Saturday, March 3, 2012

Ironi Filsafat Jawa

Buku Filsafat Jawa (Balai Pustaka; 1992), buah tangan Dr. Abdullah Ciptoprawiryo, dosen ilmu filsafat Fakultas Sastra Universitas Indonesia, telah menyelamatkan wajah Indonesia dalam kancah percaturan ilmiah. Sebagaimana dalam pengantar bukunya, ia bermaksud untuk membantah pendapat seorang profesor asing yang mengatakan bahwa filsafat di Indonesia lebih ditekankan pada filsafat barat (Eropa) karena Indonesia tidak memiliki filsafat sendiri.

Melalui pendekatan analitik-holistik, ia membuktikan enam karya sastra Jawa yang mengandung pemikiran filsafat: Mpu Kanwa, Arjunawiwaha, jaman Raja Airlangga (abad XI); Mpu Tantular, Sutasoma dan Arjunawijaya, Jaman Raja Hayam Wuruk (abad XIV); Yasadipura 1, Dewa Ruci (1729-1801); Paku Buwana IV, Wulangreh (1789-1820); Ranggawarsita, Serat Wirid Hidayat Jati (1802-1873); Mangku Negara IV, Wedhatama (1809-1881).

Pada pertengahan tahun 1980, Prof. Dr. Takdir Alisjahbana, sastrawan Indonesia, menerima surat undangan dari Presses Universitaires De France di Paris, yang bermaksud menerbitkan sebuah Dictionnaire Des Philosophes, Kamus para Filsuf. Kamus itu akan memuat filsuf seluruh dunia beserta ringkasan karya mereka. Undangan itu kemudian digarap oleh para pengajar Jurusan Filsafat di tiga perguruan tinggi: Universitas Indonesia, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Universitas Gajah Mada dan IKIP Sanata Dharma.


Mereka mentapkan 15 tokoh filsuf tanah air untuk mengisi Dictionnaire Des Philosophes: Sutan Takdir Alisyahbana, Driyarkara, Ki Hajar Dewantara, HAMKA, Soemantri Hardioprakoso, Mpu Kanwa, Mangkunegara IV, Notonagoro, Mohamad Natsir, Pakubuwana IV, Ranggawarsito, H. Agus Salim, Sockamo, Mpu Tantular, dan Yasadipura I. Pada akhir tahun 1984 Dictionnaire Des Phelosophes terbit dalam dua jilid.

Seni dan Tuhan
Negara Yunani sebagai kiblat dari filsafat barat (Eropa) mencetuskan filsafat sebagai cinta kebijaksanaan. Pradigma semacam ini terwarisi sampai ke belahan negara bagian timur (Asia). Namun, corak religius yang mewarnai literatur pengetahuan di negara timur menjadikan filsafat bukan hanya sekedar pencarian entitas kebenaran ilmu pengetahuan, melainkan sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan (insan kamil).

Filsafat Jawa lebih “beraliran” filsafat ketimuran. Tipologi ini tidak lepas dari religiositas masyarakat Jawa. Hanya, filsafat Jawa menggunakan pendekatan intuisi seni sebagai pencarian dan pengejewantahan dari kearifan tertinggi. Sebagaimana pernyataan Dr. P. Zoetmulder, bahwa filsafat Jawa merupakan sarana mencapai kesempurnaan hidup. Di sinilah kita tidak mendapatkan pertentangan antara filsafat dan pengetahuan tentang Tuhan.

Bila memakai bahasa Jawa sendiri, maka filsafat berarti ngudi kasampurnan, berusaha mencari kesempurnaan. Kesempurnaan hidup yang dilandasi oleh cipta, rasa, dan karsa (ontologi, epistimologi, aksiologi). Sebaliknya philosophia bila dibaca dengan bahasa Jawa menjadi: ngudi kawicaksanan.

Masyarakat Jawa mencari hakikat segala wujud kebenaran yang bersifat mendasar. Semua usaha untuk mengartikan hidup manusia—asal mula dan akhir—serta hubungan dunia-manusia-Tuhan terakomodasi dalam seni budaya mereka. Kehidupan alamiah, menjadi dasar dan memberi isi bahwa kebudayaan Jawa benar-benar didapatkan usaha untuk mencari dasar-awal segala sesuatu, renungan tentang apa yang terdapat di belakang segala wujud lahir dan pencarian sebab-akibat.

Seni pewayangan adalah satu contoh implementasi dari filsafat Jawa. Walaupun ceritera wayang berasal dari India, namun terdapat perbedaan hakiki dalam perwujudannya. Di India, ceritera dianggap benar-benar terjadi dalam jalur mitos, legenda dan sejarah, sedang di Indonesia ceritera itu mengiaskan perilaku watak, manusia dalam mencapai tujuan hidup, baik lahir maupun batin (Filsafat Jawa, hal.18). Selain daripada itu filsafat Jawa juga bisa dilihat pada kesusastraan Suluk Jawa, Serat Wirid Hidayat Jati, dan aksara hanacaraka.

Sepintas, pernyataan Dr. Abdullah Ciptoprawiryo adalah benar, bahwa filsafat Jawa adalah filsafat “asli” Indonesia. Akan tetapi filsafat Jawa tetaplah hanya bagian dari nuansa lokal nusantara. Ia meletakkan filsafat Jawa hanya sebagai bukti sementara atas keterdesakannya untuk “menyelamatkan” Indonesia.

Sebenarnya filsafat Indonesia sudah terangkum dalam tulisan pada tali pita di kaki burung garuda. Bila Rene Descartes meletakkan Cogito Ergo Sum sebagai titik dasar filsafatnya, atau Gnothi se Auton yang menjadi dasar filsafat Sokrates, maka semboyan Bhinneka Tunggal Ika harusnya menjadi fondasi rumusan pemikiran filsafat di Indonesia.

Buku Filsafat Jawa hanya meng-ada-kan bukti keadaannya. Kehidupan masyarakat yang cenderung westernis serta perguruan tinggi di Indonesia yang lebih condong kepada filsafat barat telah menguburkan eksistensi filsafat negeri ini. Oleh karena itu, harus ada langkah awal bagi para insan akademika untuk membangkitkan embrio filsafat di negeri ini.

0 comments: