ekonomi keluarga.
Lalu, kapan kegiatan pembelajaran tatap muka bisa dilaksanakan
kembali? Wallahu ‘alam.
0 comments:
Post a Comment