Oleh:
Fandrik Ahmad*
Pemilu 2019 seperti menjadi kontestasi calon wakil presiden (cawapres).
Prahara yang melibatkan kedua cawapres, mampu menyedot perhatian rivalitas
politik antara Jokowi dan Prabowo sebagai dua tokoh sentral yang memperebutkan
kursi R1. Sandiaga Uno (SU) sebagai cawapres Prabowo dilaporkan mempraktikkan mahar
politik, sementara Mahfud MD (MMD) yang mencuat sebagai pasangan Jokowi,
terjungkal oleh KH. Ma’ruf Amin di detik-detik deklarasi.
Judul tulisan ini sengaja penulis samakan dengan judul talkshow Indonesia Lawyers Club (ILC),
salah satu program stasiun televisi swasta (14/08/2018), yang mengundang MMD
mengulas kronologi kegagalan dirinya sebagai cawapres Jokowi. Dengan judul
tersebut, ILC seakan ingin membandingkan antara isu mahar politik yang
dilakukan SU kepada dua elite partai pengusung dengan Pemberi Harapan Palsu
(PHP) kepada MMD yang melibatkan sejumlah politisi NU, termasuk KH. Ma’ruf Amin
yang terpilih sebagai cawapres Jokowi.
Mahar Politik
Mahar politik bukan hal baru. Belakangan terjadi di Pilkada Jawa Timur.
La Nyalla Mattalitti yang ingin maju sebagai calon gubernur Jawa Timur mengaku
dimintai mahar 40 miliar oleh Partai Gerindra sebagai timbal-balik dukungan
partai. Pernyataan tersebut seketika viral dan menunjukkan bahwa mahar di dalam
dunia politik memang nyata adanya, semacam simbiosis mutualisme antara kandidat
calon dengan partai politik.
Isu sama kembali mengemuka setelah Andi Arief, wakil sekjen Partai
Demokrat, membeberkan adanya praktik sama yang dilakukan oleh SU untuk
memuluskan dirinya menjadi cawapres Prabowo. Tidak tanggung-tanggung, mahar
yang diberikan kepada PAN dan PKS masing-masing senilai Rp. 500 miliar. Tentu,
fenomena tersebut menandakan adanya demokrasi yang sekarat pada bangsa
ini.
Salah satu yang menjadi indikasi praktik mahar politik adalah tingginya dana
kampanye yang harus dikeluarkan oleh partai, meliputi atribut, tim pemenangan, sampai
biaya saksi di masing-masing TPS. Belum lagi jasa penggunaan media cetak/online
dan lembaga survey sebagai bentuk pencitraan diri. Selain itu, mahar politik
juga dapat terjadi karena kandidat calon dianggap memiliki elektabilitas rendah
di mata publik.
Pemerintah sejatinya sudah berupaya memberikan suntikan dana kampanye
yang cukup besar terhadap partai, yaitu melalui revisi PP No. 83 Tahun 2012
menjadi PP No. 1 Tahun 2018 yang menaikkan dana bantuan partai naik 10 kali
lipat menjadi Rp. 1000 per suara. Perubahan ini seharusnya menjadi pendorong
untuk meningkatkan kaderisasi partai, sebab kader yang dinilai baik oleh publik
pasti berimbas pada perolehan suara partai.
Praktik mahar politik masuk kategori penerimaan imbalan yang dilarang dalam
UU Nomor 7 tahun 2017. Namanya juga mahar, tentu ada proses tawar menawar
politik. Hasilnya adalah kapitalisasi jabatan. Sejatinya, mahar politik tak akan
berlaku bagi kandidat calon yang memiliki elektabilitas tinggi. Mereka tidak
akan pernah mau memperjualbelikan demokrasi melalui surat rekomendasi. Bangsa
kita terlalu pintar untuk dibodohi dalam urusan praktik semacam ini.
Kader NU atau Baper NU
Pada
kasus berbeda, MMD yang terjungkal sebagai cawapres Jokowi di detik-detik
deklarasi, mengaku legowo terhadap realitas politik, namun tak bisa diungkiri
gelagat kecewa tampak jelas pada raut wajahnya. Pengakuan apakah dirinya NU
atau bukan NU menjadi tendensi politik yang ditujukan kepada sejumlah politisi
NU yang meragukan ke-NU-annya. Beberapa kali MMD menyebut ketua umum PBNU Said
Aqil Siradj, ketua PKB Muhaimin Iskandar, ketua PPP Romahurmuziy, hingga KH.
Ma’ruf Amin. Keraguan itu pada intinya dianggap sebagai konspirasi politik
untuk menjungkalkan dirinya.
Suara NU selalu menjadi primadona. Tak ayal pada setiap kesempatan, NU
kerap menjadi isu-isu politik. Selain menjadi organisasi Islam terbesar di
Indonesia, masyarakat NU—jika tidak dikatakan fanatik—sangat takzim terhadap
ulama sehingga apapun yang menjadi keputusan, ulama tetap menjadi pilihan.
Dalam pandangan dunia santri, ilmu dan barokah didapat apabila sepenuhnya
takzim dan tawaduk terhadap segala keputusan kiai. Kendati pilihan atau
keputusan yang diambil tidak sesuai dengan hati nurani, santri akan tetap melaksanakan
sebagai bagian dari rasa takzim kepada seorang guru atau kiai.
Melihat fenomena yang ada, paradigma semacam inilah yang coba dimainkan oleh
sejumlah elite partai; mengukur sejauh mana kekuatan karismatik calon pemimpin berlabel
NU untuk menarik suara di tingkat bawah yang mayoritas adalah nahdliyyin. Pada konteks ini muncullah
isu kader NU dan bukan kader NU.
NU memang bukan partai politik. Secara organisasi juga tidak terikat
dengan partai manapun. Namun, sebagai ormas yang menjadi bagian dari tubuh bangsa,
NU tetap memiliki tugas dan tanggungjawab secara moral mengawal perjalanan
demokrasi dengan menyuarakan aspirasinya.
Mahar politik dan PHP dalam konteks kenegaraan
memiliki imbas yang berbeda. Mahar politik jelas mencederai konstitusional
negara, sementara PHP imbasnya lebih kepada aspek personality. Blak-blakan ala MMD menunjukkan karakteristik orang
Madura yang menjunjung tinggi harga diri. Sebagai intelektual Madura, tentu talkshow menjadi panggung sempurna melaksanakan
‘carok’ tanpa harus menghunus celurit untuk menumbangkan lawan.
Apa yang terjadi terhadap MMD merupakan dinamika dan realitas politik yang
wajar. Hanya saja dramatisasi di akhir laga menjadi topik yang viral di media. Lain
hal dengan mahar politik. Praktik masif dan sistematis tersebut mesti ditindak
tegas karena masuk kategori kampanye gelap (black
campaign) serta memicu adanya kapitalisasi demokrasi. Mahar politik hanya
akan melahirkan perilaku pemimpin koruptif di negeri ini.[]
*) Penulis adalah
jurnalis, cerpenis, dan mahasiswa pascasarjana IAIN Jember
Sumber: Mediajatim.com
0 comments:
Post a Comment